Udara dingin malam ini cukup menusuk di tulang. Masih terasa sekalipun aku menggunakan celana panjang dan juga jaket tebal. Malam ini aku dan Nuril tengah duduk di bangku teras. Segelas susu hangat dan biskuit kelapa menjadi teman kami disela-sela obrolan.Aku menatap adikku yang sedari tadi sibuk menggambar anime dengan gadgetnya. Dalam hati aku berdoa, semoga kelak jika adikku dewasa, Tuhan mempertemukan dia dengan pria yang tepat, dan sesuai dengan ciri pria idamannya. Meski aku belum tau, pria seperti apa yang menjadi dambaan adikku. Selama 17 tahun aku hidup bersama adikku, tak pernah aku mendengar cerita tentang laki-laki keluar dari mulutnya.Adikku mulai menutup pekerjaannya. Diletakkan gadget di atas pahanya."Udah selesai gambarnya?" tanyaku kemudian menyesap gelas susu milikku yang sudah mendingin."Udah, Mbak." jawabnya sembari mengambil sekeping biskuit, mencelupkannya ke dalam susu, lalu melahapnya. Nampak lezat melihat adikku makan dengan cara itu. Lantas aku pun ikut-i
Setelah kejadian malam itu, aku tidak lagi bertegur sapa saat berpapasan dengan Bu Ginah. Bahkan tak jarang dia membuang muka saat bertemu denganku, dan kembali berbincang dengan para personil Trio Ubur-ubur.Aku merasa, di saat seperti itu, akulah yang menjadi bahan ghibahan mereka. Sudah jelas memang begitu, mereka melihatku dengan bibir mencep, dan saling berbisik satu sama lain setelah aku berlalu.Malam itu, aku dan adikku hendak menghadiri undangan Kumba Karnan, salah satu remaja di kampungku akan menikah. Dan aku menjadi salah satu remaja yang dimintai untuk menjamu para tamu di hari resepsi itu."Kamu nggak apa-apa, Mbak?" tanya Nuril sembari menatapku nanar saat kami memantas diri di depan cermin almari."Opo sih, Ril. Ya nggak papa, tenang wae," jawabku kemudian menusukan jarum pentul untuk mengaitkan bagian bawah jilbap.Sejujurnya sedikit berat hati aku menghadiri undangan itu. Mas Galih, pria yang aku sukai sedari duduk di bangku kelas 6 SD, akan menikah lusa. Dan aku dimi
Hari resepsi di rumah Pak Subhan akhirnya tiba. Sama seperti para remaja yang ditugaskan menjamu para hadirin, aku menggunakan pakaian bernuansa hitam putih. Diam-diam aku memperhatikan Galih dari kejauhan. Dia nampak tampan dengan pakaian pengantin berwarna emas yang membalut raganya. Rasa nyeri menghantam hatiku, tak terasa air mataku tumpah, memaksaku untuk menundukan kepala. Jangan sampai ada yang melihat aku seperti ini.Di depan mata, aku menyaksikan dua insan yang bersatu, membuka gerbang keduanya untuk mengarungi kehidupan baru sebagai suami istri.Pria yang selama ini aku kagumi sudah berstatus menjadi suami orang. Tapi biarlah, mungkin ini sudah takdir Yang Maha Kuasa. Setidaknya aku pernah memelihara dengan baik rasa cinta di dalam hatiku, meski tak ku ungkapkan. "Uwis mbak, ini," ucap Nuril pelan, lebih tepatnya berbisik sembari menyerahkan selembar tisu kepadaku.Aku menggigit bibir bawahku untuk menghalau rasa sakit yang menyentuh bagian dalam dadaku. Namun tetap saja b
Suara azan subuh mengalun merdu memasuki indra pendengaranku. Aku mengerjapkan mata berkali-hali, sampai akhirnya mataku bisa menatap bening semua objek di kamar yang bernuansa khas Jawa kuno ini. Aku meraih benda pipih yang berada di samping kanan kepalaku. Sejak semalam, aku memutuskan untuk tidak menjamah benda itu. Aku membirakannya diam di tempat beralaskan seprei batik yang membalut kasur. 12 panggilan tak terjawab dan 7 pesan masuk di aplikasi bewarna hijau. Aku meletakkan kembali benda itu saat ku lihat nama 'Emak' di daftar panggilan tak terjawab paling atas. Aku masih enggan berkomunikasi dengan orang tua egois itu. Aku bangkit hendak mengambil wudhu di kamar mandi. Melintasi dapur, aku lihat Wening sedang meracik bumbu, sementara Budhe memotong sayuran yang hendak diolah. "Sudah bangun, Vin?" tanya Wening tanpa menghentikan gerak mata pisau. Aku melihat parasnya begitu elok tanpa polesan make up sedikitpun. "Iya, Wen. Mau ambil wudhu. Permisi ya, Budhe," ucapku sembari
