Share

Part 4. Angkasa

“Tidak ada salahnya, kan kalau kita mencoba bermain-main lagi setelah sekian lama?” 

Permata ingat betul dengan kejadian lima tahun yang lalu di kamar hotel setelah pernikahannya. Bagaimana Axel yang dengan tidak punya belas kasihan menusuk hati Permata dengan kata-kata tajam yang menyakitkan. Dia dibuang begitu saja setelah Axel berhasil merenggut kesuciannya. Bahkan dengan bangganya Axel mengatakan jika pernikahan yang mereka lakukan semata adalah sebuah permainan. 

Mengingat itu, amarah Permata seolah menguar begitu saja. Tapi dia tahu jika akal sehatnya harus terus berjalan. Jika dulu Permata begitu mudah untuk ditumbangkan, maka tentu tidak berlaku untuk sekarang. Lima tahun dia berada di negeri orang dengan banyak hal buruk yang pernah terjadi kepadanya, dan itu mampu membuat dirinya berdiri tegak untuk menghadapi dunia.  

“Jangan berpikir karena kamu sudah berubah, lantas bisa mengubah semuanya. Saya, bahkan masih memandang dirimu seseorang yang pernah dicampakkan. Kamu tetap wanita rendah di mata saya.” Axel mencoba terus menyerang Permata. “Saya rasa permainan kita sudah selesai lima tahun yang lalu.”

“Kita?” Permata mengernyit mendengar kata tersebut seolah itu adalah kata paling aneh yang pernah didengarnya. 

Tawa Permata kembali berderai-derai. “Saya dan Anda tidak pernah menjadi kita, Pak Axel. Anda memang sudah menyelesaikan permainan Anda lima tahun yang lalu. Tapi sekarang, tentu giliran saya yang bermain.” Diakhiri dengan kedipan mata, Permata seolah memicu perang dengan Axel. 

Meskipun kalimat demi kalimat yang dikatakan oleh Permata seperti angin musim dingin yang menyegarkan, Axel lebih dari paham jika semua kata-kata Permata adalah peperangan. Axel mengubah ekspresinya menjadi lebih dingin dan kaku. Amarah yang ditahannya seperti bara api yang menyala dengan kobaran yang dahsyat. 

“Dan dugaan Anda tentang saya menjadikan Pak Gema sebagai alat untuk membalas dendam, sepertinya Anda salah menebak.” Permata kembali bersuara. “Saya tidak pernah hidup dengan cara seperti itu. Orang lain tidak perlu menanggung dosa yang pernah Anda lakukan kepada saya. Hanya orang-orang bodoh yang melakukan hal semacam itu. Saya bukan Anda yang menggunakan orang lain sebagai bahan taruhan dan menghancurkan hidup orang itu dalam sekali kedipan mata.” 

Axel pasti merasakan darahnya mendidih mendengar kalimat Permata seperti kotoran yang dilemparkan ke wajahnya. Seumur hidupnya, dia tentu tak pernah diperlakukan seburuk ini oleh orang lain. Sekarang, Permata secara tak langsung mengatakan jika Axel adalah orang bodoh itu. 

Bukan hanya Axel, Permata bahkan bisa merasakan seperti ada sebuah sayatan di bekas luka hatinya yang mengering, sehingga luka itu kembali terbuka dan berdarah saat mengatakan kalimat tersebut. Perempuan itu menatap wajah Axel yang tampak menegang. 

Jika boleh jujur, Axel masih mempesona seperti terakhir kali dia melihatnya. Tulang rahangnya yang tegas membingkai wajah tampannya. Matanya yang tajam selalu menatap dengan cara yang angkuh. Hidungnya mancung dengan bibir bawahnya sedikit tebal dan bibir atasnya seperti huruf M. 

“Lalu kenapa kalau saya melakukannya?” Axel kembali bersuara. “Di dunia ini, kita bisa menggunakan cara yang licik untuk mendapatkan sesuatu. Dan saya berhak melakukan apa pun yang saya inginkan dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Tapi, saya rasa saya perlu berterima kasih kepadamu. Karena dirimu, akhirnya saya mendapatkan yang saya inginkan.” 

Seringaian puas itu tampak menghiasi bibir Axel karena berhasil membalik ucapan Permata. Yang masih menjadi pertanyaan besar dalam benak Permata adalah, apa yang sebenarnya ingin didapatkan Axel di masa lalu sehingga lelaki itu melibatkannya dalam permainannya. 

