Aina mengusap peluh di pelipisnya dengan punggung tangan. Ia meletakkan mangkuk berisi sayur bening di atas meja makan mini di dapur kecilnya.
“Hufft, akhirnya selesai juga.” Wanita berdaster merah lusuh itu menutup lauk dan sayur bening tadi dengan tudung saji. “Sekarang aku bisa mandi, keburu Mas Yuda pulang kantor.”
Yuda adalah suami Aina, mereka sudah menikah 2 tahun. Yuda sekarang bekerja sebagai karyawan keuangan di sebuah perusahaan makanan yang cukup besar di Indonesia.
“Aina! Apa kamu tuli? Gak denger ujan turun? Jemuran keburu basah!”
Teriakan seseorang mengejutkan Aina. Ia langsung berlarian ke depan, lalu mendapati ibu mertuanya tengah duduk santai di atas sofa.
“Aku ‘kan sedang repot di dapur masak, Buk,” jawab Aina di sela langkah cepatnya menuju pintu.
“Terus? Alesan aja kamu! Tiap hari kerjaan gak ada yang becus! Kalo kamu di dapur, terus aku yang harus angkat jemuran? Menantu gak tau diri kamu!” hina Rastanti dengan wajah sinisnya.
Aina mengembuskan napas dalam. Ia tak bersuara lagi, Aina memilih mempercepat langkah untuk mengangkat jemuran, karena hujan semakin lebat.
Rastanti berdecih sembari menatap tak suka pergerakan Aina. “Menyebalkan sekali. Sabar-sabar aku selama 2 tahun ini punya mantu kayak dia. Tiap hari wajah buluknya yang aku liat, bau asep mulu, gak bisa diajak ke mana-mana buat banggain mantu sama temen-temen. Untung sebentar lagi Moja bakalan pulang, mereka bisa cerai dan aku bisa punya mantu impian, cantik dan berkarir seperti Moja.”
Rastanti sibuk berceloteh mengejek dan membandingkan Aina dengan Moja—mantan kekasih Yuda.
Tak lama, Aina pun kembali dari luar dengan membawa setumpuk jemuran kering. Rastanti menggeram melihat pergerakan Aina ke arah ranjang di sudut rumah, di mana biasanya pakaian kering diletakkan sebelum digosok dan dilipat.
“Bener-bener menjijikkan! Jorok sekali!” Rastanti tiba-tiba berdiri sembari menatap nyalang ke arah Aina.
Hal itu membuat Aina heran serta bingung. “Ada apa lagi?” batinnya tak paham.
“Lihat tubuhmu yang penuh keringat itu! Udah tau penuh keringat, malah kamu peluk-peluk semua baju yang udah bersih abis dicuci! Beneran jorok kamu, Aina! Aku tidak mau tau, baju-bajuku dan baju-baju Yuda harus kamu cuci lagi! Aku tidak sudi pakai baju yang sudah terkontaminasi sama keringat kamu! Kalau baju-bajumu itu ya terserah, aku tidak peduli!”
Aina memejamkan matanya sembari mengembuskan napas kesabaran. “Aku ‘kan memang siap memasak di dapur, Buk. Wajar kalau berkeringat, dan Ibuk pun tau itu. Tadi aku lewat sini harusnya Ibuk liat dan sadar kalo aku berkeringat. Ibuk tetap paksa aku yang angkat jemuran.”
“Jadi kamu nyalahin saya?! Kamu yang jorok, malah nyalahin saya!”
Lagi-lagi Aina mengembuskan napas kesabaran. “Bukan begitu, Buk. Tadi Ibuk ‘kan kebetulan lagi gak ngapa-ngapain, jadi bisa bantu aku angkat jemuran biar jemurannya gak kotor lagi kena keringat aku.”
“Aku gak peduli, Bod*oh! Pisahkan bajuku dan baju Yuda, semuanya! Cuci ulang!”
“Tapi, Buk—”
“Apa?!” tukas Rastanti dengan mata melotot. “Bener-bener aib dan sial aku punya menantu kayak kamu! Memalukan!”
Aina melipat bibirnya, terus bersabar menghadapi mertuanya. Ini bukan pertama kali, bahkan sudah berkali-kali dan tidak terhitung lagi karena setiap harinya Rastanti selalu menghina dan mengata-ngatai Aina tanpa memikirkan perasaan menantunya itu.
Oh, iya, Rastanti selama ini tak pernah menganggap ataupun melihat Aina sebagai menantu. Rastanti menganggapnya sebagai babu alias pembantu gratis di rumah subsidi putra-nya itu.
Yuda hanya pegawai keuangan dengan gaji tak terlalu besar, hanya sedikit di atas UMR. Namun, lagak Rastanti sudah seperti seorang ibu yang memiliki anak laki-laki berpenghasilan puluhan juta per minggu, sehingga semena-mena memperlakukan menantu.
Setiap harinya Aina selalu melakukan pekerjaan rumah, semuanya tanpa terkecuali. Selama 2 tahun pernikahannya dengan Yuda, tak pernah sekali pun Rastanti membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, tetap saja Aina dianggap tak berguna dan disebut tak becus sebagai istri serta menantu.
