“Enak,” jawab Damian lirih. Tatapannya tak lepas dari wajah Inara.
Namun, hanya dalam beberapa detik, Inara tersentak sadar. Gerakan refleksnya menyuapi Damian tadi, seharusnya tak terjadi.Mereka sudah bukan lagi pasangan seperti dulu. Inara merutuki diri, tak seharusnya tak terbawa suasana sampai membuatnya larut dalam kebiasaan lama.Bunda Alma itu buru-buru menunduk sambil menggigit bibir bawahnya, mencoba menepis perasaan canggung yang mendadak menyergap ke hatinya.Lomba kembali berlanjut, meski sebenarnya, keduanya masih sama-sama menyimpan getar aneh yang tak cukup mudah diabaikan, tetapi di hadapan Alma, mereka berusaha terlihat biasa saja.Semuanya mengalir penuh kehangatan. Dengan tawa-tawa kecil, guyonan ringan, hingga kerja sama ketiganya yang apik, setidaknya mampu mencairkan suasana di antara ketegangan waktu lomba yang terus bergerak mundur.Di menit-menit terakhir lomba, Damian dengan cekatan membantu Inara meny“Enak,” jawab Damian lirih. Tatapannya tak lepas dari wajah Inara.Namun, hanya dalam beberapa detik, Inara tersentak sadar. Gerakan refleksnya menyuapi Damian tadi, seharusnya tak terjadi.Mereka sudah bukan lagi pasangan seperti dulu. Inara merutuki diri, tak seharusnya tak terbawa suasana sampai membuatnya larut dalam kebiasaan lama.Bunda Alma itu buru-buru menunduk sambil menggigit bibir bawahnya, mencoba menepis perasaan canggung yang mendadak menyergap ke hatinya.Lomba kembali berlanjut, meski sebenarnya, keduanya masih sama-sama menyimpan getar aneh yang tak cukup mudah diabaikan, tetapi di hadapan Alma, mereka berusaha terlihat biasa saja. Semuanya mengalir penuh kehangatan. Dengan tawa-tawa kecil, guyonan ringan, hingga kerja sama ketiganya yang apik, setidaknya mampu mencairkan suasana di antara ketegangan waktu lomba yang terus bergerak mundur.Di menit-menit terakhir lomba, Damian dengan cekatan membantu Inara meny
Tak butuh waktu lama, akhirnya Damian tiba di sekolah Alma. Halaman TK itu ramai oleh para orang tua dan anak-anak yang masih berlalu-lalang, beberapa lagi sudah menempati area lomba.Untungnya, lomba belum dimulai, jadi ia bisa masuk dengan bebas. Dengan kemaja putih yang digulung sampai siku, dia berjalan cepat. Matanya menyisir area lomba, mencari dua wanita yang paling berharga dalam hidupnya.Hingga akhirnya, di pinggir lapangan area perlombaan, ia melihat Inara dan Alma. Ibu dan anak itu tampak terlibat diskusi. Benar saja, karena Inara menjelaskan pada Alma apa-apa saja yang harus dilakukannya nanti.Alma fokus mendengarkan dengan raut ceria, sesekali mengangguk-angguk seolah sudah paham. Selang beberapa saat, bocah perempuan itu pun menoleh. Pandangannya tak sengaja menangkap sosok yang sangat dikenalinya, berdiri di pinggir lapangan, tersenyum ke arah mereka.Mata Alma membelalak. Langsung berdiri antusias sa
Halaman sekolah TK Little Dreamers tampak sudah ramai begitu Alma dan sang bunda tiba.Inara menggandeng Alma sambil membawa satu kotak besar berisi perlengkapan memasak. Dua bodyguard yang ditugaskan menjaga Alma ketika keluar mansion itu menyusul di belakang dengan kacamata hitamnya, masing-masing menenteng kantong besar berisi bahan makanan. Suster Liana berjalan di samping Alma, juga membawa celemek dan topi kecil khusus anak-anak.Alma terlihat sangat semangat hari ini. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan dekorasi lomba yang penuh dengan berbagai warna. “Alma!” sapa seorang gadis yang ditaksir setinggi Alma dengan rambut kriting ikal, pita ungu besar di kepala, dan gigi kelincinya yang lucu, sambil menghampiri Alma.Ia tampak membawa keranjang kecil. Sepertinya, berisi alat rias.“Eh, Shasa,” balas Alma tersenyum ceria.Shasa tersenyum lebar, lalu menoleh melihat sekeliling Alma seolah sedang mencari-cari
Pintu utama mansion terbuka perlahan. Inara baru saja melangkah masuk, ketika suara kecil yang familiar memanggil nyaring. “Bunda!” Alma berlari kecil dari arah ruang tengah. Gaun kecilnya berkibar mengikuti gerak langkah kecilnya, begitu rambut panjangnya yang diikat dua ikut bergerak kiri-kanan. Mata bulatnya berbinar, tetapi bibir mungilnya terlihat sedikit mengerucut, seperti orang sebal. Inara segera berjongkok, membuka kedua lengannya lebar-lebar, menyambut Alma. “Sini, Sayang.” Alma langsung berhambur memeluknya erat, seolah baru bertemu setelah berpisah lama. Alma mendongak. Ekspresinya cemberut. “Bunda dari mana? Tadi pagi Bunda bilang akan di rumah saja hari ini, tapi Alma pulang sekolah cari-cari Bunda malah tidak ketemu. Capek Alma keliling rumah cariin Bunda. Mana rumah Opa dan Oma gede banget.” Inara tersenyum kecil. Celotehan putrinya yang terdengar kesal itu malah membuatnya terlihat menggemaskan. “Jadi, Alma keliling cariin Bunda? Ke mana aja?” “Ke kamarnya
Mendengar itu, Tuan Wardhana langsung terdiam. Terlihat gelisah, seperti sedang menimbang-nimbang permintaan Daffa. Menikahkan putrinya dengan pria itu, bukankah itu sesuatu yang tidak begitu sulit. Daffa merupakan putra rekan bisnisnya, tentunya jika terjadi pernikahan dalam 2 kubu bisnis akan mutualisme.Paling penting, pria muda itu bisa bungkam atas apa yang dilihatnya hari ini. Demi menjaga nama baik dan harga dirinya.“Aku setuju,” ucapnya akhirnya.Hanya saja, perjanjian mereka tentu saja tak berjalan mulus. Begitu pulang ke rumah, Inara justru menyampaikan keinginannya untuk menikah dengan pria pilihannya, kekasihnya yang ditemui saat magang—Damian.Pria yang menurut Tuan Wardhana, tak pantas berdiri sejajar dengan keluarga mereka. Status sosialnya jauh di bawah masa depan tidak menjanjikan dengan pekerjaanya yang hanya sebagai karyawan biasa.Mendekat putrinya, menurutnya terlalu berani, dan ... tidak tau diri.
BRAK!Pintu dibuka kasar. Tuan Wardhana melangkah masuk dengan tergesa, dasinya ditarik hingga setengah longgar. Napasnya memburu, hingga wajahnya terlihat memerah oleh amarah yang membakar.Vas bunga kecil yang tak bersalah di meja itu tak ayal menjadi sasaran amukannya. Terbang, menghantam lantai, hingga pecah berkeping-keping.“Sial!” makinya keras, menggema di ruang kerja mewah miliknya itu.Tangannya terkepal saat ia berjalan ke arah dinding kaca besar yang menampilkan pemandangan kota.Tatapannya tajam dengan rahang mengeras, seolah hendak menerkam mangsa yang mendekat. Selang beberapa saat, tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku jasnya. Menekan nomor dengan sedikit terburu-buru.Nada sambung terdengar. Sekali … dua kali ….Dan, yang kali ketiganya, langsung terdengar suara dari seberang. “Halo—”“Mau kabur ke mana kamu?!” bentaknya tanpa basa-basi, matanya menyala penuh so