Kesalahan besar yang dilakukan Rio justru menjadi pemicu Tania berbuat nekat. Tania memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari keberadaan gadis itu. Dia enggan di duakan dan sampai kapanpun dia tidak rela untuk berbagi.
Tania duduk di sebuah kursi, dengan foto dan beberapa berkas yang sudah dia pegang."Kerja bagus. Kau boleh pergi sekarang!" titah Tania dengan melambaikan tangannya.Dua orang bodyguard itu menurut lalu meninggalkan Tania seorang diri di dalam ruangan yang hanya diterangi oleh lilin.Tania memperhatikan foto itu dengan seksama. Dia suka dengan penampilan gadis itu namun ia membencinya mulai detik ini."Akan aku pastikan dirimu itu akan hidup menderita Irana!" Dengan meremas foto itu Tania menahan amarahnya yang kian memuncak.Pagi hari ini Tania sudah menemukan gadis itu beserta foto dan juga identitasnya. Apa yang dia dapatkan jelas mempermudah dirinya untuk bermain dengan Irana.Tania merobek semua kertas yang ada di tangannya. Dengan matanya yang tajam Tania menatap sobekan kertas itu. Tania pun melempar sobekan kertas itu hingga angin membuatnya berterbangan.Tidak lama setelah itu Tania bangkit dari tempatnya duduk dan ia pun melangkah pergi meninggalkan ruangan itu dengan kondisi yang berantakan oleh sobekan kertas.Tania membuka pintu lalu ia melirik bodyguardnya. Dengan penampilan serba tertutup memakai jaket, masker dan juga topi Tania meninggalkan rumah. Tania sengaja berpenampilan seperti itu, ia harus menjaga identitasnya dengan baik.Seorang bodyguard membukakan pintu mobil untuknya dan Tania pun masuk dengan dua bodyguard-nya yang selalu setia menemaninya.Mobil itu melaju kencang menuju rumah sakit tempat dimana Irana dirawat. Tidak butuh waktu lama Tania sudah sampai di rumah sakit itu, ia bahkan bisa masuk dengan bebas tanpa melapor ke staf yang ada disana.Ruangan VIP yang terletak di lantai atas menjadi tujuan Tania. Itulah ruangan Irana yang sampai sekarang masih menjadi tempat ternyaman untuk Irana beristirahat.Brugh!!Tanpa berperilaku lembut Tania menendang pintu ruangan Irana. Sontak apa yang dilakukan Tania membuat Irana terkejut, gadis itu memegang dadanya yang berdenyut kencang. Irana melihat siapa yang datang dan ia menahan napasnya untuk beberapa detik."Siapa kamu?" tanya Irana dengan sedikit kesal. Irana mencoba merubah posisinya menjadi duduk.Tania pun masuk sambil ditemani dua bodyguardnya. Dia menyilangkan kedua tangannya didadanya. Tania menatap remeh ke arah Irana, kemudian ia menyuruh bodyguardnya untuk mendekat ke arah Irana."Tanda tangani!" ucap Tania sambil melempar kertas yang semula berada ditangan bodyguardnya.Irana memperhatikan kertas yang dilempar kepadanya. Irana membacanya dengan tangan yang masih dipasang impusan."Apa ini?" Iran mengerutkan keningnya karena tidak mengerti dengan isinya."Tanda tangani Irana atau kau akan menyesal!" Tania masih tenang. Dia masih berbicara dengan nada yang rendah."Untuk apa kau tanda tangani surat konyol ini hah? Jelas-jelas aku tidak akan pergi dari negeri ini! Siapa kau? Tiba-tiba datang dan malah bertindak bodoh seperti ini?" Irana melempar kertas itu dengan sekuat tenaganya. Sampai kapanpun ia tidak akan meninggalkan Negaranya sendiri."Pergi dari Negara ini atau kau tidak akan melihat Ibumu lagi hah!" bentak Tania. Dia menatap Irana dengan tajam."Ibu? Hahaha aku sudah tidak memiliki Ibu. Sebenarnya siapa kau?!"Tania tersenyum licik kemudian ia menjambak rambut Irana sampai Irana kesakitan."Aww!!" rintih Irana."Kau ini siapa? Apa salahku kepadamu?" lirih Irana. Dia memegang lengan Tania yang sedang menjambaknya."Tanda tangani atau Ibumu akan menderita Irana Putri Nabella!" Satu kali lagi Tania membentak Irana. Dia semakin mengencangkan jambakannya.Irana meringis kesakitan. Belum lagi tangannya yang sedang diinpus malah berdarah."Sudah aku katakan aku tidak punya Ibu!!" ucap Irana. Dia meninggikan suaranya karena sangat kesal.Tania sudah kehilangan kendali, dia sudah tidak sabar untuk menjauhkan Irana dari suaminya.Dengan terpaksa Tania membuka maskernya, dia menatap Irana denga tatapan benci."Kau itu pelakor! Kau itu wanita yang menjijikan! Bisa-bisanya kau dekat dengan Suamiku hah!"plak!!Tania begitu arogan. Dia menampar Irana begitu keras sehingga Irana merasakan pipinya sangat perih."Su-suamimu? Siapa yang kau maksud? Justru kau yang pelakor, kau dengan bangga malah berpelukan dengan Kekasihku!" Irana menatap balik Tania dengan geram. Dengan mengangkat jari telunjuknya Irana menunjuk Tania dengan kasar.Tania mendekat, dia melangkahkan kakinya untuk semakin mempertipis jaraknya dengan Irana."Rio itu suamiku gadis bodoh! Kau hanya selingkuhannya! Kau hanya gadis yang tidak punya harga diri!" Tania memegang selang impusan. Kemudian tanpa berbicara lagi, ia langsung menariknya hingga impusan itu terlepas dari tangan Irana."Kau pasti bohong! Mana mungkin Rio menikahimu!""Untuk apa aku berbohong? Lihatlah semua ini!" Tania menunjukan foto-foto pernikahannya bersama Rio.Irana merasakan dadanya sangat sesak, hatinya sungguh sakit. Bagaimana bisa kekasihnya malah menikahi gadis lain sedangkan dirinya saat ini sedang mengandung anaknya."Tanda tangani dan pergilah. Kau tidak akan menang walau ini semua menempuh jalur hukum!" Tania memalingkan wajahnya. Dia melihat semua fasilitas di ruangan ini dengan tertawa pahit."Aku tidak akan pergi sebelum mendapatkan hak Anakku!"Mendengar perkataan Irana seketika tangan Tania bergetar, tubuhnya melemas dengan hati yang semakin terasa sakit."Dan kau pun tidak bisa melukai Ibuku karena aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi kepadanya!" seru Irana lagi.Tania menutup matanya, air matanya jatuh karena rasa sakit yang dia rasa."Jika begitu, gugurkan anak itu. Jangan buat dia hidup di dunia ini." Dingin tanpa ekspresi Tania mengatakan hal itu kepada Irana."Irana!!" Tiba-tiba seseorang memanggil nama Irana dan tidak lama kemudian masuklah seorang dokter dengan wajah yang sangat panik.Dokter Gibran berlari ke arah Irana. Dia melihat impusan yang sudah terlepas dan langsung membenarkannya, melihat darah yang berceceran dari tangan Irana membuat Gibran tidak menghiraukan siapa yang berada di ruangan ini.Irana melihat wajah Gibran yang begitu panik, entahlah tiba-tiba hatinya menghangat merasakan perhatian kecil dari dokter yang merawatnya itu.Setelah berhasil menangani Irana, Gibran pun menatap Tania dengan tatapan yang sangat tidak bersahabat."Keluar." Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Girban.Prok! Prok! Prok!Tania bertepuk tangan dengan bibirnya yang tersenyum lebar."Lihatlah, seorang Gibran kini tunduk patuh kepada seorang jalang sepertinya!" Tania menunjuk Irana dengan jari telunjuknya.Gibran semakin marah, beruntung Irana memegang lengannya jika tidak mungkin Girban akan melakukan sesuatu kepada Tania."Gibran kau terlihat sangat khawatir dengan gadis ini. Wow atau jangan-jangan Anak yang ia kandung itu adalah Anakmu?!"Gibran mengepalkan tangannya. Dia begitu kesal dengan apa yang dikatakan Tania. Tangannya gemetar menahan amarah dengan urat-urat yang semakin terlihat dengan jelas bahwa Gibran memang sedang menahan kekesalannya."Tanyakan pada Suamimu lebih dulu, siapa yang dia pilih. Gadis licik sepertimu atau gadis lugu seperti Irana?! " Gibran menjatuhkan pandangannya ke arah pintu dan ternyata ada Rio yang sedang berdiri di sana."Jadi seperti itu ceritanya? Nona kau begitu kuat bisa bertahan sejauh ini," ujar lelaki itu dengan kagum. Irana meringis dalam diam. Dia tersenyum getir seraya menetralkan napasnya. "Kita ke rumah sakit dahulu Nona. Kau butuh penanganan medis!" ujarnya. Irana tidak menggubris ucapan lelaki itu. Entahlah di pikirannya hanya ada satu. Ia ingin mengetahui kabar Gibran. Di rumah sakit. Irana mendapat penanganan dengan baik. Orang yang mengenal Irana dengan cepat membersihkan luka dan mengobati Irana. Sedangkan lelaki itu menunggu di luar ruangan sembari sibuk dengan telpon genggamnya. "Nona istirahatlah. Jika anda perlu sesuatu panggil kami," ujar perawat itu dengan bijak. Irana mengangguk. "Terima kasih," ujarnya dengan lemah. Perawat itupun tersenyum manis, beberapa detik kemudian ia pergi meninggalkan Irana di dalam ruangan yang paling terbaik ini. ****"Di mana? Di mana Dia Johan!" teriak seseorang yang berada di ruangan Irana itu. Lelaki misterius yang dipanggil Johan itu
Deg! Deg!! Deg!! Detakan jantung Irana berpacu di atas rata-rata. Dia begitu terkejut dengan suara Rio yang cukup menggelegar itu. Tidak ada jalan lain untuk Irana selain melarikan diri. Terus berada dalam kurungan Rio tentu secara otomatis menyiksa dirinya sendiri. Irana berlari tanpa henti, di dalam ketakutannya gadis itu terus memacu kecepatannya. Irana keluar dari ruangan terkutuk itu, meski beberapa kali lelaki biadab itu mengejar dan berteriak untuk membuatnya berhenti, Irana tidak akan pernah menyerah. "Tuhan," lirih Irana. Tetap Tuhan yang maha kuasa yang selalu gadis itu sebutkan. Sebuah pintu keluar telah terlihat di depan mata. Irana yang menyadari Rio semakin dekat dengannya itu segera menambah kecepatannya. Walaupun rasa sakit menyerang perutnya, gadis yang sedang hamil muda itu terlihat gigih untuk lolos dari kejaran seorang lelaki bernama Rio. "Berhenti Irana!" Teriak Rio. Brugh! Brugh!! Suara pukulan terdengar memekakak telinga. Lelaki kejam itu saat ini denga
Rasa sakit kian merajalela. Rasa takut pun berhasil membuat mentalnya down. Hampir saja Irana menyerah, namun saat ia menatap perutnya yang saat ini telah berisi, seketika Irana ingin bangkit. Hatinya sudah bulat untuk melawan semua kedzaliman yang sedang dia rasakan. Irana mengamati postur lelaki itu. Diperhatikan dengan teliti setiap incinya. Irana yakin tidak salah orang. Berdasarkan ciri dan suara laki-laki itu Irana semakin yakin orang yang saat ini di depannya itu memang seorang lelaki yang selama ini menghancurkan kehidupan dan masa depannya. "Ri-rio." Irana menyebut nama lelaki itu dengan suara yang bergetar.Rio yang saat itu mendengar panggilan Irana dengan licik tersenyum tipis. Bibirnya tersenyum pahit seraya membuka topeng yang ia pakai. "Kau sudah mengenaliku gadis manis?""Bagaimana aku bisa lupa dengan suara orang yang membuatku sengsara?" jawab Irana dengan terus mencoba menetralkan suaranya. "Hahaha kamu terlalu munafik Irana. Bagaimana? Apa sekarang anak itu sud
"Bangun!!" bentak seorang lelaki dengan wajah yang tertutup topeng. Suaranya menggelegar dengan segala kekejaman yang ia perlihatkan. Byurr!! Lelaki itu dengan tega menyiram Irana dengan satu ember air. Air dingin itu seolah olah menyuruh Irana untuk tersadar. Irana yang semula tertidur dalam pengaruh obat kini terbangun dengan wajah yang pucat pasi. Irana bahkan basah kuyup dengan tubuh yang bergetar. Dia menatap lelaki di depannya dengan gusar. "I-itu hanya mimpi?" tanya Irana kepada dirinya sendiri."Akhirnya kita bertemu lagi Irana," ucap lelaki bertopeng itu. Sorot matanya tajam seolah mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai keberadaan Irana. Irana yang belum mendapatkan semua kesadarannya itu menggeleng gelengkan kepalanya. Ia mencoba mengenali siapa yang ada dibalik topeng itu dan apa ini? Irana sedang berada di mana? Irana melihat ke semua arah. Diperhatikanlah semua barang-barang yang ada di ruangan itu dengan seksama. Irana mencoba mengenali tempat ini. Tapi sekeras a
Tangis begitu membuncah di tempat pemakaman. Terlihat begitu banyak orang yang berduka, semua yang hadir memakai pakaian serba hitam. Semerbak wangi bunga begitu harum menusuk hidung namun semuanya kalah dengan duka yang sedang terasa.Seorang perempuan terlihat berjongkok di depan nisan, tanah kuburan yang masih basah itu begitu menyakitkan untuk dilihat. Perempuan itu memegang perutnya dengan erat seolah ia sedang berdialog dengan anak bayinya.Senja sudah menampakan dirinya, senja yang biasanya indah itu kini berubah menjadi sebuah luka yang sangat luar biasa. Perpisahan itu terasa nyata dengan sebuah penyesalan. Irana dengan menangis tersedu sedu memeluk nisan atas nama Gibran itu.Di sampingnya pun ada seorang perempuan, Ia adalah ibu dari orang yang namanya tertulis di sebuah kayu itu.“Sekarang kau sudah puas?” tanya bu Sinta begitu dingin.“PUAS KAU, HAH? LIHAT GADIS MURAHAN! ANAK SAYA SUDAH TIADA!” bentak bu Sinta. Ia menekan pergelangan tangan Irana begitu kencang.Irana han
Malam ini adalah malam yang buruk untuk Gibran. Lelaki itu dengan gusar terus mencari tahu keberadaan Irana dengan berbagai cara. Seluruh bodyguard yang ia punya sudah di kerahkan semuanya. Kini Gibran pun sedang mencari Irana ke tempat yang menurutnya gadis itu berada.Waktu malam terasa begitu cepat namun orang yang dicari tidak kunjung di dapati. Gibran begitu kacau, penampilannya begitu kusut dengan rambut yang berantakan. Gibran tidak munafik, sungguh dirinya tidak mau sesuatu yang buruk terjadi kepada Irana. Bagaimanapun gadis itu tetap menjadi pilihan dalam hatinya.Gibran duduk di dalam mobilnya dengan lesu, ia sesekali memijat pangkal hidungnya untuk mengusir rasa pusing yang melanda dirinya. Mobil BMW keluaran terbarunya itu parkir di tepi jalan, dengan situasi yang sepi membuatnya sedikit bisa mengistirahatkan dirinya. Jalanan yang sepi nan gelap itu membuat Gibran memilih menepikan mobilnya disana.“Irana sebenarnya kemana kamu? Siapa yang membawamu, hah?” lirih Gibran. Di