Dulunya Aina berusaha menarik hati Rastanti, tetapi sekarang ia sudah lelah. Ia tetap sabar dan hormat kepada Rastanti karena menghargai sang suami—hanya itu.
“Kenapa ini ribut-ribut? Tiap pulang selalu ribut mulu.” Suara berat seseorang mengalihkan perhatian Aina dan Rastanti.
Dua wanita berbeda generasi itu menoleh serentak ke arah pintu. Aina tersenyum ke arah sang suami yang pulang dalam keadaan setengah basah.
“Mas, kamu pulang? Sini aku pegang tas-nya, kamu basah ini. Masuk dan langsung mandi aja, Mas.”
Rastanti melangkah cepat, lalu menyambar tas kerja putranya dari tangan Aina. “Keliatan sekali kamu ngincer duit! Mentang-mentang sekarang bulan baru, dan tau kalo Yuda abis gajian, jadi kamu langsung ambil tas-nya? Cih, udah Ibuk duga dari awal ‘kan, Yuda? Istri kamu ini sengaja nikah sama kamu biar bisa hidup enak, numpang makan dan enak-enak di sini.”
Aina menekan rasa kesalnya, ia pun tersenyum paksa. “Biasanya tiap Mas Yuda pulang kerja, aku ‘kan selalu bantu bawain tas-nya, Buk. Bukan sekarang aja. Lagi pula, aku lupa kalo sekarang tanggal gajiannya Mas Yuda.”
“Alaah, alesan! Biar Ibuk aja yang bawain tas kamu, Yud. Dia pasti mau incer amplop gaji kamu.” Rastanti melirik sinis ke arah Aina.
Rasanya kesabaran Aina sudah hampir habis. Rastanti selalu saja mengatakan dirinya ingin numpang hidup enak, ingin numpang makan di rumah itu, dan memanfaatkan gaji Yuda.
Padahal selama ini ia hidup dengan uang yang jauh dari kata cukup, karena Yuda memberinya hanya sedikit dan itu pun pas-pasan untuk membeli perlengkapan bulanan mereka. Hal itu membuat Aina bahkan tak bisa membeli bedak, lipstik, atau bahkan sepotong baju daster baru, terbukti dengan semua baju daster usang di tubuhnya setiap hari.
“Buk, aku gak gitu.”
“Apa? Kamu itu, jadi istri taunya hambur-hamburin uang aja! Tiap bulan dikasih sama anakku, selalu bilang abis dan minta lagi buat tambahan. Jadi istri boros banget, pasti kamu beliin ke benda lain!”
“Astaga, Buk. Apa perlu Ibuk liat aku beli barang selain beras, sayur, dan kebutuhan masak lain? Semua uang yang dikasih sama Mas Yuda, cukup buat beli perlengkapan dapur aja, Buk. Aku bahkan gak sempet beli bedak atau apa pun. Liat, aku bahkan cuma pake baju daster lusuh, loh. Udah berapa lama aku gak beli baju baru? Dari mananya aku hamburin uang, Buk?”
“Tuh-tuh, liat istri kamu!” Rastanti menatap Yuda sembari menunjuk Aina. “Dia ngelawan dan nyari alesan!”
“Aku—”
“Udah ‘lah, Ai!” tukas Yuda setengah membentak. “Apa yang Ibuk bilang bener, kok. Aku juga ngerasain, tiap bulan kamu selalu bilang kalo uangnya kurang, padahal udah aku kasih tiap tanggal gajian. Itu uang gede, masa selalu kurang?”
Aina pun terkejut, ia menatap Yuda dengan sorot tak percaya.
“Bener ‘kan dugaanku, Mas Darya ini pasti punya bisnis yang bagus. Karyawan biasa mana yang bisa punya rumah semewah ini? Atau bisa jadi juga warisan keluarga dia yang emang udah kaya. Jangan-jangan, sebenernya Mas Darya juga punya perusahaan sendiri kayak Pak Rey Jabio yang turun dari keluarga. Dia kerja sebagai karyawan biasa di perusahaan lain, karna gabut aja. Banyak ‘kan orang kaya yang gitu?” batin Aina sibuk menerka-nerka.“Aina.” Darya mengerutkan kening melihat Aina bengong di samping mobil, bahkan tak sadar saat ia memanggil. Darya pun mendekat, lalu menepuk pelan bahu Aina. “Ai.”“Eh?” Aina terkejut, ia mendongak menatap Darya yang mengerutkan kening heran memperhatikannya. “Ah, maaf, Mas.”Darya menggeleng. “Kamu beneran gak ngantuk? Kalo gitu, tidur aja dulu. Ayo kita masuk, kamu bersih-bersih, abis itu makan bakso, terus tidur ben
“Bentar, ya. Aku beli makanan dulu.” Darya menepikan mobilnya di tepian jalanan di mana banyak penjual kaki lima. “Kamu mau cemilan apa? Atau ada sesuatu yang mau kamu beli?”“Ah? Enggak ada, Mas,” jawab Aina.“Aku turun bentar, ya. Gak lama, kok.”Aina tersenyum lalu mengangguk. “Iya, Mas. Gak pa-pa.”Aina memperhatikan Darya tengah membeli beberapa makanan. Entah itu martabak manis, gorengan, dan makanan lainnya.“Belinya agak banyak, ya. Berarti di rumah Mas Darya ada orang, ya? Keluarganya? Kalo buat sendiri, kayaknya gak mungkin sebanyak itu,” gumam Aina.Darya benar-benar tak menghabiskan banyak waktu untuk membeli berbagai makanan. Ia kembali ke mobil, lalu melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.Hingga beberapa menit kemudia, pergerakan mobil Darya mulai memel
“Ayo, Mas, kita pergi.”Darya yang sempat melongo, lalu mengangguk kaku. “O-oh, iya, ayo kita pergi sekarang.” Ia melirik Rey sekilas, lalu segera mengajak Aina ke arah mobilnya. “Kita ke langsung ke rumahku.”“Beraninya kau sok menasehatiku? Wanita breng-sek! Urus saja hidupmu yang kacau itu, jelas-jelas kehidupanmu lebih buruk dari padaku, tapi sok-sokan menasehatiku! Wanita breng-sek!” teriak Tita kesal dan marah karena dinasehati oleh Aina.Aina tak menghiraukan celoteh Tita. Ia masuk ke dalam mobil ketika Darya membukakan pintu mobil mewah itu untuknya.Semua orang yang melihat itu terdiam serta terkejut melihat mobil Darya, terkecuali Rey. Bahkan Yuda dan Moja sudah melotot memastikan merek mobil yang dinaiki Aina.“Itu—bukannya mobil mewah itu yang kemarin aku lihat? Waktu itu aku mengira salah lihat, berarti wani
“Ayo kita pulang sekarang.” Darya mengajak Aina segera pergi dari sana.“Ini udah kelar, Mas?” tanya Aina ragu. Ia melirik Jotan dan Rey bergantian.“Sudah selesai, Aina. Tita dipecat,” jawab Jotan.“Saya hanya salah paham, Pak. Kenapa saya dipecat?” protes Tita masih tak tahu diri.“Diam ‘lah, Tita. Jangan sampai Om pun ikut diseret karena kasus kamu ini. Om akan carikan kerjaan di tempat lain, jangan membuat semuanya makin kacau,” bisik Sahril ketar-ketir, karena Rey masih ada di sana.“Tapi, Om, aku ‘kan—”“Bahkan kamu masih belum merasa bersalah, ya? Kamu masih ngerasa benar?” tukas Jotan tak habis pikir.“Ini hasil didikanmu, Sahril? Sepertinya keponakanmu ini sudah terlalu merasa aman di perusahaan ini. Apa dia mengira perusah
Aina menoleh, ia melihat Darya datang. Aina tersenyum tipis ke arah Darya. Sedari tadi Aina merasa sangat tertekan, karena merasa dirinya sendirian di sana, tak ada sokongan. Namun, ketika melihat Darya, beban Aina seakan berkurang, tekanannya pun seakan ikut menguap perlahan.Darya mendekat ke arah Aina, lalu tersenyum menenangkan wanita itu. Sedari tadi ia sudah coba sabar, akhirnya sekarang tak tahan untuk tidak keluar dari mobil, menemani Aina yang terlihat begitu jelas tengah tertekan serta tak nyaman.Darya menepuk pelan bahu Aina sembari terus tersenyum. “Gak usah takut, kamu gak salah,” bisiknya meyakinkan Aina.Rey melongo melihat tindakan lembut Darya kepada Aina. Ia menaikkan sebelah alisnya, lalu melirik ekspresi wajah Darya. “Cih, ternyata pria kaku ini juga bisa lembut, dan manis sama orang, ya?” ejeknya dalam hati.Darya mengangkat kepalanya, lalu menat
“Anda atasan di perusahaan ini, ya?” Tiba-tiba Moja bersuara dengan nada sok imut, bahkan tersenyum ke arah Rey. “Saya cuma mau kasih saran, sih. Karna kebetulan saya juga kenal sama Aina waktu kuliah. Kayak yang dibilang sama Yuda, Aina ini gak cocok sama sekali loh kerja di sini. Dia ini—”“Kau siapa lagi?” tukas Rey malas, “sudah ‘lah, orang-orang yang tidak berkepentingan kayak kalian, silakan pergi dari sini, atau ingin saya panggil satpam untuk mengusir kalian?”“Kami cuma pengen kasih masukan, kok. Kok Anda marah begitu, sih?” cetus Moja sedikit ketus.“Atasan kami ‘kan udah bilang, kalian gak diperlu ikut campur. Beliau bukan cuma atasan, beliau ini adalah Rey Jabio—CEO perusahaan ini sekaligus orang yang paling berwewenang di perusahaan ini. Jadi tolong lebih sopan ‘lah,” tegur Jotan ikut muak dengan Moja