“Inilah rumah saya. Setidaknya sampai saya meninggalkan rumah ini,” batin Silvia. Dia menghapus air matanya yang menetes lagi.
“Stop di sini, Dokter. Terima kasih karena dokter sudah mengantar saya sampai ke rumah. Saya tidak akan melupakan kebaikan Dokter. Ini kaca matanya, Dokter.”
“Sudahlah. Simpan saja kaca mata itu. Siapa tahu kamu masih membutuhkannya.”
“Apa tidak apa-apa, Dokter?”
“Tidak apa-apa, Buat kamu saja.”
“Apa Dokter jijik karena Bekas saya pakai tadi?”
“Tidak. Tidak. Bukan begitu maksud saya. Baiklah. Kalau begitu sini saya ambil.”
“Ya sudah, Dokter. Kalu begitu saya simpan saja.”
“Jangan. Jangan. Biar saya yang simpan.”
“Ah, Dokter. Tadi kan sudah Dokter kasih buat saya? Kenapa diambil lagi? Ini kan sudah menjadi milik saya.”
“Kan sudah kamu balikin lagi ke saya?”
“”gak mau. Ini sudah punya saya.”
Mereka berdua berebut seperti anak kecil. Dan akhirnya mereka tertawa bersama.
“Jadi kaca mata ini sudah jadi milik saya kan, Dokter?”
“Iya. Itu jadi milikmu sekarang,” ucap Dokter itu sambil tersenyum.
“Kalau begitu saya turun dulu, Dokter.”
“Silakan.”
Silvia turun dari mobil. Dia masih melihat belakang mobil Dokter Dana yang menjauh secara perlahan. Dia menghela napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Kesedihan yang dia rasakan untuk sesaat tadi bisa hilang bersama Dokter Dana yang baru dia kenal. Namun sekarang dia harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit.
Di teras rumah, sudah terlihat mobil Pazel terparkir.
Silvia kemudian berjalan tertatih ke dalam rumahnya. Saat sampai di ruang tamu, dia melihat ibu mertuanya sedang asyik berbincang dengan perempuan selingkuhan Pazel. Seolah mereka sudah kenal lama.
“terus, kamu tidak di apa-apain kan?”
“Nggak, Tante. Dia tidak menyentuhku sama sekali.”
“Syukurlah, Nak. Jika dia sampai berani menyentuh kamu dan cucu Ibu, kamu lapor sama Ibu ya, Sayang?”
“Iya, Tante.”
“Jangan panggil Tante lagi. Panggil Ibu saja. Sebentar lagi kan kamu akan menjadi menantu Ibu.
“Iya, Bu.”
Silvia merasa jijik melihat perempuan selingkuhan suaminya itu bicara dengan malu-malu. Jika dia memang pemalu, dia akan merasa malu untuk menjadi perusak rumah tangga orang lain. Tapi dia bahkan tidak malu untuk menyerahkan dirinya kepada suami orang lain meski belum di halalkan.
Pembicaraan mereka terhenti saat melihat kedatangan Silvia. Melihat jalan Silvia yang tidak lurus wanita yang bernama Rohana itu menghampirinya seolah dia menyayangi Silvia dengan tulus.
“Kamu kenapa Nak? Kenapa jalannya seperti ini? Apa yang terjadi dengan kakimu? Ayo Nak, hati-hati. Duduk di sini.”
Silvia mengikuti saran ibu mertuanya, meski hatinya sudah tersakiti sangat dalam. Tega sekali ibu mertuanya bersandiwara. Padahal selama ini dia selalu merawat mertuanya dengan baik. Tapi dia hanyalah seorang menantu. Menantu yang selalu diperlakukannya seperti pembantu.
“Ke mana saja kamu dengan selingkuhan doktermu itu!” ucap Pazel dengan mata nyalang.
Silvia duduk tanpa menghiraukan ocehan Pazel. Dia menatap Pazel lekat-lekat.
Namun ibu mertuanya sungguh terkejut Alang kepalang mendengar Pazel menyebutkan kalau Silvia selingkuh dengan seorang Dokter.
“Selingkuhan Dokter? Wah hebat juga menantu upik abuku ini,” batinnya
“Apa benar yang dikatakan Pazel, Nak? Kamu selingkuh? Ibu benar-benar tidak habis pikir dengan kamu Silvia. Bisa-bisanya Kamu selingkuh di belakang Pazel!” ucap wanita yang berumur lima puluh tahun itu.
Silvia merasa kehabisan kata-kata untuk menghadapi drama suami dan ibu mertuanya. Ingin rasanya ia meninju mulut suaminya dengan sekuat tenaga.
Dia sudah tidak mau sabar dan berdiam diri lagi.
Dengan nada lantang dia bicara.
“Cukup! Hentikan sandiwara kalian. Saya sudah muak dengan sandiwara kalian.” Air matanya jatuh lagi tanpa bisa ia tahan.
“Baru tadi malam kamu meyakinkan saya, Bang! Bahwa kamu tidak akan pernah berpaling dari saya. Ternyata semua itu omong kosong.”
Pazel hanya menunduk.
“Se-sebenarnya.” Dia diam sejenak, “jadi begini Sil, Rima adalah sahabat lama Abang....!”
Ucapannya dipotong oleh Rima.
“ Lebih tepatnya mantan pacarnya....”
“Kamu diam Rima!” bentak pazel.
“Sudah berapa lama kalian selingkuhi aku!” ucap Silvia dengan nada datar.
“Tiga bulan,” jawab Pazel sambil menunduk .
“Bukan tiga bulan. Lebih tepatnya setahun, dan sekarang aku sedang hamil anak Bang Pazel.”
Wanita itu menjelaskan tanpa ada rasa malu dan takut.
Bu rohana merasa tidak percaya dengan keberanian Rima
Sor. Bunyi jantung Bu Rohana “Ini, calon mantu baru ember juga. Tidak bisa menjaga rahasia,” sungut wanita dengan riasan tebal itu dalam hati.
Pazel hanya menunduk, sedangkan Silvia hanya tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa seperti ditusuk sembilu.
“Baiklah Bang, ceraikan aku sekarang, lalu halalkan perempuan murahan itu!”
“Maafkan Abang, Dek.”
“Lalu, setelah Abang, saya maafkan, apa masih bisa merubah keadaan seperti semula?”
Pazel menggusar kepalanya. Kemudian dia bersimpuh di hadapan Selvia.
“Maaf, Sayang,” ucapnya lirih.
Silvia sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Dia menjambak kepala suaminya. Dia juga memukul punggungnya bertubi-tubi.
Bu Rohana tidak bisa diam saja melihat anaknya diamuk di depan mata kepalanya. Dia menarik tangan Silvia. Tapi karena Silvia sedang emosi, entah kekuatan dari mana dia menghempaskan tangan yang menariknya itu. Seketika Bu Rohana terhempas ke belakang dengan sangat keras. Untung dia jatuhnya ke kursi. Tapi karena dia terkejut, dadanya seketika terasa sakit.
Pazel berteriak.
“Ibuuuu.!”
Silvia dan selingkuhan Pazel yang dari tadi menonton pergulatan mereka juga terkejut melihat ibu Pazel yang kesakitan memegang dadanya.
“Cepat ambilkan Ibu air minum,” ucap Pazel sambil memangku ibunya.
Selingkuhan Pazel bergegas mengambilkan air minum dan di berikannya kepada Pazel. Mereka bersyukur karena ibunya tidak apa-apa.
Tapi Silvia benar-benar ketakutan setengah mati. Apa lagi setelah Pazel memandangnya dengan tatapan tajam.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Silvia. Rasa perih yang ada di pipi kirinya tidak sebanding dengan rasa perih yang ada di hatinya.
Pazel ingin mengendalikan keadaan. Tapi Silvia sudah tidak takut lagi dengannya.
Dia mengayunkan tangannya, sehingga Pazel menoleh ke arah kanan berkat tamparan yang dilayangkan Silvia.
Suasana begitu hening. Pazel merasa berada dalam mimpi menerima sebuah tamparan yang keras dari tangan kurus Silvia. Sungguh tak disangkanya sama sekali Silvia akan berani membalas tamparannya. Dia memegang pipinya yang terasa perih.
“Jangan kamu pikir aku akan diam saja selamanya. Tidak lagi, Bang. Sudah cukup aku menerima kata-kata kasar dari ibumu dan juga kebohonganmu. Tapi jangan coba-coba sedikit pun kamu berani menyakiti ragaku. Karena aku tidak akan diam. Sekarang aku akan pergi dari rumah ini. Silakan kamu menikah dengan perempuan murahan itu. Jika kamu tidak mau mengurus surat cerai, biar aku yang urus.”
Perempuan yang di sebut murahan itu tidak terima. “ Hey, jaga mulutmu ya. Dasar wanita mandul,” ucapnya dengan lantang.
Bu Rohana kembali dikejutkan oleh keberanian Rima terhadap Silvia
Sor..., bunyi jantung Bu Rohana.
“Astaga, ternyata calon menantuku lebih galak dari Silvia. Apa dia akan bisa diatur seperti Silvia?”
Silvia sendiri juga merasa tidak percaya dengan keberanian wanita murahan itu. Ingin rasanya dia mencakar perempuan itu, tapi ditahannya karena dia tidak ingin mengotori tangannya demi satu orang lelaki penghianat.
Karena melihat raut sedih di wajah istrinya yang berkepanjangan, akhirnya Dokter Dana mendekap istrinya dan berkata dengan yakin. "Kamu jangan khawatir lagi, Sayang. Aku pastikan bayi kita akan segera bersama kita lagi, dan penculiknya akan segera mendapat hukuman yang sangat berat.""Bagaimana, Mas bisa seyakin itu? Sudah hampir seminggu lamanya kita kehilangan bayi kita. Bahkan kita sudah mencari ke mana-mana, tapi hasilnya nihil," keluhnya dalam kesedihannya."Tapi, kita tidak boleh berputus asa, Sayang," pinta Dokter Dana yang sebetulnya menahan kesedihannya demi memberi kekuatan kepada istrinya."Lalu, apa ada perkembangan dari pencarian kita dan polisi, Mas? Aku gak sabar ingin segera bertemu sama anakku, Mas. Aku rindu, aku juga khawatir orang yang menculik anak kita tidak memberikan asupan makanan yang layak untuk anak kita. Atau jangan-jangan...." Kata-katanya terhenti saat pikirannya melayang ke hal-hal yang membuatnya takut. Air matanya tidak berhenti menetes. Melihat keka
Sebenarnya Rani merasa sangat terhina saat dia diperiksa di pos keamanan untuk bisa masuk ke rumah Perdana. Sebelumnya dulu dia tidak pernah diperiksa dulu sebelum masuk. Tapi hari ini dia harus melewati beberapa pemeriksaan dulu. "It's ok. Ini demi melancarkan rencanaku," ucapnya dalam hati. Dia melangkah masuk bersama dua orang anak buahnya yang masing-masing memegang bingkisan."Assalamualaikum," ucap Rani saat dia telah berada di ruangan tamu. Di sana sudah ada Pak Efendi dan istrinya, Pak Herman dan istrinya dan juga Dokter Dana dengan istrinya. Mereka serempak menjawab salam dari Rani."Wa'alaikummussalam.""Maaf, Dana. Om dan Tante. Juga Silvia. Aku tidak tahu, kalau Dana dan Silvia sedang ada acara kumpul keluarga," ucapnya basa-basi."Tidak apa-apa kok, Rani. Tidak ada acara penting. Silakan duduk. Perdana mencoba bersikap biasa."Iya, silakan duduk." Silvia pun berusaha bersikap ramah, walau di hatinya ada kecurigaan bahwa dialah dalang dibalik hilangnya anaknya."Terima ka
Bukan salahnya juga jika wanita itu menganggapnya lain. Dia hanya ingin berbuat baik kepada orang lain. Dia hanya ingin berbuat kebaikan kepada orang yang sedang terzalimi. Dan itu adalah perbuatan mulia. Namun, wanita itu salah kaprah terhadap kebaikan yang ditunjukannya, hingga menganggapnya sebuah tanda cinta sehingga dia menjadi tersanjung, lalu tidak terima saat melihat kenyataan yang terpampang di depan matanya."Kalau begitu, Perdana sudah melakukan perbuatan yang baik kepadamu. Lalu kenapa kamu membalasnya dengan menculik anaknya, Rani? Hentikan semua ini. Setidaknya demi Dana," bujuk Kanaya. "Bukan aku yang menculik anaknya! Tapi kamu! Kamu yang menculik anaknya, dan aku yang akan menyelamatkannya," kilah wanita itu dengan berteriak."Kamu ini sudah gila, Rani!" hardik Kanaya."Ya! Aku gila karena cinta, Kanaya. Dalam cinta semua adil," kekeh Rani yang tidak kehabisan kata-kata untuk membenarkan perbuatannya."M itueskipun begitu, tetap saja perbuatan kamu ini tidak benar, R
