Share

Berusaha Bangkit

Melani sudah merasa sudah cukup memberi waktu tiga hari kepada tubuh dan pikirannya. Hari ini dia kembali ke kantor seperti biasa.

“Selamat pagi, Bu,” sapa Lisa sekretarisnya.

“Pagi, Lisa. Tolong kamu panggilkan manajer keuangan,ya,” kata Melani.

Melani masuk ke ruangannya, tampak kursi Candra masih kosong. Dia tidak peduli lagi akan kehadiran lelaki yang pernah mengisi hati dan mengarungi bahtera rumah tangga bersama.

Tak lama manajer keuangan tiba. Melani mulai menginstruksikan beberapa kebijakan terkait keuangan perusahaan.

“Pak Ramli, setiap transaksi yang mencurigakan dalam nominal besar laporkan ke saya. Trus satu lagi, tolong lantai tujuh buat kantor untuk saya yang besar dan nyaman untuk tamu serta pemegang saham. Besok harus sudah selesai,” perintah Melani.

“Baik, Bu. Saya laksanakan segera, permisi.” Manager Keuangan yang bernama Ramli itu ke luar dari ruangan Melani.

Tiga puluh menit berselang, Candra masuk ke dalam ruangan. Tidak ada tegur sapa atau saling melempar senyum. Melani tampak sibuk dengan berkas yang berada di depannya.

Mereka bekerja tanpa ada berbicara sepatah kata, hingga waktu makan siang tiba Candra ke luar untuk makan siang di cafe perusahaan seperti biasa, sedangkan Melani meminta Lisa untuk membeli makan siang untuknya.

Kesibukan mereka membuat tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Tiba-tiba keributan terjadi di depan ruangan. Melani bersikap tak acuh karena dia mengenali pemilik suara. Ya, siapa lagi kalau bukan Riana.

“Ada apa ini kok ribut-ribut?” tanya Candra kesal.

“Maaf, begini, Pak. Beliau ini ... ,” ucapan Lisa terpotong.

“Sayang, masa dia ga percaya kalo aku ini istri kamu juga. Katanya di sini istri kamu cuma Melani,” potong Riana.

Candra menghela napas dalam, kemudian menarik Riana menuju lift.

“Kamu ngapain sih bikin keributan di sini? Malu tau gak!” hardik Candra.

Riana tidak terima dengan perlakuan sang suami, dia memilih kembali membuat keributan.

“Tega kamu, Mas. Gak ngakuin aku sebagai istri. Malah bentak aku di sini!” pekik Riana.

“Kamu turun, tunggu aku di mobil!” perintah Candra.

Riana yang kesal terpaksa menuruti permintaan Candra. Usai menekan tombol lift Candra meninggalkan Riana kemudian menuju ruangannya.

Lisa tampak sibuk dengan pekerjaannya, tetapi telinganya cukup awas untuk mendengar sayup-sayup pembicaraan Candra,

“Kamu tutup mulut, jangan sampai kejadian ini bocor kemana-mana, atau saya pecat kamu!” ancam Candra.

Tanpa menunggu jawaban dari Lisa, Candra menuju ruangannya. Dia merapikan meja kemudian menonaktifkan laptop kemudian ke luar.

Usai Candra menghilang Lisa pun pamit pulang. Tinggallah Melani sendiri di ruangannya. Manager keuangan pun datang lalu mengajak Melani ke lantai tujuh untuk melihat hasil kerjanya.

“Wah, bagus banget, Pak Ramli. Saya suka,” puji Melani

“Alhamdulillah kalau Ibu suka,” sahut Pak Ramli.

“Kalo gak keberatan, saya minta Bapak sama petugas kebersihan lembur yah. Bantu saya pindah ruangan, untuk sofa tamu sama meja rapat kecil besok aja,” pinta Melani.

Ramli pun setuju untuk menemani atasannya untuk lembur. Diam-diam lelaki itu sudah tahu akan apa yang menimpa Melani.

Pukul sebelas malam usai sudah menata ruangan baru Melani. Kantornya kini tampak apik, elegan dan menampakkan kesan mewah seperti keinginannya. Meja kerja juga sudah berpindah wanita itu tampak puas sekali.

“Baiklah, saya puas sekali dengan hasil kerja hari ini. Kesan buru-buru tapi hasilnya bikin terpukau. Terima kasih sudah menemani saya lembur. Nanti tolong Pak Ramli berikan mereka masing-masing lima ratus ribu rupiah,” cetus Melani.

Enam pegawai yang lembur mengucapkan terima kasih. Senyum terkembang dari bibir menghiasi wajah lelah mereka. Melani kemudian meninggalkan kantor dan menuju rumah.

Tiba di rumah, Bi Surti sudah menyambutnya. Wanita berusia senja itu enggan terlelap jika sang majikan belum kembali.

“Kok gak tidur aja, Bi? Saya bisa kok ngurus diri sendiri,” ucap Melani.

“Ga, Nyonya. Selesai dulu saya melayani baru tidur,” elak Bi Surti.

Bi Surti menyiapkan makan malam yang sudah dipersiapkan serta beberapa minuman yang sekiranya membuat stamina Melani kembali pulih.

Melani menghabiskan makanan yang disajikan, lalu meminum segelas susu. Kemudian ke atas menuju kamar.

Di dalam kamar Melani membersihkan tubuhnya kemudian berbaring melepas rasa penat usai seharian beraktifitas.

Waktu bergulir dengan cepat, kesibukan pagi ini selalu saja berasal dari dapur. Melani bergegas menuju meja makan dan duduk di sana.

“Bi, tolong siapin dua stel pakaian formal sama pakaian santai pake tas bekas belanjaan aja. Buat jaga-jaga kalo bajuku kotor, langsung aja taro di mobil,” perintah Melani.

Melani menyelesaikan sarapan, sementara Bi Surti melaksanakan yang diperintahkan kepadanya dan meletakkan di dalam mobil.

Usai sarapan Melani kembali mematut penampilannya. Kini dia tampak segar dan cantik karena pilihan pakaian serta polesan tipis di wajah yang memperindah tampilannya.

“Cih, ternyata Candra se dungu itu melepasku demi pelakor. Baiklah, aku siap ke pengadilan trus ke kantor,” gumam Melani.

Dia kini bersiap menuju gedung Pengadilan Agama. Gugup dan juga sedih tentu saja merayap di hati Melani yang akan menghadiri sidang perceraian, dengan susah payah dia mengatur wajah serta menata hati agar tidak tampak menyedihkan yang justru akan membuatnya seperti pecundang.

Melani melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih dua puluh menit lagi untuk pukul sebelas siang. Dia duduk di ruang tunggu sambil memandang ponselnya dan memantau perkembangan saham perusahaan. Sapaan seorang pria menghentikan aktifitas menghalau bosan tersebut.

“Maaf saya terlambat, Bu Melani,” sapa Alex Santoso sang pengacara berbasa-basi.

Candra memilih Alex Santoso untuk menjadi pengacara bersama. Pasalnya Alex juga pengacara perusahaan mereka, hal ini mereka butuhkan kelak untuk memisah aset perusahaan di antara keduanya.

Saat berbicara dengan Alex, Candra datang bersama Riana. Dengan tidak tahu malu Riana memamerkan kemesraan dengan sang suami, sementara sang suami merasa besar kepala merasa sebagai lelaki yang diperebutkan oleh dua orang wanita cantik.

“Aw ..., liat deh, Sayang. Dia sengaja tampil makin cantik biar kamu nyesel tuh, iuuuh basi banget trik murahan begitu,” cemooh Riana.

“Biasalah, Sayang. Janda kan emang gitu buat cari mangsa,” sindir Candra.

Melani tersenyum, dia sedang menyusun kalimat pembalasan yang sangat elegan sesuai dengan sifatnya.

“Bener juga ya kata orang. Barang yang terbuka itu bakal diobral jauh lebih murah, gak kayak barang yang segel. Kalian ini sadar gak sih kalo serasi banget loh ternyata, yang satu barang murah sementara yang satu doyan barang yang diobral,” tangkis Melani.

Alex tak kuasa menahan tawa, kemudian segera menutup mulut ketika melihat wajah Candra yang merah padam dengan tangan terkepal. Raut Riana tak kalah masam.

Saat Candra akan membalas perkataan Melani, petugas mengumumkan bahwa Candra, Melani dan pengacaranya untuk masuk ke dalam ruang sidang sesuai jadwal.

Candra meminta Riana untuk menunggu di luar, akan tetapi sang istri menolak dan berjanji akan bersikap baik selama di ruang sidang.

Sidang pertama berjalan lancar, hakim menentukan jadwal sidang berikutnya kemudian Canda dan yang lainnya ke luar ruang sidang. Melani berlalu begitu saja tanpa peduli dengan Candra dan Riana.

