Mobil putih itu segera melaju meninggalkan parkiran. Dokter Dana masih penasaran dengan orang itu. Tapi jika ia mengejar dengan mobilnya, tetap akan ketahuan kalau dia sedang diikuti, karena dia tentunya sudah mengenali mobil Dokter Dana.Dia menatap layar ponselnya. Dari ponselnya dia dapat mengetahui arah yang dituju mobil tersebut dengan bantuan pelacak yang dipasangnya."Iya, Bos. Ada apa? Apa orangnya sudah terlihat?" ucap Darwin yang terkejut karena dibangunkan oleh Dokter Dana. Dia mengucek matanya yang sudah terbuka lebar namun belum bisa melihat dengan jelas."Ada apa, sih. Lu berisik banget," celetuk Tiara yang ikut terbangun karena suara Darwin yang berisik."Orangnya sudah pergi, tapi saya sudah pasang GPS di mobilnya. Sekarang kamu antar Tiara pulang, saya akan mengejarnya dengan ojek.""Lho, Bos? Kenapa dengan ojek? Kenapa tidak dengan mobil saja? Kalau Bos lelah, biar saya saja yang menyetir." Darwi
Sementara itu, di tempat lain, di sebuah rumah sakit sederhana di perkampungan yang asri, seorang wanita cantik sudah bangun dari tidurnya. Dia melihat ke semua sudut ruangan. Lalu dia terkejut mendengar suara seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana yang sedang menungguinya."Kamu sudah sadar, Nak?"Wanita yang baru sadar itu menautkan kedua alisnya dan bertanya."Di mana saya?" Dia memegang kepalanya yang terasa nyeri. Dia mengingat kembali apa yang terjadi dengan dirinya. Sebelum dia tidak sadarkan diri, dia berjalan dengan suaminya di koridor rumah sakit menuju ke tempat parkir di dampingi beberapa pengawalnya. Lalu saat suaminya menerima panggilan di ponselnya dia melihat Rima menggendong seorang bayi berjalan seperti orang linglung. Dia berniat menghampirinya. Saat itulah ada seseorang yang menyekap mulutnya dengan saputangan dan dengan sigap memasukkannya ke dalam mobil. Saat di dalam mobil dia masih berusaha untuk memanggil suaminya, tapi percuma karena dia tidak lag
Belulm semlpat menjawab pertanyaan Silvia, pintu yang tadinya tertutup tiba-tiba terbuka. Dua orang laki-laki masuk dan mengunci ruangan itu."Apa kabar Silvia?" Seseorang berpakaian Dokter menghampirinya bersama orang yang dikenalnya, yaitu Pazel. Pazel segera memengang pundak ibunya yang terlihat tegang. Karena Dokter itu melihat ada ketegangan di dalam ruangan, dia mencoba mencairkan suasana dengan tertawa. Tapi alih-alih mencairkan suasana, Silvia dan Bu Rohana semakin tegang dan takut. Dokter yang memiliki nama Dokter Anwar itu pun memperkenalkan dirinya."Jangan takut Bu Silvia. Saya bukan Dokter yang jahat. Jika saya Dokter yang jahat, Ibu Silvia tidak akan mengingat apa pun saat ini."Silvia dan Bu Rohana menjadi lega. Dokter Anwar melajutkan kata-katanya lagi setelah melihat wajah Silvia dan Bu Rohana menjadi tenang."Perkenalkan saya Dokter Anwar. Saya sudah degar semuanya. Tadinya saya pikir Ibu adalah orang jahat, sama seperti anak Ibu."Pazel hanya menunduk. Tapi ibunya m
Pazel dan ibunya juga memilih untuk bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Dia tidak mau lagi melakukan kesalahan yang akan dia sesali nantinya. Untuk itu dia memilih untuk tinggal dan bertemu dengan Dokter Dana, apa pun konsekwensinya."Mas! Ibu Rohana, Bang Pazel dan Dokter Anwarlah yang sudah menolong aku. Jika tidak ada mereka, mungkin saat ini aku tidak akan mengenali, Mas. Dan mungkin juga kita tidak akan pernah bertemu."Dokter Dana ingin bertanya banyak, tapi dia juga harus berterima kasih kepada orang yang telah menyelamatkan nyawa istrinya. Dia melihat dengan tatapan yang bersahabat ke arah Dokter Anwar dan berkata, " Dokter. Terima kasih karena Dokter sudah menyelamatkan istri saya. Saya sangat berhutang budi kepada Dokter.""Sudah kewajiban saya, Dokter," ucapnya dengan ramah. Dokter Dana sekarang melihat ke arah Pazel dan ibunya. Tatapan yang tajam setajam pedang, membuat Pazel menunduk ketakutan. Wibawa Dokter Dana memang mematikan, sehingga membuat Pazel mati k