"Rani! Aku mohon, lepaskan aku. Aku janji akan melupakan ini semua. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar ancaman dari Kanaya, Rani jadi naik pitam. "Apa kamu bilang? Kamu mengancamku? Mau melaporkan aku ke polisi? Kamu gak sadar ya? kalau sekarang nyawamu ada di tanganku!" bentaknya. "Baiklah, kalau kamu menyetujui kesepakatan kita, aku mungkin bisa melepaskanmu," ujarnya. "Kesepakatan apa?" tanyanya dengan cemas. Ha ha ha....Setelah tertawa, dia mendekat ke muka Kania. "Sepertinya kamu sudah setuju, dan memang seharusnya kamu setuju," ocehnya yang terdengar seperti sampah di telinga Kanaya."Aku bukannya setuju. Aku hanya bertanya tentang kesepakatannya!" kilahnya dengan geram."Dengar, Kanaya. Kamu jangan menghabiskan tenagamu untuk marah-marah, karena selain kamu akan kehabisan tenaga, kamu juga akan kesulitan nantinya. kenapa? Karena aku bisa menyakitimu dan juga tiga orang yang sedang berada di ge
Sudah hari ketiga semenjak Savana menghilang. Puncak hidung Kanaya masih belum ditemukan. Nomornya sudah tidak aktif. Segala macam cara sudah dicoba untuk mencari keberadaan Kanaya, namun tak ada jejaknya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.Pihak kepolisian sudah menyatakan dia di daftar pencarian orang. Fotonya sudah disebar di berbagai media sosial dan di selebaran kertas sepanjang jalan di seluruh pelosok."Dasar perempuan tidak punya hati nurani," cerca Kanaya terhadap wanita yang kini tertawa lepas mendengar cercaannya. "Bisa-bisanya kamu menculik anak yang baru berumur dua hari, hanya untuk memuaskan egomu yang terluka!" hardiknya lagi.Perempuan itu menaikkan alisnya dan menghentikan tawanya lalu berkata, "Tunggu! tunggu. Tadi kamu bilang saya wanita yang tidak punya hati nurani karena menculik anak yang berumur dua hari. Betul begitu?" Perempuan itu diam sejenak seolah menunggu jawaban dari Kanaya. Namun belum sempat Kanaya berkata sepatah kata pun, dia sudah tertawa lagi terb
Ternyata ruangan itu kosong. Hanya tetesan air keran yang belum tertutup sempurna yang mengeluarkan suara tetesan air. "Sepertinya dia sengaja tidak menutup habis keran air," batin Perdana. "Dasar perempuan ular!" bentaknya sambil mengayunkan tinjunya ke udara.Dia kembali ke ruangan tengah dengan wajah yang masih merah padam.Silvia yang sudah tidak sabar mendengar keberadaan Kanaya pun bertanya."Bagaimana, Mas? Apa dia ada?"Pak Herman juga sudah tidak sabar menunggu jawaban dari menantunya itu. Dia menatap mata Perdana yang merah. Menunggu dengan tidak sabar. Meski dai tahu yang paling penting saat ini adalah keberadaan cucunya. Entah wanita itu yang menculik cucunya atau tidak, dia hanya ingin cucunya segera kembali.Pak Efendi juga satu pemikiran dengan Pak Herman. Dia ingin segera menemukan keberadaan cucunya. Tapi jika memang perempuan itu yang menculik cucunya, dia tidak akan memberikan ampun."Dia tidak ada di kamar tamu.""Jadi, dia yang menculik putri kita," ucapnya dengan