Share

6. Maaf, aku menolakmu!

Sebulan berlalu semenjak aku dan Fahri saling mengenal, nampaknya aku mulai menemukan kenyamanan. Berbalas pesan w******p seolah menjadi rutinitas setiap hari. Bukan, lebih tepatnya, kebutuhan bagiku. Aku selalu merasa kurang, bahkan hilang semangat jika sehari saja Fahri tidak menghubungiku duluan. Apa ini yang dinamakan jatuh cinta? Atau mungkin hanya merasa kesepian saja, lantaran hanya Fahri yang setiap hari berkomunikasi denganku dalam jumlah chat terbanyak? Aku masih bingung untuk memastikan.

Aku tengah bersiap dan mengemasi barang-barang bawaanku. Ahir pekan ini Fahri berencana mengajakku berlibur ke pantai. Suara deburan ombak, belaian lembut dari angin yang berhembus, bermain pasir atau menceburkan diri ke dalam air. Aku tersenyum. Baru membayangkannya saja aku sudah senang. Setidakknya kali ini aku melewati ahir pekanku di tempat yang indah, setelah seminggu penuh aku terus-terusan berkutat dengan mesin jahit.

"Jogja, aku datanggg!" seruku mengejutkan si pendiam yang sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar.

Sebuah buku paket tebal menghantam wajahku, sebagai akibat karena aku sudah mengusik ketenanganya.

"Jangan lupa oleh-oleh," ucapnya kemudian.

Aku hanya menanggapi dengan juluran lidah.

Jam menunjukan tepat pukul sembilan malam. Memang direncana berangkat malam agar bisa menyaksikan matahari terbit. Sayup-sayup terdengar suara mobil di luar rumah. Itu pasti Fahri! Aku bergegas keluar untuk menemuinya.

"Hati-hati dijalan, Nduk," pesan Emak saat aku mencium tangan Emak dan Bapak secara bergabtian.

"Nggeh, Mak. Vina berangkat, asslamualaikum,"

"Waalaikumsalam,"

Fahri mempersilahkan aku duduk di kursi depan, dan membantuku memasang sabuk pengaman. Karena memang aku sama sekali belum pernah menggunakanya. Seketika aku menoleh ke belakang begitu mendengar suara tawa perempuan. Ternyata kami tidak sendiri, ada empat orang di kursi belakang. Dua laki-laki, dan dua perempuan . Syukurlah, dengan begitu Fahri tidak akan berbuat yang tidak-tidak terhadapku.

Mataku tertuju pada gadis berkaos hitam yang menatapku dengan tatapan tidak suka. Lalu kembali menatap ke depan untuk berpura-pura tidak menyadari pandangan kebencian gadis itu.

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi begitu kami mulai memasuki ruas jalan tol. Dari kaca spion dalam, ku perhatikan mereka berempat saling bercumbu dengan pasangan mereka masing-masing. Cukup membuatku jijik melihatnya. Namun ku lihat Fahri hanya berfokus dengan kemudi, sambil sesekali dia mengajakku berbicara. Mungkin Fahri terlalu fokus mengemudi, sehingga dia tidak menyadari apa yang mereka berempat lakukan di kursi belakang.

Waktu menunjukan pukul setengah tiga dini hari begitu kami tiba di Parang Tritis. Suasana masih cukup sepi, hanya ada beberapa tenda pengunjung yang bermalam di dekat pantai.

Kami memutuskan untuk menggelar tikar dan menyalakan lampu petromax. Menyeduh pop mie untuk mengganjal rasa lapar kami, setelah perjalanan yang cukup panjang.

Mereka berempat pergi menjauh dari kami, kini hanya tinggal aku dan Fahri yang masih duduk di atas tikar.

"Kamu tau apa yang mereka lakukan sepanjang perjalanan kemari?" tanyaku yang kemudian meneguk secangkir kopi yang ada dalam genggaman tanganku.

"Ya, aku tahu, kenapa memangnya?" Fahri berbicara seolah hal seperti itu adalah hal yang lumrah.

Mataku terbelalak mendengar ucapan Fahri. Seketika aku terbatuk.

"Pelan-pelan kalau minum," Fahri menepuk pelan punggungku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.

"Bisakah kita berjalan menyusuri pantai?" Fahri menawari.

Kami berjalan mendekati bibir pantai, menanti detik-detik matahari terbit dari tempat persembunyianya. Rasa gelisah kian menggeliat hebat saat Fahri menggenggam tanganku. Aku belum pernah berpegangan tangan dengan laki-laki manapun. Aku lihat Fahri terus menatap ke depan. Sepertinya dia nampak biasa saja dengan berpegangan tangan seperti ini.

"Kita sudah saling mengenal satu sama lain, apa sama sekali kau tidak merasakan apapun tentang aku?" ucap Fahri kemudian. Yang cukup memenuhi indra pendengaranku, mengalahkan deburan ombak.

"Aku merasa senang setiap kali kita bertemu," jawabku ragu tanpa memandang ke arahnya.

"Baguslah. Bagaimana kalau kita jadian?" Fahri bertanya dengan berbisik tepat di telingaku.

Seketika bulu kuduku merinding saat dengan sengaja Fahri menghembuskan nafas hangat di bagian sensitive di belakang telingaku. Apa saat ini dia tengah menggodaku? Tuhan, jangan biarkan aku terperdaya dengan laki-laki ini, rintihku dalam hati.

"Tapi, bukankah ini terlalu cepat?" aku berusaha melepas genggaman tanganku darinya.

"Bukankah tidak begitu penting seberapa lama proses pengenalan, sampai ahirnya sepasang laki-laki dan perempuan memutuskan untuk berpacaran?" Fahri menatapku penuh selidik.

"Bahkan aku pernah, berpacaran dengan perempuan yang baru aku temui. Kalau tidak salah, dalam kurun waktu lima hari kita saling mengenal, tapi dia rela memberi apapun yang aku mau," tambahnya sembari menghisap rokok.

Dari wajahnya sangat terlihat kalau dia tidak sedang berbohong. Sangat terlihat rona kebanggaan terpancar di wajahnya. Mungkin karena merasa puas sudah berhasil membuat perempuan takluk padanya. Aku tidak menyangka, sikap yang kini dia tunjukan padaku berbeda 180° dari dirinya yang menemuiku di depan orang tuaku.

"Apapun? Maksudmu?" alisku bertaut, memastikan apa yang sebenarnya dia maksud dengan kata 'rela memberi apapun yang aku mau', meski aku yakin yang dia maksud adalah perbuatan tak senonoh.

"Ck, ya tidur bareng, atau apalah," Fahri berdecak kesal.

"Sudah berapa kali kamu melakukan 'itu'?" tanyaku dengan ekspresi yang aku buat setenang mungkin. Walau dalam hati aku merasa jijik sebenarnya.

"Aku lupa tepatnya berapa kali."

"Apa itu artinya, kamu melakukan dengan siapapun perempuan yang kamu pacari?"

"Iya."

"Apa artinya, kamu juga akan memperlakukan aku sama dengan mantan-mantanmu jika aku mengiyakan kita untuk berpacaran, Fahri?"

"Tentu saja. Hambar rasanya kalau pacaran cuma ketemu-ketemu ga jelas," dia mendengus dan kembali menghisap rokok yang masih tersisa setengah batang.

'Dasar laki-laki bej*t', umpatku.

Aku merasa kecewa dengan segala yang aku dengar dari mulut Fahri. Merasa diterbangkan setinggi langit olehnya yang selalu menghujaniku dengan perhatian setiap hari, dan kini dia membantingku hingga tersungkur di tanah. Kenapa fakta itu harus kudengar setelah aku mulai merasa nyaman, dan dadaku berdebar setiap kali aku melihat sosoknya? Sungguh gadis yang malang.

***

Jadi, bagaimana?" tanya Fahri begitu tiba di jalan depan rumahku.

"Maaf, sepertinya aku nggak bisa." jawabku yang kemudian membanting kasar pintu mobilnya. Dia menatapku tajam sebelum ahirnya pergi.

"Waduh ... Harga diriku sebagai pria terluka!" sahut salah satu orang yang duduk di kursi belakang, diikuti gelak tawa oleh yang lainnya.

'Urakan sekali mereka,' umpatku sembari melihat mobil yang mereka naiki melaju kencang. Mungkin Fahri kesal dengan jawabnku. Tapi biarlah, ini lebih baik dari pada aku berpacaran dengan orang yang salah. Buang-buang waktu saja. Aku tidak ingin memberikan 'sisa' kepada laki-laki yang menjadi suamiku nanti, andai aku terpedaya oleh laki-laki bereng*ek seperti dia.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status