Share

Kehadiran Juan

“Andre, ngapain di situ? Sini bantuin aku buang sampah,” kata seorang petugas kebersihan.

Andre segera mengikuti petugas tersebut, sebenarnya banyak kejanggalan pada penampilan lelaki yang bernama Andre tersebut, entah mengapa kepala bagian kebersihan meminta untuk tidak terlalu peduli akan hal tersebut.

Melani merasa sangat senang karena sudah memamerkan kantornya kepada Candra tanpa dia harus bersusah payah. Dia juga puas karena sudah menghina lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suami.

Kesibukan kembali menenggelamkan Melani, banyaknya berkas membuat dia lupa waktu, hingga Dewa Juanda sang asisten mengingatkan untuk makan siang.

“Masih banyak berkas yang harus aku periksa, Juan. Beliin makanan dong yang enak,” pungkas Melani.

“Siap, Bos. Mau makan apa nih? Jangan bilang terserah, pusing aku,” kelakar Juan.

Dewa Juanda atau biasa disapa dengan Juan adalah sahabat Melani sedari bangku SMA, hingga bisa berbicara santai  jika tidak ada tamu dan mereka hanya berdua atau bertiga dengan Candra.

“Asal jangan ada udang, kamu kan tau aku alergi,” sahut Melani.

Juan segera memesan beberapa jenis makanan dan juga hidangan penutup serta minuman yang sesuai dengan selera sahabatnya itu. Tidak sampai tiga puluh menit pesanan sampai di ruang tunggu dan Juan pergi menjemput.

“Silakan makan, Tuan Putri,” gurau Juan lagi.

Sebagai sahabat dia tentu tahu jika Melani sedang bermasalah. Namun, dia enggan untuk bertanya jika sahabatnya itu tidak menceritakan. Juan sebaya dengan Melani dan belum menikah hingga saat ini. Cintanya terpendam kepada wanita yang menjadi sahabat sampai detik ini.

“Ayolah makan, masa aku makan sendirian,” ajak Melani.

“Woiya jelas aku makan juga, kan itu ada makanan kesukaan aku, enak aja kamu makan sendiri.” Juan menyodorkan kotak makanan kesukaan Melani.

Melani tertawa lepas melihat tingkah sahabatnya itu, hingga saat ini dia tidak tahu perasaan Juan sebenarnya.

Untuk pertama kali sejak badai prahara rumah tangganya Melani tertawa lepas. Raut wajah bahagia dan sinar matanya sedikit kembali. Juan memandangi keindahan ciptaan Tuhan di depannya sambil sesekali melempar canda dan lelucon ringan.

Satu jam sudah makan siang pun usai. Melani merasa perutnya sangat penuh dengan makanan yang semuanya habis tak bersisa.

“Kamu ini paling pinter milih makanan, apa aja yang kamu pesan buat aku pasti abis aku makan,” puji Melani.

“Iya dong, namanya juga kekuatan semlehong hileng hongkeng,” kata Juan asal.

Melani kembali tertawa hingga tampak deretan gigi yang rapi serta lesung pipi di sebelah kanan.

Juan menatap Melani dengan penuh cinta, ‘ya Tuhan, indah sekali tawa sama senyuman wanita yang aku cintai ini,’ batinnya.

“Baiklah, berhubung waktu makan siang udah abis dan hari makin sore, sebaiknya Tuan Putri lanjut sibuk, karena aku Pangeran kurang kerjaan nan sok sibuk ini mau melakukan ritual di depan laptop.” Juan membereskan kotak makanan dan membuangnya ke tempat sampah.

Tanpa menunggu jawaban dari Melani, dia ke luar ruangan dan kembali ke mejanya yang berada tepat di seberang. Kaca transparan memungkinkan Juan untuk sesekali mencuri pandang pada wanita pujaan hati.

Melani kini kembali tenggelam dengan kesibukanya, hingga pukul empat sore masih saja berkutat dengan berkas dan laptop. Juan berinisiatif untuk ke kantin membeli kopi kegemaran Melani.

Kembali dari kantin, di dalam lift dia bertemu dengan Riana yang sibuk merapikan pakaiannya yang minim dan menatap sinis ke arah Juan.

“Apa liat-liat, kaya ga pernah liat orang cantik aja,” sungut Riana.

Juan tidak peduli dengan Riana hingga lift berhenti di lantai lima. Lelaki itu melipat kening dan memperhatikan ke mana wanita tadi berjalan.

‘Ngapain itu ondel-ondel kesiangan ke kantornya Candra?’ batinnya.

