Halo, Teman-Teman.
Apa kabar semuanya? Semoga sehat dan bahagia selalu, ya. Sebelumnya, selamat berakhir pekan bersama orang tercinta. Bagi yang kecintaannya mencintai orang lain, harap sadar diri. Oh, iya. Masih pada nungguin buku ini update nggak, ya? Sekadar info, mulai besok akan kembali rutin update setiap hari. Waktunya seperti biasa, pukul 22.00 - 23.00 WITA (Waktu bisa disesuaikan dengan satuan waktu daerah masing-masing). Untuk malam ini, masih libur update, nggak apa-apa, ya? Hehe. Soalnya, saya masih menata hati. Ups! By the way, udah pada baca bab 145 belum? Kalau menurut pendapat Teman-Teman GoodReaders, Damian bakal nolongin Selena nggak ya? Terus ... terus, kalian tim Inara - Damian atau Inara - Daffa? Kalau saya tim Alma saja, deh. Hehe. Coba, sampaikan pendapat kalian di kolom komentar. Kuy ....Sementara itu, Selena masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak pucat dan bibirnya kering.Damian berdiri di sisi ranjang, tangan dimasukkan ke saku celana. Ekspresinya kaku, seperti kanebo kering.Selang beberapa saat, Selena perlahan membuka mata. Samar, tetapi begitu melihat Damian, sudut bibirnya langsung tertarik ke belakang. Senang melihat pria itu mendampinginya di saat seperti ini. Tangan kanannya yang lemah terangkat, mencoba menggenggam jemari Damian.“Terima kasih,” gumam Selena dengan suara serak. “Aku tau kamu pasti datang. Aku tau kamu tidak akan bisa diam saja melihatku kesakitan. Aku ....”“Aku tau, kami masih peduli padaku,” ujarnya sambil tersenyum penuh harap.Hanya saja, seketika harapan itu runtuh ketika Damian menarik tangannya dengan sedikit kasar.“Jangan salah paham,” ucapnya pelan, tetapi terdengar menusuk seperti belati. “Aku menolongmu bukan karena kamu pantas, Selena.”
Damian kini duduk di kursi besi dingin yang berderet rapi di luar ruang tindakan. Tangannya yang besar mengusap punggung kecil Vano yang terus menangis dalam diam di sebelahnya, sesekali menarik ingusnya kembali masuk hidung.Andrew berdiri tak jauh di sisi kiri Damian, sesekali menatap arlojinya. Di seberangnya, pengasuh Vano mondar-mandir, memegangi tangan sendiri, bibirnya terlihat komat-kamit. Sedang berdoa, mungkin.Setelah beberapa saat hening, Andrew menoleh pada wanita itu dan bertanya, “Sebenarnya, apa yang terjadi tadi? Kenapa bisa sampai seperti ini?”Wanita itu berhenti, menatap Andrew dengan mata yang basah. Dia menunduk, lalu dengan ragu mengangkat dagunya. “Semua ini terjadi karena ... Pak Daffa. Dia datang ke apartemen dan mengamuk pada Bu Selena. Dan, menyalahkan atas semua yang terjadi. Saya ... saya tidak bisa menghentikannya.”Damian tidak menoleh. Ekspresinya datar mendengar pengakuan sang pengasuh. Namun, gerakan tangannya di
Halo, Teman-Teman. Apa kabar semuanya? Semoga sehat dan bahagia selalu, ya. Sebelumnya, selamat berakhir pekan bersama orang tercinta. Bagi yang kecintaannya mencintai orang lain, harap sadar diri. Oh, iya. Masih pada nungguin buku ini update nggak, ya? Sekadar info, mulai besok akan kembali rutin update setiap hari. Waktunya seperti biasa, pukul 22.00 - 23.00 WITA (Waktu bisa disesuaikan dengan satuan waktu daerah masing-masing). Untuk malam ini, masih libur update, nggak apa-apa, ya? Hehe. Soalnya, saya masih menata hati. Ups! By the way, udah pada baca bab 145 belum? Kalau menurut pendapat Teman-Teman GoodReaders, Damian bakal nolongin Selena nggak ya? Terus ... terus, kalian tim Inara - Damian atau Inara - Daffa? Kalau saya tim Alma saja, deh. Hehe. Coba, sampaikan pendapat kalian di kolom komentar. Kuy ....
