“Tidak ada salahnya, kan kalau kita mencoba bermain-main lagi setelah sekian lama?”
Permata ingat betul dengan kejadian lima tahun yang lalu di kamar hotel setelah pernikahannya. Bagaimana Axel yang dengan tidak punya belas kasihan menusuk hati Permata dengan kata-kata tajam yang menyakitkan. Dia dibuang begitu saja setelah Axel berhasil merenggut kesuciannya. Bahkan dengan bangganya Axel mengatakan jika pernikahan yang mereka lakukan semata adalah sebuah permainan.
Mengingat itu, amarah Permata seolah menguar begitu saja. Tapi dia tahu jika akal sehatnya harus terus berjalan. Jika dulu Permata begitu mudah untuk ditumbangkan, maka tentu tidak berlaku untuk sekarang. Lima tahun dia berada di negeri orang dengan banyak hal buruk yang pernah terjadi kepadanya, dan itu mampu membuat dirinya berdiri tegak untuk menghadapi dunia.
“Jangan berpikir karena kamu sudah berubah, lantas bisa mengubah semuanya. Saya, bahkan masih memandang dirimu seseorang yang pernah dicampakkan. Kamu tetap wanita rendah di mata saya.” Axel mencoba terus menyerang Permata. “Saya rasa permainan kita sudah selesai lima tahun yang lalu.”
“Kita?” Permata mengernyit mendengar kata tersebut seolah itu adalah kata paling aneh yang pernah didengarnya.
Tawa Permata kembali berderai-derai. “Saya dan Anda tidak pernah menjadi kita, Pak Axel. Anda memang sudah menyelesaikan permainan Anda lima tahun yang lalu. Tapi sekarang, tentu giliran saya yang bermain.” Diakhiri dengan kedipan mata, Permata seolah memicu perang dengan Axel.
Meskipun kalimat demi kalimat yang dikatakan oleh Permata seperti angin musim dingin yang menyegarkan, Axel lebih dari paham jika semua kata-kata Permata adalah peperangan. Axel mengubah ekspresinya menjadi lebih dingin dan kaku. Amarah yang ditahannya seperti bara api yang menyala dengan kobaran yang dahsyat.
“Dan dugaan Anda tentang saya menjadikan Pak Gema sebagai alat untuk membalas dendam, sepertinya Anda salah menebak.” Permata kembali bersuara. “Saya tidak pernah hidup dengan cara seperti itu. Orang lain tidak perlu menanggung dosa yang pernah Anda lakukan kepada saya. Hanya orang-orang bodoh yang melakukan hal semacam itu. Saya bukan Anda yang menggunakan orang lain sebagai bahan taruhan dan menghancurkan hidup orang itu dalam sekali kedipan mata.”
Axel pasti merasakan darahnya mendidih mendengar kalimat Permata seperti kotoran yang dilemparkan ke wajahnya. Seumur hidupnya, dia tentu tak pernah diperlakukan seburuk ini oleh orang lain. Sekarang, Permata secara tak langsung mengatakan jika Axel adalah orang bodoh itu.
Bukan hanya Axel, Permata bahkan bisa merasakan seperti ada sebuah sayatan di bekas luka hatinya yang mengering, sehingga luka itu kembali terbuka dan berdarah saat mengatakan kalimat tersebut. Perempuan itu menatap wajah Axel yang tampak menegang.
Jika boleh jujur, Axel masih mempesona seperti terakhir kali dia melihatnya. Tulang rahangnya yang tegas membingkai wajah tampannya. Matanya yang tajam selalu menatap dengan cara yang angkuh. Hidungnya mancung dengan bibir bawahnya sedikit tebal dan bibir atasnya seperti huruf M.
“Lalu kenapa kalau saya melakukannya?” Axel kembali bersuara. “Di dunia ini, kita bisa menggunakan cara yang licik untuk mendapatkan sesuatu. Dan saya berhak melakukan apa pun yang saya inginkan dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Tapi, saya rasa saya perlu berterima kasih kepadamu. Karena dirimu, akhirnya saya mendapatkan yang saya inginkan.”
Seringaian puas itu tampak menghiasi bibir Axel karena berhasil membalik ucapan Permata. Yang masih menjadi pertanyaan besar dalam benak Permata adalah, apa yang sebenarnya ingin didapatkan Axel di masa lalu sehingga lelaki itu melibatkannya dalam permainannya.
“Begitukah? Kalau begitu selamat. Saya senang bisa membantu lelaki yang lemah.”
Axel tidak pernah berubah. Dia masih lelaki angkuh dan berkuasa. Tapi meskipun begitu, kali ini Permata datang bukan untuk kalah. Dia hanya akan mendapatkan kemenangannya. Meskipun kata-kata yang dikeluarkan oleh Axel menyakiti Permata, tapi perempuan itu tentu saja memiliki jawabannya dan dikeluarkan dengan anggun.
Seringaian Axel lantas memudar. Terlebih lagi ketika Permata kembali bersuara dan cukup membuat Axel menggeram marah. “Pak Axel, memiliki banyak uang itu bagus. Tapi akan lebih baik lagi kalau Anda tetap menggunakan hati Anda untuk mendapatkannya. Siapa yang akan tahu masa depan kita. Akan ada masanya, uang Anda tidak berguna untuk menyelamatkan penyesalan Anda.”
“Jangan menggurui saya.” Axel menjawab cepat. “Saya bahkan bisa membeli Anda dengan uang yang saya miliki.”
“Begitukah?” Permata tampak terpesona dengan ucapan Axel sampai-sampai membuat lelaki itu mengeratkan rahangnya. “Kalau begitu lakukan saja. Saya akan menunggu saat itu tiba.”
Dan dengan berakhirnya ucapan Permata, maka genderang perang sudah ditabuh. Dua orang yang dulu pernah terlibat dalam asmara itu kini menjadi musuh. Mereka ingin menghancurkan satu sama lain sampai salah satu dari mereka berakhir menyedihkan. Baik Permata atau Axel, tampaknya sudah siap dengan permainan mereka.
“Kalau Anda sudah tidak memiliki sesuatu untuk dibicarakan, maka saya harus pergi sekarang.”
Permata menunggu Axel untuk menjawabnya, tapi tidak ada sepatah kata pun ucapan Axel yang keluar. Maka Permata dengan anggun berbalik untuk memanggil Denial dan lelaki itu segera mendekat.
“Kita pulang sekarang, Denial,” katanya dengan lembut.
“Baik, Nona. Angkasa sudah menunggu Anda. Dia mengatakan rindu berkali-kali dan meminta kepada saya untuk segera membawa Anda pulang.”
Senyum Permata lebar dan tampak bahagia. Axel yang melihat itu mengernyitkan dahinya seolah penasaran dengan sebuah nama yang baru saja disebut. Namun itu bukan urusannya. Axel menatap Permata masuk ke dalam mobil, dan seringaian kecil muncul di bibir Permata sebelum pintu mobilnya tertutup kemudian kendaraan beroda empat itu pergi meninggalkan hotel. Menyisakan Axel berdiri di tempatnya.
“Semua baik-baik saja?” tanya Denial yang mengubah cara bicaranya menjadi nonformal setelah mobil berjalan. Lelaki itu menoleh ke arah Permata yang duduk di kursi belakang.
“Tentu saja,” jawab Permata.
“Apa dia mengancam atau sejenisnya?”
“Dia tidak melakukannya.”
Jawaban yang diberikan oleh Permata membuat Denial diam dan di dalam mobil penuh dengan keheningan. Bahkan sampai mereka sampai di rumah besar Permata pun tidak ada dari mereka yang berbicara.
Ketika sampai di rumah dan mendapatkan sambutan dari Angkasa dengan sebuah pelukan kecil, membuat kekuatan Permata yang sempat hilang karena menghadapi Axel, seketika kembali terisi.
“Mami, kenapa lama sekali?” tanya suara kecil menggemaskan. Mata bocah lelaki itu sayu dan tampak mengantuk. “Mami banyak kerja? Mami capek?” Berondongan pertanyaan itu membuat Permata tersenyum. Permata dengan gemas mencium Angkasa dengan lembut.
“Hem. Tadinya Mami lelah. Tapi sekarang sudah tidak lagi.”
“Mami, kalau Angkasa besar nanti, Angkasa akan bekerja dan punya banyak uang untuk Mami.”
‘Axel, akan ada waktunya kamu bertemu dengan Angkasa suatu saat nanti. Saat itu tiba, kamu akan berlutut di bawah kakiku dan menyatakan kekalahanmu.’ Batin Permata dengan dingin.
***
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny