“Arley Miller?!”
Prims mendengar Alice memekik terkejut di tempatnya, tapi ia tidak mengatakan apa pun.
Apakah benar pria yang merangkul bahunya ini adalah pria yang terkenal bengis dan kejam itu? Tapi … dia terlalu sopan dan baik tutur bicaranya untuk seseorang yang punya reputasi buruk.
"A-Anda benar Arley Miller?" tanya Alice lagi. Dia terus menatap pria itu tanpa berkedip, sedangkan Aston tampak menganga tidak percaya.
"Benar. Saya harap Pak Aston sekeluarga mengizinkan saya membawa calon istri saya,” kata Arley. Suaranya tegas, terdengar tidak ingin dibantah, bersaing dengan gemuruh petir yang menandai akan datangnya hujan.
Calon istri …
Dia bahkan menyebut Prims sebagai calon istri sebanyak dua kali sejak kedatangannya beberapa menit yang lalu.
Alice segera menoleh pada Aston. Bisikannya samar-samar sampai di telinga Prims saat berkata, "Dia tidak seperti yang ada di gosip, Papa!"
Aston tidak menjawab anak kesayangannya itu. Dia juga sama bingungnya. Sebab selama ini ia tidak pernah berhubungan langsung dengan Arley Miller karena selalu diwakilkan oleh orang kepercayaan pria itu.
Mengamati wajah mereka yang seperti orang bodoh, juga kekesalan Alice sebab rencana saudari tirinya itu tak berjalan lancar, tiba-tiba terlintas di dalam pikiran Prims, bahwa semesta sedang membuka jalan untuknya lari dari keluarganya sendiri.
Dari ibu dan saudara tiri jahat serta ayahnya yang baru saja menyeretnya keluar dari rumah dan melemparkannya seperti sampah.
"Ikutlah denganku."
Prims memutar kepalanya pada pria yang tinggi menjulang di sebelah kanannya ini, menatapnya dengan kedua mata sekelam langit malam di atas sana, dengan nada bicara yang sama tegas seperti saat dia bicara pada Alice maupun Aston sebelumnya.
Namun, Prims sudah membuat keputusan. Dia akan ikut Arley, meski dia juga tidak tahu seperti apa wajah asli pria ini.
Dalam pikirannya, Prims berpendapat bahwa di mana pun akan lebih baik daripada di sini.
Gadis itu lantas mengangguk pelan pada Arley yang masih menunggu reaksinya.
Arley lantas kembali memandang Aston kemudian berpamitan, "Saya akan membawa Primrose, selamat malam."
Pria itu mengisyaratkan dengan tangannya agar Prims berjalan lebih dulu.
Saat mengayunkan kaki menjauhi halaman rumah, Prims bisa merasakan sedikit kelegaan dalam hatinya karena akhirnya terlepas dari keluarga yang tak terhitung berapa kali telah membuat hatinya patah.
Prims tiba di samping mobil yang pintunya dibukakan oleh seorang pria paruh baya, yang diyakininya sebagai sopir Arley.
Mereka pergi meninggalkan Aston dan Alice yang masih berdiri di depan pintu dengan raut wajah kebingungan.
"Bukannya Papa bilang kalau Arley itu kejam dan tidak punya hati? Tapi kenapa dia datang dan menjemput Primrose dengan sopan seperti itu?!" tanya Alice pada ayahnya saat mobil Arley menghilang dari pandangan.
"Papa pikir juga begitu, Alice. Semua orang mengatakan kalau dia kejam dan tidak punya hati."
"Lalu apa yang barusan itu? Dia sangat baik dan sopan. Belum lagi dia juga sangat tampan dan kaya raya!” sergah Alice. “Dan dia akan menjadi suaminya Prims!" jeritnya tidak terima.
“Sudahlah, kamu tidak perlu memusingkan hal itu. Yang penting sekarang kita sudah tidak berutang lagi pada keluarga Miller,” kata Aston, lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Alice sendirian.
Kesal, gadis itu akhirnya masuk ke dalam kamar dengan langkah menghentak. Niatnya menyingkirkan Prims dari rumah ini adalah agar kakak tirinya itu masuk ke dalam neraka baru dalam genggaman Arley.
Tapi pria itu justru memperlakukan Prims dengan baik!
“Sial!” Alice berteriak putus asa, benci karena rencananya tidak berhasil.
***
Di tempat lain, di dalam mobil yang membelah jalanan malam Seattle, tidak ada yang bicara.
Prims tidak bicara karena dia terlalu takut. Selain karena di luar sana tengah hujan deras, duduk bersebelahan dengan Arley Miller membuat tubuhnya menggigil kedinginan.
Gadis itu meremas tangan yang berpangku di atas pahanya, berusaha meredam ketakutan. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa yang akan terjadi setelah ini? Apa yang dilakukan Arley kepadanya?
Memang benar sikapnya tadi membantah rumor kekejaman yang dia lakukan, tapi itu di depan orang lain. Bagaimana jika setelah ini Arley malah membunuhnya untuk menebus semua utang ayahnya?
Bagaimana jika 'pernikahan' hanyalah sebuah tipu muslihat karena sebenarnya Arley menginginkan nyawanya?!
"Pak Will," suara Arley tiba-tiba terdengar memanggil sopir yang ada di balik kemudi, membuat Prims berjengit kaget.
"Ya, Tuan," jawab pria berpakaian serba hitam itu dengan memandang Arley melalui kaca spion yang menggantung di atasnya.
"Tolong matikan AC-nya."
"Baik, Tuan."
Setelah pendingin mobil dimatikan, ada seberkas kehangatan yang lambat laun dirasakan oleh Prims setelah sebelumnya dia merasakan jemarinya nyeri diserang dingin.
Tapi itu bukan semata-mata karena pendingin udara di dalam mobil dimatikan, melainkan karena coat panjang milik Arley yang tadi dipakainya telah berpindah ke pangkuan Prims.
"Pakai itu!" titah Arley seraya memalingkan wajah, menatap gemerlapnya cahaya di luar melalui jendela.
"Te-terima kasih," jawab Prims gugup, terkejut dengan perhatian kecil pria di sebelahnya.
Ia lantas membuka coat itu untuk menutupi bagian depan tubuhnya. Aroma Bvlgari yang maskulin langsung menguar dari sana, membuat Prims semakin gugup.
Setelah itu, tidak ada percakapan lain yang terjadi. Suasana sangat canggung.
Mereka terus berkendara hingga mobil memasuki sebuah rumah yang memiliki gerbang tinggi dan tampak angkuh, rumah paling besar yang pernah dilihat Prims selama dua puluh enam tahun dia hidup.
Prims terjaga dari kekagumannya saat pintu mobil terbuka. Dia lalu keluar dengan gugup, menyambut tatapan Arley yang tengah menunggunya.
"Ini rumahku," ucapnya singkat, masih dengan wajah datar, tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.
"Ayo!" lanjutnya saat memimpin Prims memasuki pintu utama.
Berjalan di belakang Arley, Prims seperti berada dalam kegelapan. Pria itu sangat misterius, seolah ada dinding tak kasat mata di sekelilingnya, sehingga Prims tidak bisa menebak seperti apa ‘wujud’ aslinya.
Semakin memasuki bangunan, Prims semakin dibuat terpesona.
Lampu-lampu chandelier bergantung cantik.
Jendela kaca yang luas membuat tempias gerimis dapat dia lihat menjejak, meninggalkan bekas.
Persian rug terhampar di sepanjang dia berjalan.
Prims lalu berhenti saat Arley tiba di depan sebuah kamar dan membuka pintu untuknya.
"Masuklah," tunjuknya pada kamar yang sudah dia buka.
Dia pergi sebelum Prims sempat mengatakan terima kasih lagi padanya.
"Soal bicaranya yang irit, rumor itu memang benar," gumam Prims lalu masuk ke dalam kamar.
Dibandingkan dengan kamar di rumahnya, kamar ini tiga kali lebih luas. Prims menunduk memandang coat milik Arley yang masih menggantung di lengannya.
'Setelah membawaku pergi, memberiku coat, kamar, lalu setelah ini apa lagi?' batin Prims disertai dengan hela napas resah.
Dia rasa ... ini adalah malam yang sangat aneh karena hidupnya tak lagi menjadi 'si terbuang' di keluarganya, melainkan ‘calon istri’ dari seorang pewaris terkaya di Seattle.
Tapi mengapa? Apa yang membuat Arley memilihnya sebagai penebus utang?
Beberapa menit sibuk dengan pikirannya sendiri, Prims menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka.
Arley berdiri di sana, tidak melakukan apa pun selain menatap Prims, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam kamar.
"Tu-Tuan Arley mau apa ke sini?" tanya Prims gagap, tapi Arley tak menjawab.
Suara langkahnya membuat Prims mundur ke belakang, ketakutan melihat iris mata kelamnya yang seolah siap menghabisi apapun yang ada di depannya.
Prims gemetar saat kakinya membentur kaki ranjang, kehabisan ruang gerak. Dia kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk di sana dengan kaki yang terasa lemas.
"Ampun, Tuan Arley!" mohon Prims sambil memejamkan mata saat melihat tangan Arley terangkat ke arah wajahnya.
Namun, detik demi detik berlalu, tidak ada tamparan yang mendarat di atas pipinya.
Ia justru dibuat membeku saat merasakan sensasi dingin kala tangan besar Arley menyentuh pipi sebelah kirinya dengan lembut, mengoleskan salep pada bagian luka dan memar bekas cakaran Alice.
