"Pak Darren ... tolong pakai dulu bajunya," ujar Jihan mengingatkan sembari menggeliat, berusaha lepas tanpa membuka matanya.
Darren menatap sinis. "Sejak tadi aku pakai baju, tidak polosan. Pikiranmu saja yang kotor."Tubuh Jihan sedikit terhuyung ketika pinggangnya dilepaskan kasar oleh Darren. Perlahan Jihan mulai melepaskan kedua tangannya, mata ini menatap Darren yang memakai kaos putih. Darren sendiri tampak memilih set piyama tidur, lantas mulai memakainya."Mau sampai kapan melihatku seperti itu?" sindir Darren berbalik dan menatapnya lagi."Seka air liurmu," titah Darren dengan nada datar.Jihan tertegun dan merasa sangat malu, sebab ketahuan melihat Darren dengan pandangan terpaku. Kemudian tangan benar-benar menyeka bibirnya, padahal Darren hanya menyindir saja. Hal itu membuat mata Darren menyipit melihat tingkah dari Jihan.Tapi, Darren tampak mengabaikannya dan mulai bicara, "meski aku membawamu dan memberimu status ibu untuk Bella. Bukan berarti kau bisa melewati batas."Jihan menatap Darren cukup serius. Otaknya sedang memproses, bagian mana dari dirinya yang melewati batas sebagai seorang ibu? Darren menyeringai melihat reaksi dari Jihan."Kenapa? Tidak sadar kesalahanmu sendiri yang berusaha mengubah peraturan yang aku buat, di rumah ini, aturan yang aku terapkan untuk Bella," sindir Darren.Jihan diam. Mulutnya ingin protes, tapi akhirnya memutuskan untuk tidak melakukannya. Padahal Bella masih sekecil itu, sudah diberikan segudang peraturan yang entah sungguh bisa dimengerti atau justru hanya diikuti karena terpaksa saja. Meski begitu, Jihan tak bisa ikut campur. Apalagi menentang pria seperti Darren, tak ada untungnya bagi Jihan."Masalah kamar," jeda Darren untuk menatapnya lebih serius, "sewatu-waktu kita akan tidur bersama di sini."Jihan tertegun. Otaknya sekarang dihuni oleh kata tidur bersama. Di kamar ini, di satu ruangan yang tertutup bersama pria asing. Darren hendak keluar dari kamar, tapi Jihan bergegas mendekat dan menyentuh tangan pria ini untuk meminta lebih banyak penjelasan."Pak, apa maksudmu tidur bersama?"Mata Darren fokus pada tangan yang disentuh olehnya. "Apa yang sedang kau pikirkan? Jika itu hal buruk, segera singkirkan dari otakmu yang kecil itu.""Tapi kenapa Bapak mengatakannya sebagai tidur bersama? Kata itu memiliki arti luas."Singgung Jihan dan memilih berhenti mengoceh, sebab jika kegiatan apa saja yang bisa dilakukan di atas ranjang di sebutkan. Maka sudah pasti situasi akan menjadi canggung. Dua orang dewasa membahas hal tabu itu, takutnya akan menjerumus pada sesuatu yang tak diinginkan."Seperti katamu, memiliki arti yang luas. Contohnya hanya berbagi kamar, tapi tidak dengan ranjang," jelas Darren."Ah, benar," sahutnya sedikit mengerti."Dan bisakah singkirkan tanganmu dariku?"Jihan tersadar begitu mendengarnya, kemudian langsung menarik tangannya. "Maafkan aku Pak."Darren mundur satu langkah untuk menjauhinya. "Keluargaku, suatu waktu bisa saja ke sini dan menginap. Jika kita tidur terpisah maka itu akan terlihat mencurigakan."Jihan menatap Darren dan kepala mengangguk. "Benar sekali Pak.""Untuk sehari-harinya, aku akan tidur di ruang kerja.""Benarkah? Syukurlah," sahut Jihan begitu terang-terangan sampai membuat Darren menyeringai.***Pagi ini, setelah sarapan bersama. Darren berangkat kerja, sementara Jihan tetap di rumah menjaga Bella yang sedang bermain di sebelahnya. Ya karena ada dirinya, jadi Bella berhenti datang ke Daycare untuk dititipkan. Mata Jihan terangkat pada beberapa pelosok rumah.Setiap ruangan memiliki kamera pengawas, lantas apa yang membuat Darren lebih memilih memasrahkan Bella pada Daycare? Seperti ruang tengah ini, ada dua kamera sekaligus. Padahal di rumah ini keamanan sudah mumpuni. Para pembantu juga bisa ikut merawat Bella."Mari Tuan Marsel."Atensi Jihan teralihkan dan kepala menoleh pada Susan yang datang bersama pria asing. Tapi, hanya dengan melihat penampilan pria ini yang membawa buku-buku, Jihan bisa menebak sedikit. Kalau dia guru yang biasa datang mengajar Bella. Ya, sebab Darren tak melepaskan Bella untuk belajar di sekolah umum."Nyonya, ini Tuan Marsel, guru yang mengajar Nona," tutur Susan mengenalkan.Saat tangan Marsel terulur untuk menjabatnya, Jihan hanya mengangguk saja dan memundurkan langkahnya sedikit. Meski begitu Jihan tetap memberikan senyuman, supaya guru dari Bella tidak tersinggung. Susan juga begitu memperhatikan Jihan di rumah ini, bukan untuk membantunya jika kelak membuat masalah. Tapi, pandangan itu seperti sedang mematai."Kalau begitu saya tinggal dulu Nyonya," ujar Susan mulai undur diri.Jihan mengangguk dan menatap Marsel. "Kalau begitu ... silakan memulai pelajarannya.""Baik ... Nyonya," sebut Marsel dengan mata sedikit tertarik pada Jihan.Selama pelajaran berlangsung, Jihan duduk sedikit jauh untuk memberi ruang Bella belajar. Tapi, sama sekali tak melepas pengawasannya. Jihan tersenyum saat melihat Bella belajar begitu antusias. Apalagi ketika menggambar, Bella sangat serius, tak lama bibir anak itu tersenyum lebar."Wah, gambarnya bagus sekali. Kira-kira ini siapa ya?" tanya Marsel dengan lembut.Kepala Bella menoleh ke arahnya dan tersenyum. Menunjukan buku yang baru saja digambar padanya. Jihan menunjuk diri sendiri kemudian tersenyum saat Bella mengangguk antusias. Hal itu nampak diperhatikan oleh Susan ketika melintas.Malam harinya, Darren kembali pulang dari kantor, langsung ikut makan bersama dengan Jihan dan Bella. Suasana rumah jadi sedikit canggung, tidak seperti hanya ada Bella saja, rumah terasa lebih hidup. Mungkin karena Jihan tidak begitu dekat dengan Darren."Hari ini bagaimana? Apa Bella menurut padamu?" tanya Darren setelah makan malam selesai.Jihan yang mulai mengerti aturan rumah, hanya diam ketika belum selesai makan. Setelahnya barulah boleh bicara, tapi berhubung Bella belum selesai, maka tidak diajak bicara. Jadi, terpaksa Jihan yang harus menanggapi Darren."Ya, Bella sangat menurut denganku."Mata Jihan menatap pada Bella yang sibuk menjauhkan brokoli dari sayuran lainnya. Jihan tiba-tiba saja berdiri dan mendekat, kemudian berhenti tepat di sebelah Bella, lebih tepatnya menutupi tubuh anaknya ini dari pandangan Darren. Bahkan tangan Jihan sengaja dibelakangkan dengan terbuka, Bella yang mengerti langsung memunguti brokoli dan disembunyikan pada tangannya."Apa yang sedang kau lakukan?" selidik Darren dengan mata menyorot serius."Tidak ada Pak. Oh iya aku ingin tanya, besok jadwal Bella apa saja?"Darren menyipitkan mata dan menunjuk tangannya. "Apa yang kau genggam itu?""Tak ada," sahut Jihan terburu dengan kepala menggeleng.Darren membisu sejenak untuk menatap Jihan tajam. "Kau kira aku tidak tahu? Kalau sekarang kau sedang mengurangi asupan nutrisi anakku!"Beberapa pembantu yang menjaga tersentak mendengar kemarahan Darren. Sementara Bella menundukkan kepala. Berbeda dengan Jihan yang menunjukan brokoli di tangannya, kemudian mulai memakannya."Kalau begitu maafkan aku Pak, aku sangat menyukainya," sahut Jihan dengan mulut mengunyah.Darren menyeringai melihat keberanian dari Jihan. Tapi pria ini ingin lihat, sampai mana keberanian itu ada dalam dirinya. Jihan sendiri sibuk menelan brokoli dengan terpaksa, sebab tidak begitu suka satu sayur ini."Mantan suamimu, Abian bukan?"Jihan membisu begitu mendengar nama itu. Sosok yang masih membekas dalam ingatan Jihan sebagai kenangan paling buruk. Darren sendiri mengepalkan tangan dan meletakannya di atas meja makan. Bibir pria itu menyeringai."Hari ini kantor tempatnya bekerja telah resmi diakusisi olehku, jadi sekarang dia bekerja di bawah pimpinanku."Jihan tatap Darren dengan mata sedikit berkaca, "apa maksud Bapak memberi tahuku hal itu?"Darren tersenyum sinis melihat keberanian dalam diri Jihan benar-benar lenyap. "Aku ingin kau mengantar makan siang untukku.""Setiap hari," lanjut Darren dengan nada menekan dan sorot mata menjadi dingin."Kenapa aku harus membawakan makanan setiap hari?" tanya Jihan meminta penjelasan.Darren tersenyum sinis, membuat Jihan yang semula menatap, kini mulai menurunkan pandangan. Jika memang Darren mencari tahu tentang dirinya, maka harusnya sudah tahu. Kalau Jihan sudah tak ingin ada hubungan dengan mantan suaminya itu."Bukankah kau ingin balas dendam? Kau harus tunjukkan dirimu sebagai Nyonya Gelard."Jihan terdiam. Memang ia ingin melakukan hal itu, tapi rasanya ini semua terlalu cepat. Jihan tidak mau bertemu dengan Abian dalam waktu dekat, takut hatinya kembali goyah meski sudah membenci. Bagaimana pun, Abian adalah cinta sekaligus suami pertama untuk Jihan."Oh, Bella sudah selesai makan ya?" tanya Jihan dengan antusias saat mendengar suara sendok diletakkan di atas meja.Bella mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya.Sedang Darren menatap tajam. "Apa kau tuli? Aku memintamu untuk mengantar makanan, kenapa tidak menjawab?"Jihan terdiam sejenak, kemudian menatap suami kontrakn
Makan siang dengan ... Darren Gerald. Otak Jihan dipenuhi oleh perkataan itu. Sementara Abian sudah melempar senyum pada Darren dengan tangan menggenggam erat dirinya. Hingga mata Darren menyipit."Bisa lepaskan tanganmu? Wakil ketua tim," tutur Darren dengan nada dingin.Jihan menatap mantan suaminya ini. Wakil ketua tim? Bukankah sewaktu di perusahaan lama, Abian adalah seorang manajer. Kenapa bisa diturunkan begitu perusahaan diakusisi? Sementara Abian menatap sedikit kesal, tapi tak bisa sepenuhnya menunjukan ekspresi itu pada Darren."Maaf Pak Darren. Ini istri saya, dia datang karena ada janji untuk makan siang dengan saya, iya kan Jihan?"Darren tersenyum sinis atas pengakuan dari Abian. "Istri? Apa kau pria yang suka menjilat ludah sendiri?"Abian masih tetap tersenyum. "Maksudnya bagaimana Pak Darren?"Tubuh Darren mendekat hanya untuk melepaskan genggaman Abian padanya dengan paksa. Lantas, tangan ini mulai digenggam oleh Darren. Rasa hangat yang Jihan rasakan membuat netran
Jihan tertegun dengan tatapan dari ibu Darren yang terang-terangan tidak menyukai dirinya. Harusnya tadi Jihan tidak usah bersuara. Sementara Darren melirik ke arahnya dengan serius."Bawa Bella ke kamarnya dan tidurkan lagi jika masih ingin tidur," titah Darren membuat Jihan mengangguk.Tubuhnya mulai berjalan melewati ibu Darren, meski Jihan harus menundukkan wajah dan terus menuntun Bella. Sementara ibu Darren yang bernama Stella itu, melemparkan tatapan tajam pada Jihan yang menaiki anak tangga."Katakan, dari mana kau dapatkan wanita miskin itu," celetuk Stella berhasil membuat hati Jihan mencelos.Kata miskin itu tetap tak akan hilang, meski Jihan menikah secara resmi dengan Darren sekali pun. Jihan menyadari hal itu. Tapi, berhubung Jihan dengan Darren hanya kontrak saja, tak benar-benar ada ikatan serius. Jihan berusaha mengeluarkan omongan Stella dari otaknya.Darren memastikan Jihan sudah menjauh dulu baru bicara, "tidak penting dari mana asalnya, aku hanya butuh kemampuanny
"Bercerai?" ulang Darren dengan mata mendelik tajam.Jihan sendiri sedikit merinding mendapat respon ini setelah menawarkan sebuah perceraian, tepatnya belum ada satu jam setelah pernikahan. Bella sendiri berhenti bermain ponsel, kepala mendongak dengan mata menatapnya. Cerai. Kata itu menghuni otak Bella dengan baik.Hingga tak lama Bella menangis keras, membuat Jihan tersentak. Sementara Darren mendengkus kesal dan ingin mengambil alih Bella dari Jihan. Tapi, Bella malah berbalik dan memeluk dirinya erat, bahkan ponsel terjatuh ke bawah kursi.Jihan panik, sementara tangan Darren terulur untuk mengelus punggung Bella. Dapat Jihan lihat, Darren menatap begitu lembut pada Bella. Sisi yang pertama kali dirinya lihat."Mama sama Papa tidak akan cerai Sayang," tutur Darren dengan pelan.Jihan tertegun. Benar, ia telah lupa, meski Bella hanya anak kecil tapi memiliki cara berpikir seperti orang dewasa. Jihan telah melakukan kesalahan hingga membuat mata Darren menajam saat menatapnya. Jih
"Namamu Jihan kan?"Jihan yang semula sibuk menyuapi Bella saja, perhatiannya langsung teralihkan pada wanita berwajah jutek tadi. Jihan memilih tersenyum."Benar," sahutnya.Wanita ini menyeringai. "Kau mengenal Darren di mana? Permalam kau dibayar berapa?"Seketika senyum di wajah Jihan langsung luntur. Jika saja wanita yang baru saja bicara dengannya hanya orang asing, maka Jihan akan menegur. Sayangnya ... wanita ini bagian dari keluarga Darren dan Jihan tak ada keberanian sama sekali. Hingga Jihan tersentak saat tangannya digenggam oleh Darren."Luna, jangan keterlaluan bisa? Aku setuju ke sini bukan hanya ingin mengenalkannya pada keluarga, tapi juga membantu bisnis suamimu yang terancam bangkrut ini," sungut Darren membuat Jihan membisu dengan pandangan takjub."Membantu? Bukankah itu memang sudah sewajarnya, sebab Daniel kan kakakmu," sahut wanita yang ternyata bernama Luna, tapi nampak tak takut meski berhadapan dengan Darren.Bahkan perdebatan terus saja berlanjut, bukan han
"Aku ingin tidur di kamar ini."Jihan membisu. Jika Darren menginginkan kamar ini, maka artinya Jihan harus pergi. Membiarkan sang pemilik aslinya menempati kamar ini. Jihan langsung mengangguk mengerti."Baiklah kalau Pak Darren ingin tidur di sini."Ketika tubuh Jihan berjalan ke arah pintu, tangan Darren langsung meraihnya. "Kau mau ke mana?"Jihan menatap tangannya yang masih dicengkram ini. "Aku mau tidur di kamar Bella.""Kau di sini saja," sahut Darren.Jihan langsung menatap sofa di sisi ranjang, bentuknya tidak begitu panjang. Sekali pun tubuh Jihan tidak terlalu tinggi, tapi jika tidur di atasnya pasti tak cukup. Kemudian pagi harinya punggung akan terasa sakit.Terlalu sibuk dengan pemikirannya sendiri. Jihan tak menyadari tatapan Darren yang begitu tertarik pada tubuhnya hingga berakhir dengan menelan ludah. Jihan baru tertegun saat Darren mendorongnya ke arah sofa."Pak, aku tidak bisa tidur di--"Mata Jihan melotot sempurna, ketika Darren menyudutkannya ke sofa dengan bi
Jihan benar-benar terbuai oleh perbuatan Darren yang menggila pada tubuhnya. Namun, Jihan berusaha keras untuk tidak menunjukannya, hingga membuat Darren merasa di atas angin. Jihan menutup rapat mulutnya dengan cara menggigitnya."Elina," kata itu lolos dari mulut Darren dengan penuh hasrat di telinga Jihan.Hanya dengan satu kata itu saja. Semua kenikmatan yang Jihan rasakan lenyap sudah. Tergantikan oleh keheranan luar biasa. Siapa itu Elina? Hati Jihan bertanya-tanya hingga tangan Darren yang berniat menggenggam pinggangnya. Jihan gunakan kesempatan itu untuk mendorong Darren darinya.Darren sendiri terkejut saat Jihan berhasil terlepas, terburu Jihan menarik asal pakaian di lantai kemudian berlari dan mengunci diri di kamar mandi. Tanpa memakai apa pun Darren juga terburu mengejarnya."Jihan, buka pintunya," pinta Darren sembari mengetuk permukaan pintu kamar mandi cukup keras."Jihan kau dengar tidak? Buka pintunya cepat!"Jemari Jihan mencengkram erat baju di tangannya, perlaha
"Kau mau bunuh diri karena aku menyentuhmu, iya!" seru Darren kesal.Bukannya menjawab, Jihan malah menunjuk pada pintu kamar yang terbuka. Pembantu yang semula nampak cemas dan ingin ikut mencegah Jihan bunuh diri, sekarang malah menguping. Darren yang mengerti langsung mendengkus, berjalan pergi dan menutup pintu.Meski mata Darren sempat menatapi wajah para pembantu, hingga membuat mereka bergegas menjauh. Darren sendiri mendekat dan menatap sengit pada Jihan. Apalagi saat melihat mata sang istri yang bengkak karena kelamaan menangis."Jelaskan," titah Darren duduk di atas ranjang.Jihan hanya diam saja, tak ada niatan untuk menjawab. Bahkan, sekarang kepala Jihan melengos dengan mata seperti tak sudi menatap Darren. Hal itu membuat sang suami marah.Hingga Darren bangkit hanya untuk menggiring Jihan dan terjatuh ke sofa kamar. Jihan melotot terkejut dan terburu mendorong pundak Darren, tapi suaminya malah mencengkram kedua tangannya dan menatap tajam. "Bapak mau apa!" Jihan jelas