Share

Bab 3 - Pria Tanpa Emosi

“Diamlah.”

Suara bariton pria itu membuat Prims membuka mata. Arley ternyata sedang berlutut di depannya. Jemarinya yang besar bergerak mengobati luka di pipi Prims, tidak peduli Prims terkejut atau bahunya berjengit saat mereka melakukan kontak fisik.

Melihat Arley dalam posisi yang tidak nyaman, serta rasa canggung yang mengungkung mereka, Prims mengarahkan tangannya ke depan dan berujar, "T-Tuan Arley, aku bisa mengobatinya sendiri. B-berikan padaku salepnya!" 

Ada jeda selama beberapa detik sampai Arley akhirnya memberikan salep tersebut pada Prims.

Namun, Arley tidak serta-merta pergi. Ia tetap menunggu di sana, memastikan Prims benar-benar mengobati luka di pipinya.

Prims menghindari tatapan Arley. Rasanya sangat tidak nyaman ditatap lekat seperti itu, apalagi pria itu tak mengatakan apa pun.

'Kenapa Tuan Arley tidak pergi dari sini? Apa dia akan tidur di sini malam ini?'

Prims menengadahkan wajahnya saat Arley berdiri. Tingginya menjulang, tak seimbang dengan Prims yang duduk di tepi ranjang.

Sesaat, Prims berpikir jika Arley akan melakukan sesuatu dengannya atau … mungkinkah pria itu ingin tidur bersamanya malam ini?! 

Namun, sepertinya ia berpikir terlalu jauh. Arley malah melangkah pergi tanpa mengatakan apa pun. 

"Tuan Arley," panggil Prims, menahan langkah Arley. "Apa … benar kita akan menikah?" tanyanya, memandang wajah Arley yang baru saja berpaling.

"Ya," jawab pria itu singkat.

"K-kapan?"

"Lusa."

"Secepat itu?!" tanya Prims terkejut. Sesaat kemudian dia salah tingkah karena telah bersikap lancang, apalagi Arley sampai memutar tubuhnya sehingga kini mereka berhadapan.

"Maksudku … apa itu tidak terlalu cepat?" ralat Prims sambil meremas erat wadah salep di tangannya.

"Tanggalnya sudah ditentukan."

Setelah tiga kata terucap dari bibirnya, Arley pergi. Lebih seperti dia tidak ingin menerima bantahan.

Prims melihat punggung bidangnya menghilang di balik pintu kamar, meninggalkannya duduk sendiri seperti seorang tawanan yang terpenjara di dalam sangkar emas.

***

Pagi hari ini, Prims bangun dengan mata bengkak karena dia nyaris tak bisa memejamkan mata sepanjang malam. 

Gadis itu hendak sarapan saat melihat Arley ternyata sudah duduk di meja makan. 

Pria itu menoleh pada kedatangannya sebelum kembali memandang cangkir kopi yang ada di tangan kanannya, di atas meja makan yang sudah dipenuhi oleh banyak hidangan.

"S-selamat pagi," sapa Prims gugup.

"Duduklah."

"B-baik."

"Orang tuaku mau bertemu denganmu. Kita pergi ke rumah mereka setelah sarapan," ujar Arley datar, kalimat terpanjang yang diucapkan Arley kepadanya. Tapi tetap tidak ada emosi di dalamnya.

"Baik," jawab Prims sebelum mengambil duduk berseberangan dengannya. 

Tidak banyak yang mereka lakukan selain menikmati sarapan yang dipenuhi oleh keheningan lalu bersiap pergi.

Prims juga tidak berani membuka suaranya, atau sekadar mengajak Arley memulai percakapan selama mereka ada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Will—sopir Arley—melewati jalan di Minggu pagi yang lengang.

"Tuan Arley …" panggil Prims yang duduk di sebelah kirinya, mengakhiri kebisuan di antara mereka.

"Hm?"

"Maaf, tapi ini kunjungan pertamaku ke rumah orang tuamu. Aku tidak mau datang dengan tangan kosong. Bisakah ... kita membeli sesuatu untuk mereka? Mungkin, cake? Atau pastry?"

Arley mengangguk sebagai jawaban dan meminta sopir agar mereka mampir sebentar untuk membeli kue.

Di sebuah toko bakery yang ada di sebelah kiri jalan, mobil berhenti. Keduanya berhenti dan hampir masuk sebelum Arley berujar, "Beli saja, nanti aku yang bayar."

"Baik."

Lalu pergilah pria itu menjauh seraya menerima panggilan di ponselnya, sementara Prims masuk ke dalam toko bakery.

Namun, alih-alih melihat banyak kue yang tertata dengan rapi di etalase, hal pertama yang dijumpai oleh Prims adalah Alice.

