LOGINMobil melaju dengan kecepatan sedang, karena jarak mall dan rumah Alana tidak terlalu jauh jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai.
"Boleh aku minta kartu identitas nenekmu?" "Boleh. Aku ambil dulu di tas, masuk aja kak." Alana mencari keberadaan neneknya, tumben sekali pintu tertutup. Biasanya neneknya itu selalu menunggunya pulang di teras depan. "Nek? Lana pulang!" Masih tidak ada sahutan, Alana langsung bergegas menuju kamar Ningsih, matanya langsung melebar mendapati wanita tua itu sudah terbujur kaku di atas lantai. "Nenek!" Tubuh ringkih itu Alana bawa ke pangkuannya, telunjuknya ia taruh di depan hidung neneknya, "Nek..." Arash yang mendengar teriakkan itu langsung menyusul Alana ke dalam kamar, "Apa yang terjadi?" "Ne-nenek... nafasnya udah gak ada, kak! Gi-gimana ini?" Tidak-tidak! Alana tidak mungkin kehilangan untuk yang kedua kalinya, kan? "Kita ke rumah sakit sekarang!" Tangan besar Arash membopong tubuh ringkih tersebut, ia bergegas ke dalam mobil di ikuti dengan Alana di belakang. Air mata Alana tidak bisa lagi di bendung. Tidak sampai lima belas menit mereka sudah sampai di rumah sakit, Arash langsung meminta tenaga medis untuk menangani nenek Alana. "Sabar, kita tunggu kabar dari dokter." "Gak bisa! T-tadi nafas nenek udah gak ada, a-aku gak mau sendirian, tolong bertahan nek..." Kali ini Alana benar-benar berharap Tuhan berpihak padanya, ia tidak akan sanggup kalau neneknya harus pergi juga. Tak lama pintu ruang ICU terbuka, dan dokter menyatakan nenek Alana tidak tertolong. Alana histeris, merasa seluruh dunianya runtuh—ia sudah kehilangan ibu, kini nenek yang jadi sandaran terakhir juga ikut pergi. "Dokter pasti salah, nenek gak mungkin ninggalin aku! Ta-tadi nenek masih baik-baik aja, dia cuma tidur, dok!" Alana menolak percaya semua yang di ucapkan oleh dokter tersebut, dia yakin neneknya hanya istirahat sebentar. "Waktu kemat-" "Engga! Stop! Nenekku belum meninggal!" Alana semakin histeris saat ranjang neneknya di keluarkan dari ruangan dan akan di pindahkan ke ruang jenazah. "Alana!" Pemakaman Ningsih di langsungkan malam itu juga, Arash sedari tadi menemani Alana, tidak membiarkan gadis itu sendirian. "Alana, sebaiknya kita pulang dulu. Sebentar lagi akan turun hujan, dan sekarang sudah hampir jam sepuluh." Tidak banyak yang datang melayat, para tetangga pun sudah pulang setelah Ningsih di makamkan. "Aku mau di sini nemenin nenek." "Kamu mau buat nenek sedih? Beliau gak akan suka lihat kamu kayak gini. Ayo pulang dulu, tubuhmu butuh istirahat." Alana masih memeluk makam neneknya, pakaiannya sudah bercampur dengan tanah tapi tidak dia hiraukan. Yang penting ia bisa dekat dengan orang terkasihnya itu. "Aku sama siapa setelah ini, nek? Kenapa tega banget ninggalin aku sendirian? Cuma nenek yang sayang sama Alana..." Kenapa takdirnya buruk sekali? Padahal Alana tidak berbuat jahat, tapi kenapa semua orang yang di sayangnya satu persatu pergi meninggalkankanya. Pergi untuk selamanya... "Alana?" "Aku masih mau di sini kak, kakak pulang aja. Makasih udah bantu aku dari kemarin." Padahal Arash berjanji akan membayar biaya operasi neneknya, harusnya masih bisa bertahan, kan? Kenapa secepat ini neneknya menyerah? "Pulang sekarang, Alana. Apa kamu gak mau mengambil kembali hakmu?" Arash akan menekan mental Alana, tutur kata lembut tidak akan berpengaruh untuk saat ini. Gadis itu sedang rapuh, pasti yang ada dalam pikirannya hanya mati. Mungkin kedengarannya jahat, tapi karena Ningsih meninggal Alana jadi tidak punya siapapun lagi untuk jadi sandaran. Arash akan menggunakan kesempatan ini untuk masuk lebih jauh dalam kehidupan Alana, akan dia setir gadis ini menjadi bonekanya yang siap menghancurkan Suryo. "Apa maksud kakak?" "Warisan. Apa kamu rela harta orangtuamu jatuh ke tangan ibu dan saudari angkatmu? Hidupmu akan semakin di injak-injak oleh mereka kalau sampai itu terjadi." Bukankah Alana sangat membenci kedua orang itu karena sudah merusak kebahagiaannya? Apalagi yang Arash dengar, bisnis yang di kelola oleh Suryo sebenarnya milik ibu kandung Alana. "Gak akan aku biarkan! Mereka... mereka ikut andil dalam kematian nenek! Kalau aja dari awal ayah ngasih aku uang buat nenek berobat, pasti nenek gak akan separah ini!" Tangan Alana meremat gundukan tanah makam neneknya, dia bersumpah akan mengambil kembali semua haknya! Sudah cukup para sampah itu memakan bagiannya! "Itu sebabnya aku menyuruhmu pulang, malam ini menangis lah sepuasmu tapi besok jangan lagi. Jangan menunjukkan kesedihanmu di depan mereka. Kalau kamu berminat, aku siap membantumu." Karena Arash juga memiliki niat tersembunyi. Lebih menyenangkan melihat Suryo hancur di tangan anak kandungnya sendiri. Sudah terlalu lama pria tua itu bersenang-senang, sekarang saatnya karma datang. "Mau ke apart ku?" "Mau pulang ke rumah nenek." Alana tidak takut kesepian, malam ini dia ingin tidur dan memeluk bantal yang biasa neneknya pakai. "Kabari aku kalau butuh sesuatu."Beberapa hari kemudian, setelah Arash memberikannya hukuman, ini kali pertama Alana keluar dari rumah. Kalau bukan karena pesan yang Resta kirimkan, Alana yakin Arash akan terus mengurungnya di istana megahnya itu! "Aduh, Lan... susah banget sih ngehubungin kamu akhir-akhir ini. Kamu ganti nomor apa gimana? Kalau tahu tempat tinggal mu udah ku susul kesana." Omel Resta. Sejak bertemu tadi, temannya itu tidak berhenti mengoceh. Tapi Alana justru senang, karena mendengar omelan Resta lebih baik daripada dikurung Arash. Setidaknya diluar, ia bisa merasakan udara segar dan makan apapun yang ia mau ditengah keramaian. "Sorry. Aku gak bisa jelasin ke kamu gimana kehidupanku sekarang, yang jelas aku baik-baik aja." Alana tidak ingin mengambil resiko dengan menumbalkan Resta demi kebebasannya. Tahu sendiri sifat Arash bagaimana, salah bicara sedikit nyawa Resta bisa melayang. Anyway, Alana sudah izin dengan kekasihnya itu.Tentu saja izin yang penuh drama dan negosiasi selama hampir
Alana hanya bisa menatapnya—antara takut, cemas… dan sesuatu yang lain.Mobil terus melaju, membawa mereka menuju tempat yang hanya Arash yang tahu.Perjalanan menuju tempat pribadi Arash terasa panjang bagi Alana. Pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya fokus mengemudi. Tetapi atmosfer gelap darinya menekan seperti tangan tak terlihat yang perlahan mencekiknya.Setibanya di tempat yang Arash katakan—bangunan besar, tenang, dan jauh dari keramaian—Arash turun lebih dulu tanpa menunggu Alana. Ia membuka pintu penumpang, menunduk sedikit, menatap Alana dengan tatapan yang membuat napas gadis itu terputus."Turun."Alana mengerjapkan mata. "Arash… jangan seperti ini. Kita bisa bicara baik-baik, kan?""Aku sedang sangat baik," jawab Arash datar. "Kalau aku tidak baik, sudah ku bunuh saudari angkatmu tadi." Akhirnya Alana turun, dan Arash langsung menggenggam pergelangan tangannya—bukan kasar, tapi tegas dan tidak memberi ruang untuk kabur.Ia menyeret Alana masuk ke dalam rumah, me