Berbeda dengan Inara yang sibuk bertanya-tanya, di ruang kerja Daffa yang luas itu justru terasa sesak saat ini. Terlihat sang pemilik berdiri kaku di depan layar besar yang menampilkan siaran ulang konferensi pers Damian. Kata-kata terakhir pria itu masih menggema di benaknya. Kalimat yang berisi sindiran halus—yang terasa seperti tamparan keras baginya. Tak terima. Merasa posisinya sedang terancam. Tiba-tiba tangannya menyambar paperweight kristal di meja dan membantingnya ke lantai. Kegaduhan terdengar saat pecahannya berserakan, membuat sang asisten pribadi, sedikit tersentak kaget. “Sialan!” pekik Daffa dengan suara napasnya yang memburu. Matanya membelalak marah, tetapi juga penuh kecemasan, bahkan dahi dan pelipisnya mulai dipenuhi peluh meski AC masih menyala. Reynald menunduk, tubuhnya sedikit bergetar. Ketakutan. Ia sudah lama bekerja dengan Daffa, jadi tahu betul bagaimana pria itu kalau sedang marah. Ya, seperti sekarang, bisa menghancurkan barang yang tak bersalah.
Paham tujuan perkataan atasannya, Andrew pun segera keluar ruangan untuk melaksanakan perintah, yakni melakukan negoisasi dengan Selena. Hanya saja, tak lama kemudian, dia kembali masuk, ekspresinya tampak penuh tekanan.“Pak Damian,” ucapnya pelan, “saya sudah sampaikan semua sesuai instruksi, tapi … Selena tetap menolak. Dia bilang, ancaman pihak kita hanyalah ancaman kosong belaka. Dia tetap kekeh, ingin Bapak menikahinya.”Benar, Selena memang mengatakan hal tersebut pada Andrew beberapa saat lalu, tetapi jauh di sana, sebenarnya ia cukup cemas dengan ancaman tersebut. Apalagi sudah membawa nama Daffa. Entah dari mana Damian bisa punya pikiran menudingnya memiliki hubungan dengan pria itu?Satu hal yang pasti, Selena tidak mau mengalah. Tujuannya adalah tetap menguasai fasilitas yang diberikan Daffa dan membuat Damian menikahinya. Rencana itu belum berhasil, jadi ia tidak akan berhenti.Sementara itu, Damian mengangkat alisnya sediki
Dalam perjalanan, Inara hanya duduk diam di sebelah adiknya sambil melirik ponsel. Notifikasi media sosial masih ramai soal Damian yang tidak bisa dipungkiri ikut menyeret namanya juga sebagai mantan istri dari pria tersebut. Namun, Inara tak begitu ambil pusing, pikirannya justru tak berhenti tertumbuk pada struk-tagihan aneh yang dilihatnya tadi di rumah. Rafa yang juga sibuk mengutak-atik layar iPad seketika mengangkat alis ketika menyadari raut murung sang kakak. “Kak Inara dari tadi diam saja. Mikir apa?” Rafa memulai pembicaraan. Inara mengangkat kepala, menoleh sekilas, lantas menggeleng pelan. “Bukan apa-apa. Hanya kepikiran Ibu.” “Ibu? Memangnya apa yang terjadi padanya?” “Sebelum berangkat tadi, aku melihatnya ... dia kayak lagi stres banget.” “Sepertinya, Ibu memang agak sensitif akhir-akhir ini. Kemarin, bahkan sempat marahin pelayan cuma karena salah susun bunga meja.” Rafa berujar pelan. “Mungkin, lagi banyak kerjaan di kantor pusat kali.” Inara menggeleng r