Sudah dua hari Irana dirawat di rumah sakit. Namun Rio tak kunjung datang menjenguknya lagi.
Irana semakin waswas dengan perkataan terakhir Rio perihal ibunya. Irana pun sangat menyesal tidak mendengarkan perkataan ibunya, dan kini ia merasakan akibatnya."Ibu, maafkan Irana Bu," Irana memejamkan matanya seraya terus memanggil ibunya.Gibran, dokter yang menangani Irana tentu merasa iba. Dia adalah orang yang tampan nan pengertian dan menurutnya perbuatan Rio sangatlah buruk.Gibran yang semula berdiri di ujung pintu segera mendekat ke arah ranjang Irana."Irana bagaimana kabarmu? Apa ada keluhan untuk hari ini?" tanya Gibran dengan ramah.Irana menggelengkan kepalanya lalu membuka matanya "Tidak ada keluhan apapun Dokter. Yang sakit itu bukan ragaku tapi hatiku," ujar Irana.Girban terkesima mendengar jawaban Irana. Dia menangkap sesuatu dari apa yang diucapkan Irana."Apa aku bisa membantumu? Mungkin aku bisa meringankan bebanmu Irana," ujar Gibran.Irana melirik dokter itu. Dia menatap Gibran dengan penuh harap."Kau yakin ingin membantuku Dokter?"Gibran duduk di kursi dekat ranjang Irana lalu menganggukan kepalanya "Tentu. Jika kamu butuh bantuanku. Aku siap sedia ada untukmu."Irana tersadar setidaknya ada orang baik di dunia ini "Tapi Dok, bagaimana dengan Rio? Apa kamu membantuku karena kamu melihat temanmu itu?""Tidak! Dia sudah bukan lagi temanku Irana. Lelaki yang tidak menjaga wanitanya dengan baik, lelaki yang malah merebut mahkota wanitanya tanpa ikatan yang sah adalah seorang lelaki yang pengecut."Irana memalingkan wajahnya. Dia malu, apa yang dikatakan Gibran memang benar. Dokter Gibran secara tidak langsung sudah memberinya sebuah tamparan keras tentang perbuatannya."Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu Irana. " Merasa Irana menunjukan ekpresi yang berbeda, Gibran pun menyadari ucapannya terlalu kasar kepada Irana."Tidak apa-apa. Apa yang Dokter katakan memang ada benarnya juga, aku bukanlah gadis yang suci. Aku hanyalah gadis kotor dan bodoh yang memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada lelaki sepertinya," ujar Irana dengan tersenyum pahit.Gibran memalingkan wajahnya, entah mengapa hatinya merasakan hal yang aneh saat melihat keadaan Irana yang buruk."Dokter, kamu adalah temannya Rio dan setidaknya kamu mengetahui sedikit hal tentangnya, kan?"Gibran sudah paham dengan arah pembicaraan Irana dan ia hanya bisa terdiam sambil menunggu Irana untuk melanjutkan perkataannya."Setidaknya kamu tau siapa gadis yang selama ini bersama Rio, selain diriku tentunya."Gibran sudah menyangka bahwa Irana akan mempertanyakan hal ini. Tetapi melihat kondisi Irana tentu membuat Gibran dilema."Aku mohon Dokter katakan saja semua hal yang kamu tau tentang Rio. Apapun itu!" desak Irana.Gibran menatap gadis si pemilik mata cokelat itu, ada luka yang terlihat di tatapan Irana. Gibran dengan terpaksa mengalihkan pembicaraan."Ah Irana apa kamu lupa tidak meminum vitamin mu? Lihat! Botol vitaminmu masih utuh," ujar Gibran. Dia mengambil sebuah botol yang ada di atas nakas di dekatnya.Irana melihat botol vitamin itu lalu melirik Gibran yang sedang menatapnya tajam."Kamu tidak boleh lupa meminumnya Irana. Ini bukan soal dirimu saja melainkan bayimu juga. Kamu harus ingat itu," Gibran mengerutkan keningnya seolah olah dirinya sedang jengkel."Ta-pi Dok!""Lupakan tentang Rio. Sekarang minumlah dulu vitamin ini. Nanti aku akan kesini lagi untuk memeriksanya," Gibran pun pergi dengan tergesa gesa meninggalkan Irana yang sedang menahan penasarannya tentang status Rio bersama gadis yang ia lihat beberapa hari yang lalu.****Di sebuah rumah berwarna putih dengan halamannya yang terbilang luas terlihat seorang gadis sedang berdiri sambil memandangi kolam. Di belakangnya ada seorang lelaki dengan penutup wajah yang ia kenakan, lelaki bertopeng itu menunggu gadis itu untuk memberikan tugas kepadanya."Cari tau dimana Rio sekarang dan perhatikan apa yang dia sembunyikan dariku selama ini! Jika ada gadis lain yang ia sembunyikan dariku, maka perintahnya hanya satu. Singkirkan dia!" ujar gadis yang memakai dres hitam di atas lutut itu dengan dingin.Lelaki bertopeng itu menunduk dan membungkukan badannya "Baik nona, apa yang anda perintahkan akan saya lakukan," jawabnya.Tania, gadis cantik yang secara sah adalah istri dari Rio itu sedang menyusun rencana. Sikap aneh yang ditunjukan suaminya akhir-akhir ini membuatnya curiga.Tania mendekap tubuhnya sendiri, ia memandang kolam dengan senyuman manis namun penuh arti.Namun, baru saja ia akan masuk ke dalam rumahnya. Seseorang tiba-tiba mendekap tubuhnya dan memeluknya dari belakang."Sayang, aku rindu!" Suara parau Rio itu membuat Tania sontak tersenyum lebar.Tania pun membalikan tubuhnya dan menatap suaminya dengan penuh cinta "Sayang, kamu kemana saja dua hari ini?" tanya Tania dengan memajukan bibirnya sebagai pertanda bahwa ia sedang kesal."Maaf Sayang. A-aku sedang sibuk dengan bisnis di luar kota," balas Rio dengan santainya. Padahal selama dua hari itu dirinya sibuk menenangkan diri di rumah pribadinya.Tania mencium aroma yang tidak asing untuknya. Tania pun lebih mendekati Rio dan sontak memukul dada bidang suaminya."Ish kau mabuk!" Tania menatap Rio dengan tatapan tidak suka.Rio tidak mau memperpanjang urusannya. Dia dengan sigap menarik Tania untuk masuk ke dalam rumah dan menarik lengan istri sahnya itu sampai ke dalam kamar."Sudah lama aku tidak memberimu nafkah batin Sayangku," bisik Rio tepat di telinga Tania.Mendengar suara parau suaminya jelas membuat Tania menelan ludahnya sendiri dan dengan senyum liciknya Tania mendorong Rio ke atas ranjang."Astaga Suamiku ini ternyata sangat bertanggung jawab untuk semua kewajiban dan haknya," ucap Tania dengan memainkan jari jemarinya di atas dada Rio."Tentu Irana, aku sangat merindukanmu sungguh!" Rio menghentikan tangan nakal Tania lalu menciummya penuh cinta dengan tanpa sadar dirinya salah menyebutkan nama. Bukan Tania yang ia sebut melainkan Irana.Tania yang mendengar suaminya menyebut nama gadis lain di hadapannya tentu sangat marah. Dia tidak bisa menerima hal itu."Apa katamu Rio?! Nama siapa yang kau sebutkan tadi hah?!" teriak Tania. Dia membuat Rio seketika tersadar dan langsung bangkit dari posisinya.Tania begitu marah, napasnya menggebu gebu dengan mata yang menampilkan kekesalan yang luar biasa. Rio yang menyadari kesalahannya langsung mendekati Tania dan berusaha menjelaskan semuanya."Sayang kau salah dengar. Percayalah aku menyebut namamu, jika bukan namamu maka nama siapa lagi yang akan sebut?" Dia memegang tangan Tania dan beberapa kali menciumnya."Kau menyebut nama Irana. Bukan Tania!" sanggah Tania dengan menarik tangannya.Tania berusaha membuka pintu kamar yang terkunci itu namun ia tidak berhasil melakukannya karena Rio memeluknya begitu erat."Sayang kau mungkin lelah jadi salah dengar. Ayolah jangan nodai hari kita dengan kesalahpahaman seperti ini Sayang, aku bersumpah tidak ada gadis lain selain dirimu."Tania mulai tertarik dengan apa yang dilakukan Rio. Suaminya itu memeluknya erat sambil mencium rambutnya, siapa yang tidak akan luluh jika diperlakukan seperti itu?"Apa kamu tidak sedang berbohong?" Tania memastikan semuanya dengan tegas.Rio dengan semangat menganggukan kepalanya "Tentu. Jikalau ada gadis lain pun pasti sudah aku tinggalkan demi hidup bersamamu."Tania tersenyum licik. Matanya tajam seolah berbicara bahwa Tania sedang merencanakan sesuatu."Jika memang seperti itu aku percaya kepadamu Suamiku," Tania membalas pelukan Rio dengan tidak kalah erat.Dalam pelukan itu Tania menatap wajahnya yang terlihat di cermin. Sorot matanya begitu tajam memandang dirinya sendiri."Irana! Oh ternyata itu nama gadis yang membuatmu sampai mabuk seperti ini Rio? Dia yan membuatmu sering menolak menghabiskan waktu denganku?" batin Tania.Kesalahan besar yang dilakukan Rio justru menjadi pemicu Tania