Share

Taruhan Dengannya

"Kenapa aku harus membawakan makanan setiap hari?" tanya Jihan meminta penjelasan.

Darren tersenyum sinis, membuat Jihan yang semula menatap, kini mulai menurunkan pandangan. Jika memang Darren mencari tahu tentang dirinya, maka harusnya sudah tahu. Kalau Jihan sudah tak ingin ada hubungan dengan mantan suaminya itu.

"Bukankah kau ingin balas dendam? Kau harus tunjukkan dirimu sebagai Nyonya Gelard."

Jihan terdiam. Memang ia ingin melakukan hal itu, tapi rasanya ini semua terlalu cepat. Jihan tidak mau bertemu dengan Abian dalam waktu dekat, takut hatinya kembali goyah meski sudah membenci. Bagaimana pun, Abian adalah cinta sekaligus suami pertama untuk Jihan.

"Oh, Bella sudah selesai makan ya?" tanya Jihan dengan antusias saat mendengar suara sendok diletakkan di atas meja.

Bella mengangguk sebagai respon dari pertanyaannya.

Sedang Darren menatap tajam. "Apa kau tuli? Aku memintamu untuk mengantar makanan, kenapa tidak menjawab?"

Jihan terdiam sejenak, kemudian menatap suami kontraknya. "Apakah keputusanku berlaku di sini?"

Mata Darren masih menyorot tajam. "Ya, benar. Meski kau menolak pun, aku akan tetap memaksamu untuk datang."

"Baiklah."

Ya, Jihan mulai menyadari. Kalau sejak ia menorehkan tanda tangan di atas kontrak itu, maka Jihan akan terjerat oleh Darren. Jadi, berusaha menolak pun pria itu akan memaksa.

"Ayo, kita ke kamar sekarang, gosok gigi kemudian tidur," ajak Jihan pada Bella.

"Berhenti," titah Darren membuat Jihan menoleh, "kau ke ruang kerjaku sekarang."

"Mau membahas masalah kontrak ... dokumen itu?" Jihan meralat, sebab tak mungkin terang-terangan membahas di depan Bella.

"Hal yang boleh dan tidak untuk kau lakukan di rumah ini."

Di ruang kerja yang sangat luas ini, Jihan duduk dalam diam. Tapi, mata menatap tiap pelosok ruangan yang banyak dihuni oleh buku-buku. Pintu terbuka dan Darren memasukinya membuat Jihan menoleh.

"Baca ini dan terapkan mulai besok." Darren melemparkan dokumen padanya, kemudian mulai duduk di sofa depannya.

Jihan mulai membuka halaman pertama, tapi mata langsung menatap Darren. "Pak, kenapa jadi seperti ini. Bukankah aku di sini hanya untuk mengasuh Bella?"

Darren sedikit menyenderkan punggung pada sofa, tangan saling menggenggam di atas pangkuan. Mata menatap dingin ke arah Jihan.

"Lupa? Kalau kau ini bukan hanya seorang ibu, tapi istri juga?"

Jihan membisu. Peraturan pertama tertulis, harus menjadi pendamping saat Darren mengikuti acara penting hingga pertemuan keluarga. Itu sudah sangat memberatkan bagi Jihan. Dirinya hanya wanita dari kalangan orang miskin, tiba-tiba bergaul dengan keluarga kaya, itu sangat tidak cocok dengan Jihan.

"Selama satu minggu ini, aku mendatangkan guru untukmu. Kau bisa belajar menjadi wanita elegan darinya," ujar Darren seperti bisa menebak pikirannya.

***

Kaki Jihan memasuki perusahaan keluarga Gerald dengan tangan menggenggam erat bekal yang dibuat oleh koki rumah. Mata Jihan menangkap beberapa karyawan yang sibuk berlalu lalang, tangan mereka menggenggam dokumen. Andai, Jihan tidak dipaksa menikah dengan Abian, juga pria itu tidak terpaksa. Maka, mungkin Jihan masih lajang dan sekarang seperti mereka.

Mengejar karir dan mengesampingkan urusan pernikahan. Sayangnya, semua itu sudah menjadi kenangan, yang cukup buruk bagi Jihan. Helaan napas terdengar darinya, meratapi nasib sekaligus berusaha menenangkan diri dari rasa gugup.

"Selamat siang," sapa Jihan pada dua wanita di lobi.

"Siang juga, ada yang bisa kami bantu Nona?" Salah satu wanita dengan set pakaian warna biru ini bertanya sembari tersenyum.

Jihan melirik sekeliling dahulu, kemudian sedikit berbisik, "ruang kerja pak Darren, ada di lantai berapa ya?"

Seketika ekspresi wajah wanita ini langsung berubah, tak ada lagi senyum yang Jihan dapatkan. Sudah Jihan duga. Meski penampilan dirinya yang cukup berkelas ini, tetap tidak bisa meyakinkan bagian resepsionis untuk meloloskan dirinya.

"Apakah Nona sudah membuat janji? Jika belum, lebih baik Nona datang lain kali saja," ujar wanita ini berusaha tersenyum dan bersikap ramah.

Jihan hendak melangkah pergi, tapi tak jadi. "Itu, bisakah beri tahu pak Darren, kalau aku datang ke mari."

Wanita ini tersenyum, tapi mata jelas menatap tak suka. "Pak Darren saat ini sedang sibuk, bagaimana kalau Nona datang lain kali? Atau telepon sekretaris pak Darren lagi untuk membuat janji."

Jihan menatap bekal di tangannya dengan miris. Jangankan sekretaris, nomor ponsel Darren saja, Jihan tidak memilikinya. Apalagi kan, ponsel milik Jihan sudah ketinggalan versi, suka eror juga. Jadi, jarang Jihan gunakan dan dibawa juga.

"Tidak bisakah telepon sebentar? Pak Darren pasti akan mengizinkan aku untuk masuk," pinta Jihan berusaha tebal muka.

"Baik, tunggu sebentar ya Nona."

Jihan tersenyum dan menunggu dengan mata mengawasi. Wanita ini sedang berbicara di telepon dan baru saja menyebut Jihan sebagai pengantar bekal. Ketika selesai menutup telepon, Jihan menatap penuh harap.

"Bagaimana? Apa aku diizinkan untuk masuk?" tanya Jihan sangat antusias.

Wanita ini tersenyum. "Maaf Nona. Pak Darren tidak merasa memesan makanan, jadi lebih baik Nona kembali saja."

Jihan menatap bekal dengan sedih. "Lalu bagaimana dengan makanannya?"

"Begini saja, bagaimana kalau Nona letakkan saja di sini, dan biarkan kami yang membayar?" tawar wanita satunya lagi.

Jihan menurut dan menyerahkan bekal makan milik Darren pada kedua wanita ini. "Tolong berikan ini pada Pak Darren ya."

"Totalnya berapa Nona?"

Jihan langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah. Aku bukan kurir pengantar makanan, bekal ini dibuat dari bahan yang dia beli sendiri, jadi tidak usah bayar."

Jihan mulai melangkah pergi dengan benar-benar kecewa. Sementara perkataannya membuat dua wanita tersebut saling melirik dengan heran. Jihan menarik napas cukup panjang.

"Jika kau berhasil masuk ke ruanganku, maka aku akan melepaskanmu dari semua acara yang harus kau datangi."

Ya, itulah taruhan yang Jihan dan Darren buat. Tapi, siang ini Jihan gagal. Jangankan memasuki ruang kerja, berkeliaran dan melewati semua divisi saja tidak diperbolehkan. Jadi, Jihan hanya harus menerima kekalahan dan menyiapkan diri jika suatu waktu Darren mengajaknya ke acara-acara.

"Sedang apa kau di sini Jihan?"

Kaki Jihan terhenti mendadak, sangat berat baginya untuk kembali melangkah. Perlahan kepalanya menoleh, padahal sudah tahu siapa yang mengajukan pertanyaan. Tapi, Jihan masih menatap pada orang yang berdiri di belakangnya. Dia adalah ... Abian.

Mata Abian melirik sekeliling, kemudian berjalan menghampiri Jihan yang masih membeku di tempat. Abian mulai menelisik penampilan Jihan hari ini. Dress warna peach dengan motif bunga, kaki mengenakan flatshoes warna hitam, wajah Jihan pun sedikit dipoles make up.

"Wih, dipungut om-om di jalan mana?" tanya Abian dengan nada dan tatapan merendahkan.

Jihan langsung melempar tatapan kesalnya. "Apa maksudmu? Apa aku seburuk itu di matamu?"

Abian makin mendekat dan dengan tidak tahu dirinya menghirup aroma tubuh Jihan. Tentu saja Jihan langsung menghindar, sampai mengundang Abian untuk tertawa mengejek. Tepat saat itu, pintu lift terbuka dan beberapa karyawan yang berpapasan langsung menyapa.

"Pak Darren."

Mendengar nama suami kontrak disebut, Jihan langsung menoleh dengan pandangan antusias. Jihan merasa hanya pria itu yang bisa menyelamatkannya dari Abian. Apalagi tiba-tiba saja Abian menggenggam tangannya, Jihan segera melepas.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan tidak suka.

"Sudahlah tidak usah jual mahal, kau ke sini untuk bertemu denganku kan? Kau pasti sudah dengar kabar kalau aku dipindahkan ke kantor ini," tutur Abian begitu percaya diri.

Mata Jihan mengikuti Darren yang berjalan mendekat. Tapi, Jihan baru saja diabaikan oleh Darren. Pria itu, berjalan hingga melewati Jihan.

"Lepas!" Jihan kesal pada Abian yang masih menggenggam tangannya.

"Kau ke sini meminta untuk rujuk kan? Yuk, kita ke pengadilan agama--"

"Jihan," panggil Darren dengan tubuh berbalik dan menatapnya.

Abian tanpa melepaskan genggaman pada tangannya mulai menyapa, "Pak Darren."

Tapi, mata Darren sama sekali tak tertarik pada Abian. "Kenapa masih di situ? Bukankah kau datang untuk makan siang denganku?"

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wanita culun dan udik ini minimal tau dirilah sekarang. jgn memelihara kebodohan dan sifat gagap terus. bodoh melebihi binatang
goodnovel comment avatar
Tungkawana Lisna
terkunci lagi
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
rasain tuh abian pasti bengong tuh klu bos nya pak Daren ngajak Jihan makan siang tuh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status