Wanita itu seolah ingin menyampaikan sesuatu. Tapi sayang dia tidak bisa bicara. Silvia terpana melihat gerakan yang dilakukannya. Para pengawal dengan cekatan memegang kedua tangan wanita itu dan menjauhkannya dari Silvia."Sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu," ujar Silvia kepada Dokter Dana sambil memegang lengan Dokter Dana."Tunggu! Lepaskan dia," suruh Dokter Dana kepada anak buahnya. Setelah tangannya bebas, dia kembali berkata dengan bahasa isyarat. Dokter Dana tidak mengerti sedikit pun dengan bahasa yang digunakan wanita itu. Tapi Silvia tampak memperhatikan dengan seksama, dan dia terkejut hingga berkeringat. Lalu Silvia juga membalas dengan bahasa isyarat yang dijawab kembali oleh wanita itu dengan bahasa isyarat."Kamu mengerti apa yang dimaksudnya?" tanya Dokter Dana yang heran melihat percakapan antara istrinya dengan wanita cantik yang punya kekurangan itu."Iya, Mas," jawab Silvia. Mukanya sudah terlihat cemas dan berkeringat.."Apa katanya?" Dokter Dana sudah ti
"Awas kalau kamu berani buka mulut. Jika kamu berani buka mulut, maka kamu akan di penjara dan dijatuhi hukuman gantung! Mau kamu, ha!" ujar wanita tersebut dengan nada suara lembut tapi penuh penekanan dan ancaman."Ti_tidak, Nya..., Saya tidak berani," ucap pelayan itu dengan rasa takut yang amat dalam."Bagus. Sekarang lakukan pekerjaanmu! Jangan terlalu dipikirkan! Anggap tidak pernah terjadi apa-apa! Paham, kamu." "Paham, Nyah."Nyonya Sulastri berlalu meninggalkan dapur untuk bergabung lagi dengan keluarga yang lain.Bu Desi yang berada di kamarnya merasakan kantuk yang amat berat. Tidak seperti biasanya. Biasanya setelah dia meminum obat herbal itu, keringatnya keluar, dia juga jadi bersemangat menjalani aktifitas sehari-harinya. Tidak seperti hari ini. Matanya benar-benar mengantuk tidak tertahan."Mungkin aku kelelahan dan kurang tidur karena seharian aku hanya menangis memikirkan
"Sabarlah, Nak. Ibumu sudah tenang, jangan buat dia tidak tenang meninggalkanmu." Nyonya Sulastri membelai rambut Silvia. Namun yang dibelai tidak lagi merasakan kehangatan mertua yang sudah zalim. Malahan, dia curiga kematian ibunya ada hubungannya dengan mertuanya. "Aku akan cari tahu, Ma. Jika terbukti Mama terlibat dengan kematian ibuku, tidak ada maaf untukmu, Ma. Akan aku penjarakan kamu," batinnya. Dia sempat melihat kerlingan mata mertuanya itu kepada pelayan yang menangis tanpa henti. Jika tidak ada sesuatu, tangis pelayan itu tidak akan mengganggunya."Nak, sebaiknya sekarang kita urus pemakamannya," ucap Pak Hermansyah."Iya, Nak. Ikhlaskan kepergian ibumu, lebih baik kita urus pemakamannya sekarang," sambung Bu Iyes dengan lembut kepada Silvia.Silvia tidak bisa menahan pilu. Dia masih ingat bagaimana perjuangan ibunya dalam melawan penyakit kankernya. "Ibuku ingin hidup lebih lama lagi, dia sangat bersemangat untuk kesembuhannya. Tidak mungkin dia pergi secepat ini," rat
“Sayang, jangan pergi. Maaf karena tadi Abang emosi. Abang berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Laki-laki yang berstatus suami Silvia itu mencoba menenangkan istrinya yang sedang tergugu menangis sambil memangku lututnya dilantai. Selalu seperti itu. Pria itu selalu lepas kendali jika amarahnya sedang memuncak. Dia tidak segan-segannya mengeluarkan kata-kata kasar, bahkan sampai mengucapkan kata talak. Dan setelah itu dia akan membujuk wanita yang sudah dinikahinya dua tahun lalu itu. “Apa maksud Abang tidak akan mengulanginya? Abang sudah mengucapkan kata cerai di depan Ibu,” ucap Silvia tergugu. Dia sudah merasa putus asa menghadapi sikap suaminya yang kasar. Hal yang paling menyakitkan adalah saat suaminya mengucapkan kata talak dan mengusirnya. Ditambah lagi dengan mertuanya yang tidak pernah menghargai keberadaan Silvia. Ingin rasanya dia mundur dari pernikahannya yang baru seumur jagung. Tapi dia selalu meyakinkan hatinya bahwa tidak ada rumah tangga yang tidak ada cob