Share

7. Foto perempuan cantik di story w******p Fahri

"Mir, maaf, sepertinya aku tidak bisa lebih lama untuk dekat dengan adik sepupumu," ucapku memulai pembicaraan dengan Mira sewaktu kami berjalan menuju parkiran.

"Si Fahri?" jawab Mira sembari menaikkan alis.

"Iyalah, siapa lagi?!"

"Kenapa nggak dilanjutin aja, Vin, pendekatannya. Siapa tau kan, kalian jodoh. Kita bisa jadi saudara kalau begitu,"

"Hanya dengan mengetahui cara bergaulnya saja, aku benar-benar ilfil." aku mendengus malas.

"Kenapa?"

"Ya kali, baru juga mau nembak, udah mau ngajak tidur." jawabku tanpa menoleh ke arah Mira.

Mira terbahak mendengar apa yang barusan aku ucapkan, yang menurutku sama sekali tidak lucu. Aku menatapnya penuh tanya.

"Malah ketawa lagi,"

"Ah, habis kamu lucu, Vin." Mira menjawab dengan sisa kekehan yang menurutku, aneh.

"Apanya yang lucu?"

"Jaman sekarang mah, udah biasa orang pacaran begituan ..." Mira menjawab sangat enteng, seolah tidur bersama pacar sebelum menikah adalah hal yang sangat umum di jaman sekarang ini.

Seketika pikiran burukku berkata, 'Berarti kamu sendiri pernah melakukanya, Mir?', tapi tak sampai hati, aku takut jika ucapanku malah membuatnya tersinggung.

"Aku juga gitu kok," mataku membelalak begitu Mira mengucapkan kalimat terakhir.

"Maksud kamu? Kamu uda pernah tidur bareng sama pacarmu?" alisku bertaut, tak percaya, mengapa Mira bisa segamblang itu mengakui hal yang sangat sensitif seperti itu.

"Maksudnya, cuma tidur bareng aja kan? Nggak lebih?" sambungku sebelum akhirnya memberi dia kesempatan menjawab.

"Ck. Memangnya anak-anak sekarang sepolos itu, Vin? Ya kami having fan, lah!" Mira menjawab dengan dua jari yang menunjukan tanda kutip.

"Hah? Berarti kamu sudah-" aku tak dapat mengucap kalimat berikutnya begitu buku jari Mira membungkam mulutku.

"Hiisssh, jangan keras-keras," delik Mira ke arahku.

"Oh, maaf." seketika aku merasa bersalah karena ketidak pekaanku, saat ini sedang ramai orang disekeliling kami.

Persetan dengan Mira yang mengakui pergaulan bebasnya, kini aku mulai berpikir, apakah pria diluar sana masih ada yang perjaka? Disaat mudah bagi mereka menemukan anak gadis yang bersedia memberi kenikmatan gratis disebalik setatus pacar yang mengikat keduanya? Entahlah.

***

"Vin, kok Emak nggak pernah lihat si Fahri datang kesini lagi?" tanya Emak membuyarkan lamunanku yang sedari tadi mengarahkan pandang ke layar televisi, namun pikiranku berkelana di tempat lain.

Fahri tidak pernah mengontakku sama sekali sepulangnya kami berakhir pekan dari Jogja. Berkali-kali aku membuka chat yang pernah dia kirimkan kepadaku, dan lagi-lagi aku hanya menatap kalimat di atas layar, yang menunjukan kapan terakhir kali dia online. Sampai tak terhitung berapa kali aku melakukan hal tak berguna itu secara berulang.

"Malah ngalamun, lagi marahan?" Emak kembali bertanya, kali ini dengan suara yang sedikit meninggi.

"Iya, Mak." bohongku kepada Emak. Aku tak mungkin mengakui kalau aku dan Fahri tak lagi saling berkirim kabar, bisa-bisa Emak frustasi kalau tahu. Emak sudah menaruh harapan banyak.

"Uwis lah, lekas baikan .... Kira-kira kapan kalian akan menikah?"