berbuat nekat. Tania memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari keberadaan gadis itu. Dia enggan di duakan dan sampai kapanpun dia tidak rela untuk berbagi. Tania duduk di sebuah kursi, dengan foto dan beberapa berkas yang sudah dia pegang. "Kerja bagus. Kau boleh pergi sekarang!" titah Tania dengan melambaikan tangannya. Dua orang bodyguard itu menurut lalu meninggalkan Tania seorang diri di dalam ruangan yang hanya diterangi oleh lilin. Tania memperhatikan foto itu dengan seksama. Dia suka dengan penampilan gadis itu namun ia membencinya mulai detik ini."Akan aku pastikan dirimu itu akan hidup menderita Irana!" Dengan meremas foto itu Tania menahan amarahnya yang kian memuncak. Pagi hari ini Tania sudah menemukan gadis itu beserta foto dan juga identitasnya. Apa yang dia dapatkan jelas mempermudah dirinya untuk bermain dengan Irana. Tania merobek semua kertas yang ada di tangannya. Dengan matanya yang tajam Ta
Tania menunjukan ekpresi kesalnya. Dia melihat Gibran dengan tatapan marah."Kau bilang Rio yang menentukan pilihan? Jelas-jelas dia akan memilihku! Mana mungkin jalang sepertinya dipilih!" seru Tania dengan menunjuk kasar wajah Irana. Sorot matanya begitu tajam penuh amarah dan benci. Irana yang menyadarai kedatangan Rio hanya bisa meremas seprai. Rasa sesak dan rasa sakit menyatu sempurna di dalam hatinya. Air matanya hampir saja terjatuh, Irana hanya pura-pura tegar dengan mata yang terasa panas. Irana tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menatap Rio dengan penuh harap sekaligus benci. Melihat Irana yang mematung seperti itu Tania pun mengikuti arah tatapan Irana dan ia pun melihat Rio yang kini melihat ke arahnya. "Sayang! Jelaskan semua ini!" Tania sontak langsung menghampiri Rio dan memegang tangan Rio. "Sayang! Apa ini? Cepat perjelas!" desaknya lagi. Wajahnya begitu kesal, Rio pun menyadari hal itu. Gibran yang berada di ruangan itu hanya bisa gerak cepat membantu I
Kata orang cinta itu bisa membuatmu mendapatkan segalanya namun tidak banyak yang sadar bahwa cinta sebenarnya adalah racun yang dikemas sedemikian indah.Selepas mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya kepada Irana, Rio segera membawa Tania pergi dari ruangan itu. Di ruangan Irana hanya tersisa Gibran yang sudah mati-matian menahan amarah yang bergejolak dihatinya. Gibran enggan menunjukan kemarahannya di depan Irana karena itu akan memperburuk keadaan gadis itu. "Irana, sudahlah jangan menangisi lelaki itu. Kau pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari Rio."Irana kini sedang menangis. Dia meremas kuat seprai kasurnya dengan tubuh yang bergetar. Ia berada di posisi yang sangat terpuruk, Irana benar-benar dalam keadaan yang paling bawah. "Pria brengsek!" seru Irana dengan semakin kuat meremas seprainya."Arrghh!" Irana berteriak begitu keras untuk melepaskan semua sesak di dadanya. "Tu_han," lirih Irana. Dengan putus asa Irana menarik rambut panjangnya sendiri.Irana menan
"Aku rindu Ibu," ucap Irana. Dia berulang kali mengucapkan hal yang sama.Gibran yang tidak tega dengan keadaan Irana pun memilih untuk segera pergi. Dia membereskan tugasnya sebagai dokter kemudian ia berjalan ke arah pintu dan segera keluar dari ruangan itu. Hakikatnya manusia perlu seseorang untuk mencurahkan keluh kesahnya. Disadari atau tidak semuanya pasti pernah merasakannya. Irana yang malang, di usianya yang cukup belia dia sudah berada di dalam masalah yang besar. Ia harus menanggung beban sendirian. Perbuatannya membuat hidupnya sengsara dan semuanya tiada lain atas keinginannya sendiri. ****Di tempat lain.Di rumah Tania yang berada di megahnya ibu kota. Seorang Tania terlihat sibuk menghisap rokok, ia mengkonsumsi rokok dengan begitu tenang bahkan ia melakukannya di depan suaminya. Rio, yang sedang berada di dekat Tania hanya bisa pasrah. Sesekali ia melirik istrinya itu dengan tatapan yang hampa. Tania memang sangat cantik. Wajahnya begitu bersih nan sangat teraw
