Hana terpaksa menuruti keinginan Ririn. Dia sudah tidak bisa lagi menolak. Mulai hari itu, Hana dimasukkan ke beberapa kursus agar dia belajar menjadi istri Akbar nantinya.
Hari itu juga, Hana dipaksa pindah ke kontrakan baru yang jauh lebih besar dan nyaman untuk Hana. Hidup Hana saat ini diatur oleh Ririn. “Ibu, kontrakan ini terlalu besar buat saya.” Hana menolak dengan halus. “Tidak, Hana, ini cukup buat kamu.” Kamar dengan ukuran tiga kali lipat dari kamar kos Hana sebelumnya dengan AC dan kamar mandi di dalam harusnya membuat Hana lebih nyaman tinggal di sana. “Saya tidak bisa membayar kontrakan ini, Bu.” “Kamu tenang aja, kontrakan ini sudah saya bayar. Kamu sekarang fokus untuk belajar menjadi istrinya Akbar saja. Dia kan direktur rumah sakit, kamu nanti akan menemani dia setiap ada pertemuan, Ibu mau kamu bisa membawa diri di setiap pertemuan itu nanti.” Hana mengela napas. Betapa beratnya menjadi istrinya Akbar menurutnya yang hanya seorang gadis biasa dan tidak terbiasa dengan kehidupan mewah. “Biaya hidup kamu juga sudah saya atur. Kamu sudah tidak perlu bekerja lagi, Hana.” “Tapi, Ibu ….” “Belajarlah dengan baik. Ibu yakin kamu pasti bisa.” Mengikuti banyak kursus yang berbeda setiap harinya membuat waktu Hana banyak tersita untuk mengikuti semua kursus itu. Sejak pagi hingga sore hari dia harus pindah ke beberapa tempat kursus yang berbeda. Mulai dari kursus kepribadian, table manner, dan manner lainnya. Kemudian, kursus menata bunga, make up, menyulam hingga memasak. Hana harus mempelajari semuanya. Pulang kursus biasanya Hana sudah merasa lelah dan tertidur di kontrakannya yang baru hingga pagi hari. Hana sering melewatkan makan malamnya. *** Dua minggu kemudian, Ririn mengajak Hana dan Akbar ke sebuah butik untuk membeli gaun pernikahan. Untuk acara akad, Ririn ingin Hana memakai kebaya. Kemudian, untuk acara resepsi dia memesan gaun ala princess untuk Hana. Dia ingin calon menantunya itu terlihat cantik, elegan dan mewah saat pernikahannya nanti. Akbar juga mencoba pakaian untuk akad dan jas untuk resepsi. Ririn mau semuanya terlihat sempurna. Tidak mau asal-asalan untuk pernikahan anaknya nanti. Semua dia atur dengan baik. “Bar, kamu aja yang antar Hana ke tempat kursusnya ya. Mama mau ada urusan di tempat lain.” “Ke tempat kursus yang mana, Ma?” “Table manner, di hotel yang biasanya.” “Oh. Ok, Ma. Aku antar Hana ke sana,” Selesai fitting hari itu, Akbar mengantar Hana ke tempat kursus sesuai keinginan sang mama. Di perjalanan menuju tempat kursus, Hana memilih untuk diam. Dia tidak tahu harus membahas apa dengan Akbar. “Han, kamu disuruh belajar apa saja sama mama saya?” tanya Akbar untuk memecah kesunyian di antara mereka. “Banyak, Mas. Macem-macem. Kayak table manner itu dan manner yang lain, masak, belajar make up sama skincare sama yang lain juga.” Hana menjelaskan kegiatannya pada Akbar. “Capek, Han?” “Oh, enggak kok, Mas.” Hana takut jika dia berkata jujur, Akbar akan mengadu pada Ririn. “Kalau kamu capek, bilang aja ke mama saya. Dia enggak setega itu kok maksa kamu harus ikut banyak kursus. Biar nanti mama kurangi kursus kamu itu, nanti kan bisa dilanjut di lain waktu.” Hana merasa Akbar seperti memberi perhatian padanya. Namun, dia coba mengabaikan itu dan tidak mau terlalu berharap pada Akbar dan pernikahan mereka nanti. “Enggak apa-apa kok, Mas. Saya masih bisa ikut kursus-kursus itu.” “Ya sudah, tapi kalau kamu capek, bilang aja.” Beberapa hari kemudian, karena merasa tertekan akhirnya, Hana sakit juga. Hari itu dia tidak datang ke tempat kursus, tetapi tidak mengatakan pada Ririn. Alhasil, Ririn datang ke kontrakan Hana bersama Akbar dan mendapati Hana sedang terbaring lemah di kasur. “Hana! Kamu sudah makan belum, Nak? Kamu sakit kok enggak bilang Ibu sih?” “Maaf, Bu, saya tidak mau Ibu tahu kalau saya sedang sakit, saya takut Ibu marah sama saya.” Bulir bening mengalir dari kedua mata Hana. “Tuh, kan, Ma, aku bilang apa. Jangan terlalu diforsir Hana ikut segala macam kursus, akhirnya dia sakit, kan?” Akbar mengingatkan sang mama. Ririn pun merasa bersalah pada Hana. “Maafkan Ibu ya, Hana. Mulai sekarang Ibu akan kurangi jam kursus kamu, sekarang kamu istirahat dulu sampai kamu baikan. Jangan sampai kamu sakit lagi pas acara pernikahan.” Akbar memberikan obat untuk Hana supaya dia segera membaik. Ririn juga mengawasi makanan Hana agar perempuan itu lekas membaik. Dia pun mengawasi agar Hana makan dan minum obat dengan baik. Tiga hari kemudian, kondisi Hana sudah membaik. Dia pun sudah bisa mengikuti kursus seperti biasa, hanya saja ada kursus yang dibatalkan. Dua minggu berlalu. Acara lamaran sudah disiapkan di sebuah hotel mewah dengan tamu undangan yang banyak. Tamu undangan merasa penasaran dengan calon istri dari seorang direktur rumah sakit bernama Akbar yang merupakan anak dari Adam Rahmat Bramantya, pemilik beberapa rumah sakit di kota Jakarta. Pada acara lamaran itu mereka terkejut melihat calon istri Akbar yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Narasi yang dibangun pada saat itu adalah, seorang gadis biasa berubah nasibnya setelah menjadi calon istri Akbar. Seperti Cinderella yang menikah dengan pangeran tampan. Narasi ini juga mengangkat nama besar Adam dan membuat tamu undangan merasa bangga padanya karena tidak membeda-bedakan cara pandang pada orang lain. Semua tamu tidak sabar menantikan pernikahan fenomenal antara seorang gadis yatim piatu dengan seorang pewaris bisnis rumah sakit keluarga Bramantya.Akbar baru pulang dari rumah sakit pada jam tujuh malam. Namun, pria itu tidak pulang ke rumah, dia pergi ke sebuah kafe tempat dia dan empat sahabatnya sering bertemu. Akbar dan empat sahabatnya sudah berteman sejak mereka masuk Fakultas Kedokteran. Di usianya sekarang mereka sudah menjadi dokter spesialis sesuai keinginan masing-masing dan bekerja di rumah sakit yang berbeda. Hanya Akbar saja yang menjadi direktur rumah sakit karena memang dia mewarisi dari papanya. Tiba di kafe, empat sahabat Akbar sudah berkumpul. Setelah turun dari mobil dia pun segera menghampiri meja keempat sahabatnya itu.“Wah, ini penganten baru sudah datang,” sapa Rio. “Gimana nih malam pertamanya? Sukses besar dong?” tanya Rio lagi. Akbar sendiri jengah dengan pertanyaan soal malam pertama. Dia pun menjawab sekenanya. “Ya, gitulah.” Taufan heran melihat reaksi Akbar. “Loh, kenapa? Eh, iya, cewek yang kamu nikahi itu kan bukan pacarmu, Bar? Kok bi
Pulang dari makan siang di restoran yang menjual masakan Jepang, Akbar berpikir bagaimana caranya dia dapat mencoba masakan Hana. Namun, tidak ada satu ide pun yang terlintas di pikiran Akbar. “Gimana ya caranya?” Pria itu mengetuk-ngetuk layar ponselnya, tetapi tetap tidak mendapat ide sama sekali. “Apa tunggu agak malam aja ya? Hana pasti sudah tidur jam 10 malam, kan?” Akhirnya, pria itu senang karena mendapat ide itu. Dia pun akan menunggu malam hari. Untuk makan malam mengganjal perutnya, Akbar pun pergi ke kafe dekat rumah untuk membeli kopi dan roti saja. Dia akan pulang mendekati jam 10 malam. “Hana, saya mau keluar. Kunci saja pintunya dan jangan tunggu saja datang. Kamu cabut saja kunci rumah itu karena saya ada kunci cadangan.” “Iya, Mas.” Akbar pun pergi untuk menjalankan rencananya. Dia segera pergi ke kafe dengan mobilnya. Tiba di kafe, Akbar memesan kopi dan roti bakar. Lalu dia menonton film di ponselnya aga
Kening Akbar berkerut mendengar ucapan Rara, dia pun berkata dalam hati, “Rara kenapa nih? Kok jadi aneh gini?”“Kamu kenapa lagi, Ra?” tanya Akbar yang kebingungan dengan sikap Rara. “Mas, aku menyesal sudah minta Mas menikah dengan perempuan itu.” Rara menegaskan lagi ucapannya. Akbar menghela napas. Perempuan itu sendiri yang membiarkan dia menikah, kenapa sekarang dia yang menyesal. “Kamu sendiri yang bilang enggak akan menyesal kalau saya menikah dengan perempuan pilihan mama saya. Kenapa sekarang kamu menyesal? Saya nikah aja belum ada satu hari, kenapa kamu jadi tiba-tiba berubah gini, Ra?” “Mas!” “Iya, kenapa?” “Tadi aku datang ke resepsi pernikahan Mas Akbar. Aku lihat Mas bahagia banget berdiri di pelaminan sama perempuan itu. Mas cinta ya sama dia? Mas sudah melupakan aku?” Akbar coba menenangkan Rara. “Kamu sendiri yang belum mau diajak nikah, saya ancam dengan menikah
“Loh, siapa yang selingkuh, Hana? Aku tidak selingkuh. Aku sudah bilang kan kalau aku mau fokus lanjutin kuliah.” Farhan terus mengelak. Hana jelas tidak percaya lagi pada Farhan yang sudah ketahuan berbohong masih aja terus membohonginya. “Yang kamu bawa ke pelaminan tadi itu pacar kamu, kan? Dia calon istri kamu. Itu kamu bilang enggak selingkuh? Sejak kapan kamu dekat sama perempuan itu?” “Perempuan mana yang kamu bilang? Yang tadi aku bawa ke pelaminan? Oh Della. Dia bukan pacarku apalagi calon istri, dia itu sibuk mengejar-ngejar aku, dia yang jatuh cinta sama aku, sedangkan aku enggak ada perasaan apa pun sama dia.” Hana menatap Farhan dengan heran. “Kita ini sudah putus ya. Buat apa kamu berbohong sama aku. Mau kamu pacaran sama dia pun, sudah tidak ada urusannya dengan aku.” “Kamu enggak percaya sama aku, Han? Dia bukan pacarku.” “Kenapa aku harus percaya sama kamu? Aku cuma masa lalu kamu. Tidak usah
Acara lamaran kali ini dihadiri kolega bisnis Adam dan keluarga dekat. Sama dengan acara besoknya ketika akad nikah. Lebih banyak dihadiri keluarga dekat dan rekan bisnis Adam saja. “Kamu sudah siap menjadi istri saya, Hana?” tanya Akbar sebelum akad nikah berlangsung. “Siap, Mas. Saya tidak ada pilihan lagi dan tidak bisa mundur. Saya tidak mau merusak nama baik orang tua Mas Akbar.” Hana sudah tahu konsekuensi jika dia mundur tiba-tiba. “Bersiaplah. Sebentar lagi kamu resmi jadi istri saya.” “Iya, Mas.” Hana mengangguk lalu menunduk, dia tidak mampu menatap Akbar lebih lama karena masih merasa rendah diri pada pria itu. Akad nikah sudah dipersiapkan, karena Hana adalah anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara lainnya. Dia pun diwalikan dengan wali hakim. “Saya terima nikahnya Hana Prastika binti Ahmad Deni dengan mas kawin emas 100 gram dibayar tunai.” Akbar mengucap dengan lantang dalam satu tarikan napas. Setelah itu para saksi menyatakan jika pernikahannya dengan Hana s
Hana terpaksa menuruti keinginan Ririn. Dia sudah tidak bisa lagi menolak. Mulai hari itu, Hana dimasukkan ke beberapa kursus agar dia belajar menjadi istri Akbar nantinya. Hari itu juga, Hana dipaksa pindah ke kontrakan baru yang jauh lebih besar dan nyaman untuk Hana. Hidup Hana saat ini diatur oleh Ririn. “Ibu, kontrakan ini terlalu besar buat saya.” Hana menolak dengan halus. “Tidak, Hana, ini cukup buat kamu.” Kamar dengan ukuran tiga kali lipat dari kamar kos Hana sebelumnya dengan AC dan kamar mandi di dalam harusnya membuat Hana lebih nyaman tinggal di sana. “Saya tidak bisa membayar kontrakan ini, Bu.” “Kamu tenang aja, kontrakan ini sudah saya bayar. Kamu sekarang fokus untuk belajar menjadi istrinya Akbar saja. Dia kan direktur rumah sakit, kamu nanti akan menemani dia setiap ada pertemuan, Ibu mau kamu bisa membawa diri di setiap pertemuan itu nanti.” Hana mengela napas. Betapa beratnya menjadi istrinya Akbar menurutnya yang hanya seorang gadis biasa dan tidak terbi