“Kontrak akan berjalan selama enam bulan untuk percobaan. Kalau itu membuat pengaruh yang baik bagi perusahaan, maka kontrak akan diperpanjang.”
Akhirnya meeting kembali dilakukan keesokan harinya setelah Permata menerima kerja sama dari perusahaan Axel sehari yang lalu. Tampaknya sebelum pertemuan itu dilakukan, Axel dan Gema sudah saling membahas tentang kontrak. Dan bahkan tidak main-main, enam bulan masa percobaan. Itu sedikit mengejutkan.
Almeda menoleh kepada Permata dan memberikan kesempatan kepada perempuan itu untuk bicara.
“Itu terlalu lama, Pak Gema. Saya bisa melakukannya hanya dalam satu bulan.” Meskipun itu terdengar sangat sombong, tapi Permata tidak akan berbicara besar jika dia tak mampu.
“Tapi, Berlian, bukankah lebih baik mengambil jeda waktu juga?” Gema bernegosiasi.
“Setelah launching, foto pasti akan disebar ke public dan dari sanalah kita akan tahu seberapa besar antusias konsumen terhadap perhiasan yang dikeluarkan oleh Roque Glacio. Tapi kita harus tahu terlebih dulu apakah produk itu bisa benar-benar mendongkrak dirinya sendiri atau tidak itu tergantung dari perusahaan Pak Axel.”
Saat mengatakan itu, Permata tidak sedang bercanda atau bermaksud merendahkan Axel. Dia sudah berpengalaman dalam bidang ini. Dia sebagai model yang mengenalkan sebuah produk akan bekerja dengan maksimal. Tapi jika barang itu memiliki kualitas yang buruk, tentu bukan kesalahannya jika tidak bisa menarik hati konsumen.
“Kamu meragukan kinerja kami?” Di telinga Axel tentulah terdengar jika Permata sedang meragukan perusahaannya.
Keningnya mengkerut, alis tebalnya naik, dan tatapannya begitu tajam menatap ke arah Permata. Seolah dia sedang mengatakan ‘hentikan basa-basimu dan bekerjalah dengan benar’.
“Saya tidak pernah meragukan kinerja perusahaan Bapak. Kita sedang bekerja sama sekarang. Kita tidak bisa mengandalkan satu hal saja. Saya dengan pekerjaan saya dan tentu saja Anda dengan produk Anda. Itu baru adil.”
Permata mengambil jeda sebelum melanjutkan. “Karena saya tidak ingin disalahkan seandainya kegagalan dalam produk yang sudah Anda keluarkan hanya karena saya sebagai BA-nya.”
Permata sangat berani mengatakan itu dengan terang-terangan kepada Axel. Gema yang mendengarkan itu bahkan tampak terkejut. Tapi dia tentu terlihat tampak setuju dengan ucapan Permata.
Maka dia segera bersuara. “Berlian benar. Kita sedang dalam lingkup bisnis. Tidak bisa hanya mengandalkan satu bab penyelesaian saja.” Axel yang mendengarkan itu segera menoleh pada Gema dan membuat Gema sedikit salah tingkah.
Dehemannya terdengar. “Berlian, kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Roque Glacio adalah perusahaan besar dan nomor satu. Termasuk di bidang perhiasan, dia sangat digemari bahkan sampai ke luar negeri.
“Kalau begitu bagus. Itu akan memudahkan pekerjaan saya. Kapan saya bisa melihat perhiasan itu?”
“Tampaknya kamu terlalu terburu-buru, Nona.” Axel yang kesal dengan kesombongan Permata yang terus diucapkan sejak tadi itu kembali bersuara. “Kita harus menyepakati kontrak kita terlebih dulu.”
“Saya sudah mengambil keputusan jika itu satu bulan percobaan. Jika saya berhasil dengan pekerjaan saya dan menaikkan kepopuleran perhiasan Anda lebih tinggi lagi, Anda harus bersedia membayar saya lebih tinggi dari yang Ada di dalam kontrak. Tapi kalau dalam satu bulan itu saya gagal, dalam waktu satu tahun, saya akan bekerja dengan Anda secara cuma-cuma tanpa dibayar. Bukankah ini menarik?”
Lagi dan lagi, Permata bertindak seperti tanpa dipikirkan. Almeda memelototi perempuan itu. “Kamu ini berbicara apa, Berlian!” Begitu kata Almeda. “Bisnis adalah bisnis, kita tidak bisa mempertaruhkan karirmu dalam hal seperti ini.”
“Itu benar, Berlian. Jangan gegabah.” Gema tentu ketakutan dengan ucapan Permata. Bagaimana kalau terjadi kegagalan? Itu hanya akan membuat perusahaannya merugi.
“Kenapa kalian begitu ketakutan?” Permata menatap Gema dan Almeda bergantian. “Kalau kalian tidak mempercayaiku sejak awal, seharusnya tidak perlu memberiku pekerjaan.”
Permata tampak tersinggung. Bibir yang biasanya mengulas senyum itu kini tertutup dengan ekspresi yang begitu kelam. Hal itu cukup membuat Gema terkejut dibuatnya. Dia yang bosnya di sana, tapi kenapa dia seperti dikendalikan oleh artisnya?
“Kalau begitu saya setuju.” Axel yang tidak bisa membiarkan dirinya diinjak-injak oleh Permata itu menerima tawaran Permata. “Gema, kamu tidak perlu takut. Kalau dia yang kalah, saya akan tetap membayar ke perusahaanmu. Saya hanya penasaran dengan kinerja perempuan yang bermulut besar seperti dia.”
Permata tidak menjawab melainkan hanya menatap Axel dengan datar. Tak lama setelah itu, Almeda memberikan berkas-berkas kerja sama yang sudah dipelajari dan menyetujui penawaran tersebut. Permata dan Almeda keluar dari ruangan Gema dan tidak ada yang berbicara di antara keduanya.
Mereka memilih makan siang di sebuah restoran dan barulah pembahasan itu kembali dilakukan.
“Aku nggak tahu kenapa kamu mengambil keputusan seperti ini, Permata. Kenapa kamu mengajukan sesuatu yang nggak masuk akal sama sekali? Kamu membuat dirimu sebagai taruhan begitu?”
Karena mereka memesan tempat VIP, maka Almeda tidak takut akan ada yang mendengarkan perbincangan mereka.
“Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Dan kamu juga lebih dari tahu kalau aku mampu melakukannya. Jadi, Onty Al, nggak perlu lah kamu merasa ketakutan seperti itu.”
“Bocah ini!” Almeda mendesis kesal karena Permata tampak bermain-main. “Serius lah!”
“Aku serius Al. Aku nggak mungkin mengambil keputusan tanpa berpikir matang.”
“Tapi dia itu Axel. Dia bisa memanipulasi apa pun untuk membuat kamu kalah.”
“Dengan membuat kerugian dalam perusahaannya?” Permata menatap sungguh-sungguh ke arah Almeda. “Meskipun dia membenciku sampai ubun-ubun, dia nggak mungkin mengambil resiko mencekalku karena itu akan memengaruhi perusahaannya. Aku berani menyerang dia karena ini terkait dengan perusahaannya, Almeda. Uang adalah segalanya baginya dan dia nggak akan bertindak bodoh .”
“Berapa yang kamu inginkan untuk mengambil uangnya?” Almeda akhirnya bertanya tentang nominal.
“Dia menawarkan jasa kita 800 juta untuk tiga bulan pertama, kan? Tapi kalau aku berhasil dalam satu bulan, aku akan memintanya dua atau tiga milyar. Kita lihat apakah dia akan memberikannya atau tidak. Memeras orang yang pernah memeras hatiku, itu sah dilakukan.”
Ada seringaian jahat yang ditunjukkan oleh Permata saat mengatakan itu. Axel mengatakan bisa membeli Permata dengan uangnya, tapi tentu Permata memiliki harganya sendiri.
“Aku bisa gila kalau begini.” Almeda memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan kekesalan yang tampak kental di wajahnya.
Hal itu membuat Permata dan Denial tertawa-tawa. Denial tidak mengeluarkan sepatah kata pun karena dia percaya dengan Permata seutuhnya. Laki-laki itu jelas tahu, jika Permata tidak sesederhana yang dilihat.
Namun, sebuah kejutan lagi-lagi terjadi saat Permata dan rombongan keluar dari restoran, tanpa sengaja, Permata melihat sosok Axel tengah digandeng oleh seorang perempuan cantik bermata coklat. Ada seringaian di bibir Permata saat melihat pemandangan di hadapannya.
“Jadi mereka masih bersama?”
***
Hai, Teman-teman. Ini buku kedua saya, dan semoga kalian suka. Jangan lupa follow dan reviewnya ya.
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny