"Cuma tiga juta?"
Setelah beberapa detik terdiam, Arash membuka suaranya kembali. Sepertinya tidak perlu di beri umpan, ikannya sudah terpancing sendiri. "Iya. Sekarang aku cuma perlu segitu, gak tahu kalau kedepannya." Mata Alana memancarkan sinar penuh harap, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Tapi kamu tahu kan, gak ada yang gratis di dunia ini?" Kesempatan ini tidak akan Arash sia-siakan, tapi bukan sekarang waktunya, karena assistennya sudah mengabarinya untuk segera datang ke kantor. "Kamu mau balasan apa? Aku gak punya harta buat gantinya." Arash menatap lekat wajah yang terlihat lusuh itu, sepertinya memang Alana mendapatkan perlakuan tidak baik oleh keluarganya sendiri. "Nanti aku kabari lagi." Arash keluar dari ruangan dan meminta supirnya menarik uang cash. "Nanti berikan uang itu padanya." Titahnya pada supir tersebut, sementara dia menaiki mobil lain menuju kantor. Satu jam kemudian setelah infus habis Alana di perbolehkan keluar dari rumah sakit. Sejak keluar dari ruangan, Arash tidak kembali lagi. Dan uang yang sempat di mintanya tadi sudah ia dapatkan. Ojek yang mangkal di depan rumah sakit di panggil Alana, sekitar lima belas menit ia sudah sampai di rumah. Nenek terlihat duduk di kursi teras seperti biasa menunggunya pulang. "Kamu dari mana? Nenek khawatir dari tadi kamu gak pulang-pulang. Apa ibu tirimu mukul kamu lagi?" Alana mencium tangan neneknya yang sudah berkerut, menandakan usianya yang tidak muda lagi. "Kenapa gak masuk ke dalam, nek? Di luar dingin nanti nenek malah tambah sakit." Alana berjongkok di hadapan Ningsih, membantunya berdiri. Sekarang hanya wanita tua ini yang menjadi penguatnya. "Nenek khawatir sama kamu, Lan. Benar dia mukul kamu?" "Ya kayak gitulah nek, tapi aku gak apa-apa. Dia cuma ngusir aku dan gak bolehin ketemu ayah. Untungnya tadi ketemu orang baik di jalan, terus aku di kasih uang sama dia." Jelas saja kening Ningsih berkerut mendengarnya, di zaman sekarang mana ada yang mau memberikan uang secara suka rela pada orang yang baru di kenal. "Kamu jangan bohong Lana, gak mungkin orang ngasih uang cuma-cuma. Jujur sama nenek apa yang sebenarnya terjadi?" Tubuh Alana gugup mendengar pertanyaan itu, tidak ada jalan lain selain jujur. "Tadi aku di tabrak di jalan pas mau pulang, terus aku pingsan dan di bawa ke rumah sakit. Gak terlalu parah lukanya, biaya rumah sakit di tanggung semua sama orang itu. terus... aku minta uang ke dia karena gak tahu lagi harus gimana, nek. Si Dewi itu gak mau kasih uang. Jangankan uang, ketemu ayah pun gak di bolehin." "Astaga... mana yang luka?!" Wanita tua itu langsung memeriksa tubuh cucunya, melihat bagian mana saja yang terluka. "Cuma luka di lutut aja nek, keserempet dikit di lutut." Ningsih menangis melihat kondisi Alana, anak yang dulu selalu di manja sekarang harus merasakan kerasnya kehidupan. "Maafin nenek karena gak bisa ngasih kehidupan yang layak buat kamu, harusnya kamu gak gini kalau ibumu masih hidup." Raut wajah Alana terlihat tidak setuju dengan ucapan neneknya. "Nenek kok ngomong gitu? Aku gak suka dengarnya. Harusnya aku yang bilang gitu karena masih nyusahin nenek. Aku rencananya mau putus kuliah aja biar bisa kerja full time." Mata Ningsih langsung melebar setelah mendengar rencana cucunya itu. Tapi Alana pun bukan asal memutuskan, ia berpikir kalau hanya bekerja part time pasti gaji yang di dapat sangat kecil, sedangkan kebutuhan mereka banyak. "Gak boleh! Nenek gak suka sama rencanamu. Kamu harus lulus, Lan. Kuliahmu sebentar lagi selesai, sayang beasiswa yang sudah pemerintah kasih kalau kamu putus kuliah. Biar nenek yang kerja!" "Nek... aku gak mungkin biarin nenek kerja." "Nurut sama omongan nenek, jangan kecewain ibumu." Bagaimana ini? Alana tidak mungkin membiarkan neneknya bekerja apalagi dengan kondisinya yang sering sakit-sakitan itu. Dalam kekalutan, satu nama muncul dalam pikiran Alana. Arash! Alana harus cari orang itu lagi! Keesokan harinya di jam yang sama