Seketika aku terbatuk. Mengapa Emak dengan begitu cepat berpikir ke arah sana, sedangkan aku sendiri yang menjalani hidupku sama sekali tak terburu-buru untuk menikah.

Padahal usia beliau masih belum terlalu tua, jika dibandingkan ibu-ibu lain yang tinggal bertetangga dengan keluarga kami.

"Opo sih, Mak, kok nggak sabaran. Kalo udah waktunya nikah, ya nikah, Mak." entah kali ke berapa aku menjawab pertanyaan Emak dengan kalimat yang sama dalam satu bulan terakhir ini.

"Gulo, gulo, lihat itu. Bapakmu baru momong kucing saja udah senenge kayak gitu, apalagi kalo momong cucu, Ndhuk," Emak menunjuk dengan dagu ke arah Bapak yang sedang duduk di kursi ruang tamu.

Benar saja, laki-laki cinta pertamaku itu sedang menimang Tiwul dalam ayunan tanganya. Terlihat lucu sebetulnya, tapi untuk kali ini, aku enggan untuk tersenyum menyaksikan kelucuan Bapak. Pertanyaan Emak selalu terngiang hingga memaksa masuk ke dalam ruang kepalaku. Seolah memaksa ingin tinggal menetap di dalam sana.

Aku hanya mendengus kesal, ku tahan sekuat mungkin agar lisanku tak mengucap kata-kata yang menyayat hati. Bagaimanapun juga, Emak adalah menusia yang harus ku hormati, aku tak ingin menjadi anak durhaka.

Dan lagi, aku meninggalkan Emak sendirian di depan televisi. Aku bergegas berjalan memasuki kamarku, tak menoleh ataupun kembali kepada wanita yang sedang sibuk menjahit celana berkebunnya di ruang televisi. Meski aku mendengar beliau berulang kali memanggilku.

Aku yakin, Emak tau kalau aku pergi demi menghindari pembahasan nikah yang selalu menjadi agenda rutin dalam rapatnya saat bersamaku. Tapi aku selalu muak dengan itu-itu saja yang dibahas.

Aku menghempaskan tubuhku ke atas ranjang dan menarik selimut sebatas dada. Udara malam ini cukup dingin. Pikiranku melayang jauh menatap masa depan. Kiranya pria seperti apa yang akan menjadi suamiku kelak? Adakah dia seorang pria tampan, lengkap dengan segala kekayaan dan juga karir yang mapan? Atau malah sebaliknya?

Seklibat bayangan Fahri melintas. Seolah hatiku ini sudah buta. Aku tak lagi bisa membedakan wajah yang rupawan setelah rasa nyaman denganya hinggap di dadaku. Fahri berhasil membuatku tak lagi terpaku pada selera pria idamanku. Para pria tampan yang sering kali aku lihat di Drama Korea.

Jika dibandingkan dengan aktor Korea idolaku, Song Jong Ki, Fahri tak ada apa-apanya. Bak langit dan bumi, sebuah peribahasa yang menunjukan perbedaan yang sangat kentara.

Aku membuka w******p. Dan lagi-lagi kontak Fahri lah yang menjadi tujuanku membuka aplikasi itu. Lagi, dan lagi, aku hanya berani memantau Fahri dari ,'Terakhir dilihat pukul ....'. Tak sedikitpun keberanian terkumpul untuk mengirim pesan padanya.

Beralih ke status. Aku terus saja penasaran, apakah Fahri memposting status malam ini? Dan benar saja, dia memposting status 15 menit yang lalu.

Mataku membulat, degup jantungku berdebar kencang tak karuan, seperti akan meledak. Sesosok perempuan cantik jelita ada di status w******p Fahri. Secepat itukah aku dilupakan? Atau aku hanya menjadi salah satu perempuan yang didekatinya, hanya sekedar untuk bersenang-senang?

Aku tak habis pikir. Mengapa laki-laki nakal dan tak tampan seperti Fahri bisa begitu mudah menggait perempuan cantik? Apakah karena embel-embel uang? Entahlah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status