Satu minggu kemudian. Semua sudah berlalu. Masalah Irana kian mereda, kondisinya pun kian membaik. Namun sampai detik ini Irana masih hidup dengan bantuan Gibran. Irana tinggal di rumah orang tuanya Gibran. Setelah negoisasi yang panjang dan cukup sulit Gibran akhirnya mampu membawa Irana. Gibran bahkan berhenti dinas dari rumah sakit tempat Irana sempat dirawat. Alasannya sederhana, ia tahu bahwa rumah sakit itu sejatinya milik Rio. Apakah Gibran akan mengalami kesulitan hidup setelah ia keluar dari rumah sakit tempatnya bekerja? Jawabannya tentu tidak. Dia yang notabennya berasal dari keluarga yang berkecimbung di dunia kesehatan tentu membuatnya mudah bekerja dimanapun. Gibran pun sebenarnya mempunyai rumah sakit yang bisa saja ia tarik kembali. "Makanlah, ini akan membuat bayi di kandunganmu sehat." Dengan begitu ramah dan telaten Gibran memberi Irana nasi lengkap dengan sayur beningnya. Ibunya Gibran yang melihat itu hanya tersenyum, ibu Sinta dan pak Geo saling menatap deng
Kedatangan sosok yang tidak diundang sontak membuat Irana kikuk. Apalagi setelah mendengar Syaila mengatakan bahwa ia adalah pembantu yang diajak makan bersama. "Syaila!" tegur Gibran dengan sedikit ketus. "Apa Sayang?" sahur Syaila sambil duduk di dekat Gibran. "Dia bukan pembantu Sayang. Dia temannya Gibran, dia pasiennya." Dengan cepat bu Sinta menjawab Syaila. Syaila yang mempunyai tatapan sinis itu melirik Irana yang sedang terdiam sambil memainkan sendok dan garpunya. "Oh pasiennya kamu ya Sayang? Kok enggak bilang-bilang sih?" Syaila terus menerus sengaja berbicara seperti itu kepada Girban. Dia merubah suaranya menjadi manja. Bahkan dengan sengaja ia terus menyebut Gibran dengan sebutan sayang. Syaila pun melihat penampilan Irana dari atas sampai bawah. Irana yang berpenampilan sederhana itu cukup dibuat malu oleh Syaila. Namun dibalik semua itu Irana hanya bisa menahan kesalnya saat ada orang yang mengint
"Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, atau mempersilakan. Yang pertama adalah keberanian, yang kedua adalah pengorbanan." (Salim A. Fillah)****Perginya Gibran dari ruang makan tentu menjadi boomerang bagi Syaila. Gadis itu hanya bisa makan dengan kekesalan luar biasa dihatinya. Gibran yang menyusul Irana ke dapur akhirnya dapat melihat lagi Irana. Gadis itu sedang membersihkan piring yang sebelumnya sudah ia gunakan. "Letakan piring kotor itu disana Irana. Biarkan Mbak Puni yang membersihkannya!" seru Gibran. Irana pun menghentikan kegiatannya tetapi ia tidak membalikan tubuhnya untuk saling berhadapan dengan Gibran. "Jangan pikirkan ucapan Syaila. Dia memang selalu asal bicara." Masih dengan lembut Gibran mengatakan semua hal yang baginya harus diucapkan. Irana yang masih bersikukuh enggan membalikan tubuhnya. Dia mencoba untuk menghapus air matanya. "Irana?" panggil Gibran dengan lembut. Lelaki itu masih tetap dalam prinsipnya. Dia tidak pernah me
Siapa yang tidak bahagia saat kita mendapatkan orang yang selalu ada untuk kita. Irana dengan senang memakan rendang dari Gibran. Tidak lupa Irana mengucapkan rasa syukurnya kepada lelaki yang selalu ada untuknya itu. "Pelan-pelan makannya dan jangan terlalu banyak ya soalnya tidak baik untuk kesehatanmu," ungkap Gibran dengan lembut. Syaila yang masih berada di tempat persembunyiannya seketika mengepalkan tangannya. Sungguh ia tidak senang dengan kedekatan dua orang itu. Syaila dengan kesal menatap Irana dari kejauhan. Di dalam amarah yang ia rasa Syaila tiba-tiba tersenyum licik seraya memandang remeh Irana. "Baiklah. Sepertinya aku punya mainan baru!" seru Syaila. Kemudian ia pun pergi menjauhi dapur. Irana adalah gadis yang tahu diri, dia hanya dibutakan cinta oleh orang yang benar-benar menguras emosi dan tenaganya. Irana sebenarnya berasal dari keluarga yang baik. Namun bertemunya ia dengan Rio membuatnya melupakan orang tuanya. Ibunya yang merawatnya sejak kecil malah ia