Aku mengerjapkan netra berulang kali saat aku tersadar dari pingsan. Pandanganku menyapu seluruh ruangan yang didominasi dengan warna putih ini. Tak seorangpun berada disini. Kiranya, siapa yang mengantarku ke tempat ini?Tak berselang lama, seorang perempuan paruh baya berseragam layaknya tenaga kesehatan muncul dari balik pintu. "Syukurlah kalau Anda sudah sadar." ucapnya sembari mengeluarkan sebuah suntikan dari sebuah kotak stainless steel, lalu menyuntikanya ke lenganku. Cekit, semakin berkurang cairan di dalam tabung suntik, semakin nyeri pula rasanya."Saya berikan suntikan emergency, kita lihat perkembangannya satu jam kebdepan. Kalau terjadi perbaikan, boleh pulang untuk rawat jalan." sambung perempuan itu, sebuah kapas kecil ditempel pada bekas suntikan, menyisakan rasa dingin, lalu ditutupnya menggunakan sebuah plester. "Saya permisi dulu," ucapnya lagi sebelum akhirnya berlalu meninggalkan ruangan.Sesosok pemuda bertubuh padat berisi memasuki ruangan, di mana sebelumnya
Keheningan meruang diantara kami bertiga, hanya suara Tiwul yang terus menggema di dalam ruangan. 10 menit lamanya Tiwul mengeluskan kepalanya di kaki setiap kami yang berada di ruangan ini. Namun selama itu juga kami mengabaikan tangisannya. "Lapar mungkin, Nduk," ucap Bapak sembari mengangkat tubuh binatang berbulu itu."Bisa saja, Pak." aku menghela nafas kasar, sisa kekesalanku terhadap ubur-ubur merah yang selalu saja mengusik keluarga kami. Tiwul berlari mengikuti aku begitu kakiku melenggang ke arah dapur. Aku tuang makanan kering ke dalam mangkuk yang selalu menemani aktifitas makanya selama lima tahun ini.Dengan semangat anak bulu itu mengunyah makanan yang aku berikan dengan sedikit mengerang. 'Ini sangat enak,' begitulah aku memaknai erangannya. Seketika pikiranku melayang, seiring dengan suara keriyukan yang timbul akibat kunyahan makanan kering dari mulut Tiwul.Aku tak pernah menduga, mengapa selalu saja hal-hal menyebalkan muncul ke dalam hidupku. Aku bisa saja rela
Seminggu berlalu setelah kejadian itu, aku dan Akas sering bertemu. Terkadang dia datang berkunjung ke rumahku, atau mengajakku keluar untuk sekedar bertukar cerita sehari-hari. Hanya cerita wajar, namun cukup mengasyikan. Matahari mulai menampakan diri dari tempat semula ia bersembunyi. Menorehkan rasa hangat di pagi yang cukup dingin di hari Minggu ini. Kerumunan pembeli tak kunjung surut, pergi satu, datang lagi yang baru, dan begitulah seterusnya. Mungkin seperti inilah kesibukan Akas di setiap harinya. Terkadang aku merasa iba melihatnya menghadapi para ibu yang tak putus asa menawar barang dagangannya, padahal hampir semua orang yang terbiasa berbelanja ke pasar pun tau, harga di lapak Akas paling murah dibanding dengan pedagang lain.Kendati begitu, aku tak menemukan kekesalan tersirat di wajah bulatnya. Sesekali ia menanggapi para ibu-ibu tersebut dengan candaan. Perlahan, tapi pasti. Kini bak mobil pick up bewarna putih itu mulai lenggang, hanya tersisa sedikit sayuran di
Laju kendaraan membawaku tiba di jalanan depan rumah. Pandanganku menyisir seluruh halaman depan rumah, biasanya Bu Ginah yang letak rumahnya selisih 3 rumah dari rumahku akan beringsut mendekat untuk mengintip siapa laki-laki yang datang ke rumahku.Helaan nafas lega ku hembuskan sembari mengelus dadaku. Netraku tidak mendapati pergerakan yang mencurigakan dari perempuan bertubuh gemuk itu. Aman. Rasa canggung tak henti meruang di dalam dadaku, menyisakan degup-degup tak karuan di bagian jantungku. Jika sebelumnya aku bisa dengan mudah mengucap terimakasih kepada Akas, namun kini tidak. Sekedar menatap wajahnya saja aku enggan. Aku terjebak dilema di antara perasaan kesal, atau rasa tak enak hati karena dia sudah menolongku saat pingsan di halte. Aku merasa berhutang budi pada pemuda yang kini menuruni kendaraanya itu. Tanpa mengucap sepatah katapun, aku melenggangkan kaki untuk segera memasuki rumah. Namun sebuah tarikan kuat di pegelangan tanganku membuat langkahku tercekat. "Su