Pintu lift tertutup dan kembali menuju lantai tujuh, sesampainya di meja dia melihat Melani sedang memijat kening. Waktu yang tepat untuk minum kopi, begitu pikirnya.

“Mel, minum kopi yuk. Nih aku bawain buat kamu, ada donat sama Cinnamon Roll kesukaan kamu.” Juan meletakkan kopi dan kue yang dibawanya di atas meja sofa tamu.

Mata Melani berbinar. Keadaan Juan benar-benar membantunya saat ini. Selain menghalau rasa sedih dia juga paham betul apa yang menjadi kesukaannya juga mampu memilih waktu yang tepat.

Melani menggigit kue terlebih dahulu daripada menyeruput kopinya. Memang begitulah kebiasaannya, menyadari di pandangi Juan sedari tadi Melani tersedak.

“Wo ..., pelan-pelan gaes ga bakalan aku minta,” ujar Juan.

Lelaki itu menyodorkan satu botol air mineral yang diambil dari lemari pendingin di ruangan tersebut.

“Kamu ngapain sih ngeliatin aku begitu, kan aku jadi keselek,” gerutu Melani.

“Aku tadi ketemu sama ondel-ondel kesiangan yang ke kantor suamimu. Otakku mulai mikir dari tadi, ada apa sama sahabatku ini? Kenapa sih dia ga berubah dari dulu ga mau cerita bahkan sama aku sahabatnya yang paling ganteng, rupawan seantero jagad ini,” cakap Juan.

Senyum di wajah Melani mendadak sirna. Wajah sendu tampak jelas. Melihat perubahan itu Juan merasa tidak enak hati.  

“Ngeliat muka yang lecek kaya duit buat bayar parkir, ditunda aja kapan-kapan kalo inget,” tandas Juan.

Lelaki itu meninggalkan Melani sendiri. Lagi-lagi dia tersenyum di tengah gempuran suasana hati yang sedang perih.

Tidak mau ambil pusing, dia kembali tenggelam dengan kesibukan hingga kini pukul delapan malam. Juan kembali dan mengajak Melani pulang.

Melani bersiap pulang dan merapikan meja serta memeriksa semua perangkat elektronik di mejanya kalau-kalau ada yang belum di padamkan.

“Mel, kamu capek? Ikut aku yuk!” seru Juan.

“Boleh, yuk lah,” sahut Melani.

Keduanya menuju lahan parkir yang sudah mulai sepi. Mereka mengendarai mobil masing-masing. Juan membawa Melani ke sebuah cafe yang memiliki atap tinggi, tempat itu sangat unik di tengah kota seperti ini. Pemandangan indah dengan lampu khas kehidupan kota.

Melani menatap takjub dan sangat senang dengan pandangan itu, matanya berbinar dan sejenak melupakan penatnya hati,  tubuh serta pikiran.

Wanita itu kembali terkejut ketika dua orang pelayan cafe membawa tiga kotak kembang api. Juan membakar ujung kembang api dan menyerahkannya kepada Melani.

“Kereeen banget, aku suka, Juan,” celetuk Melani.

Juan terus saja membakar kembang api hingga habis. Dia tahu betul jika Melani sangat menyukai kembang api. Mereka kembali menatap indahnya lampu dan kesibukan kota sambil berdiri di besi pembatas.

“Kok kamu bisa tau sih tempat begini? Bagus banget tau. Sering ke sini sama pacar kamu ya,” goda Melani.

“Aku biasa ngabisin waktuku di sini sampe diusir, hahaha,” sahut Juan.

Melani menatap Juan. Lelaki yang ditatap malah gugup. Jantungnya berdegup kencang seolah akan melompat dari dalam. Tangannya sedingin es dan tingkahnya menjadi aneh serta wajah memerah dan telinga terasa panas.

Menutupi gugup, Juan pura-pura batuk dan meminum air. Sayangnya air di dalam gelas menjadi tumpah membasahi wajah serta kemeja karena tangan yang tidak berhenti gemetar.

“Kamu kenapa? Biasanya kamu begitu kalo gugup. Ada apa? Takut ketinggian? Katanya sering ke sini, gimana sih,” resah Melani.

Juan menatap Melani lalu tersenyum kecut. “Dasar gak peka,” gumamnya.

“Hah? Apa? Aku gak denger,” sosor Melani.

“Kamu seneng gak? Udah ilang capeknya?” tanya Juan.

“Aku seneng pake banget. Makasih yah, emang kamu yang terbaik deh,” puji Melani.

Juan tersenyum lalu mengajak Melani pulang.

‘Indah banget malem ini, terima kasih, Tuhan,’ batin Juan berbisik. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status