Share

Bab 4. Rencana Tania

Sudah dua hari Irana dirawat di rumah sakit. Namun Rio tak kunjung datang menjenguknya lagi.

Irana semakin waswas dengan perkataan terakhir Rio perihal ibunya. Irana pun sangat menyesal tidak mendengarkan perkataan ibunya, dan kini ia merasakan akibatnya.

"Ibu, maafkan Irana Bu," Irana memejamkan matanya seraya terus memanggil ibunya.

Gibran, dokter yang menangani Irana tentu merasa iba. Dia adalah orang yang tampan nan pengertian dan menurutnya perbuatan Rio sangatlah buruk.

Gibran yang semula berdiri di ujung pintu segera mendekat ke arah ranjang Irana.

"Irana bagaimana kabarmu? Apa ada keluhan untuk hari ini?" tanya Gibran dengan ramah.

Irana menggelengkan kepalanya lalu membuka matanya "Tidak ada keluhan apapun Dokter. Yang sakit itu bukan ragaku tapi hatiku," ujar Irana.

Girban terkesima mendengar jawaban Irana. Dia menangkap sesuatu dari apa yang diucapkan Irana.

"Apa aku bisa membantumu? Mungkin aku bisa meringankan bebanmu Irana," ujar Gibran.

Irana melirik dokter itu. Dia menatap Gibran dengan penuh harap.

"Kau yakin ingin membantuku Dokter?"

Gibran duduk di kursi dekat ranjang Irana lalu menganggukan kepalanya "Tentu. Jika kamu butuh bantuanku. Aku siap sedia ada untukmu."

Irana tersadar setidaknya ada orang baik di dunia ini "Tapi Dok, bagaimana dengan Rio? Apa kamu membantuku karena kamu melihat temanmu itu?"

"Tidak! Dia sudah bukan lagi temanku Irana. Lelaki yang tidak menjaga wanitanya dengan baik, lelaki yang malah merebut mahkota wanitanya tanpa ikatan yang sah adalah seorang lelaki yang pengecut."

Irana memalingkan wajahnya. Dia malu, apa yang dikatakan Gibran memang benar. Dokter Gibran secara tidak langsung sudah memberinya sebuah tamparan keras tentang perbuatannya.

"Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu Irana. " Merasa Irana menunjukan ekpresi yang berbeda, Gibran pun menyadari ucapannya terlalu kasar kepada Irana.

"Tidak apa-apa. Apa yang Dokter katakan memang ada benarnya juga, aku bukanlah gadis yang suci. Aku hanyalah gadis kotor dan bodoh yang memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada lelaki sepertinya," ujar Irana dengan tersenyum pahit.

Gibran memalingkan wajahnya, entah mengapa hatinya merasakan hal yang aneh saat melihat keadaan Irana yang buruk.

"Dokter, kamu adalah temannya Rio dan setidaknya kamu mengetahui sedikit hal tentangnya, kan?"

Gibran sudah paham dengan arah pembicaraan Irana dan ia hanya bisa terdiam sambil menunggu Irana untuk melanjutkan perkataannya.

"Setidaknya kamu tau siapa gadis yang selama ini bersama Rio, selain diriku tentunya."

Gibran sudah menyangka bahwa Irana akan mempertanyakan hal ini. Tetapi melihat kondisi Irana tentu membuat Gibran dilema.

"Aku mohon Dokter katakan saja semua hal yang kamu tau tentang Rio. Apapun itu!" desak Irana.

Gibran menatap gadis si pemilik mata cokelat itu, ada luka yang terlihat di tatapan Irana. Gibran dengan terpaksa mengalihkan pembicaraan.

"Ah Irana apa kamu lupa tidak meminum vitamin mu? Lihat! Botol vitaminmu masih utuh," ujar Gibran. Dia mengambil sebuah botol yang ada di atas nakas di dekatnya.

Irana melihat botol vitamin itu lalu melirik Gibran yang sedang menatapnya tajam.

"Kamu tidak boleh lupa meminumnya Irana. Ini bukan soal dirimu saja melainkan bayimu juga. Kamu harus ingat itu," Gibran mengerutkan keningnya seolah olah dirinya sedang jengkel.

"Ta-pi Dok!"

"Lupakan tentang Rio. Sekarang minumlah dulu vitamin ini. Nanti aku akan kesini lagi untuk memeriksanya," Gibran pun pergi dengan tergesa gesa meninggalkan Irana yang sedang menahan penasarannya tentang status Rio bersama gadis yang ia lihat beberapa hari yang lalu.

****

Di sebuah rumah berwarna putih dengan halamannya yang terbilang luas terlihat seorang gadis sedang berdiri sambil memandangi kolam. Di belakangnya ada seorang lelaki dengan penutup wajah yang ia kenakan, lelaki bertopeng itu menunggu gadis itu untuk memberikan tugas kepadanya.