Alana menunggu mobil Arash di jalan yang kemarin ia lewati. Harusnya ia minta saja nomornya, kan bisa pinjam handphone mba Asih. Seperti sudah di takdirkan, mobil yang sedari tadi di tunggunya pun datang juga. Alana merentangkan tangannya mencegat mobil itu. "Ngapain berdiri di situ?!" Teriak sang supir murka setelah turun dari mobil. Mata Alana celingukan mencari keberadaan Arash. "Kemana kakak yang kemarin?" "Maksudmu, tuan Arash?" "Iya. Ada yang mau aku bilang ke dia, apa boleh aku ketemu dia sekarang? Aku gak akan ganggu kerjanya, aku bakal tunggu sampai kak Arash selesai. "Gak bisa! Tuan Arash itu orang sibuk, dia gak bisa sembarangan ketemu orang." "Tapi aku bukan mau macem-macem, tolong pak..." Alana berharap pria paruh baya itu merasa kasihan dan mau mempertemukannya dengan Arash. "Aku coba hubungi asisten tuan Arash dulu, kebetulan memang aku mau menjemputnya sekarang. Tapi kalau dia menolak, kamu jangan maksa lagi." Alana mengangguk-anggukkan kepalanya cepat, semoga Arash masih mengingatnya. Secara baru kemarin mereka bertemu, masa dia sudah lupa? Selama supir itu bicara lewat telpon, gadis itu hanya diam menunggu dengan ekspresi berharap. "G-gimana, pak? Kak Arash mau ketemu sama aku?" "Tuan Arash bilang gak bisa sekarang karena dia ada meeting. Tapi dia minta nomor handphonemu." "Aku gak punya handphone, pak. Beberapa hari yang lalu udah ku jual." Sang supir menggaruk kepalanya terlihat frustasi, "Terus gimana? Lagian zaman sekarang handphone itu penting banget, harusnya jangan di jual. Yasudah, ini alamat kantornya pak Arash, kamu bisa datang langsung ke sana besok." tanganku menerima dengan cepat kertas kecil yang di berikan pria paruh baya itu. Semoga masih ada harapan... "Terimakasih, pak." Saat Alana berniat pulang, supir Arash itu kembali memanggilnya, "Mba! Tuan menyuruh saya membawa mba ke kantornya." Kantor? Kantor Arash? "Kenapa, pak?" Alana tentu saja senang mendengarnya, tapi tadi bukannya Arash sedang sibuk? "Masuk ke mobil mba, saya antar sekarang." Ternyata Alana bukan di bawa ke kantor melainkan pusat perbelanjaan besar di ibukota.Alana duduk di sofa sendirian, bingung harus melakukan apa karena Arash tidak memberitahu letak kamarnya ada di mana. "Masa tidur di sofa?" Bibirnya cemberut, Arash tidak ada pengertiannya sama sekali padahal kepalanya mulai terasa sakit. Mungkin efek tidak tidur semalaman. Meski mengantuk, Alana tetap memaksakan matanya terbuka sambil sesekali melirik ke arah kamar Arash berharap pria itu keluar lagi. Tapi beberapa menit menunggu tidak ada tanda-tanda Arash akan keluar. Ah, persetan! Matanya sudah mengantuk, alamat tidak tidur lagi kalau menunggu Arash! Alana pindah ke sofa yang lebih panjang, kakinya ia naikkan, untungnya ada bantal sofa yang lembut untuk menyangga kepalanya. Memang dasar orang kaya, tidur di sofa pun terasa nyaman, tidak seperti sofa di rumah neneknya yang keras. Lima belas menit kemudian Arash keluar dari dalam kamar, ia pikir Alana sudah masuk ke dalam kamarnya, tidak tahunya gadis itu malah tidur di sofa. "Bodoh." Ucapannya berbanding t
Arash membawa Alana pulang ke hunian mewahnya, kawasan apartment elit di pusat kota. "Aku tinggal di sini?" Kalau Alana tinggal di sini, lalu Arash tinggal di mana? Seakan bisa membaca pikiran Alana, Arash dengan tegas menjawab, "Aku juga tinggal di sini." "Jangan macam-macam, kak!" Alana menyilangkan kedua tangannya di depan dada, apa Arash sedang memberitahu motifnya sekarang? "Kotor sekali pikiranmu. Aku mengajakmu tinggal di sini agar kita mudah berkomunikasi dan menyusun strategi balas dendam. Apa kamu masih mau tinggal di rumah peyot nenekmu? Sebentar lagi aku yakin rumah itu akan roboh." Jahatnya mulut Arash... "Rumah nenekku gak serapuh itu!" Arash hanya mengangkat bahunya tak acuh, ia mengambil minuman dingin di kulkas lalu meneguknya hingga tersisa setengah. "Kalau haus ambil sendiri." Arash duduk tidak jauh dari Alana, wajahnya terlihat serius. "Kapan ayahmu menikah lagi?" Arash harus tahu ibu kandung Alana terlibat atau tidak atas k
