“Diamlah.”
Suara bariton pria itu membuat Prims membuka mata. Arley ternyata sedang berlutut di depannya. Jemarinya yang besar bergerak mengobati luka di pipi Prims, tidak peduli Prims terkejut atau bahunya berjengit saat mereka melakukan kontak fisik.
Melihat Arley dalam posisi yang tidak nyaman, serta rasa canggung yang mengungkung mereka, Prims mengarahkan tangannya ke depan dan berujar, "T-Tuan Arley, aku bisa mengobatinya sendiri. B-berikan padaku salepnya!"
Ada jeda selama beberapa detik sampai Arley akhirnya memberikan salep tersebut pada Prims.
Namun, Arley tidak serta-merta pergi. Ia tetap menunggu di sana, memastikan Prims benar-benar mengobati luka di pipinya.
Prims menghindari tatapan Arley. Rasanya sangat tidak nyaman ditatap lekat seperti itu, apalagi pria itu tak mengatakan apa pun.
'Kenapa Tuan Arley tidak pergi dari sini? Apa dia akan tidur di sini malam ini?'
Prims menengadahkan wajahnya saat Arley berdiri. Tingginya menjulang, tak seimbang dengan Prims yang duduk di tepi ranjang.
Sesaat, Prims berpikir jika Arley akan melakukan sesuatu dengannya atau … mungkinkah pria itu ingin tidur bersamanya malam ini?!
Namun, sepertinya ia berpikir terlalu jauh. Arley malah melangkah pergi tanpa mengatakan apa pun.
"Tuan Arley," panggil Prims, menahan langkah Arley. "Apa … benar kita akan menikah?" tanyanya, memandang wajah Arley yang baru saja berpaling.
"Ya," jawab pria itu singkat.
"K-kapan?"
"Lusa."
"Secepat itu?!" tanya Prims terkejut. Sesaat kemudian dia salah tingkah karena telah bersikap lancang, apalagi Arley sampai memutar tubuhnya sehingga kini mereka berhadapan.
"Maksudku … apa itu tidak terlalu cepat?" ralat Prims sambil meremas erat wadah salep di tangannya.
"Tanggalnya sudah ditentukan."
Setelah tiga kata terucap dari bibirnya, Arley pergi. Lebih seperti dia tidak ingin menerima bantahan.
Prims melihat punggung bidangnya menghilang di balik pintu kamar, meninggalkannya duduk sendiri seperti seorang tawanan yang terpenjara di dalam sangkar emas.
***
Pagi hari ini, Prims bangun dengan mata bengkak karena dia nyaris tak bisa memejamkan mata sepanjang malam.
Gadis itu hendak sarapan saat melihat Arley ternyata sudah duduk di meja makan.
Pria itu menoleh pada kedatangannya sebelum kembali memandang cangkir kopi yang ada di tangan kanannya, di atas meja makan yang sudah dipenuhi oleh banyak hidangan.
"S-selamat pagi," sapa Prims gugup.
"Duduklah."
"B-baik."
"Orang tuaku mau bertemu denganmu. Kita pergi ke rumah mereka setelah sarapan," ujar Arley datar, kalimat terpanjang yang diucapkan Arley kepadanya. Tapi tetap tidak ada emosi di dalamnya.
"Baik," jawab Prims sebelum mengambil duduk berseberangan dengannya.
Tidak banyak yang mereka lakukan selain menikmati sarapan yang dipenuhi oleh keheningan lalu bersiap pergi.
Prims juga tidak berani membuka suaranya, atau sekadar mengajak Arley memulai percakapan selama mereka ada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Will—sopir Arley—melewati jalan di Minggu pagi yang lengang.
"Tuan Arley …" panggil Prims yang duduk di sebelah kirinya, mengakhiri kebisuan di antara mereka.
"Hm?"
"Maaf, tapi ini kunjungan pertamaku ke rumah orang tuamu. Aku tidak mau datang dengan tangan kosong. Bisakah ... kita membeli sesuatu untuk mereka? Mungkin, cake? Atau pastry?"
Arley mengangguk sebagai jawaban dan meminta sopir agar mereka mampir sebentar untuk membeli kue.
Di sebuah toko bakery yang ada di sebelah kiri jalan, mobil berhenti. Keduanya berhenti dan hampir masuk sebelum Arley berujar, "Beli saja, nanti aku yang bayar."
"Baik."
Lalu pergilah pria itu menjauh seraya menerima panggilan di ponselnya, sementara Prims masuk ke dalam toko bakery.
Namun, alih-alih melihat banyak kue yang tertata dengan rapi di etalase, hal pertama yang dijumpai oleh Prims adalah Alice.
Sial! Prims lupa kalau ini adalah toko bakery kesukaan Alice yang sering didatanginya untuk membeli sarapan.
Adik tirinya itu hanya berdiri beberapa meter di depannya dan tampak tidak suka dengan kedatangannya.
"Wah ... calon pengantin sudah di sini pagi-pagi begini?" sapanya dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.
Tidak ingin membuat keributan, Prims memilih untuk mengabaikannya.
"Kamu tuli? Kamu tidak mendengar aku menyapamu, Prims?"
Suara Alice sedikit meninggi saat ia berjalan mendekat dan tiba di belakang Prims. Meraih lengannya sehingga sekarang mereka bertatap muka.
"Kamu tidak ingin menjawabku? Apa menjadi calon istri Arley Miller sudah membuatmu besar kepala dan berpikir bisa mengabaikanku?!" desak Alice, mendorong bahu Prims hingga dia mundur satu langkah ke belakang.
"Kenapa kamu senang menggangguku, Alice? Kamu tidak punya kehidupan yang menarik sampai kamu harus memperlakukanku seperti ini?" tanya Prims dengan suara dingin, yang terdengar seperti cemoohan bagi Alice.
"Benar-benar sombong! Kamu pikir bisa menjadi lebih tinggi dariku nanti setelah menikah dengannya?!” sentak Alice berang. “Dengar, aku akan membuat Arley membuangmu!"
Iris gelap Alice menyudutkan Prims hingga dia merasa kecil dan terasing. Kebencian tergambar jelas dari cara Alice berucap dan menatapnya.
"Apa menyingkirkan aku dari keluargaku sendiri masih belum membuatmu puas?"
Alice menyeringai. "Belum. Aku akan puas kalau mendengar berita Arley membuangmu!"
Alice kembali mendorong bahu Prims, sedikit lebih kuat, mengabaikan pandangan beberapa pengunjung yang terusik dengan pertengkaran mereka. "Biar kamu sengsara karena jadi janda."
"Hentikan, Alice!"
Permintaan Prims tak diindahkan sebab tangan Alice masih gencar mendorongnya.
Prims dilema antara melawan ataukah dia harus diam saja, karena banyak pasang mata yang melihat mereka. Dan mengingat bagaimana manipulatifnya Alice, dia bisa memutarbalikkan keadaan dengan hal yang tak masuk akal.
"Lalu kamu akan mati pelan-pelan dan kamu sadar kalau kamu akan tetap menjadi yang paling tidak diinginkan!"
"Akh!"
Prims terdorong lebih keras. Tubuhnya menabrak rak di belakangnya. Toples kaca dan barang-barang yang tertata di sana berjatuhan, menimbulkan suara bising dan pekikan terkejut dari para pengunjung.
"PRIMROSE!"
Kejadian itu begitu cepat. Alih-alih tertimpa isi rak, Prims merasakan tubuhnya dibawa ke dalam dekapan hangat. Arley mengumpankan punggungnya sehingga barang yang ada di sana menimpanya.
Benda pecah belah terdengar berserakan. Mengikis jeritan tetapi menyusun ketegangan di antara mereka.
Dengan jarak sedekat ini, Prims bisa memandang Arley dengan sangat jelas. Ekspresi wajah pria itu membuat jantung Prims berdetak lebih cepat. Dahinya mengerut, berikut alias yang saling bertaut. Arley pasti marah karena dia membuat keributan di tempat umum.
Berhasil membuat kekacauan itu, Alice tersenyum puas. Akhirnya dia bisa memancing kemarahan Arley dan membuat Prims merasa semakin tidak diinginkan.
'Lihat saja, setelah ini Arley pasti akan memarahi Prims habis-habisan karena sudah membuatnya malu!' batin Alice sambil tertawa dalam hati.
Di sisi lain, Prims sudah bersiap mendengarkan umpatan dan sumpah serapah dari Arley sebab dirinya begitu ceroboh dan membuat keributan seperti ini.
Namun, Arley justru menoleh pada Alice yang berdiri menyaksikan kekacauan itu. Suara baritonnya terdengar dingin ketika berkata, "Apa yang kau lakukan, Alice Harvey?"
Tubuh Alice menegang, antara takut dan juga marah karena selama ini tidak pernah ada yang melindungi Prims seperti ini.
Ketakutannya membuncah saat dia mendengar suara Arley sekali lagi, "Jawab! Apa kau tuli?!"
"A-aku t-tidak bermaksud melakukan itu. Aku hanya ... membela diri karena Primrose—""Jangan berbohong!" potong Arley atas kalimat terbata-bata Alice. Alice tersentak. Tetapi ia tidak bisa membela diri karena nyalinya lebih dulu menciut mendengar nada bicara Arley yang sangat dingin. Arley mengalihkan tatapannya pada Prims yang masih berada dalam dekapannya. Raut wajah pria itu seketika melunak. Alih-alih marah, Arley tampak khawatir.Dia membantu Prims berdiri tegak seraya bertanya, "Kamu baik-baik saja?"Gadis dalam dekapannya itu mengangguk pelan. Prims menatap mata kelam Arley. Dibandingkan interaksi mereka sebelumnya, pagi ini Arley menunjukkan lebih banyak emosi.Pria itu lantas mengangguk dan meraih tangan Prims, mengajaknya pergi."Ayo pergi dari sini!""Tapi—""Akan aku bereskan nanti," potongnya tidak ingin dibantah.Prims berjalan keluar dari toko bakery dengan tangannya yang terasa dingin dalam genggaman Arley. Mereka meninggalkan Alice yang menahan tangis, menahan kebe
Rahasia?Rahasia apa yang mereka bicarakan?Prims berdiam diri di tempatnya, berpikir akan mencuri dengar karena pembicaraan itu membuatnya penasaran. Namun, keberadaannya diketahui oleh sang pelayan."No-Nona?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut dan tidak mengantisipasi keberadaan Prims di sana.Arley memutar kepala padanya, irisnya yang kelam menerpa Prims dan membuat gadis itu langsung menunduk, merasa tidak enak hati karena tertangkap basah."S-selamat malam," sapa Prims lebih dulu. Prims mencuri pandang pada wanita berpakaian serba hitam itu yang perlahan undur diri dan memberikan ruang pada mereka."Malam," jawab Arley singkat, hampir terlihat enggan.Dalam hati Prims bertanya, 'Haruskah aku berpura-pura tidak mendengar yang barusan?’Kebimbangan merundungnya sesaat, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk bersuara. “Aku mau mengambil minum,” jelasnya, merasa sangat canggung dengan keheningan di antara mereka.“Ambil dan kembalilah tidur.”“Baik.”Pria itu pergi begitu saja, me
Gawat!Dia pasti dianggap sedang sengaja memancing Arley agar mereka melakukan adegan dewasa nan panas berpeluh.Apalagi Prims malah seperti sengaja datang ke kamarnya.Prims tahu dia harus pergi, tapi hati dan tubuhnya tidak sinkron sehingga yang terjadi malah seperti dia menikmati posisi ambigu yang terjadi di antara mereka.Debar jantungnya tak terkendali, Prims takut Arley bisa mendengarnya.Tatapan mata pria di atasnya ini seperti sedang menyihirnya untuk tinggal, memengaruhinya untuk menganggukkan kepala atas tanya yang baru saja dia berikan. Tapi ... 'TIDAK!' jerit Prims dalam hati saat dia mengumpulkan akal sehat dan mendorong dada bidang Arley sekuat tenaga sehingga pria di atasnya ini pergi.Arley berpindah ke ranjang di sisi kanan Prims, dengan kancing kemeja yang terbuka hingga ke perutnya, mengekspos sebagian tubuhnya yang seksi dan atletis. Dan sebelum pria itu kembali membicarakan soal 'mengambil sesuatu yang paling berharga' miliknya, Prims segera mengenyahkan diriny
"Tidak mau!" jawab Prims kemudian berlari pergi dari sana. Sebelum godaan dunia yang nakal membujuknya untuk menyambut uluran tangan Arley, Prims keluar dari kamar mandi. Dia putuskan untuk mandi di tempat lain saja. Sembari berjalan, dia bicara dengan dirinya sendiri, "Aku pikir dia tidak punya sifat jahil seperti itu. Tapi apa yang barusan itu? Bergabung untuk mandi dengannya?" Membayangkannya saja membuat tubuhnya menggigil. Maka begitulah, pada akhirnya dia berjumpa lagi dengan Arley untuk makan malam. Mengingat kecerobohannya yang fatal, Prims memutuskan untuk menahan diri dengan tidak mengajak Arley bicara. Tapi, 'bencana' baru saja dimulai. Saat Prims masuk ke dalam kamar, Arley berjalan mengikutinya. “Kenapa Tuan Arley mengikutiku?” tanyanya ketakutan. “Aku akan tidur di sini mulai sekarang,” jawabannya datar. “Kenapa?” “Ada yang bergosip kalau kamu aku campakkan saat tahu kita pisah kamar.” Jantung Prims berdebar tak karuan rasanya. Dia memandang Arley yang berjal