Sial! Prims lupa kalau ini adalah toko bakery kesukaan Alice yang sering didatanginya untuk membeli sarapan.

Adik tirinya itu hanya berdiri beberapa meter di depannya dan tampak tidak suka dengan kedatangannya.

"Wah ... calon pengantin sudah di sini pagi-pagi begini?" sapanya dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.

Tidak ingin membuat keributan, Prims memilih untuk mengabaikannya.

"Kamu tuli? Kamu tidak mendengar aku menyapamu, Prims?" 

Suara Alice sedikit meninggi saat ia berjalan mendekat dan tiba di belakang Prims. Meraih lengannya sehingga sekarang mereka bertatap muka.

"Kamu tidak ingin menjawabku? Apa menjadi calon istri Arley Miller sudah membuatmu besar kepala dan berpikir bisa mengabaikanku?!" desak Alice, mendorong bahu Prims hingga dia mundur satu langkah ke belakang.

"Kenapa kamu senang menggangguku, Alice? Kamu tidak punya kehidupan yang menarik sampai kamu harus memperlakukanku seperti ini?" tanya Prims dengan suara dingin, yang terdengar seperti cemoohan bagi Alice.

"Benar-benar sombong! Kamu pikir bisa menjadi lebih tinggi dariku nanti setelah menikah dengannya?!” sentak Alice berang. “Dengar, aku akan membuat Arley membuangmu!"

Iris gelap Alice menyudutkan Prims hingga dia merasa kecil dan terasing. Kebencian tergambar jelas dari cara Alice berucap dan menatapnya.

"Apa menyingkirkan aku dari keluargaku sendiri masih belum membuatmu puas?"

Alice menyeringai. "Belum. Aku akan puas kalau mendengar berita Arley membuangmu!" 

Alice kembali mendorong bahu Prims, sedikit lebih kuat, mengabaikan pandangan beberapa pengunjung yang terusik dengan pertengkaran mereka. "Biar kamu sengsara karena jadi janda."

"Hentikan, Alice!"

Permintaan Prims tak diindahkan sebab tangan Alice masih gencar mendorongnya.

Prims dilema antara melawan ataukah dia harus diam saja, karena banyak pasang mata yang melihat mereka. Dan mengingat bagaimana manipulatifnya Alice, dia bisa memutarbalikkan keadaan dengan hal yang tak masuk akal.

"Lalu kamu akan mati pelan-pelan dan kamu sadar kalau kamu akan tetap menjadi yang paling tidak diinginkan!"

"Akh!"

Prims terdorong lebih keras. Tubuhnya menabrak rak di belakangnya. Toples kaca dan barang-barang yang tertata di sana berjatuhan, menimbulkan suara bising dan pekikan terkejut dari para pengunjung.

"PRIMROSE!" 

Kejadian itu begitu cepat. Alih-alih tertimpa isi rak, Prims merasakan tubuhnya dibawa ke dalam dekapan hangat. Arley mengumpankan punggungnya sehingga barang yang ada di sana menimpanya.

Benda pecah belah terdengar berserakan. Mengikis jeritan tetapi menyusun ketegangan di antara mereka.

Dengan jarak sedekat ini, Prims bisa memandang Arley dengan sangat jelas. Ekspresi wajah pria itu membuat jantung Prims berdetak lebih cepat. Dahinya mengerut, berikut alias yang saling bertaut. Arley pasti marah karena dia membuat keributan di tempat umum.

Berhasil membuat kekacauan itu, Alice tersenyum puas. Akhirnya dia bisa memancing kemarahan Arley dan membuat Prims merasa semakin tidak diinginkan. 

'Lihat saja, setelah ini Arley pasti akan memarahi Prims habis-habisan karena sudah membuatnya malu!' batin Alice sambil tertawa dalam hati. 

Di sisi lain, Prims sudah bersiap mendengarkan umpatan dan sumpah serapah dari Arley sebab dirinya begitu ceroboh dan membuat keributan seperti ini.

Namun, Arley justru menoleh pada Alice yang berdiri menyaksikan kekacauan itu. Suara baritonnya terdengar dingin ketika berkata, "Apa yang kau lakukan, Alice Harvey?"

Tubuh Alice menegang, antara takut dan juga marah karena selama ini tidak pernah ada yang melindungi Prims seperti ini. 

Ketakutannya membuncah saat dia mendengar suara Arley sekali lagi, "Jawab! Apa kau tuli?!"

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Ivat Jesi
Alice in Wonderland bikin kesel sumpah aigoooooo
goodnovel comment avatar
Sonia Almaqhvira
kek nya udh suka sma prims deh tuh Arley .. trus itu s Alice ke skakmat beku2 dah tu orang...
goodnovel comment avatar
naura valencia
Arley datang di saat yg tepat ohhhh my Hero ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status