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Arash sudah menyambangi rumah Alana. Dia mengetuk pintu cukup keras, berharap Alana cepat membukanya. "Alana?!" Apa gadis itu melakukan tindakan bodoh semalam? Arash semalaman berpikiran ke sana, khawatir Alana nekat bunuh diri. "Alan-" Kalimatnya terpotong lantaran suara kunci yang terbuka dari dalam, dengan pakaian lusuh dan kantong mata yang terlihat jelas di bagian bawah mata, menandakan kalau Alana tidak tidur semalaman. Wajahnya pun masih sembab. "Aku bawain sarapan, makan dulu habis itu mandi. Kita siap-siap menemui ayahmu." "Sekarang? Aku belum siap ketemu mereka. Kalau tiba-tiba aku nangis gimana? Jujur aja air mataku belum kering, aku masih pingin nangis." Arash masuk ke dalam rumah, melihat ke sekeliling mencari apakah ada hal yang mencurigakan. "Makan." Lagi, Arash memberi titahnya. "Aku gak laper." "Kamu mau nyusul nenekmu? Kalau kamu gak punya tujuan hidup kayak gini gimana aku bisa ba
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, karena jarak mall dan rumah Alana tidak terlalu jauh jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai. "Boleh aku minta kartu identitas nenekmu?" "Boleh. Aku ambil dulu di tas, masuk aja kak." Alana mencari keberadaan neneknya, tumben sekali pintu tertutup. Biasanya neneknya itu selalu menunggunya pulang di teras depan. "Nek? Lana pulang!" Masih tidak ada sahutan, Alana langsung bergegas menuju kamar Ningsih, matanya langsung melebar mendapati wanita tua itu sudah terbujur kaku di atas lantai. "Nenek!" Tubuh ringkih itu Alana bawa ke pangkuannya, telunjuknya ia taruh di depan hidung neneknya, "Nek..." Arash yang mendengar teriakkan itu langsung menyusul Alana ke dalam kamar, "Apa yang terjadi?" "Ne-nenek... nafasnya udah gak ada, kak! Gi-gimana ini?" Tidak-tidak! Alana tidak mungkin kehilangan untuk yang kedua kalinya, kan? "Kita ke rumah sakit sekarang!" Tangan besar Arash membopong tub
Di sinilah Alana sekarang, berdiri di depan etalase yang di dalamnya terdapat berbagai macam ponsel keluaran terbaru. Arash yang mengajaknya ke sini karena tadi mereka tidak sengaja bertemu di jalan. "Pilih mau yang mana, nanti aku yang bayar." Seperti biasa Arash terlihat santai dengan setelan rapinya, rambut dengan gaya potongan comma hair menambah kesan karismatik dalam dirinya. "Beneran gak apa-apa? Kalau engga, kita pindah toko aja? Di sini terlalu mahal harganya." "Siapa yang bayar? Aku kan? Jadi gak usah banyak protes, kamu tinggal pilih. Kalau aku ngajak ke sini artinya aku mampu." Aura dominan Arash keluar membuat siapa saja segan menatap matanya. Begitu juga dengan Alana, dia sebenarnya malu menerima hadiah mahal, tapi menolak pun dia tidak di bolehkan. "Makasih, kak. Aku gak tahu gimana balas budi ke kakak nanti karena aku gak punya apapun." "Apa aku minta balasan? Santai saja tidak usah sungkan padaku. Kebetulan aku mengenal orangtuamu jadi anggap
"Cuma tiga juta?" Setelah beberapa detik terdiam, Arash membuka suaranya kembali. Sepertinya tidak perlu di beri umpan, ikannya sudah terpancing sendiri. "Iya. Sekarang aku cuma perlu segitu, gak tahu kalau kedepannya." Mata Alana memancarkan sinar penuh harap, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Tapi kamu tahu kan, gak ada yang gratis di dunia ini?" Kesempatan ini tidak akan Arash sia-siakan, tapi bukan sekarang waktunya, karena assistennya sudah mengabarinya untuk segera datang ke kantor. "Kamu mau balasan apa? Aku gak punya harta buat gantinya." Arash menatap lekat wajah yang terlihat lusuh itu, sepertinya memang Alana mendapatkan perlakuan tidak baik oleh keluarganya sendiri. "Nanti aku kabari lagi." Arash keluar dari ruangan dan meminta supirnya menarik uang cash. "Nanti berikan uang itu padanya." Titahnya pada supir tersebut, sementara dia menaiki mobil lain menuju kantor. Satu jam kemudian setelah infus habis Alana di perbolehkan keluar dari ru