Prims terhening untuk mencerna kalimat Katie. ‘Sebegitu tidak sukanya kah beliau padaku?’ gumamnya dalam hati.Sejak awal, Prims tahu ibu mertuanya memang tidak menyukainya. Wanita itu lebih suka jika Alice yang bersanding dengan Arley.Namun, tetap saja, rasanya menyakitkan. Prims menahan diri agar tidak menjatuhkan tirai air mata. Apalagi di depan Arley yang menurutnya sudah terlalu banyak melihatnya tersudut.Gadis itu meremas kedua tangan yang ada di atas pangkuannya. Menunduk, pandangannya ia jatuhkan pada gaun blue ice yang sedang dia kenakan. 'Bukankah percuma aku bersolek sebelum bersua dengan banyak orang malam ini jika pada akhirnya yang diinginkan ada di samping Arley adalah Alice?' tanyanya pada diri sendiri. 'Tapi,' pikir Prims lagi, 'Kenapa aku harus berkecil hati? Aku yang menikah secara sah dan memiliki status sebagai istri, dan Arley yang memilihku. Tidak benar kalau aku membiarkan ibunya ikut campur kehidupan pernikahan kami.'Prims mengerling pada Katie yang masih
Prims menyeringai melihat reaksi adik tirinya yang tampak shock. Meski Alice tak menjawab, tapi dari sorot matanya, Prims tahu jika gadis itu sedang mengumpat dengan kata-kata kasar. Hanya saja, itu tak bisa dia lakukan sebab dia harus tetap terlihat anggun dan lembut di depan banyak orang.Kebencian yang keluar dari sorot matanya tak bisa berbohong. Kediamannya sedang berteriak, 'Primrose sialan! Beraninya kau bicara begitu!?'Prims kembali duduk ke tempat yang dia tinggalkan, melewati Alice. Membiarkannya tersiksa karena di sini dia tak bisa menunjukkan perangai aslinya.Prims menunggu hingga Arley mendekat dan hampir duduk di sebelahnya, tetapi Prims tidak memperbolehkannya melakukan hal itu."Jangan duduk dulu," cegahnya, membuat salah satu alis tegas pria itu terangkat."Kenapa?" tanya Arley bingung."Tolong ajaklah Alice berdansa. Dia pasti malu sekali karena kejadian yang tadi."Arley mendesah tak suka, kedua bola matanya berputar dengan malas. "Kenapa aku harus melakukannya?"
Setelah kesadarannya terkumpul, Prims segera melepaskan diri dari pria itu.Jika tak salah ingat, dia adalah teman semasa sekolahnya dulu. Tapi itu sudah sangat lama dan Prims hampir tak mengenalinya karena waktu seperti mengubahnya menjadi pria yang rupawan."Kamu baik-baik saja, Prims?" tanya pria yang ada di depannya ini sebelum Prims sempat menjawab sapaannya yang sebelumnya."I-iya," jawabnya tegang.Prims mungkin baik-baik saja. Tapi tidak dengan seorang staf pembawa baki yang tak sengaja bersentuhan dengannya.Karena baki yang dia bawa jatuh, gelas-gelas yang semula tertata di atasnya berserakan ke lantai, menimbulkan kekacauan di sudut ruangan.Perhatian semua orang beralih padanya, pandangan mereka penuh penghakiman dan kebencian atas kecerobohan yang dia perbuat.Di tengah lantai dansa, Arley juga mendengar suara berisik yang lantang itu. Ia langsung melepaskan tangannya dari Alice dan memastikan siapa gerangan yang be
Mendengar nada bicara Prims meninggi, apalagi dengan kata 'menyakiti' yang dia ucapkan dengan sedikit putus asa, membuat Arley akhirnya tersadar dengan apa yang telah ia lakukan. Arley langsung melepaskan tangan gadis itu dari cengkeramannya.Prims menarik tangannya ke depan dada dan menatap Arley tajam. Ia mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit dan perih.“Kenapa tiba-tiba menyeretku?” tanya Prims, menatap Arley yang tampak sedang mengatur napas. "Apa yang kamu lakukan dengan pria itu, Primrose?" Arley balik bertanya. Nada suara dan tatapannya sama-sama dingin.Prims tidak suka dengan cara Arley bertanya, seolah-olah Prims telah melakukan sebuah kejahatan dan saat ini tengah dihakimi. “Tidak ada,” sahut Prims kemudian. “Aku hanya mengobrol dengannya.” Prims berusaha agar tak terlihat emosional meski sebenarnya masih kesal karena Arley menyeretnya seperti tadi.“Mengobrol?” Arley mendenguskan tawa sinis. Ia bersedekap dan menatap Prims dengan tatapan yang sulit diartikan.