“Sombong amat, baru ini ada janda yang santai begitu. Sayang, kamu curiga ga sih? Jangan-jangan emang dia udah punya pengganti kamu,” cibir Riana.

“Kamu bisa diem ga sih? Jangan memperburuk keadaan, taunya ngehina orang doang gak ngaca.” Alex berlalu menyusul Melani.

Wajah Riana merah menahan amarah juga malu karena tidak mendapat dukungan dari sang suami. Dia merasa heran mengapa Candra tidak membela dari ejekan Alex.

“Kok kamu diem aja sih waktu aku di hina Alex itu, dia siapa sih kok kamu sampe gak berani gitu. Dia kan cuma pengacara doang, sok banget,” gerundel Riana.

Candra diam saja. Dalam pikirannya kini sedang memutar otak bagaimana caranya agar sesegera mungkin saham dibagi dan dia bisa segera mendepak Melani dari perusahaan.

Melihat raut serius dari Candra, Riana memilih menutup mulutnya dan berhenti meracau. Dia tidak menguasai bisnis sama sekali bahkan sekedar mempelajari saja dia enggan.

“Kamu balik aja ke rumah, gak usah ke kantor kalo bikin keributan.” Candra meninggalkan Riana begitu saja, dia lupa kalau tadi Riana datang bersamanya.

Candra sudah menghilang dari pandangan, sementara Riana berdiri di depan gedung kemudian menoleh ke kanan dan kiri mencari seseorang yang dia kira akan mengantarnya ke rumah.

Menyadari ditinggal, dia menghubungi Candra. Sialnya panggilan telepon darinya di abaikan begitu saja. Sambil menghentakkan kaki dia memesan sebuah taksi melalui aplikasi.

“Kurang ajar, berani dia ninggalin aku di sana. Mana telepon aku di tolak terus lagi, awas aja nanti kalo udah sampe rumah,” dengus Riana.

Kini Riana sudah berada di sebuah hotel untuk memanjakan diri dengan perawatan tubuh. Dia berencana untuk tidak pulang ke rumah guna memberi pelajaran kepada sang suami.

Sementara itu di tempat lain, Candra terkejut melihat ruangannya terasa lapang. Tidak ada Melani dan juga meja serta barang milik wanita itu di sana.

Ruangan itu tertata sangat rapi dengan meja serta kursi berada tepat di tengah ruangan. Sebuah kamar yang biasa mereka pakai beristirahat pun tampak jelas karena tak lagi tertutup oleh rak milik Melani.

“Loh, ke mana dia pindah?” gumamnya.

Candra menanyakan hal itu kepada Lisa dan mengatakan jika Melani kini berada di lantai tujuh. Lelaki itu bergegas menuju ke sana.

Tampak Melani sedang sibuk di ruangannya, tampak apik dan jauh lebih indah dari miliknya. Tanpa mengetuk pintu dia menerobos masuk dan berkacak pinggang.

“Wah ... enak ya hambur-hamburkan uang perusahaan buat bikin kantor sendiri yang lebih mewah. Udah dapet mangsa baru, ya,” ledek Candra.

Melani mengangkat kepala lalu menghentikan kegiatannya, kemudian tersenyum.

‘Duh senyum itu, bikin aku meleleh,’ batin Candra.

“Pak Candra, kayaknya Anda lupa bagaimana caranya sopan santun ya? Masuk ke ruangan orang gak ketuk pintu trus seenaknya aja menghina orang. Sini saya bantu memulihkan ingatan, Melani Hartawan bukan orang miskin seperti Anda tentunya,” balas Melani telak.

“Kau ...,” ujar Candra.

“Saya Melani Hartawan, lupa ya? Kalo udah selesai kagum sama kantor saya dan gak ada kepentingan, silahkan keluar. Pintu tepat ada di belakang Pak Candra,” usir Melani.

Candra kesal bukan main, dia merasa terhina karena dipermainkan dan diusir oleh Melani.

“Hmm ..., menarik.”

Seorang pria memakai kacamata tebal diam-diam memperhatikan kejadian tersebut tiba-tiba ...

Comments (6)
goodnovel comment avatar
lutfi08
siapa laki-laki berkacamata tebal itu?
goodnovel comment avatar
princeskinan49
dasar candra gak tau diri.
goodnovel comment avatar
Megarita
wah seru nihhh...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status