Share

Part 6. Mendekat Pada Musuh

“Apa?” Almeda terkejut mendengar jawaban Permata yang baginya sangat tidak masuk akal. “Kita perlu membicarakan ini nanti, Berlian.” Almeda memecahkan keheningan yang beberapa saat lalu menyelimuti mereka.

Dalam pikiran Almeda, perusahaan Axel bahkan akan diberikan penolakan pertama dibandingkan perusahaan lain. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Almeda kelam luar biasa ketika pikirannya tidak sesuai dengan pikiran Permata. Kalau sekarang mereka hanya berdua saja, sudah pasti Almeda akan mengeluarkan kekesalannya kepada Permata. 

Bahkan Axel yang mendengar keputusan Permata saja tampak terkejut. Lelaki itu menoleh pada Permata yang ada di sampingnya seolah mencari jawaban atas keputusan perempuan itu. 

 “Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepada kita, Al. Kita tahu Pak Axel memiliki perusahaan besar dan aku rasa itu sebuah lompatan yang baik untukku berada di sana. Bukankah begitu, Pak Gema?”

Permata menatap Gema dengan matanya yang jernih dan entah kenapa itu seperti sebuah penyerangan secara tak kasat mata. Gema bahkan tampak sedikit bimbang. Lelaki itu menatap ke arah Axel untuk melihat reaksi sahabatnya. 

Di pertemuan pertama mereka, Axel dan Permata tampak seperti musuh. Tapi sekarang Permata justru mengambil langkah terlalu jauh. Normalnya, Permata akan menghindari Axel bukannya semakin mendekat. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Si Top Model itu bahkan Almeda sekalipun. 

“Itu benar.” Gema akhirnya bersuara. “Kalau begitu, kita akan membicarakan tentang kontrak dan hal-hal lainnya esok hari.” 

“Kalau begitu, kami izin permisi dulu, Pak Gema.” Permata berdiri dan memberikan kode kepada Almeda yang masih terpaku di tempatnya untuk mengikutinya.

Tampak dengan berat hati, Almeda berdiri. Mereka keluar dari ruangan Gema dan segera saja Almeda menyerang Permata dengan pertanyaan.

“Kamu sudah gila atau apa, Permata? Keputusanmu itu sungguh keputusan yang sangat bodoh.” 

Lift yang akan membawa mereka ke lantai dasar itu tertutup dan bergerak turun. Permata yang mendapatkan pertanyaan itu tidak bereaksi. Dia menutup bibirnya dengan rapat sampai mereka masuk ke dalam mobil. Setelah sabuk pengaman terpasang, barulah Permata berbicara.

“Untuk bersembunyi dari musuh adalah dengan cara berada di dekat mereka.” Permata mengatakan dengan sungguh-sungguh tanpa keraguan sedikitpun. “Aku sekarang sedang memberikannya kesempatan untuk ‘membeliku’ seperti yang dia katakan malam itu.” 

“Apa maksudmu?” 

Almeda belum mengetahui isi ‘percakapan’ yang terjadi antara Permata dan Axel malam itu, karenanya dia tampak tidak mengetahui apa pun. Maka Permata menceritakan detail percakapannya dengan Axel. Namun meskipun begitu, Almeda masih tidak setuju dengan keputusan yang diambil Permata hanya karena emosi.

“Aku sudah memikirkannya.” Permata menjawab penolakan Almeda. “Dia sudah memberikan penyerangan dengan mengajukan kerja sama ke Infinity. Kamu berpikir Axel bodoh dengan membiarkan dirinya diserang lebih dulu? Aku tahu dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya dengan mengambil jeda. Itulah kenapa aku harus berada di dekatnya. Meskipun ini mungkin akan kembali menyakiti hatiku, tapi aku tetap akan melakukannya.” 

Permata tahu konsekuensi yang akan ditanggung. Tapi dia tak bisa berhenti. Ada hal-hal yang perlu dia ketahui. Pasti akan ada celah untuk dirinya mengetahui tentang sesuatu tersebut. 

“Kita tahu kalau bukan Axel satu-satunya lawan kita, tapi perempuan yang pernah mendatangiku. Aku rasa aku juga perlu memberikan sedikit pembalasan untuk perempuan itu.” 

Almeda tak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar ucapan Permata kepadanya. Meskipun Permata selama ini tak pernah menunjukkan keinginan untuk membalas perbuatan Axel, tapi itu semata hanya topeng. Yang sebenarnya, Permata ingin melihat Axel menyesal dan memohon ampun kepadanya. 

“Aku akan mendukungmu.” Denial akhirnya bersuara. “Apa pun itu, aku akan berada di sisimu.” 

“Kamu mengatakan itu seolah menganggap aku tidak mendukung Permata.” Almeda merasa kesal. 

“Siapa tahu kamu berubah pikiran dan terpukau dengan bedebah itu.” Sejenak setelah Denial berbicara, kepalanya ditarik dari belakang diiringi dengan desisan kesakitan. Almeda yang melakukannya. Selalu seperti itu jika Denial dan Almeda disatukan. Selalu ada pertengkaran di antara keduanya. 

“Kalau kamu gila, pergilah ke rumah sakit gila. Ucapanmu benar-benar melantur.” Almeda mendorong kepala Denial dengan kencang sebelum perempuan itu kembali menyandarkan punggungnya di sandaran kursi mobil. 

Permata sudah biasa dengan pertengkaran mereka. Dia lantas berceletuk. “Jangan suka bertengkar. Tidak baik untuk hubungan kalian. Aku berencana untuk menikahkan kalian setelah urusan kita selesai.” 

“Permata Berlian!” 

Permata terkekeh mendengar dua orang yang selalu berada di sisinya itu memanggil namanya secara bersamaan bermaksud memperingatkan. Entah kenapa, Permata percaya kalau mereka suatu saat akan terpikat satu sama lain. Hanya menunggu waktu yang tepat. Mereka sudah bersama-sama sejak empat tahun lalu dan hubungan itu sudah begitu akrab. 

Mobil Permata sudah masuk ke dalam halaman rumahnya yang besar, dan sebuah sambutan terdengar.

“Mami … Mami … Mami!” 

Begitulah bocah kecil itu dipenuhi dengan kebahagiaan sebab ibunya kembali ke rumah. Permata yang melihat putranya tersenyum bahagia, itu tak tahan untuk bisa segera memeluknya. 

“Hai, Jagoan! Bagaimana hari ini? Tidak nakal, kan?” 

Angkasa menggeleng. “Tidak Mami. Angkasa belajar dengan Sus Dian.” 

Sus Dian adalah baby sitter yang menjaga Angkasa saat Permata sedang bekerja. Menggandeng tangan Angkasa, Permata masuk ke dalam rumah diikuti oleh Almeda dan Denial. Mereka duduk di ruang keluarga kemudian mengobrol. 

“Mami, kapan Angkasa akan sekolah? Angkasa bosan.” 

Bocah itu sudah sekolah saat berada di Paris, sehingga saat sekarang tetap berada di rumah, tentulah rasa bosan itu menderanya. 

“Mami sedang mencarikan sekolah yang bagus buat Angkasa. Tunggulah sebentar lagi, Onty Al akan mendaftarkan Angkasa sekolah.” 

“Benar, Onty?” 

“Tentu saja. Angkasa akan mendapatkan banyak teman setelah itu dan kalian bisa belajar bersama. Apa Angkasa suka?” 

“Ya!” Saat mengatakan itu, kedua tangan kecil Angkasa terangkat dan senyumnya begitu lebar saking bahagianya. Hal itu membuat orang-orang yang ada di sana tersenyum gemas ke arahnya. 

Permata terus memandangi Angkasa dengan tatapan lembut sebelum pikirannya mengingatkannya tentang Axel. Pertemuan hari ini dengan lelaki itu memang tidak pernah ada perdebatan, tapi tentu dia tetap merasakan aura permusuhan dalam tubuh lelaki itu. 

Setelah malam tiba dan Angkasa sudah terlelap dalam tidur, Permata merundingkan tentang pekerjaan yang perlu diterima atau tidak. 

“Sepertinya, Axel memang sejak awal sudah mengincar kamu.” Almeda bersuara. “Tentu saja dengan bantuan Gema, itu akan menjadi awal yang mudah bagi dia. Kamu tahu, dia berani membayarmu dengan harga yang cukup fantastis.” 

Permata tersenyum sambil mengangguk. “Aku tahu. Siang tadi aku sudah mengatakan jika dia tak akan membuang waktunya dengan sia-sia? Tentu ini bagian dari rencananya.” 

“Bedebah itu.” Almeda mengeratkan giginya sampai rahangnya terlihat menguat. 

“Kamu baru melihat segelintir dari sikap congkak lelaki itu. Kalau kamu tahu saat di pesta malam itu, aku yakin tanganmu akan berfungsi untuk menonjok wajahnya.” Denial menanggapi. 

“Dia benar-benar nggak punya hati,” geram Almeda. 

“Tapi sekarang, dia tidak sedang berhadapan dengan Permata yang lemah. Tapi dia sedang berhadapan dengan Berlian. Aku tidak akan memberinya kesempatan untuk menang terlalu banyak.” 

Tekad yang ditunjukkan oleh Permata begitu teguh tak bisa diganggu gugat. 

*** 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
jadi status nya permata sama axel itu masih suami istri kan mereka gk ada ngurus surat cerai ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status