Share

Part 8. Apa Aku Punya Ayah, Mami? 

“Jadi mereka masih bersama?”

Permata bergumam dengan suara kecil. Dia tidak pernah menyangka kalau Axel akan bertahan dengan perempuan yang sama dalam waktu yang lama. Pantas saja kalau perempuan itu murka dengan mendatanginya di masa lalu. Perempuan itu pastilah menyangka kalau dia adalah selingkuhan Axel. Apakah mungkin, perempuan itu menguntit dirinya dengan Axel sebelumnya untuk mendapatkan bukti?

Lalu, apakah perempuan itu juga sudah tahu kalau Axel hanya menggunakan Permata sebagai mainan? Membuangnya setelah lelaki itu mencapai keinginannya? Apakah jika waktu mempertemukan mereka kembali, perempuan asing itu akan mengenalinya dan menyerangnya lebih dulu? Tapi bukankah itu pantas dilakukan oleh perempuan yang sakit hati karena diduakan? 

Tiba-tiba saja, perasaan Permata memburuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu. Dia datang untuk membalaskan dendamnya kepada Axel dan perempuan itu, kenapa melihat kejadian hari ini justru dia merasa dirinyalah yang bersalah karena berada di antara Axel dan perempuan asing tersebut? 

“Aku sudah menemukan sekolah yang bagus untuk Angkasa. Sekolah Internasional dengan sistem yang bagus.” 

Permata disadarkan oleh ucapan Almeda kepadanya. Dia menoleh pada perempuan yang selalu menemaninya tersebut. Menyingkirkan segala pikiran buruk yang menyerangnya. 

“Terima kasih. Maaf kalau selalu merepotkanmu.” 

“Kalian memang selalu merepotkan. Bukan hanya Angkasa, tapi kamu juga. Kenapa nggak kamu sebutkan juga kalau kamu sama merepotkannya dengan bocah itu.” 

Balasan sinis itu terdengar menyakitkan, tapi tentu saja itu sudah biasa bagi Permata. Bukannya marah, Permata justru tertawa geli. Almeda selalu menjadi sahabat, kakak, dan ibu baginya. Dan dia sangat bersyukur memiliki Almeda di sisinya. 

“Tapi, aku nggak pernah menyesal sudah merepotkanmu. Aku akan selalu dan akan terus merepotkan. Jadi kamu nggak boleh bosan.”

“Kalau begitu jangan katakan apa pun tentang itu.” Almeda kembali mencibir dan itu membuat Permata menarik sahabatnya itu kemudian menggandeng tangan kanan Almeda dengan erat.

“Terima kasih, Kakak.” Permata terkikik saat Almeda mencebikkan bibirnya. Namun tak ayal, perempuan itu mengelus tangan Permata dengan sayang. 

Permata dulu selalu bertanya pada dirinya sendiri. Bagaimana kalau tidak ada Almeda di sisinya? Apakah hidupnya akan menjadi sebaik ini sekarang? Tapi tentu saja Tuhan selalu akan berlaku adil kepada seseorang yang tidak putus asa sehingga mengirimkan Almeda untuknya.

Hari-hari berikutnya setelah Angkasa resmi sekolah, Permata semakin gila dalam bekerja. Ada banyak sekali pekerjaan bahkan sampai untuk jadwal tahun depan. Almeda selalu mahir dalam memilih proyek besar dan proyek itu selalu sukses besar. Hanya dalam satu bulan Permata memulai pekerjaannya di negeri ini, namanya sudah banyak diperbincangkan. 

“Bagaimana dengan dunia peran, Berlian?” tanya Gema saat mereka melakukan pertemuan. “Saya memiliki naskah yang bagus dan entah kenapa saya merasa kamu cocok memerankannya.” 

Proyek yang akan dilakukan bersama dengan Axel masih sebulan lagi karena menunggu semua dipersiapkan dengan matang. 

“Apa itu film atau drama, Pak?” tanya Permata memastikan. 

“Itu drama web. Kamu boleh membacanya lebih dulu naskahnya. Saya akan menunggu keputusanmu.” 

Permata berpikir sejenak sebelum dia mengangguk. Bukan masalah kalau dia harus mencoba hal baru. Dia berada di dunia hiburan dan seharusnya dia bisa mengambil kesempatan lebih banyak lagi untuk mendongkrak namanya. 

“Baiklah, Pak. Saya akan mempertimbangkan.” 

Dengan jawaban Permata tersebut, maka pertemuan itu selesai dilakukan. Dan untuk pertama kalinya, dia akan menjemput putranya ke sekolah. Dia ingin memberikan kejutan kepada Angkasa dengan kedatangannya. Meskipun dia hanya akan berada di dalam mobil. 

Setelah sampai di sekolah Angkasa, Almeda yang keluar dan Angkasa segera menemui perempuan itu. Ada senyum cerah yang tercetak di bibir bocah kecil itu. Dan kebahagiaannya bertambah ketika sampai di dalam mobil, ibunya ada di sana.

“Mami … Mami!” 

Sebuah pelukan kecil menyapa Permata dengan lembut. “Mami tidak kerja?” tanya Angkasa.

“Mami kerja dong. Tapi Mami ingin menjemput Angkasa. Apa Angkasa senang?” 

“Yes, Mami.” Anggukannya penuh semangat membuat Permata tak tahan untuk mencium bocah itu. 

“Sekarang, katakan ke Mami, apa yang Angkasa pelajari?” 

Bocah itu segera mengeluarkan sesuatu di dalam tasnya. Itu adalah sebuah buku mewarnai. Membuka di halaman pertama dan gambar satu keluarga tercetak di sana. Satu anak dan kedua orang tuanya, bergandengan tangan. Namun yang membuat jantung Permata dan suasana di dalam menjadi mencekam adalah ketika Permata bertanya,

“Kenapa Angkasa tidak mewarnai semuanya? Kenapa gambar ayah tidak Angkasa beri warna?” 

Bocah itu berkedip pelan seolah sedang berpikir. Tapi setelah itu, dia memberikan jawaban yang cukup menohok.

“Mami, apakah Angkasa punya ayah?” Jika Angkasa sudah mengerti bagaimana kehidupan ibunya yang begitu susah di masa lalu, dia tentu tak akan pernah mengeluarkan pertanyaan itu. 

Sayang sekali dia hanya bocah berusia 4 tahun yang belum mengerti tentang kehidupan yang sebenarnya. Sehingga dia dengan mudahnya mempertanyakan tentang keberadaan seseorang yang mungkin dia anggap seharusnya orang itu ada bersama dengannya dan juga ibunya. 

“Mami, Angkasa tidak tahu seperti apa ayah Angkasa. Karena itu Angkasa tidak mewarnai gambarnya. Mami, apa Angkasa akan bertemu dengan ayah Angkasa nanti?” 

Bukan hanya Permata yang tampak kehilangan nyawanya, Almeda juga merasakan hal yang sama. Beruntung, tidak ingin membuat bocah itu menjadi bingung, Denial membalikkan tubuhnya untuk menatap Angkasa. 

“Angkasa, kenapa Angkasa tidak membayangkan Uncle Denial digambar Angkasa? Anggap saja Uncle Denial adalah ayah Angkasa.” 

“Tapi, Uncle bukan ayah. Kata Miss Windy, Uncle is uncle, dan Daddy is daddy. Mereka tidak sama.” 

Ya, Angkasa memang baru berusia 4 tahun. Meskipun sejak kecil Denial sudah bersama dengannya, tapi dia tahu kalau Denial bukanlah ayahnya. Padahal, jika ada kegiatan yang mengharuskan dirinya didampingi oleh ayah, Denial selalu ada di sana bersama Angkasa. Tapi Angkasa terlalu pintar untuk membedakan mana ayah yang sebenarnya dan mana yang bukan. 

Permata meneguhkan dirinya untuk memberikan jawaban kepada putranya. Dia berusaha mengulas senyum di bibirnya untuk putranya yang terlalu cerdas.

“Sayang, tidak masalah menganggap Uncle Denial sebagai ayah Angkasa. Karena ayah Angkasa sekarang tidak ada bersama kita. Suatu hari nanti, kita pasti akan bertemu dengannya.” 

“Mami, apakah ayah Angkasa sekarang sedang ada di luar angkasa?” 

Pertanyaan polos itu membuat Permata terkekeh kecil. Tapi dia tak pernah mengajari Angkasa kebohongan. Maka dia menyangkalnya.

“Ayah Angkasa sekarang sedang bekerja. Dia sekarang sedang berbisnis. Jadi kita belum bisa bertemu dengannya. Karena itu, sampai waktunya nanti tiba, Angkasa boleh menganggap Uncle Denial adalah ayah Angkasa. Angkasa mengerti?”

“Baiklah, Mami. Angkasa akan melakukannya.” Bocah itu mengangguk kecil dan sebuah senyuman yang menunjukkan gigi-giginya yang kecil dan putih. 

“Good boy.” 

Permata memeluk putranya, tapi itu tak mampu membuat perasaannya membaik. Justru seperti ada kobaran api di dalamnya. Kebenciannya terhadap Axel terasa semakin menggebu.

“Aku benar-benar akan membuat kamu menyesal sudah membuang Angkasa, Axel.”

*** 

Loyce

Anak-anak itu polos ya. Kadang bingung sih menjelaskan kepada anak kecil tentang pertanyaan yang tiba-tiba kayak gitu. Kalau menurut teman-teman nih, gimana ya menanggapi anak kayak Angkasa ini?

| 2
Komen (1)
goodnovel comment avatar
매니저 김
anggap aja author adalah ayahnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status