“Jadi mereka masih bersama?”
Permata bergumam dengan suara kecil. Dia tidak pernah menyangka kalau Axel akan bertahan dengan perempuan yang sama dalam waktu yang lama. Pantas saja kalau perempuan itu murka dengan mendatanginya di masa lalu. Perempuan itu pastilah menyangka kalau dia adalah selingkuhan Axel. Apakah mungkin, perempuan itu menguntit dirinya dengan Axel sebelumnya untuk mendapatkan bukti?
Lalu, apakah perempuan itu juga sudah tahu kalau Axel hanya menggunakan Permata sebagai mainan? Membuangnya setelah lelaki itu mencapai keinginannya? Apakah jika waktu mempertemukan mereka kembali, perempuan asing itu akan mengenalinya dan menyerangnya lebih dulu? Tapi bukankah itu pantas dilakukan oleh perempuan yang sakit hati karena diduakan?
Tiba-tiba saja, perasaan Permata memburuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Dia datang untuk membalaskan dendamnya kepada Axel dan perempuan itu, kenapa melihat kejadian hari ini justru dia merasa dirinyalah yang bersalah karena berada di antara Axel dan perempuan asing tersebut?
“Aku sudah menemukan sekolah yang bagus untuk Angkasa. Sekolah Internasional dengan sistem yang bagus.”
Permata disadarkan oleh ucapan Almeda kepadanya. Dia menoleh pada perempuan yang selalu menemaninya tersebut. Menyingkirkan segala pikiran buruk yang menyerangnya.
“Terima kasih. Maaf kalau selalu merepotkanmu.”
“Kalian memang selalu merepotkan. Bukan hanya Angkasa, tapi kamu juga. Kenapa nggak kamu sebutkan juga kalau kamu sama merepotkannya dengan bocah itu.”
Balasan sinis itu terdengar menyakitkan, tapi tentu saja itu sudah biasa bagi Permata. Bukannya marah, Permata justru tertawa geli. Almeda selalu menjadi sahabat, kakak, dan ibu baginya. Dan dia sangat bersyukur memiliki Almeda di sisinya.
“Tapi, aku nggak pernah menyesal sudah merepotkanmu. Aku akan selalu dan akan terus merepotkan. Jadi kamu nggak boleh bosan.”
“Kalau begitu jangan katakan apa pun tentang itu.” Almeda kembali mencibir dan itu membuat Permata menarik sahabatnya itu kemudian menggandeng tangan kanan Almeda dengan erat.
“Terima kasih, Kakak.” Permata terkikik saat Almeda mencebikkan bibirnya. Namun tak ayal, perempuan itu mengelus tangan Permata dengan sayang.
Permata dulu selalu bertanya pada dirinya sendiri. Bagaimana kalau tidak ada Almeda di sisinya? Apakah hidupnya akan menjadi sebaik ini sekarang? Tapi tentu saja Tuhan selalu akan berlaku adil kepada seseorang yang tidak putus asa sehingga mengirimkan Almeda untuknya.
Hari-hari berikutnya setelah Angkasa resmi sekolah, Permata semakin gila dalam bekerja. Ada banyak sekali pekerjaan bahkan sampai untuk jadwal tahun depan. Almeda selalu mahir dalam memilih proyek besar dan proyek itu selalu sukses besar. Hanya dalam satu bulan Permata memulai pekerjaannya di negeri ini, namanya sudah banyak diperbincangkan.
“Bagaimana dengan dunia peran, Berlian?” tanya Gema saat mereka melakukan pertemuan. “Saya memiliki naskah yang bagus dan entah kenapa saya merasa kamu cocok memerankannya.”
Proyek yang akan dilakukan bersama dengan Axel masih sebulan lagi karena menunggu semua dipersiapkan dengan matang.
“Apa itu film atau drama, Pak?” tanya Permata memastikan.
“Itu drama web. Kamu boleh membacanya lebih dulu naskahnya. Saya akan menunggu keputusanmu.”
Permata berpikir sejenak sebelum dia mengangguk. Bukan masalah kalau dia harus mencoba hal baru. Dia berada di dunia hiburan dan seharusnya dia bisa mengambil kesempatan lebih banyak lagi untuk mendongkrak namanya.
“Baiklah, Pak. Saya akan mempertimbangkan.”
Dengan jawaban Permata tersebut, maka pertemuan itu selesai dilakukan. Dan untuk pertama kalinya, dia akan menjemput putranya ke sekolah. Dia ingin memberikan kejutan kepada Angkasa dengan kedatangannya. Meskipun dia hanya akan berada di dalam mobil.