“Tu-Tuan Arley …”
Pria itu datang ke sini bukan untuk melukai Prims, tapi untuk mengobatinya?!
“Diamlah.” Suara bariton pria itu membuat Prims membuka mata. Arley ternyata sedang berlutut di depannya. Jemarinya yang besar bergerak mengobati luka di pipi Prims, tidak peduli Prims terkejut atau bahunya berjengit saat mereka melakukan kontak fisik. Melihat Arley dalam posisi yang tidak nyaman, serta rasa canggung yang mengungkung mereka, Prims mengarahkan tangannya ke depan dan berujar, "T-Tuan Arley, aku bisa mengobatinya sendiri. B-berikan padaku salepnya!" Ada jeda selama beberapa detik sampai Arley akhirnya memberikan salep tersebut pada Prims. Namun, Arley tidak serta-merta pergi. Ia tetap menunggu di sana, memastikan Prims benar-benar mengobati luka di pipinya. Prims menghindari tatapan Arley. Rasanya sangat tidak nyaman ditatap lekat seperti itu, apalagi pria itu tak mengatakan apa pun. 'Kenapa Tuan Arley tidak pergi dari sini? Apa dia akan tidur di sini malam ini?' Prims menengadahkan wajahnya saat Arley berdiri. Tingginya menjulang, tak seimbang dengan Prims yang
"A-aku t-tidak bermaksud melakukan itu. Aku hanya ... membela diri karena Primrose—""Jangan berbohong!" potong Arley atas kalimat terbata-bata Alice. Alice tersentak. Tetapi ia tidak bisa membela diri karena nyalinya lebih dulu menciut mendengar nada bicara Arley yang sangat dingin. Arley mengalihkan tatapannya pada Prims yang masih berada dalam dekapannya. Raut wajah pria itu seketika melunak. Alih-alih marah, Arley tampak khawatir.Dia membantu Prims berdiri tegak seraya bertanya, "Kamu baik-baik saja?"Gadis dalam dekapannya itu mengangguk pelan. Prims menatap mata kelam Arley. Dibandingkan interaksi mereka sebelumnya, pagi ini Arley menunjukkan lebih banyak emosi.Pria itu lantas mengangguk dan meraih tangan Prims, mengajaknya pergi."Ayo pergi dari sini!""Tapi—""Akan aku bereskan nanti," potongnya tidak ingin dibantah.Prims berjalan keluar dari toko bakery dengan tangannya yang terasa dingin dalam genggaman Arley. Mereka meninggalkan Alice yang menahan tangis, menahan kebe
Rahasia?Rahasia apa yang mereka bicarakan?Prims berdiam diri di tempatnya, berpikir akan mencuri dengar karena pembicaraan itu membuatnya penasaran. Namun, keberadaannya diketahui oleh sang pelayan."No-Nona?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut dan tidak mengantisipasi keberadaan Prims di sana.Arley memutar kepala padanya, irisnya yang kelam menerpa Prims dan membuat gadis itu langsung menunduk, merasa tidak enak hati karena tertangkap basah."S-selamat malam," sapa Prims lebih dulu. Prims mencuri pandang pada wanita berpakaian serba hitam itu yang perlahan undur diri dan memberikan ruang pada mereka."Malam," jawab Arley singkat, hampir terlihat enggan.Dalam hati Prims bertanya, 'Haruskah aku berpura-pura tidak mendengar yang barusan?’Kebimbangan merundungnya sesaat, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk bersuara. “Aku mau mengambil minum,” jelasnya, merasa sangat canggung dengan keheningan di antara mereka.“Ambil dan kembalilah tidur.”“Baik.”Pria itu pergi begitu saja, me
Gawat!Dia pasti dianggap sedang sengaja memancing Arley agar mereka melakukan adegan dewasa nan panas berpeluh.Apalagi Prims malah seperti sengaja datang ke kamarnya.Prims tahu dia harus pergi, tapi hati dan tubuhnya tidak sinkron sehingga yang terjadi malah seperti dia menikmati posisi ambigu yang terjadi di antara mereka.Debar jantungnya tak terkendali, Prims takut Arley bisa mendengarnya.Tatapan mata pria di atasnya ini seperti sedang menyihirnya untuk tinggal, memengaruhinya untuk menganggukkan kepala atas tanya yang baru saja dia berikan. Tapi ... 'TIDAK!' jerit Prims dalam hati saat dia mengumpulkan akal sehat dan mendorong dada bidang Arley sekuat tenaga sehingga pria di atasnya ini pergi.Arley berpindah ke ranjang di sisi kanan Prims, dengan kancing kemeja yang terbuka hingga ke perutnya, mengekspos sebagian tubuhnya yang seksi dan atletis. Dan sebelum pria itu kembali membicarakan soal 'mengambil sesuatu yang paling berharga' miliknya, Prims segera mengenyahkan diriny
"Tidak mau!" jawab Prims kemudian berlari pergi dari sana. Sebelum godaan dunia yang nakal membujuknya untuk menyambut uluran tangan Arley, Prims keluar dari kamar mandi. Dia putuskan untuk mandi di tempat lain saja. Sembari berjalan, dia bicara dengan dirinya sendiri, "Aku pikir dia tidak punya sifat jahil seperti itu. Tapi apa yang barusan itu? Bergabung untuk mandi dengannya?" Membayangkannya saja membuat tubuhnya menggigil. Maka begitulah, pada akhirnya dia berjumpa lagi dengan Arley untuk makan malam. Mengingat kecerobohannya yang fatal, Prims memutuskan untuk menahan diri dengan tidak mengajak Arley bicara. Tapi, 'bencana' baru saja dimulai. Saat Prims masuk ke dalam kamar, Arley berjalan mengikutinya. “Kenapa Tuan Arley mengikutiku?” tanyanya ketakutan. “Aku akan tidur di sini mulai sekarang,” jawabannya datar. “Kenapa?” “Ada yang bergosip kalau kamu aku campakkan saat tahu kita pisah kamar.” Jantung Prims berdebar tak karuan rasanya. Dia memandang Arley yang berjal
Prims terhening untuk mencerna kalimat Katie. ‘Sebegitu tidak sukanya kah beliau padaku?’ gumamnya dalam hati.Sejak awal, Prims tahu ibu mertuanya memang tidak menyukainya. Wanita itu lebih suka jika Alice yang bersanding dengan Arley.Namun, tetap saja, rasanya menyakitkan. Prims menahan diri agar tidak menjatuhkan tirai air mata. Apalagi di depan Arley yang menurutnya sudah terlalu banyak melihatnya tersudut.Gadis itu meremas kedua tangan yang ada di atas pangkuannya. Menunduk, pandangannya ia jatuhkan pada gaun blue ice yang sedang dia kenakan. 'Bukankah percuma aku bersolek sebelum bersua dengan banyak orang malam ini jika pada akhirnya yang diinginkan ada di samping Arley adalah Alice?' tanyanya pada diri sendiri. 'Tapi,' pikir Prims lagi, 'Kenapa aku harus berkecil hati? Aku yang menikah secara sah dan memiliki status sebagai istri, dan Arley yang memilihku. Tidak benar kalau aku membiarkan ibunya ikut campur kehidupan pernikahan kami.'Prims mengerling pada Katie yang masih
Prims menyeringai melihat reaksi adik tirinya yang tampak shock. Meski Alice tak menjawab, tapi dari sorot matanya, Prims tahu jika gadis itu sedang mengumpat dengan kata-kata kasar. Hanya saja, itu tak bisa dia lakukan sebab dia harus tetap terlihat anggun dan lembut di depan banyak orang.Kebencian yang keluar dari sorot matanya tak bisa berbohong. Kediamannya sedang berteriak, 'Primrose sialan! Beraninya kau bicara begitu!?'Prims kembali duduk ke tempat yang dia tinggalkan, melewati Alice. Membiarkannya tersiksa karena di sini dia tak bisa menunjukkan perangai aslinya.Prims menunggu hingga Arley mendekat dan hampir duduk di sebelahnya, tetapi Prims tidak memperbolehkannya melakukan hal itu."Jangan duduk dulu," cegahnya, membuat salah satu alis tegas pria itu terangkat."Kenapa?" tanya Arley bingung."Tolong ajaklah Alice berdansa. Dia pasti malu sekali karena kejadian yang tadi."Arley mendesah tak suka, kedua bola matanya berputar dengan malas. "Kenapa aku harus melakukannya?"
Setelah kesadarannya terkumpul, Prims segera melepaskan diri dari pria itu.Jika tak salah ingat, dia adalah teman semasa sekolahnya dulu. Tapi itu sudah sangat lama dan Prims hampir tak mengenalinya karena waktu seperti mengubahnya menjadi pria yang rupawan."Kamu baik-baik saja, Prims?" tanya pria yang ada di depannya ini sebelum Prims sempat menjawab sapaannya yang sebelumnya."I-iya," jawabnya tegang.Prims mungkin baik-baik saja. Tapi tidak dengan seorang staf pembawa baki yang tak sengaja bersentuhan dengannya.Karena baki yang dia bawa jatuh, gelas-gelas yang semula tertata di atasnya berserakan ke lantai, menimbulkan kekacauan di sudut ruangan.Perhatian semua orang beralih padanya, pandangan mereka penuh penghakiman dan kebencian atas kecerobohan yang dia perbuat.Di tengah lantai dansa, Arley juga mendengar suara berisik yang lantang itu. Ia langsung melepaskan tangannya dari Alice dan memastikan siapa gerangan yang be