Bukannya merasa bersalah, Damian justru berusaha membela diri. “Ponselku tiba-tiba mati, Ra. Aku enggak tau kalau—”
“Menemui Selena,” potong Inara cepat sambil tersenyum sinis. Matanya berkilat marah membuat Damian terdiam.Bibir pria itu sedikit terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya.Di dalam sana, jantungnya berdetak kencang, tak menyangka kalau tebakan istrinya akan tepat sasaran.Tangan Damian seketika bergetar, merasa takut melihat raut wajah Inara yang jelas sangat marah.Tadinya, ia tak bermaksud menemui Selena, tetapi juga tak bisa mengabaikan begitu saja. Dan, andai saja tahu istri dan anaknya dalam bahaya, ia pasti pulang dan menolong mereka.Inara menunduk, kini air matanya jatuh bersama hatinya yang kian rapuh, walaupun ia tetap berusaha agar suaranya terdengar tegar. “Kamu sudah berjanji, tapi kamu mengingkarinya lagi. Kamu selalu bilang hanya membantunya, tetapi setiap kali dia butuh, kamu selaluDamian masih diam, ketika Inara bangkit dari duduknya. Tangannya bergetar menahan sesak yang membuncah dalam dadanya.Pandangannya sengaja dialihkan karena merasa tak sanggup menatap wajah pria yang pernah dan masih menjadi penghuni tetap di hatinya itu. “Aku harus balik ke kantor, jaga dirimu baik-baik setelah ini, Mas Dam,” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.Ada perasaan sedih saat mengatakan kalimat itu, seolah baru saja mengucapkan kalimat perpisahan.Inara hendak beranjak, tetapi baru satu langkah, Damian langsung mencekal tangannya. Tidak begitu kuat, tetapi juga seperti tidak ingin melepaskan.Inara menoleh cepat. Di saat yang bersamaan, Damian ikut berdiri.Ada sepercik kekecewaan yang tak dapat disembunyikan dalam raut wajahnya itu.“Aku ... tidak bisa, Ra,” katanya akhirnya, “aku tidak mau jaga jarak darimu. Dan, mungkin memang aku tidak akan sanggup untuk melakukan hal itu.”Deg.Inara ter
Damian masih diam, ketika Inara bangkit dari duduknya. Tangannya bergetar menahan sesak yang membuncah dalam dadanya.Pandangannya sengaja dialihkan karena merasa tak sanggup menatap wajah pria yang pernah dan masih menjadi penghuni tetap di hatinya itu. “Aku harus balik ke kantor, jaga dirimu baik-baik setelah ini, Mas Dam,” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.Ada perasaan sedih saat mengatakan kalimat itu, seolah baru saja mengucapkan kalimat perpisahan.Inara hendak beranjak, tetapi baru satu langkah, Damian langsung mencekal tangannya. Tidak begitu kuat, tetapi juga seperti tidak ingin melepaskan.Inara menoleh cepat. Di saat yang bersamaan, Damian ikut berdiri.Ada sepercik kekecewaan yang tak dapat disembunyikan dalam raut wajahnya itu.“Aku ... tidak bisa, Ra,” katanya akhirnya, “aku tidak mau jaga jarak darimu. Dan, mungkin memang aku tidak akan sanggup untuk melakukan hal itu.”Deg.Inara ter
Tak menyerah, Inara mencoba lagi menghubungi Damian, tetapi hasilnya tetap nihil. Hanya ada suara operator di seberang sana membuat Inara kian frustrasi. Pikiran-pikiran mulai berkelana ke segala kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi pada mantan suaminya itu.Bisa saja, Damian telah dicegat dan diculik, dibawa ke suatu tempat untuk membuatnya celaka.“Mas Dam, kamu ke mana?” Dia bergumam pelan. Air matanya mulai menggenang di pelupuknya. Di sudut lain, sebuah mobil hitam mengkilap terlihat berhenti tak jauh dari tempat Inara berdiri. Di dalamnya, duduk Pak Baskara dengan sorot matanya yang tajam, khas pria yang sedang menahan amarahnya. Namun, ia tidak turun dari mobil. Hanya diam sambil menatap setiap gerak-gerik putrinya yang tampak khawatir.Sementara itu, Inara akhirnya menyerah menghubungi Damian. Dia memutuskan menghubungi kakak dan adiknya untuk meminta bantuan. Akan tetapi, belum sempat sambungan telepon
Sepasang kaki Inara baru saja menapaki lobi kantornya ketika langkahnya terpaksa terhenti karena tiba-tiba ponselnya berdering.Gegas, dia merogoh ponsel dari dalam tas, sekilas melihat sosok pemanggil, sebelum akhirnya menerima panggilan.“Raf? Kenapa?” tanyanya langsung to the point. Dia sambil melanjutkan langkah kecilnya menuju lift.“Kak Inara lagi bareng Damian, kan?”Suara Rafa yang terdengar cemas itu membuat Inara menghentikan langkahnya lagi.Dia mengernyit sebentar, sebelum akhirnya menjawab, “Mas Damian? Iya, tadi kami bareng, tapi abis nganterin aku ke kantor, dia juga langsung ke kantor. Sekarang, kemungkinan masih dalam perjalanan. Memangnya ada apa, Raf?”“Damian dalam bahaya, Kak. Ayah merencanakan sesuatu untuk mencelakainya.”Mendengar itu, Inara langsung syok. Bahkan, ponsel di tangannya pun nyaris terlepas.“Apa?!” Nada suaranya, nyaris berteriak. Beberapa karyawannya yang melihat kejadian i
Di saat yang bersamaan, Inara terkejut melihat Damian yang saat ini duduk di anak tangga kediaman megah keluarganya itu dengan tangan yang saling menggenggam. Namun, begitu mendengar teriakan Alma, pria itu refleks berdiri, berbalik. Tersenyum hangat, sebelum akhirnya melangkah cepat ke arah putrinya. Memeluk gadis itu erat-erat.“Wah cantik sekali putri Papa,” kata Damian seraya mencium ubun-ubun Alma.“Iya, dong, Pa. Alma selalu cantik,” jawabnya ceria.Di sebelahnya, Inara masih berdiri mematung. Raut wajahnya jelas menunjukkan kalau ia sedang bingung.Entah kenapa, tiba-tiba dia merasa sesak melihat mantan suaminya duduk di tangga seperti tadi. Macam tak ada kursi saja.“Mas, kenapa pagi-pagi kamu sudah di sini? Mana duduk di tangga segala? Di dalam banyak kursi.”“Tidak apa-apa, Ra. Aku senang bisa menunggu kalian di sini.”“Tapi, Papa kayak pengemis, duduk di situ,” lirih Alma asal.Damian terkek
Setelah beberapa menit perjalanan, kini mobil Damian akhirnya akhirnya berhenti tepat di depan lobi kantor Mahacitra. Inara melepas sabuk pengaman, tetapi tidak serta merta langsung turun. Dia menoleh pada Damian, lalu berkata, “Terima kasih sudah mengantarku, Mas.”Damian hanya tersenyum tipis, menatap wanita yang duduk di sampingnya dengan sorot yang teduh. “Tidak perlu katakan itu. Bukankah aku sudah janji padamu?” jawabnya tenang. Sebelum Inara benar-benar turun, Damian kembali menambahkan, “Aku akan coba hubungi mantan suaminya Selena. Semoga dia mau merawat Vano. Paling tidak, untuk sementara, sampai Selena sehat kembali dan proses hukumnya selesai.”Inara mengangguk pelan, tetapi dalam binar matanya masih tampak keraguan di sana. “Tapi, bagaimana kalau ayahnya Vano menolak, Mas?”Damian terdiam sesaat, tetapi tangannya semakin keras mencengkeram setir mobil. “Mungkin, akan lebih baik kalau Vano dibawa ke panti asuhan.”“