“Begitukah? Kalau begitu selamat. Saya senang bisa membantu lelaki yang lemah.” 

Axel tidak pernah berubah. Dia masih lelaki angkuh dan berkuasa. Tapi meskipun begitu, kali ini Permata datang bukan untuk kalah. Dia hanya akan mendapatkan kemenangannya. Meskipun kata-kata yang dikeluarkan oleh Axel menyakiti Permata, tapi perempuan itu tentu saja memiliki jawabannya dan dikeluarkan dengan anggun. 

Seringaian Axel lantas memudar. Terlebih lagi ketika Permata kembali bersuara dan cukup membuat Axel menggeram marah. “Pak Axel, memiliki banyak uang itu bagus. Tapi akan lebih baik lagi kalau Anda tetap menggunakan hati Anda untuk mendapatkannya. Siapa yang akan tahu masa depan kita. Akan ada masanya, uang Anda tidak berguna untuk menyelamatkan penyesalan Anda.”

“Jangan menggurui saya.” Axel menjawab cepat. “Saya bahkan bisa membeli Anda dengan uang yang saya miliki.” 

“Begitukah?” Permata tampak terpesona dengan ucapan Axel sampai-sampai membuat lelaki itu mengeratkan rahangnya. “Kalau begitu lakukan saja. Saya akan menunggu saat itu tiba.” 

Dan dengan berakhirnya ucapan Permata, maka genderang perang sudah ditabuh. Dua orang yang dulu pernah terlibat dalam asmara itu kini menjadi musuh. Mereka ingin menghancurkan satu sama lain sampai salah satu dari mereka berakhir menyedihkan. Baik Permata atau Axel, tampaknya sudah siap dengan permainan mereka. 

“Kalau Anda sudah tidak memiliki sesuatu untuk dibicarakan, maka saya harus pergi sekarang.” 

Permata menunggu Axel untuk menjawabnya, tapi tidak ada sepatah kata pun ucapan Axel yang keluar. Maka Permata dengan anggun berbalik untuk memanggil Denial dan lelaki itu segera mendekat.

“Kita pulang sekarang, Denial,” katanya dengan lembut.

“Baik, Nona. Angkasa sudah menunggu Anda. Dia mengatakan rindu berkali-kali dan meminta kepada saya untuk segera membawa Anda pulang.” 

Senyum Permata lebar dan tampak bahagia. Axel yang melihat itu mengernyitkan dahinya seolah penasaran dengan sebuah nama yang baru saja disebut. Namun itu bukan urusannya. Axel menatap Permata masuk ke dalam mobil, dan seringaian kecil muncul di bibir Permata sebelum pintu mobilnya tertutup kemudian kendaraan beroda empat itu pergi meninggalkan hotel. Menyisakan Axel berdiri di tempatnya. 

“Semua baik-baik saja?” tanya Denial yang mengubah cara bicaranya menjadi nonformal setelah mobil berjalan. Lelaki itu menoleh ke arah Permata yang duduk di kursi belakang. 

“Tentu saja,” jawab Permata. 

“Apa dia mengancam atau sejenisnya?” 

“Dia tidak melakukannya.” 

Jawaban yang diberikan oleh Permata membuat Denial diam dan di dalam mobil penuh dengan keheningan. Bahkan sampai mereka sampai di rumah besar Permata pun tidak ada dari mereka yang berbicara. 

Ketika sampai di rumah dan mendapatkan sambutan dari Angkasa dengan sebuah pelukan kecil, membuat kekuatan Permata yang sempat hilang karena menghadapi Axel, seketika kembali terisi.

“Mami, kenapa lama sekali?” tanya suara kecil menggemaskan. Mata bocah lelaki itu sayu dan tampak mengantuk. “Mami banyak kerja? Mami capek?” Berondongan pertanyaan itu membuat Permata tersenyum. Permata dengan gemas mencium Angkasa dengan lembut.

“Hem. Tadinya Mami lelah. Tapi sekarang sudah tidak lagi.” 

“Mami, kalau Angkasa besar nanti, Angkasa akan bekerja dan punya banyak uang untuk Mami.” 

‘Axel, akan ada waktunya kamu bertemu dengan Angkasa suatu saat nanti. Saat itu tiba, kamu akan berlutut di bawah kakiku dan menyatakan kekalahanmu.’ Batin Permata dengan dingin. 

*** 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Janice
nama kok Denial sih? Denial kan penolakan. Daniel kenapa ......
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
bakal tau rasa axel nnt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status