Tania menunjukan ekpresi kesalnya. Dia melihat Gibran dengan tatapan marah.
"Kau bilang Rio yang menentukan pilihan? Jelas-jelas dia akan memilihku! Mana mungkin jalang sepertinya dipilih!" seru Tania dengan menunjuk kasar wajah Irana. Sorot matanya begitu tajam penuh amarah dan benci.Irana yang menyadarai kedatangan Rio hanya bisa meremas seprai. Rasa sesak dan rasa sakit menyatu sempurna di dalam hatinya. Air matanya hampir saja terjatuh, Irana hanya pura-pura tegar dengan mata yang terasa panas.Irana tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menatap Rio dengan penuh harap sekaligus benci. Melihat Irana yang mematung seperti itu Tania pun mengikuti arah tatapan Irana dan ia pun melihat Rio yang kini melihat ke arahnya."Sayang! Jelaskan semua ini!" Tania sontak langsung menghampiri Rio dan memegang tangan Rio."Sayang! Apa ini? Cepat perjelas!" desaknya lagi. Wajahnya begitu kesal, Rio pun menyadari hal itu.Gibran yang berada di ruangan itu hanya bisa gerak cepat membantu Irana untuk menjaga kondisinya. Gibran sebenarnya bisa saja memukul Rio, ia juga merasa kesal dengan perbuatan temannya yang jelas-jelas menyakiti Irana."Tunggu sampai keadaan Irana membaik, akan aku beri pelajaran kau Rio!" batin Gibran sambil membenarkan impusan yang sudah berantakan."Kamu jelas-jelas pilih aku kan, Sayang?" Tania masih bersikukuh bertanya kepada Rio.Tatapan Rio masih kosong. Dia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Disatu sisi ia sangat mencintai Irana tetapi ia tidak munafik Tania begitu sempurna untuknya apalagi gadis itu mendukung perusahaannya sepenuhnya."Ri-rio?" Dengan bergetar Irana memanggil nama kekasihnya itu.Rio pun memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Dia memegang erat tangan Tania lalu berjalan ke arah Irana dan Gibran yang sedang memperhatikannya dari jarak yang cukup jauh."Kamu pasti tidak akan meninggalkanku kan Rio? Ka-kamu pasti akan menikahiku, kan?" lirih Irana. Gadis itu sudah tidak mampu menahan air matanya."Katanya dia istrimu? Lalu aku bagaimana Rio?" ujar Irana lagi. Gadis itu menyeka air matanya dan berkata dengan tegas."Kamu tidak boleh meninggalkanku. Kamu sudah berjanji akan menjadikanku ratu dalam hidupmu. Apa kamu lupa?!" seru Irana. Dia mulai meninggikan suaranya.Gibran memperhatikan semuanya dengan baik. Dia yang tidak harus berbuat apa hanya bisa melerai jika nanti terjadi kericuhan.Tania, gadis itu malah tersenyum tipis. Kemudian dia dan Rio yang sudah berdiri di dekat Irana pun seketika mendekat ke arah Rio.Cup!Tania mencium pipi Rio dengan mesra. Ia mendekatkan bibirnya lalu berbisik tepat di telinga Rio.Melihat hal itu Irana pun marah. Dia mencoba bangkit dan mendekat ke arah Rio."Wanita murahan!" bentak Irana.Irana berhasil mendorong Tania dengan sekuat tenaganya. Saat itu Tania yang belum siap menerima serangan dari Irana pun langsung tersungkur."Tania!" teriak Rio."Aww," ringis Tania sambil memegangi lengannya yang terbentur nakas.Melihat Tania didorong dengan keras. Amarah Rio pun memuncak. Lelaki itu langsung menarik lengan Irana dengan kasar.Rio dengan kasar menekan kedua pipi Irana. Rio membuat Irana begitu takut."Apa yang kau lakukan gadis bodoh!? Sudah kubilang gugurkan kandunganmu itu! Aku tidak menginginkan anak dari gadis miskin sepertimu, cuih!"Gibran sudah berjaga-jaga untuk menghindari hal yang tidak diinginkan "Rio, kau jangan kasar kepadanya. Ingat itu anakmu sialan!" seru Gibran dengan kesal.Setelah mengatakan hal itu Rio pun melepaskan cengkramannya. Dia melirik Gibran lalu tersenyum kecut kepada sahabatnya itu."Ambil saja gadis kotor ini! Aku sudah puas memakainya," ucap Rio sambil mendorong Irana ke arah Gibran.Kata orang cinta itu bisa membuatmu mendapatkan segalanya namun tidak banyak yang sadar bahwa cinta sebenarnya adalah racun yang dikemas sedemikian indah.Selepas mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya kepada Irana, Rio segera membawa Tania pergi dari ruangan itu. Di ruangan Irana hanya tersisa Gibran yang sudah mati-matian menahan amarah yang bergejolak dihatinya. Gibran enggan menunjukan kemarahannya di depan Irana karena itu akan memperburuk keadaan gadis itu. "Irana, sudahlah jangan menangisi lelaki itu. Kau pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari Rio."Irana kini sedang menangis. Dia meremas kuat seprai kasurnya dengan tubuh yang bergetar. Ia berada di posisi yang sangat terpuruk, Irana benar-benar dalam keadaan yang paling bawah. "Pria brengsek!" seru Irana dengan semakin kuat meremas seprainya."Arrghh!" Irana berteriak begitu keras untuk melepaskan semua sesak di dadanya. "Tu_han," lirih Irana. Dengan putus asa Irana menarik rambut panjangnya sendiri.Irana menan
"Aku rindu Ibu," ucap Irana. Dia berulang kali mengucapkan hal yang sama.Gibran yang tidak tega dengan keadaan Irana pun memilih untuk segera pergi. Dia membereskan tugasnya sebagai dokter kemudian ia berjalan ke arah pintu dan segera keluar dari ruangan itu. Hakikatnya manusia perlu seseorang untuk mencurahkan keluh kesahnya. Disadari atau tidak semuanya pasti pernah merasakannya. Irana yang malang, di usianya yang cukup belia dia sudah berada di dalam masalah yang besar. Ia harus menanggung beban sendirian. Perbuatannya membuat hidupnya sengsara dan semuanya tiada lain atas keinginannya sendiri. ****Di tempat lain.Di rumah Tania yang berada di megahnya ibu kota. Seorang Tania terlihat sibuk menghisap rokok, ia mengkonsumsi rokok dengan begitu tenang bahkan ia melakukannya di depan suaminya. Rio, yang sedang berada di dekat Tania hanya bisa pasrah. Sesekali ia melirik istrinya itu dengan tatapan yang hampa. Tania memang sangat cantik. Wajahnya begitu bersih nan sangat teraw
Satu minggu kemudian. Semua sudah berlalu. Masalah Irana kian mereda, kondisinya pun kian membaik. Namun sampai detik ini Irana masih hidup dengan bantuan Gibran. Irana tinggal di rumah orang tuanya Gibran. Setelah negoisasi yang panjang dan cukup sulit Gibran akhirnya mampu membawa Irana. Gibran bahkan berhenti dinas dari rumah sakit tempat Irana sempat dirawat. Alasannya sederhana, ia tahu bahwa rumah sakit itu sejatinya milik Rio. Apakah Gibran akan mengalami kesulitan hidup setelah ia keluar dari rumah sakit tempatnya bekerja? Jawabannya tentu tidak. Dia yang notabennya berasal dari keluarga yang berkecimbung di dunia kesehatan tentu membuatnya mudah bekerja dimanapun. Gibran pun sebenarnya mempunyai rumah sakit yang bisa saja ia tarik kembali. "Makanlah, ini akan membuat bayi di kandunganmu sehat." Dengan begitu ramah dan telaten Gibran memberi Irana nasi lengkap dengan sayur beningnya. Ibunya Gibran yang melihat itu hanya tersenyum, ibu Sinta dan pak Geo saling menatap deng
Kedatangan sosok yang tidak diundang sontak membuat Irana kikuk. Apalagi setelah mendengar Syaila mengatakan bahwa ia adalah pembantu yang diajak makan bersama. "Syaila!" tegur Gibran dengan sedikit ketus. "Apa Sayang?" sahur Syaila sambil duduk di dekat Gibran. "Dia bukan pembantu Sayang. Dia temannya Gibran, dia pasiennya." Dengan cepat bu Sinta menjawab Syaila. Syaila yang mempunyai tatapan sinis itu melirik Irana yang sedang terdiam sambil memainkan sendok dan garpunya. "Oh pasiennya kamu ya Sayang? Kok enggak bilang-bilang sih?" Syaila terus menerus sengaja berbicara seperti itu kepada Girban. Dia merubah suaranya menjadi manja. Bahkan dengan sengaja ia terus menyebut Gibran dengan sebutan sayang. Syaila pun melihat penampilan Irana dari atas sampai bawah. Irana yang berpenampilan sederhana itu cukup dibuat malu oleh Syaila. Namun dibalik semua itu Irana hanya bisa menahan kesalnya saat ada orang yang mengint
"Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, atau mempersilakan. Yang pertama adalah keberanian, yang kedua adalah pengorbanan." (Salim A. Fillah)****Perginya Gibran dari ruang makan tentu menjadi boomerang bagi Syaila. Gadis itu hanya bisa makan dengan kekesalan luar biasa dihatinya. Gibran yang menyusul Irana ke dapur akhirnya dapat melihat lagi Irana. Gadis itu sedang membersihkan piring yang sebelumnya sudah ia gunakan. "Letakan piring kotor itu disana Irana. Biarkan Mbak Puni yang membersihkannya!" seru Gibran. Irana pun menghentikan kegiatannya tetapi ia tidak membalikan tubuhnya untuk saling berhadapan dengan Gibran. "Jangan pikirkan ucapan Syaila. Dia memang selalu asal bicara." Masih dengan lembut Gibran mengatakan semua hal yang baginya harus diucapkan. Irana yang masih bersikukuh enggan membalikan tubuhnya. Dia mencoba untuk menghapus air matanya. "Irana?" panggil Gibran dengan lembut. Lelaki itu masih tetap dalam prinsipnya. Dia tidak pernah me
Siapa yang tidak bahagia saat kita mendapatkan orang yang selalu ada untuk kita. Irana dengan senang memakan rendang dari Gibran. Tidak lupa Irana mengucapkan rasa syukurnya kepada lelaki yang selalu ada untuknya itu. "Pelan-pelan makannya dan jangan terlalu banyak ya soalnya tidak baik untuk kesehatanmu," ungkap Gibran dengan lembut. Syaila yang masih berada di tempat persembunyiannya seketika mengepalkan tangannya. Sungguh ia tidak senang dengan kedekatan dua orang itu. Syaila dengan kesal menatap Irana dari kejauhan. Di dalam amarah yang ia rasa Syaila tiba-tiba tersenyum licik seraya memandang remeh Irana. "Baiklah. Sepertinya aku punya mainan baru!" seru Syaila. Kemudian ia pun pergi menjauhi dapur. Irana adalah gadis yang tahu diri, dia hanya dibutakan cinta oleh orang yang benar-benar menguras emosi dan tenaganya. Irana sebenarnya berasal dari keluarga yang baik. Namun bertemunya ia dengan Rio membuatnya melupakan orang tuanya. Ibunya yang merawatnya sejak kecil malah ia
Hari demi hari dilalui Irana di rumah ibunya Gibran. Meski dengan sedikit tidak enak hati Irana terus bertahan di rumah itu. Bukan tanpa alasan, ia mencari tempat aman untuk melanjutkan hidup. Lebih tepatnya untuk menjaga anaknya. Usia kandungan Irana sudah memasuki bulan ke empat. Kini perutnya pun semakin terlihat berisi. Ibunya Gibran yang berpenampilan islami nan modis sebenarnya tidak sepemikiran yang sama dengan Irana. Gadis itu malah suka memakai pakaian pendek dan tentunya tanpa hijab. Ibunya Gibran masih bisa menerima Irana dengan baik. Selama ini dia menganggap Irana sebagai bagian dari keluarga mereka apalagi setelah mendengar kisah gadis itu dari Gibran. Seperti pada hari ini, Irana terlihat di sebuah mall ternama di ibu kota. Irana memakai dres berwarna cokelat muda dengan tas kecil yang ia pakai membuat dirinya terlihat lebih muda. Wajahnya cantik apalagi dengan tahi lalat yang ada di dekat matanya. "Ini bagus untuk kamu Irana," ujar bu Sinta sambil menunjukan dres p
Rio semakin kesal. Bak di tikam dari belakang Rio begitu kaget saat mendengar perusahaan besar itu telah diambil alih oleh Gibran. Di ruangan kerjanya itu Rio sibuk memikirkan solusi apa yang harus ia ambil. Sampai kapanpun Rio tidak mungkin membiarkan perusahaannya sampai bangkrut. Perusahaan yang telah diambil alih Gibran bukanlah perusahaan kecil. Perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas itu tentu menjadi daya tarik yang kuat dalam dunia yang penuh teknologi ini. Rio memijat pangkal hidungnya dengan sangat lesu. Dia begitu bingung dengan apa yang harus ia lakukan lagi. Hidup di negeri orang juga menyulitkan dirinya mengendalikan perusahaannya yang ada di dalam negeri. Meskipun dia mempunyai bisnis selain di Indonesia, Rio tidak mempunyai hak sepenuhnya atas hal itu. Selebihnya dia masih bergantung kepada Tania. "Sejak kapan perusahan itu pindah alih, Dion? Argh sial!" Rio tidak henti terus mengumpat.Dion dengan cepat menjawab pertanyaan bosnya itu "Sejak tiga bulan ya