Sebulan berlalu semenjak aku dan Fahri saling mengenal, nampaknya aku mulai menemukan kenyamanan. Berbalas pesan w******p seolah menjadi rutinitas setiap hari. Bukan, lebih tepatnya, kebutuhan bagiku. Aku selalu merasa kurang, bahkan hilang semangat jika sehari saja Fahri tidak menghubungiku duluan. Apa ini yang dinamakan jatuh cinta? Atau mungkin hanya merasa kesepian saja, lantaran hanya Fahri yang setiap hari berkomunikasi denganku dalam jumlah chat terbanyak? Aku masih bingung untuk memastikan.
Aku tengah bersiap dan mengemasi barang-barang bawaanku. Ahir pekan ini Fahri berencana mengajakku berlibur ke pantai. Suara deburan ombak, belaian lembut dari angin yang berhembus, bermain pasir atau menceburkan diri ke dalam air. Aku tersenyum. Baru membayangkannya saja aku sudah senang. Setidakknya kali ini aku melewati ahir pekanku di tempat yang indah, setelah seminggu penuh aku terus-terusan berkutat dengan mesin jahit."Jogja, aku datanggg!" seruku mengejutkan si pendiam yang sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar.Sebuah buku paket tebal menghantam wajahku, sebagai akibat karena aku sudah mengusik ketenanganya."Jangan lupa oleh-oleh," ucapnya kemudian.Aku hanya menanggapi dengan juluran lidah.Jam menunjukan tepat pukul sembilan malam. Memang direncana berangkat malam agar bisa menyaksikan matahari terbit. Sayup-sayup terdengar suara mobil di luar rumah. Itu pasti Fahri! Aku bergegas keluar untuk menemuinya."Hati-hati dijalan, Nduk," pesan Emak saat aku mencium tangan Emak dan Bapak secara bergabtian."Nggeh, Mak. Vina berangkat, asslamualaikum,""Waalaikumsalam,"Fahri mempersilahkan aku duduk di kursi depan, dan membantuku memasang sabuk pengaman. Karena memang aku sama sekali belum pernah menggunakanya. Seketika aku menoleh ke belakang begitu mendengar suara tawa perempuan. Ternyata kami tidak sendiri, ada empat orang di kursi belakang. Dua laki-laki, dan dua perempuan . Syukurlah, dengan begitu Fahri tidak akan berbuat yang tidak-tidak terhadapku.Mataku tertuju pada gadis berkaos hitam yang menatapku dengan tatapan tidak suka. Lalu kembali menatap ke depan untuk berpura-pura tidak menyadari pandangan kebencian gadis itu.Mobil melaju dengan kecepatan tinggi begitu kami mulai memasuki ruas jalan tol. Dari kaca spion dalam, ku perhatikan mereka berempat saling bercumbu dengan pasangan mereka masing-masing. Cukup membuatku jijik melihatnya. Namun ku lihat Fahri hanya berfokus dengan kemudi, sambil sesekali dia mengajakku berbicara. Mungkin Fahri terlalu fokus mengemudi, sehingga dia tidak menyadari apa yang mereka berempat lakukan di kursi belakang.Waktu menunjukan pukul setengah tiga dini hari begitu kami tiba di Parang Tritis. Suasana masih cukup sepi, hanya ada beberapa tenda pengunjung yang bermalam di dekat pantai.Kami memutuskan untuk menggelar tikar dan menyalakan lampu petromax. Menyeduh pop mie untuk mengganjal rasa lapar kami, setelah perjalanan yang cukup panjang.Mereka berempat pergi menjauh dari kami, kini hanya tinggal aku dan Fahri yang masih duduk di atas tikar."Kamu tau apa yang mereka lakukan sepanjang perjalanan kemari?" tanyaku yang kemudian meneguk secangkir kopi yang ada dalam genggaman tanganku."Ya, aku tahu, kenapa memangnya?" Fahri berbicara seolah hal seperti itu adalah hal yang lumrah.Mataku terbelalak mendengar ucapan Fahri. Seketika aku terbatuk."Pelan-pelan kalau minum," Fahri menepuk pelan punggungku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan."Bisakah kita berjalan menyusuri pantai?" Fahri menawari.Kami berjalan mendekati bibir pantai, menanti detik-detik matahari terbit dari tempat persembunyianya. Rasa gelisah kian menggeliat hebat saat Fahri menggenggam tanganku. Aku belum pernah berpegangan tangan dengan laki-laki manapun. Aku lihat Fahri terus menatap ke depan. Sepertinya dia nampak biasa saja dengan berpegangan tangan seperti ini."Kita sudah saling mengenal satu sama lain, apa sama sekali kau tidak merasakan apapun tentang aku?" ucap Fahri kemudian. Yang cukup memenuhi indra pendengaranku, mengalahkan deburan ombak."Aku merasa senang setiap kali kita bertemu," jawabku ragu tanpa memandang ke arahnya."Baguslah. Bagaimana kalau kita jadian?" Fahri bertanya dengan berbisik tepat di telingaku.Seketika bulu kuduku merinding saat dengan sengaja Fahri menghembuskan nafas hangat di bagian sensitive di belakang telingaku. Apa saat ini dia tengah menggodaku? Tuhan, jangan biarkan aku terperdaya dengan laki-laki ini, rintihku dalam hati."Tapi, bukankah ini terlalu cepat?" aku berusaha melepas genggaman tanganku darinya."Bukankah tidak begitu penting seberapa lama proses pengenalan, sampai ahirnya sepasang laki-laki dan perempuan memutuskan untuk berpacaran?" Fahri menatapku penuh selidik."Bahkan aku pernah, berpacaran dengan perempuan yang baru aku temui. Kalau tidak salah, dalam kurun waktu lima hari kita saling mengenal, tapi dia rela memberi apapun yang aku mau," tambahnya sembari menghisap rokok.Dari wajahnya sangat terlihat kalau dia tidak sedang berbohong. Sangat terlihat rona kebanggaan terpancar di wajahnya. Mungkin karena merasa puas sudah berhasil membuat perempuan takluk padanya. Aku tidak menyangka, sikap yang kini dia tunjukan padaku berbeda 180° dari dirinya yang menemuiku di depan orang tuaku."Apapun? Maksudmu?" alisku bertaut, memastikan apa yang sebenarnya dia maksud dengan kata 'rela memberi apapun yang aku mau', meski aku yakin yang dia maksud adalah perbuatan tak senonoh."Ck, ya tidur bareng, atau apalah," Fahri berdecak kesal."Sudah berapa kali kamu melakukan 'itu'?" tanyaku dengan ekspresi yang aku buat setenang mungkin. Walau dalam hati aku merasa jijik sebenarnya."Aku lupa tepatnya berapa kali.""Apa itu artinya, kamu melakukan dengan siapapun perempuan yang kamu pacari?""Iya.""Apa artinya, kamu juga akan memperlakukan aku sama dengan mantan-mantanmu jika aku mengiyakan kita untuk berpacaran, Fahri?""Tentu saja. Hambar rasanya kalau pacaran cuma ketemu-ketemu ga jelas," dia mendengus dan kembali menghisap rokok yang masih tersisa setengah batang.'Dasar laki-laki bej*t', umpatku.Aku merasa kecewa dengan segala yang aku dengar dari mulut Fahri. Merasa diterbangkan setinggi langit olehnya yang selalu menghujaniku dengan perhatian setiap hari, dan kini dia membantingku hingga tersungkur di tanah. Kenapa fakta itu harus kudengar setelah aku mulai merasa nyaman, dan dadaku berdebar setiap kali aku melihat sosoknya? Sungguh gadis yang malang. ***Jadi, bagaimana?" tanya Fahri begitu tiba di jalan depan rumahku."Maaf, sepertinya aku nggak bisa." jawabku yang kemudian membanting kasar pintu mobilnya. Dia menatapku tajam sebelum ahirnya pergi."Waduh ... Harga diriku sebagai pria terluka!" sahut salah satu orang yang duduk di kursi belakang, diikuti gelak tawa oleh yang lainnya.'Urakan sekali mereka,' umpatku sembari melihat mobil yang mereka naiki melaju kencang. Mungkin Fahri kesal dengan jawabnku. Tapi biarlah, ini lebih baik dari pada aku berpacaran dengan orang yang salah. Buang-buang waktu saja. Aku tidak ingin memberikan 'sisa' kepada laki-laki yang menjadi suamiku nanti, andai aku terpedaya oleh laki-laki bereng*ek seperti dia.***"Mir, maaf, sepertinya aku tidak bisa lebih lama untuk dekat dengan adik sepupumu," ucapku memulai pembicaraan dengan Mira sewaktu kami berjalan menuju parkiran. "Si Fahri?" jawab Mira sembari menaikkan alis."Iyalah, siapa lagi?!""Kenapa nggak dilanjutin aja, Vin, pendekatannya. Siapa tau kan, kalian jodoh. Kita bisa jadi saudara kalau begitu," "Hanya dengan mengetahui cara bergaulnya saja, aku benar-benar ilfil." aku mendengus malas."Kenapa?""Ya kali, baru juga mau nembak, udah mau ngajak tidur." jawabku tanpa menoleh ke arah Mira. Mira terbahak mendengar apa yang barusan aku ucapkan, yang menurutku sama sekali tidak lucu. Aku menatapnya penuh tanya. "Malah ketawa lagi,""Ah, habis kamu lucu, Vin." Mira menjawab dengan sisa kekehan yang menurutku, aneh."Apanya yang lucu?" "Jaman sekarang mah, udah biasa orang pacaran begituan ..." Mira menjawab sangat enteng, seolah tidur bersama pacar sebelum menikah adalah hal yang sangat umum di jaman sekarang ini. Seketika pikiran buruk
Udara dingin malam ini cukup menusuk di tulang. Masih terasa sekalipun aku menggunakan celana panjang dan juga jaket tebal. Malam ini aku dan Nuril tengah duduk di bangku teras. Segelas susu hangat dan biskuit kelapa menjadi teman kami disela-sela obrolan.Aku menatap adikku yang sedari tadi sibuk menggambar anime dengan gadgetnya. Dalam hati aku berdoa, semoga kelak jika adikku dewasa, Tuhan mempertemukan dia dengan pria yang tepat, dan sesuai dengan ciri pria idamannya. Meski aku belum tau, pria seperti apa yang menjadi dambaan adikku. Selama 17 tahun aku hidup bersama adikku, tak pernah aku mendengar cerita tentang laki-laki keluar dari mulutnya.Adikku mulai menutup pekerjaannya. Diletakkan gadget di atas pahanya."Udah selesai gambarnya?" tanyaku kemudian menyesap gelas susu milikku yang sudah mendingin."Udah, Mbak." jawabnya sembari mengambil sekeping biskuit, mencelupkannya ke dalam susu, lalu melahapnya. Nampak lezat melihat adikku makan dengan cara itu. Lantas aku pun ikut-i
Setelah kejadian malam itu, aku tidak lagi bertegur sapa saat berpapasan dengan Bu Ginah. Bahkan tak jarang dia membuang muka saat bertemu denganku, dan kembali berbincang dengan para personil Trio Ubur-ubur.Aku merasa, di saat seperti itu, akulah yang menjadi bahan ghibahan mereka. Sudah jelas memang begitu, mereka melihatku dengan bibir mencep, dan saling berbisik satu sama lain setelah aku berlalu.Malam itu, aku dan adikku hendak menghadiri undangan Kumba Karnan, salah satu remaja di kampungku akan menikah. Dan aku menjadi salah satu remaja yang dimintai untuk menjamu para tamu di hari resepsi itu."Kamu nggak apa-apa, Mbak?" tanya Nuril sembari menatapku nanar saat kami memantas diri di depan cermin almari."Opo sih, Ril. Ya nggak papa, tenang wae," jawabku kemudian menusukan jarum pentul untuk mengaitkan bagian bawah jilbap.Sejujurnya sedikit berat hati aku menghadiri undangan itu. Mas Galih, pria yang aku sukai sedari duduk di bangku kelas 6 SD, akan menikah lusa. Dan aku dimi
Hari resepsi di rumah Pak Subhan akhirnya tiba. Sama seperti para remaja yang ditugaskan menjamu para hadirin, aku menggunakan pakaian bernuansa hitam putih. Diam-diam aku memperhatikan Galih dari kejauhan. Dia nampak tampan dengan pakaian pengantin berwarna emas yang membalut raganya. Rasa nyeri menghantam hatiku, tak terasa air mataku tumpah, memaksaku untuk menundukan kepala. Jangan sampai ada yang melihat aku seperti ini.Di depan mata, aku menyaksikan dua insan yang bersatu, membuka gerbang keduanya untuk mengarungi kehidupan baru sebagai suami istri.Pria yang selama ini aku kagumi sudah berstatus menjadi suami orang. Tapi biarlah, mungkin ini sudah takdir Yang Maha Kuasa. Setidaknya aku pernah memelihara dengan baik rasa cinta di dalam hatiku, meski tak ku ungkapkan. "Uwis mbak, ini," ucap Nuril pelan, lebih tepatnya berbisik sembari menyerahkan selembar tisu kepadaku.Aku menggigit bibir bawahku untuk menghalau rasa sakit yang menyentuh bagian dalam dadaku. Namun tetap saja b
Suara azan subuh mengalun merdu memasuki indra pendengaranku. Aku mengerjapkan mata berkali-hali, sampai akhirnya mataku bisa menatap bening semua objek di kamar yang bernuansa khas Jawa kuno ini. Aku meraih benda pipih yang berada di samping kanan kepalaku. Sejak semalam, aku memutuskan untuk tidak menjamah benda itu. Aku membirakannya diam di tempat beralaskan seprei batik yang membalut kasur. 12 panggilan tak terjawab dan 7 pesan masuk di aplikasi bewarna hijau. Aku meletakkan kembali benda itu saat ku lihat nama 'Emak' di daftar panggilan tak terjawab paling atas. Aku masih enggan berkomunikasi dengan orang tua egois itu. Aku bangkit hendak mengambil wudhu di kamar mandi. Melintasi dapur, aku lihat Wening sedang meracik bumbu, sementara Budhe memotong sayuran yang hendak diolah. "Sudah bangun, Vin?" tanya Wening tanpa menghentikan gerak mata pisau. Aku melihat parasnya begitu elok tanpa polesan make up sedikitpun. "Iya, Wen. Mau ambil wudhu. Permisi ya, Budhe," ucapku sembari
Aku mengerjapkan netra berulang kali saat aku tersadar dari pingsan. Pandanganku menyapu seluruh ruangan yang didominasi dengan warna putih ini. Tak seorangpun berada disini. Kiranya, siapa yang mengantarku ke tempat ini?Tak berselang lama, seorang perempuan paruh baya berseragam layaknya tenaga kesehatan muncul dari balik pintu. "Syukurlah kalau Anda sudah sadar." ucapnya sembari mengeluarkan sebuah suntikan dari sebuah kotak stainless steel, lalu menyuntikanya ke lenganku. Cekit, semakin berkurang cairan di dalam tabung suntik, semakin nyeri pula rasanya."Saya berikan suntikan emergency, kita lihat perkembangannya satu jam kebdepan. Kalau terjadi perbaikan, boleh pulang untuk rawat jalan." sambung perempuan itu, sebuah kapas kecil ditempel pada bekas suntikan, menyisakan rasa dingin, lalu ditutupnya menggunakan sebuah plester. "Saya permisi dulu," ucapnya lagi sebelum akhirnya berlalu meninggalkan ruangan.Sesosok pemuda bertubuh padat berisi memasuki ruangan, di mana sebelumnya
Keheningan meruang diantara kami bertiga, hanya suara Tiwul yang terus menggema di dalam ruangan. 10 menit lamanya Tiwul mengeluskan kepalanya di kaki setiap kami yang berada di ruangan ini. Namun selama itu juga kami mengabaikan tangisannya. "Lapar mungkin, Nduk," ucap Bapak sembari mengangkat tubuh binatang berbulu itu."Bisa saja, Pak." aku menghela nafas kasar, sisa kekesalanku terhadap ubur-ubur merah yang selalu saja mengusik keluarga kami. Tiwul berlari mengikuti aku begitu kakiku melenggang ke arah dapur. Aku tuang makanan kering ke dalam mangkuk yang selalu menemani aktifitas makanya selama lima tahun ini.Dengan semangat anak bulu itu mengunyah makanan yang aku berikan dengan sedikit mengerang. 'Ini sangat enak,' begitulah aku memaknai erangannya. Seketika pikiranku melayang, seiring dengan suara keriyukan yang timbul akibat kunyahan makanan kering dari mulut Tiwul.Aku tak pernah menduga, mengapa selalu saja hal-hal menyebalkan muncul ke dalam hidupku. Aku bisa saja rela
Seminggu berlalu setelah kejadian itu, aku dan Akas sering bertemu. Terkadang dia datang berkunjung ke rumahku, atau mengajakku keluar untuk sekedar bertukar cerita sehari-hari. Hanya cerita wajar, namun cukup mengasyikan. Matahari mulai menampakan diri dari tempat semula ia bersembunyi. Menorehkan rasa hangat di pagi yang cukup dingin di hari Minggu ini. Kerumunan pembeli tak kunjung surut, pergi satu, datang lagi yang baru, dan begitulah seterusnya. Mungkin seperti inilah kesibukan Akas di setiap harinya. Terkadang aku merasa iba melihatnya menghadapi para ibu yang tak putus asa menawar barang dagangannya, padahal hampir semua orang yang terbiasa berbelanja ke pasar pun tau, harga di lapak Akas paling murah dibanding dengan pedagang lain.Kendati begitu, aku tak menemukan kekesalan tersirat di wajah bulatnya. Sesekali ia menanggapi para ibu-ibu tersebut dengan candaan. Perlahan, tapi pasti. Kini bak mobil pick up bewarna putih itu mulai lenggang, hanya tersisa sedikit sayuran di