"Cari tau dimana Rio sekarang dan perhatikan apa yang dia sembunyikan dariku selama ini! Jika ada gadis lain yang ia sembunyikan dariku, maka perintahnya hanya satu. Singkirkan dia!" ujar gadis yang memakai dres hitam di atas lutut itu dengan dingin.

Lelaki bertopeng itu menunduk dan membungkukan badannya "Baik nona, apa yang anda perintahkan akan saya lakukan," jawabnya.

Tania, gadis cantik yang secara sah adalah istri dari Rio itu sedang menyusun rencana. Sikap aneh yang ditunjukan suaminya akhir-akhir ini membuatnya curiga.

Tania mendekap tubuhnya sendiri, ia memandang kolam dengan senyuman manis namun penuh arti.

Namun, baru saja ia akan masuk ke dalam rumahnya. Seseorang tiba-tiba mendekap tubuhnya dan memeluknya dari belakang.

"Sayang, aku rindu!" Suara parau Rio itu membuat Tania sontak tersenyum lebar.

Tania pun membalikan tubuhnya dan menatap suaminya dengan penuh cinta "Sayang, kamu kemana saja dua hari ini?" tanya Tania dengan memajukan bibirnya sebagai pertanda bahwa ia sedang kesal.

"Maaf Sayang. A-aku sedang sibuk dengan bisnis di luar kota," balas Rio dengan santainya. Padahal selama dua hari itu dirinya sibuk menenangkan diri di rumah pribadinya.

Tania mencium aroma yang tidak asing untuknya. Tania pun lebih mendekati Rio dan sontak memukul dada bidang suaminya.

"Ish kau mabuk!" Tania menatap Rio dengan tatapan tidak suka.

Rio tidak mau memperpanjang urusannya. Dia dengan sigap menarik Tania untuk masuk ke dalam rumah dan menarik lengan istri sahnya itu sampai ke dalam kamar.

"Sudah lama aku tidak memberimu nafkah batin Sayangku," bisik Rio tepat di telinga Tania.

Mendengar suara parau suaminya jelas membuat Tania menelan ludahnya sendiri dan dengan senyum liciknya Tania mendorong Rio ke atas ranjang.

"Astaga Suamiku ini ternyata sangat bertanggung jawab untuk semua kewajiban dan haknya," ucap Tania dengan memainkan jari jemarinya di atas dada Rio.

"Tentu Irana, aku sangat merindukanmu sungguh!" Rio menghentikan tangan nakal Tania lalu menciummya penuh cinta dengan tanpa sadar dirinya salah menyebutkan nama. Bukan Tania yang ia sebut melainkan Irana.

Tania yang mendengar suaminya menyebut nama gadis lain di hadapannya tentu sangat marah. Dia tidak bisa menerima hal itu.

"Apa katamu Rio?! Nama siapa yang kau sebutkan tadi hah?!" teriak Tania. Dia membuat Rio seketika tersadar dan langsung bangkit dari posisinya.

Tania begitu marah, napasnya menggebu gebu dengan mata yang menampilkan kekesalan yang luar biasa. Rio yang menyadari kesalahannya langsung mendekati Tania dan berusaha menjelaskan semuanya.

"Sayang kau salah dengar. Percayalah aku menyebut namamu, jika bukan namamu maka nama siapa lagi yang akan sebut?" Dia memegang tangan Tania dan beberapa kali menciumnya.

"Kau menyebut nama Irana. Bukan Tania!" sanggah Tania dengan menarik tangannya.

Tania berusaha membuka pintu kamar yang terkunci itu namun ia tidak berhasil melakukannya karena Rio memeluknya begitu erat.

"Sayang kau mungkin lelah jadi salah dengar. Ayolah jangan nodai hari kita dengan kesalahpahaman seperti ini Sayang, aku bersumpah tidak ada gadis lain selain dirimu."

Tania mulai tertarik dengan apa yang dilakukan Rio. Suaminya itu memeluknya erat sambil mencium rambutnya, siapa yang tidak akan luluh jika diperlakukan seperti itu?

"Apa kamu tidak sedang berbohong?" Tania memastikan semuanya dengan tegas.

Rio dengan semangat menganggukan kepalanya "Tentu. Jikalau ada gadis lain pun pasti sudah aku tinggalkan demi hidup bersamamu."

Tania tersenyum licik. Matanya tajam seolah berbicara bahwa Tania sedang merencanakan sesuatu.

"Jika memang seperti itu aku percaya kepadamu Suamiku," Tania membalas pelukan Rio dengan tidak kalah erat.

Dalam pelukan itu Tania menatap wajahnya yang terlihat di cermin. Sorot matanya begitu tajam memandang dirinya sendiri.

"Irana! Oh ternyata itu nama gadis yang membuatmu sampai mabuk seperti ini Rio? Dia yan membuatmu sering menolak menghabiskan waktu denganku?" batin Tania.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status