Setelah sampai di sekolah Angkasa, Almeda yang keluar dan Angkasa segera menemui perempuan itu. Ada senyum cerah yang tercetak di bibir bocah kecil itu. Dan kebahagiaannya bertambah ketika sampai di dalam mobil, ibunya ada di sana.
“Mami … Mami!”
Sebuah pelukan kecil menyapa Permata dengan lembut. “Mami tidak kerja?” tanya Angkasa.
“Mami kerja dong. Tapi Mami ingin menjemput Angkasa. Apa Angkasa senang?”
“Yes, Mami.” Anggukannya penuh semangat membuat Permata tak tahan untuk mencium bocah itu.
“Sekarang, katakan ke Mami, apa yang Angkasa pelajari?”
Bocah itu segera mengeluarkan sesuatu di dalam tasnya. Itu adalah sebuah buku mewarnai. Membuka di halaman pertama dan gambar satu keluarga tercetak di sana. Satu anak dan kedua orang tuanya, bergandengan tangan. Namun yang membuat jantung Permata dan suasana di dalam menjadi mencekam adalah ketika Permata bertanya,
“Kenapa Angkasa tidak mewarnai semuanya? Kenapa gambar ayah tidak Angkasa beri warna?”
Bocah itu berkedip pelan seolah sedang berpikir. Tapi setelah itu, dia memberikan jawaban yang cukup menohok.
“Mami, apakah Angkasa punya ayah?” Jika Angkasa sudah mengerti bagaimana kehidupan ibunya yang begitu susah di masa lalu, dia tentu tak akan pernah mengeluarkan pertanyaan itu.
Sayang sekali dia hanya bocah berusia 4 tahun yang belum mengerti tentang kehidupan yang sebenarnya. Sehingga dia dengan mudahnya mempertanyakan tentang keberadaan seseorang yang mungkin dia anggap seharusnya orang itu ada bersama dengannya dan juga ibunya.
“Mami, Angkasa tidak tahu seperti apa ayah Angkasa. Karena itu Angkasa tidak mewarnai gambarnya. Mami, apa Angkasa akan bertemu dengan ayah Angkasa nanti?”
Bukan hanya Permata yang tampak kehilangan nyawanya, Almeda juga merasakan hal yang sama. Beruntung, tidak ingin membuat bocah itu menjadi bingung, Denial membalikkan tubuhnya untuk menatap Angkasa.
“Angkasa, kenapa Angkasa tidak membayangkan Uncle Denial digambar Angkasa? Anggap saja Uncle Denial adalah ayah Angkasa.”
“Tapi, Uncle bukan ayah. Kata Miss Windy, Uncle is uncle, dan Daddy is daddy. Mereka tidak sama.”
Ya, Angkasa memang baru berusia 4 tahun. Meskipun sejak kecil Denial sudah bersama dengannya, tapi dia tahu kalau Denial bukanlah ayahnya. Padahal, jika ada kegiatan yang mengharuskan dirinya didampingi oleh ayah, Denial selalu ada di sana bersama Angkasa. Tapi Angkasa terlalu pintar untuk membedakan mana ayah yang sebenarnya dan mana yang bukan.
Permata meneguhkan dirinya untuk memberikan jawaban kepada putranya. Dia berusaha mengulas senyum di bibirnya untuk putranya yang terlalu cerdas.
“Sayang, tidak masalah menganggap Uncle Denial sebagai ayah Angkasa. Karena ayah Angkasa sekarang tidak ada bersama kita. Suatu hari nanti, kita pasti akan bertemu dengannya.”
“Mami, apakah ayah Angkasa sekarang sedang ada di luar angkasa?”
Pertanyaan polos itu membuat Permata terkekeh kecil. Tapi dia tak pernah mengajari Angkasa kebohongan. Maka dia menyangkalnya.
“Ayah Angkasa sekarang sedang bekerja. Dia sekarang sedang berbisnis. Jadi kita belum bisa bertemu dengannya. Karena itu, sampai waktunya nanti tiba, Angkasa boleh menganggap Uncle Denial adalah ayah Angkasa. Angkasa mengerti?”
“Baiklah, Mami. Angkasa akan melakukannya.” Bocah itu mengangguk kecil dan sebuah senyuman yang menunjukkan gigi-giginya yang kecil dan putih.
“Good boy.”
Permata memeluk putranya, tapi itu tak mampu membuat perasaannya membaik. Justru seperti ada kobaran api di dalamnya. Kebenciannya terhadap Axel terasa semakin menggebu.
“Aku benar-benar akan membuat kamu menyesal sudah membuang Angkasa, Axel.”
***
Anak-anak itu polos ya. Kadang bingung sih menjelaskan kepada anak kecil tentang pertanyaan yang tiba-tiba kayak gitu. Kalau menurut teman-teman nih, gimana ya menanggapi anak kayak Angkasa ini?
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny