“Kamu harus menikah dengan Arley Miller! Kalau tidak, Papa akan masuk penjara, Prims!”
Primrose Harvey bak mendapatkan tamparan saat ayahnya mengatakan hal itu.
Meski hanya mengenalnya sebatas nama, Prims—nama panggilan Primrose—tahu betul reputasi buruk Arley Miller di seluruh Seattle. Betapa irit bicaranya dan betapa kejamnya dia di dunia bisnis. Belum lagi rumor mengerikan di luar sana mengatakan bahwa pria itu tak segan menyingkirkan orang-orang yang menghalangi kepentingannya.
“Apa urusan Papa dengannya sampai dia akan membuat Papa masuk penjara?”
“Karena dia menganggap Papa menipunya,” kata pria paruh baya itu. Wajahnya tampak frustrasi luar biasa. “Papa berhutang besar pada keluarga Miller, jatuh temponya sudah terlewat sejak minggu lalu. Tapi Arley mau menikahimu sebagai gantinya.”
Prims menggeleng tak percaya. Napasnya tercekat di tenggorokan saat dia menatap ayahnya itu dengan mata berkaca-kaca.
“Papa jadikan aku sebagai penebus utang? Atas uang yang bahkan aku tidak tahu Papa gunakan untuk apa?”
Mendengar banyaknya tanya dari Prims, Aston terpantik amarah. Dia maju satu langkah, jari telunjuknya mendorong dahi Prims ke belakang.
"Papa gunakan uang itu untuk menghidupimu, untuk memastikan kamu hidup enak dan tidak kekurangan! Bisa-bisanya kamu malah memojokkan Papa? Di mana sopan santunmu, Primrose? Papa tidak pernah mengajarimu jadi pembangkang!"
Prims mendengus miris, tak percaya ayahnya malah menjadikan dirinya sebagai alasan. “Untuk menghidupiku atau untuk memenuhi gaya hidup glamor Alice?" tanya Prims seraya melirik ke sudut ruangan.
Seorang gadis belia berdiri di sana, terlihat menikmati pertengkaran Prims dan Aston.
Dia adalah Alice, adik tiri Prims dari pernikahan kedua ayahnya. Prims hidup dengan Alice dan ibunya sejak tujuh tahun terakhir, lebih tepatnya setelah ibu kandung Prims meninggal dalam kecelakaan tragis.
"Jangan libatkan Alice dalam hal ini, Prims!"
Bibir Prims mengatup rapat, tidak habis pikir dengan ayahnya yang terus membela Alice.
Padahal, yang selama ini bekerja seperti orang gila untuk membantu keuangan keluarga adalah dirinya. Prims juga tak pernah mengeluh, tidak juga protes saat ayahnya memaksanya berhenti sekolah agar bisa membiayai Alice masuk universitas.
Tapi sekarang dia malah dijual demi menebus utang. Apakah ayahnya tidak punya hati?
"Kenapa bukan Alice saja? Aku tidak mau menikah dengan Arley Miller,” ucap Prims sembari menunjuk adik tirinya. “Harusnya Papa membiarkan Alice yang menikah dengannya. Bukankah hidupnya akan terjamin kalau dia menikah dengan pria kaya raya?"
"Sudahlah, Kak!" seru Alice, menyela perselisihan ayah dan anak itu. "Menurutku, keputusan Papa sudah benar," ucapnya saat sudah berdiri di samping Aston.
"Papa hanya khawatir Kakak menjadi perawan tua kalau tidak menikah dengan Arley. Lagipula, bukankah menikah dengan pria itu akan menyenangkan semua pihak? Papa akan terbebas dari utang, Kakak juga terbebas dari titel perawan tua yang aneh,” kata Alice dengan nada lembut yang membuat Prims menganga tak percaya.
Alice melingkarkan tangannya ke lengan Aston, menatap ayahnya dengan sepasang mata yang lugu dan senyum manis.
“Akan sangat sulit mencari calon suami di usia matang seperti Kak Primrose. Bukan begitu, Papa?”
Prims melihat itu. Mata dan senyum polos itu akan menjadi senjata Alice untuk meluluhkan ayah mereka.
"Aku juga ingin menikah, Papa. Tapi kalau kakakku tidak menikah lebih dulu, bagaimana aku bisa menikah nanti?” kata Alice dengan bibir tertekuk sedih, lalu menatap Prims dengan raut wajah prihatin. “Berbeda denganku yang punya banyak teman, tidak ada pria yang mau dekat dengan Kakak karena dia tidak cantik dan tidak menarik. Selagi ada pria yang mau menerimanya, kita sebaiknya tidak membuang kesempatan, kan?"
Senyum licik di wajah Alice bisa dilihat oleh Prims. Dengan lihainya ia menggunakan alasan 'perawan tua' agar Prims tidak memiliki kesempatan membela diri.
"Menikahlah dengan Arley, Kak Prims. Anggap saja itu sebagai caramu berbakti pada Papa. Aku dan Mama sudah menyelamatkan keluarga ini saat terpuruk dulu. Bukankah sudah saatnya ini giliranmu? Benar 'kan, Papa?"
Alice menoleh pada Aston, menyandarkan kepalanya di lengan sang kepala keluarga.
"Benar kata Alice. Dia juga punya masa depan. Dia tidak bisa menunggumu. Kamu sudah dewasa, Prims. Papa tidak mau mendengar penolakan lagi."
"Tapi, Pa—"
"Kamu harus tetap menikah dengan Arley."
"Papa, kumohon—"
Aston tak memberinya kesempatan bicara. Pria paruh baya itu berlalu pergi begitu saja, meninggalkan Prims berdiri di depan kamarnya dengan tubuh yang terasa kebas.
Beberapa detik berlalu, Prims mendengar tawa lirih Alice yang tiba di telinganya. Tawa penuh ejekan seolah dia telah berdiri di atas angin, sedangkan Prims hanyalah setumpuk daun kering yang terinjak-injak.
"Selamat menempuh hidup barumu, Prims. Apa aku harus memberimu kado sebagai ucapan selamat?" ejeknya sambil tertawa puas.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku, Alice? Kenapa kamu membenciku? Belum puas membuat hubunganku dengan Papa hancur, sekarang kamu juga ingin menyingkirkan aku?”
"Aku tidak menyingkirkanmu kok. Takdir saja yang tidak memberimu kesempatan untuk lebih baik dariku,” sahut Alice ringan. Ia berjalan mendekat, lalu mendorong bahu Prims dengan jemari lentiknya. “Selamanya, kamu akan terus menjadi yang kedua. Tidak lebih dari bayangan."
Alice tersenyum dengan penuh kemenangan. Namun, senyumnya langsung sirna saat Prims berkata, "Kamu dan ibumu sama-sama tidak tahu diri."
"Apa katamu?!" teriak Alice tak terima.
Plak!
"Akh!" Prims merintih kesakitan saat Alice melayangkan telapak tangannya ke pipi sebelah kirinya.
Saking kerasnya tamparan itu, Prims limbung hingga mundur beberapa langkah.
"Kamu bilang aku tidak tahu diri? Kamu lupa kalau aku dan ibuku yang menolong keluargamu saat kalian terpuruk?!" Alice meletakkan tangannya di leher Prims hingga dia tak bisa bernapas.
"Le-lepas, Alice!"
Prims memberontak dari brutalnya serangan Alice. Dia mencakar dan mendorongnya, demi melepaskan cengkeraman tangan gadis itu. Semuanya ia lakukan agar tidak mati di tangan adik tirinya.
"HENTIKAN! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!" teriak Aston melerai pertengkaran konyol mereka.
Tentu saja, dia berdiri di pihak Alice.
Aston langsung memeluk Alice yang mengadu. "Papa, Kak Prims mencakarku. Lihat ... tanganku berdarah. Dia bilang kalau aku dan Mama itu parasit, dia membenciku dan mau membunuhku, Papa."
"Bohong!" Prims dengan segala keputusasaannya berteriak melawan.
Rengekan Alice dan liciknya dia dalam memanipulasi Aston adalah hal yang tidak akan pernah bisa dimenangkan oleh Prims.
"Jangan menyakiti Alice! Kamu yang seharusnya tahu diri! Kalau menyusahkan begini, kenapa kamu tidak menyusul ibumu saja?!"
Aston meraih tangan Prims dengan kasar dan mendorongnya hingga ke keluar dari rumah.
Tubuh Prims yang sudah kehabisan tenaga hampir terhempas ke lantai teras tepat saat lengan seseorang menahan bahunya agar tidak terjatuh.
"Kau baik-baik saja?” tanya suara bariton tepat di dekat telinganya.
Kehadiran pria asing itu seketika meredam kekacauan dan memaksa Aston dan Alice yang tadinya sudah beranjak, jadi berhenti dan memutar kepala ke arah datangnya suara.
Pria dengan setelan formal itu berdiri di belakang Prims, menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Pesonanya tumpah bahkan hanya dengan berdiri di sana.
Keheningan menyergap selama beberapa detik sampai pria itu menunduk dengan sopan, lalu memperkenalkan diri.
“Selamat malam. Saya Arley Miller. Saya datang ke sini untuk menjemput calon istri saya.”
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le