“Apa?” Almeda terkejut mendengar jawaban Permata yang baginya sangat tidak masuk akal. “Kita perlu membicarakan ini nanti, Berlian.” Almeda memecahkan keheningan yang beberapa saat lalu menyelimuti mereka.
Dalam pikiran Almeda, perusahaan Axel bahkan akan diberikan penolakan pertama dibandingkan perusahaan lain. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Almeda kelam luar biasa ketika pikirannya tidak sesuai dengan pikiran Permata. Kalau sekarang mereka hanya berdua saja, sudah pasti Almeda akan mengeluarkan kekesalannya kepada Permata.
Bahkan Axel yang mendengar keputusan Permata saja tampak terkejut. Lelaki itu menoleh pada Permata yang ada di sampingnya seolah mencari jawaban atas keputusan perempuan itu.
“Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepada kita, Al. Kita tahu Pak Axel memiliki perusahaan besar dan aku rasa itu sebuah lompatan yang baik untukku berada di sana. Bukankah begitu, Pak Gema?”
Permata menatap Gema dengan matanya yang jernih dan entah kenapa itu seperti sebuah penyerangan secara tak kasat mata. Gema bahkan tampak sedikit bimbang. Lelaki itu menatap ke arah Axel untuk melihat reaksi sahabatnya.
Di pertemuan pertama mereka, Axel dan Permata tampak seperti musuh. Tapi sekarang Permata justru mengambil langkah terlalu jauh. Normalnya, Permata akan menghindari Axel bukannya semakin mendekat. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Si Top Model itu bahkan Almeda sekalipun.
“Itu benar.” Gema akhirnya bersuara. “Kalau begitu, kita akan membicarakan tentang kontrak dan hal-hal lainnya esok hari.”
“Kalau begitu, kami izin permisi dulu, Pak Gema.” Permata berdiri dan memberikan kode kepada Almeda yang masih terpaku di tempatnya untuk mengikutinya.
Tampak dengan berat hati, Almeda berdiri. Mereka keluar dari ruangan Gema dan segera saja Almeda menyerang Permata dengan pertanyaan.
“Kamu sudah gila atau apa, Permata? Keputusanmu itu sungguh keputusan yang sangat bodoh.”
Lift yang akan membawa mereka ke lantai dasar itu tertutup dan bergerak turun. Permata yang mendapatkan pertanyaan itu tidak bereaksi. Dia menutup bibirnya dengan rapat sampai mereka masuk ke dalam mobil. Setelah sabuk pengaman terpasang, barulah Permata berbicara.
“Untuk bersembunyi dari musuh adalah dengan cara berada di dekat mereka.” Permata mengatakan dengan sungguh-sungguh tanpa keraguan sedikitpun. “Aku sekarang sedang memberikannya kesempatan untuk ‘membeliku’ seperti yang dia katakan malam itu.”
“Apa maksudmu?”
Almeda belum mengetahui isi ‘percakapan’ yang terjadi antara Permata dan Axel malam itu, karenanya dia tampak tidak mengetahui apa pun. Maka Permata menceritakan detail percakapannya dengan Axel. Namun meskipun begitu, Almeda masih tidak setuju dengan keputusan yang diambil Permata hanya karena emosi.
“Aku sudah memikirkannya.” Permata menjawab penolakan Almeda. “Dia sudah memberikan penyerangan dengan mengajukan kerja sama ke Infinity. Kamu berpikir Axel bodoh dengan membiarkan dirinya diserang lebih dulu? Aku tahu dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya dengan mengambil jeda. Itulah kenapa aku harus berada di dekatnya. Meskipun ini mungkin akan kembali menyakiti hatiku, tapi aku tetap akan melakukannya.”
Permata tahu konsekuensi yang akan ditanggung. Tapi dia tak bisa berhenti. Ada hal-hal yang perlu dia ketahui. Pasti akan ada celah untuk dirinya mengetahui tentang sesuatu tersebut.
“Kita tahu kalau bukan Axel satu-satunya lawan kita, tapi perempuan yang pernah mendatangiku. Aku rasa aku juga perlu memberikan sedikit pembalasan untuk perempuan itu.”
Almeda tak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar ucapan Permata kepadanya. Meskipun Permata selama ini tak pernah menunjukkan keinginan untuk membalas perbuatan Axel, tapi itu semata hanya topeng. Yang sebenarnya, Permata ingin melihat Axel menyesal dan memohon ampun kepadanya.
“Aku akan mendukungmu.” Denial akhirnya bersuara. “Apa pun itu, aku akan berada di sisimu.”
“Kamu mengatakan itu seolah menganggap aku tidak mendukung Permata.” Almeda merasa kesal.
“Siapa tahu kamu berubah pikiran dan terpukau dengan bedebah itu.” Sejenak setelah Denial berbicara, kepalanya ditarik dari belakang diiringi dengan desisan kesakitan. Almeda yang melakukannya. Selalu seperti itu jika Denial dan Almeda disatukan. Selalu ada pertengkaran di antara keduanya.
“Kalau kamu gila, pergilah ke rumah sakit gila. Ucapanmu benar-benar melantur.” Almeda mendorong kepala Denial dengan kencang sebelum perempuan itu kembali menyandarkan punggungnya di sandaran kursi mobil.
Permata sudah biasa dengan pertengkaran mereka. Dia lantas berceletuk. “Jangan suka bertengkar. Tidak baik untuk hubungan kalian. Aku berencana untuk menikahkan kalian setelah urusan kita selesai.”
“Permata Berlian!”
Permata terkekeh mendengar dua orang yang selalu berada di sisinya itu memanggil namanya secara bersamaan bermaksud memperingatkan. Entah kenapa, Permata percaya kalau mereka suatu saat akan terpikat satu sama lain. Hanya menunggu waktu yang tepat. Mereka sudah bersama-sama sejak empat tahun lalu dan hubungan itu sudah begitu akrab.
Mobil Permata sudah masuk ke dalam halaman rumahnya yang besar, dan sebuah sambutan terdengar.
“Mami … Mami … Mami!”
Begitulah bocah kecil itu dipenuhi dengan kebahagiaan sebab ibunya kembali ke rumah. Permata yang melihat putranya tersenyum bahagia, itu tak tahan untuk bisa segera memeluknya.
“Hai, Jagoan! Bagaimana hari ini? Tidak nakal, kan?”
Angkasa menggeleng. “Tidak Mami. Angkasa belajar dengan Sus Dian.”
Sus Dian adalah baby sitter yang menjaga Angkasa saat Permata sedang bekerja. Menggandeng tangan Angkasa, Permata masuk ke dalam rumah diikuti oleh Almeda dan Denial. Mereka duduk di ruang keluarga kemudian mengobrol.
“Mami, kapan Angkasa akan sekolah? Angkasa bosan.”
Bocah itu sudah sekolah saat berada di Paris, sehingga saat sekarang tetap berada di rumah, tentulah rasa bosan itu menderanya.
“Mami sedang mencarikan sekolah yang bagus buat Angkasa. Tunggulah sebentar lagi, Onty Al akan mendaftarkan Angkasa sekolah.”
“Benar, Onty?”
“Tentu saja. Angkasa akan mendapatkan banyak teman setelah itu dan kalian bisa belajar bersama. Apa Angkasa suka?”
“Ya!” Saat mengatakan itu, kedua tangan kecil Angkasa terangkat dan senyumnya begitu lebar saking bahagianya. Hal itu membuat orang-orang yang ada di sana tersenyum gemas ke arahnya.
Permata terus memandangi Angkasa dengan tatapan lembut sebelum pikirannya mengingatkannya tentang Axel. Pertemuan hari ini dengan lelaki itu memang tidak pernah ada perdebatan, tapi tentu dia tetap merasakan aura permusuhan dalam tubuh lelaki itu.
Setelah malam tiba dan Angkasa sudah terlelap dalam tidur, Permata merundingkan tentang pekerjaan yang perlu diterima atau tidak.
“Sepertinya, Axel memang sejak awal sudah mengincar kamu.” Almeda bersuara. “Tentu saja dengan bantuan Gema, itu akan menjadi awal yang mudah bagi dia. Kamu tahu, dia berani membayarmu dengan harga yang cukup fantastis.”
Permata tersenyum sambil mengangguk. “Aku tahu. Siang tadi aku sudah mengatakan jika dia tak akan membuang waktunya dengan sia-sia? Tentu ini bagian dari rencananya.”
“Bedebah itu.” Almeda mengeratkan giginya sampai rahangnya terlihat menguat.
“Kamu baru melihat segelintir dari sikap congkak lelaki itu. Kalau kamu tahu saat di pesta malam itu, aku yakin tanganmu akan berfungsi untuk menonjok wajahnya.” Denial menanggapi.
“Dia benar-benar nggak punya hati,” geram Almeda.
“Tapi sekarang, dia tidak sedang berhadapan dengan Permata yang lemah. Tapi dia sedang berhadapan dengan Berlian. Aku tidak akan memberinya kesempatan untuk menang terlalu banyak.”
Tekad yang ditunjukkan oleh Permata begitu teguh tak bisa diganggu gugat.
***
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny