“Astaga! Bisa-bisanya kau menendang suamimu?!”
Kulihat Ed terduduk di lantai karena ulahku.
Aku jadi tak enak. Tapi, tadi itu gerakan refleks untuk perlindungan diri.
“Tentu saja aku menendangmu, apa yang kau lakukan?” tukasku masih enggan merasa bersalah malah melototi pria yang kini berjalan mendekatiku.
“Dengar Nona Mila! Aku tidak mungkin membiarkanmu tidur di mobil sepanjang malam, ’kan? Makanya aku menggendongmu ke kamar. Apa kau lupa kalau aku ini suamimu sekarang?” gerutunya tampak sebal sembari mencekal daguku tepat di kedua matanya.
Aku sudah berpikir pria ini akan langsung memaksa mendapatkan haknya saja lantaran sok merasa menjadi suami.
“Baik. Maafkan aku. Tapi jangan lakukan hal ini padaku. Kita harus bicara dulu,” ucapku penuh kecemasan.
Untungnya Ed terlihat kasihan. Dia melepasku, lalu berjingkat pergi keluar kamar begitu saja.
Baru saja aku bernapas lega, tapi pria pengganti calon suamiku itu sudah masuk lagi ke dalam kamar.
“Aku lapar. Kau mau makan apa biar aku pesankan sekalian?” tanyanya.
“Tidak perlu. Aku tidak lapar. Aku hanya lelah dan butuh beristirahat,” jawabku menolak tawarannya.
Meskipun perutku sejak tadi belum terisi, tapi aku benar-benar tidak nafsu makan.
Aku harap dia memahami diriku dan bisa meninggalkanku.
Namun, Ed justru tampak menatapku cukup lama. “Sebaiknya kau ganti bajumu, aku tunggu di depan. Temani aku makan!” ucapnya seolah tidak mau ditolak.
Setelahnya, ia pun pergi.
Aku menghela napas.
Ya sudahlah.
Nangisnya bisa nanti saja. Aku memang harus membicarakan banyak hal dengannya.
Hanya saja, aku baru menyadari sesuatu saat bangkit dan menemukan pintu kamar mandi di kamar Ed.
Ini, bukanlah rumah sederhana.
Kamar mandi Ed luas dan mewah. Apakah ini memang rumahnya?
Bukankah dia hanyalah sopir truk yang tidak begitu jelas kerjanya?
Sayangnya aku tidak tahu ke mana pria ini membawaku. Aku sedang tertidur saat Ed menggendongku ke kamar ini tadi.
Meski heran, tapi aku tidak ada niat berlama-lama di kamar mandi.
Jadi, aku segera membersihkan diri.
Hanya saja, aku tak bisa menemukan tas yang kubawa dari rumah.
Panik, kugunakan bathrobe yang kebetulan menggantung di lemari, lalu menyusul Ed yang sedang sibuk menata makanan yang dipesannya
“Ed, di mana tasku?” tanyaku sembari melongokkan kepala dari pintu kamar.
Jujur, aku tidak berniat keluar kamar dengan pakaian begini.
“Tas?” tanya balik Ed sambil mulutnya mencomot sepotong pizza. “Apa kau memasukkan sesuatu sebelum kita pergi tadi?”
“Iya, aku tadi letakan di bak mobil,” jelasku.
“Ya sudah, besok saja diambil. Keluarlah, kita makan dulu!” titahnya.
“Kalau begitu aku ambil sendiri saja tasku!” ujarku sedikit kesal karena Ed sepertinya tidak mau kesusahan mengambilkan tasku.
“Sudah malam juga, mau ambil apa sih? Kau juga sudah pakai bathrobe ‘kan?”
Karena melihatku bergeming, pria itu malah dengan santainya mengatakan, “Kalau tidak mau pakai bathrobe telanjang saja. Lebih asyik. Bukankah ini malam pertama kita?”
Hah?
Malam pertama?
Aku menggelengkan kepala cepat.
Lebih baik, aku mengambil barangku meski dalam balutan bathrobe ini dibanding harus berada dalam bahaya nanti malam.
Toh, mobilnya pasti di halaman dan tak jauh dari pintu keluar.
Hanya saja, aku tak menemukannya….
“Itu pintunya.” Seolah tahu kebingunganku, Ed menunjuk ke arah kanan.
Segera, aku keluar.
Namun, mataku membelalak saat tahu bahwa tempat tinggal Ed bukanlah di sebuah perumahan. Tapi … apartemen?
Entah di lantai berapa, tapi aku tidak mungkin turun dengan pakaian begini!
“Ed, kita di apartemen?” tanyaku saat kembali padanya.
“Hu-um,” jawabnya santai.
“Apartemen siapa ini?”
“Apatemenku lah!” jawabnya lagi.
“K-kau tinggal di sini?”
Alis mata Ed naik sebelah. “Memangnya ada yang aneh?”
“Aku pikir kau hanyalah sopir truk, bagaimana bisa kau tinggal di apartemen?”
Mendengar ucapanku, Ed meneguk minuman dan mengusap mulutnya dengan tisu. “Ini apartemen temanku. Dia sudah mati dan aku hanya menempatinya,” jawabnya tanpa beban dan dia bangkit berlalu melewatiku keluar.
Tunggu… tadi, dia bilang tempat tinggal ini miliknya.
Sekarang, dia bilang milik temannya.
Kepalaku seketika pening. ‘Astaga, aku memang tidak mengenal Ed!’
Yang kutahu, dia hanya pemuda yang sering mangkal di jalanan kampus bersama pria-pria urakan lainnya. Dia juga sering menggodaku dan menerorku dengan pesan-pesan cintanya di tengah malam.
Next
“Sayang kau dari mana?” tanyaku melihatnya datang bersama beberapa perawat.Padahal sudah ada tombol darurat yang bisa dipencet untuk memanggil mereka. Bagaimana pria ini malah keluar untuk memanggil mereka secara manual? Pasti saking paniknya tadi.Dan lagi sekarang dia malah terlihat memarahi perawat itu.“Harusnya kalian memberinya obat anti nyeri. Apa tidak tahu istri saya sampai kesakitan begitu?”“Pemberian injection anti nyeri juga harus sesuai perintah dokter, Tuan. Kami tidak berani memberikannya lagi pada Nyonya karena tadi sudah kami berikan. Nanti ada waktunya lagi,” jelas salah seorang perawat pada Ed. “Tapi istri saya kesakitan, lho!” Ed masih terlihat kukuh.Kutarik lengannya agar dia bersikap lebih santai.Ada apa dengannya? Biasanya dia cuek dan santai-santai saja. Melihatku sedikit meringis saja sudah panik begitu. “Ah maaf, Sus. Tadi hanya sensasi rasa perih di area jahitan. Tapi sekarang sudah tidak, kok. Maaf, ya? Suami saya sedikit berlebihan tadi.”***Dua har
“Sayang?” suara Ed kudengar dan aku membuka mataku menatapnya yang terlihat cemas.“Ed? Kapan selesai operasinya? Aku sudah tidak sabar ingin tahu anak-anakku,” tukasku menggenggam balik tangan yang menggenggamku itu. Ed tersenyum meski pias wajahnya tampak lelah sekali. Dia membelai rambutku dan mencium keningku.“Operasinya sudah selesai sejak tadi, Sayang. Dokter bilang kau hanya tidak tahan dengan efek obat bius yang disuntikkan padamu.”“Ya Allah, Ed. Kasihan anak-anakku tidak bisa inisiasi menyusu dini.” Aku mencoba bangkit tapi Ed menahanku.“Tenanglah, Mila. Kau baru saja dipindah dari ruang pemulihan. Jangan banyak bergerak dulu.”“Tapi bayi-bayiku?”“Kata dokter tidak apa-apa, kok. Yang penting pulihkan dulu keadaanmu.”“Iya, tapi bayi-bayiku mana, Sayang?”Aku tentu ingin melihat mereka.Bagaimana bisa aku terlelap dengan damainya, bahkan tidak bisa mendengar suara jeritan pertama buah hatiku?Padahal, bisa mendengar suara mereka pertama saat terlahir ke dunia ini adala
Aku terbangun dengan sedikit terkejut melihat sudah tidak berada di mobil lagi.Ed sudah menggendongku ke apartemennya.Ini adalah kamar pertama kali dia mengajakku ke tempatnya pasca kami menikah dulu. Saat itu aku terkejut dan sampai menendangnya hingga terjungkal ke lantai.“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya sembari memelukku.Aku tidak tahu kalau Ed ternyata sejak tadi berbaring di sampingku dan memperhatikanku. “Aku hanya ingat saat pertama kau membawaku ke sini, Sayang.” Kumiringkan tubuhku untuk bisa menghadapnya.“Oh, benar. Apa yang membuatmu menarik senyum?”“Banyak. Tentang aku yang terkejut karena kau ternyata tinggal di tempat mewah ini sementara yang kutahu kau hanya seorang sopir truk. Juga tentang kau yang selalu curi-curi cium padaku.”Ed tertawa mendengar secuil ingatanku tentang saat-saat pertama kebersamaan kami sebagai suami istri. Tangannya sudah membelai pipiku dan menatapku dengan penuh binar cinta. Dia juga pasti berendezvous dengan masa-masa itu.“Saat itu pe
“Tante?!” ujarku antara ragu dan terkejut.Wanita itu melototiku tanpa berkedip. Membuat Ed langsung merangkulku cemas kalau-kalau wanita itu malah akan menyakitiku.Seperti biasa, saat merasa ada sesuatu yang membahayakan kami seperti ini, dua orang datang untuk mengambil tindakan. “Mila... Kamila?!” wanita itu langsung bersimpuh dan menangis di kakiku.Ketika dua pria misterius itu hendak menyingkirkannya, aku menahannya.Ed memberi isyarat agar pria itu membiarkan dulu sembari mengawasinya.“Mila, maafkan aku, Mila. Maafkan tantemu yang jahat ini!” isak wanita itu yang kini aku seratus persen yakin kalau itu adalah Tante Desi.Kulepaskan rangkulan Ed agar aku bisa membantu tanteku itu bangkit dari posisi bersimpuhnya di kakiku. Sungguh aku tidak nyaman sekali dengan hal itu. Ed melepasku namun tetap waspada. Cemas saja kalau wanita itu tiba-tiba akan menyakitiku.Ed tahu bagaimana sepak terjang Tante Desi. Dia jugalah yang bertanggung jawab membuat kami terpisah dalam kesalahp
“Ed, beri aku alasan termanismu kenapa kau jatuh cinta padaku? Jangan bilang karena ukuran bra itu. Aku nanti malah merasa kau jatuh cinta padaku hanya karena otakmu sudah mesum, lho!” rengekku padanya.Ed langsung membelai wajahku dan menatapku serius, “Ya enggaklah, Sayangku. Becanda itu!”“Lalu?”“Saat pertama melihatmu, aku tidak mengerti kenapa begitu tertarik denganmu. Kau cantik, tapi ada banyak wanita cantik juga kan? Jadi aku pikir chemistrimu kuat sekali menarik pehatianku.”“Apalagi ketika tahu kau buru-buru menyesali dan dengan sopan meminta maaf padaku setelah menamparku, aku jadi semakin terkesan padamu.”Senyumku sudah terkembang saja mendengar cerita suamiku. Dan memintanya lanjut menceritakan lagi bagaimana kemudian jadi sering ada di kampusku?“Kau menjatuhkan kartu mahasiswamu dan dari sana aku tahu kau kuliah di universitas kota ini.”“Oh, yah? Aku ingat itu. Aku sampai pusing mencari KTM ku karena membutuhkannya untuk ujian semester.”“Benarkah? Apa karena itu t
“Kebetulan suami saya ada urusan di kota ini, Bu. Jadi saya ikut sekalian,” tukasku membalas sapaannya saat wanita itu kebetulan keluar ketika aku menyiram bunga di halaman.“Makanya kemarin ada orang bersih-bersih, saya kira rumahnya jadi di jual. Ternyata Mbaknya yang datang.”“Oh, memangnya rumahnya sempat mau dijual?” tanyaku mengomentari perkataan wanita itu.“Banyak yang mau beli rumahnya, Mbak. Tapi kenapa tidak dijual? Dikontrak juga enggak boleh.”“Ahaha, mungkin suami saya mikirnya masih akan datang ke sini, jadi biar ada rumah buat sekedar mampir.”Kedatangan sebuah mobil membuat percakapan kami berakhir. Seorang pria berkulit gelap keluar dan mengulas senyumnya. Aku langsung ingat nama pria itu karena, dari sekian teman Ed nama pria itu yang paling menggemaskan. Apalagi pernah kami sampai bertengkar dan salah paham hanya karena ada panggilan dari pria itu.“Mas Manis, ya?” sapaku padanya.“Benar, suamimu bilang ingin menyewa mobilku, jadi aku antarkan ini pagi-pagi agar