Bella mengangkat dagunya, berusaha tampak kuat meski kakinya bergetar. "Kamu pikir aku takut?" Tawanya sumbang, hampir putus asa. "Aku cuma mau keadilan! Hidup aku hancur! Keluarga aku hancur! Dan dia—" Bella menunjuk Alana dengan tangan gemetar, "Dia malah hidup mewah bersamamu!" Alana maju selangkah, meski Arash menahan bahunya gadis itu mengabaikan. "Semua yang terjadi pada keluargamu… itu bukan salahku. Itu karena perbuatan mereka sendiri." Bella langsung meledak. "KALAU KAMU TIDAK MELAPORKANNYA, MEREKA TIDAK AKAN MASUK PENJARA!!" Air mata mulai mengalir, tapi suaranya penuh api. "Kamu merampas segalanya dariku!" Alana menjawab dengan tenang, "Mereka merampas hidupku duluan." Bella terdiam sesaat—shock karena jawaban itu begitu jujur. "Aku gak pernah ingin semua ini terjadi. Tapi orangtuamu memang sudah keterlaluan. Aku rasa penjara tidak akan cukup menebus dosa-dosa mereka selama ini! Dan kamu... berhenti menyalahkan orang lain!" Bella mengepalkan tangan, waja
Lokasi yang Bella kirimkan ternyata berada jauh dari keramaian. Sebuah gang sempit di belakang pasar tradisional, dipenuhi tembok kusam yang dicoret-coret, lantai lembab dengan genangan air sisa hujan semalam, dan aroma sampah yang menusuk. Alana menatap sekeliling dengan waspada. "Pasti dia ngerencanain sesuatu..." gumamnya pelan. Langkahnya berhenti begitu melihat sosok yang sedang duduk di atas tumpukan kardus bekas, tubuhnya membungkuk, rambutnya kusut tak terurus, dan riasan lusuh menghiasi wajahnya. Bella. Gadis yang dulu hidup mewah, kini bahkan terlihat seperti seseorang yang tidak tidur berhari-hari. Alana mendekat beberapa langkah. Sementara Bella yang mendengar suara langkah tersebut langsung mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah dan bengkak, entah karena menangis atau kurang tidur—mungkin keduanya. Ia menatap Alana seperti melihat musuh utamanya. "Akhirnya datang juga." Nada suaranya serak, namun penuh kebencian. Alana menelan ludah. Bukan karena taku
Sementara itu, di kamar kosan yang pengap dan hanya diterangi lampu redup, Bella duduk dengan lutut tertekuk, membenamkan wajahnya di antara kedua tangan. Rambutnya berantakan, riasan luntur, dan kuku yang dulu selalu terawat kini patah tak beraturan.Hidupnya berubah dalam sekejap.Dari tas branded, hotel mewah, restoran mahal—Menjadi kamar petak yang bahkan tidak muat untuk menaruh lemari.Tidak ada lagi uang transfer setiap pagi.Tidak ada lagi belanja impulsif.Tidak ada lagi pria beristri yang siap memberinya fasilitas.Semua hilang.Sejak ibunya ditangkap dan ayah tirinya ditahan, semuanya runtuh seperti kartu domino.Para gadunnya lepas tangan, tak ada yang mau menolongnya. Padahal dulu mereka yang mengemis mengajaknya tidur bersama! Sekarang jangankan untuk tidur, menemui mereka pun sangat sulit. Sialnya lagi selama ia berhubungan dengan para gadunnya tidak ada satupun benih yang jadi. Andai saja ada, pasti Bella akan menggunakan kesempatan itu untuk mengancam agar ia tida
"Istirahatlah, malam nanti aku akan ke sini lagi." Arash mengusap lembut rambut Alana, gerakannya hati-hati seolah takut menyakiti.Alana menutup mata sejenak, menikmati sentuhan itu meski hatinya masih terasa berat. "Kamu gak perlu kesini," gumamnya pelan. "Aku gak apa-apa sendirian."Arash menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab,"Itu bukan soal perlu atau tidak. Aku datang karena aku mau."Alana menghela napas, tidak kuat membantah. Kepalanya masih terasa penuh, tubuhnya pun mulai kehilangan tenaga."Kalau kamu capek… tidur saja," ucap Arash lembut. "Jangan dipaksa mikir dulu."Alana hanya mengangguk pelan.Arash berdiri, mengambil selimut tipis dari ujung sofa, lalu menutupkan ke tubuh Alana dengan pelan, seolah membungkus sesuatu yang rapuh."Aku pergi dulu." Ia beranjak beberapa langkah menuju pintu, lalu menoleh kembali. "Jangan ganti password pintunya." Alana memandangnya dari sofa, matanya memerah namun lebih tenang."Hmm..." Arash tersenyum tipis, senyum yang jarang s







