Aina pun terkejut, ia menatap Yuda dengan sorot tak percaya. “Mas, kamu kasih aku uang 300 ribu tiap bulan. Apa itu yang kamu maksud gede? Itu semua cuma buat bahan-bahan masak di dapur aja, Mas, bahkan itu kurang. Kita ada 3 orang dewasa di sini, 300 ribu dibagi 30 hari 10 ribu. 10 ribu dibagi buat 3 orang, berarti berhari satu orang 3 ribuan. Nasi dan lauk apa yang dapet 3 ribuan jaman sekarang, Mas? Sekarang apa-apa mahal, beras mahal, buat lauk mahal, bahkan seiket sayur aja mahal. Dari situ aku minta lagi, kalo emang udah beneran abis. Kalo enggak, aku juga gak bakal pernah minta lagi. Aku bahkan gak minta jatah buat belanja aku, entah sekedar beli baju daster murah karna baju daster aku pada lusuh-lusuh kayak gini. Aku ngertiin kamu karna katanya kamu lagi nabung buat buka usaha kecil-kecilan biar gak terus kerja di tempat orang ‘kan?”
“Bener-bener ya, kamu! Apa maksud kamu bilang begitu, hah?! Kamu ngeluh? Istri macam apa kamu ngatain suami kayak gitu, hah? Bener-bener gak beradab kamu! Istri durhaka! Aku saja selama ini tidak pernah bicara begitu sama anakku, berani-beraninya kamu!” bentak Rastanti.
Aina memejamkan mata, lalu menarik napas dalam. “Maaf kalau aku terkesan mengeluh, Mas. Tapi aku hanya menjelaskan, jika uang yang kamu beri, benar-benar tidak aku korupsi untuk kepentinganku sendiri. Kalau aku minta tambah, itu bener-bener karna abis.”
“Makanya jadi orang jangan cuma bisa minta doang! Liat noh banyak istri orang punya kerjaan sendiri, bisa nyari duit sendiri, bantu-bantu suami. Ini udah tau suami susah, malah makin dibikin susah! Parasit, numpang idup doang di sini!”
“Ck, aku capek! Minggir!” Yuda mendorong Aina dan melangkah pergi dari sana menuju kamarnya.
Aina menunduk, lalu menarik napas kesabaran. Ia benar-benar harus menekan rasa kesal dan marahnya dalam situasi ini.
“Beban!” Rastanti sengaja ikut menyenggol Aina begitu keras hingga menantunya itu terbentur ke dinding. “Sudah ‘lah beban, pembawa sial! Mandul miskin, udah 2 tahun nikah gak bisa punya anak. Cuih!”
Aina mengepalkan tangannya mendengar itu. Kata-kata lain mungkin bisa ia terima dari mulut Rastanti, tetapi selama ini yang paling membuatnya sakit adalah hinaan tentang kata ‘mandul’ yang ia lontarkan kepada Aina setiap hari.
Ini semua karena Aina dan Yuda tak kunjung memiliki anak meski sudah menikah selama 2 tahun. Aina sering mengajak Yuda mengecek kondisi mereka ke rumah sakit, tetapi selalu menolak dengan alasan uang.
Meski tak tahu permasalahannya terletak pada siapa, Rastanti tetap mengatai Aina sebagai mandul dan pembawa sial.
***
2 hari berlalu setelah cekcok di sela hujan saat itu.
Aina keluar dari kamarnya, dan bersiap untuk memasak sebelum sang suami pulang kerja. Rastanti melihat Aina dengan senyum miring.
“Kamu gak usah masak lagi! Mending sekarang berkemas aja sana.”
Kalimat sinis Rastanti menghentikan langkah Aina. Wanita itu menoleh, dan menatap mertuanya dengan wajah tak paham.
“Berkemas? Maksudnya, Buk?”
Rastanti tersenyum pongah, lalu berjalan mendekat ke arah Aina. Setibanya di depan Aina, ia menyodorkan layar ponselnya ke wajah sang menantu.
Mata Aina memicing melihat Yuda tengah bersama seorang wanita dalam foto itu. Aina pun mengambil alih ponsel itu, tetapi langsung disambar oleh Rastanti.
“Moja udah kembali, jadi sekarang kamu bisa segera angkat kaki dari sini.”
Aina mematung di tempatnya. Ia tahu betul siapa Moja. Aina dan Yuda dulunya teman kuliah, satu jurusan bahkan sekelas. Dan, Aina pun tahu kisah percintaan antara Yuda dan Moja selama mereka kuliah.
Sedari dulu gosip tentang kisah percintaan Yuda dan Moja begitu booming di kampus mereka. Meski tidak satu jurusan, Moja berada di kampus yang sama dengan mereka dan satu tingkat pula. Aina sangat tahu bagaimana Yuda mencintai Moja saat itu.
Hingga saat wisuda mereka, Moja memutuskan Yuda karena ia ingin berangkat ke Jepang dengan alasan bekerja. Saat itu Yuda tampak sangat marah dan terpukul, hingga akhirnya pria itu malah mengajak Aina untuk menikah.
Bodohnya, meski semua pinangan itu begitu mendadak dan tiba-tiba, Aina malah tidak merasa aneh serta curiga. Itu semua karena selama ini Yuda memperlakukannya dengan baik. Status Aina sebagai anak yatim piatu yang miskin membuatnya cukup sering dirundung saat di kampus, bahkan ia tak memiliki teman.
Yuda menjadi satu-satunya orang yang bersedia berbicara dengan Aina, mengajaknya bercanda, dan menjadi teman saat itu. Semua kebaikan Yuda itu membuat Aina menilai jika pria itu menyukainya. Hingga saat Yuda mengajaknya menikah, Aina malah tanpa ragu menerima pinangannya, bahkan merelakan waktu terbaiknya untuk membentuk karir—secara Aina adalah lulusan terbaik jurusan keuangan kala itu.
“Gimana pun mereka udah lama menjalin hubungan. Bisa jadi Mas Yuda cuma lagi bantuin Moja yang balik ke Indonesia. Mereka mungkin aja udah berteman, meski mantanan, mereka masih bisa berteman,” ucap Aina.
Rastanti tertawa mendengar itu. “Ternyata kamu benar-benar bodoh, ya? Teman? Ha-ha-ha! Sedari dulu, di hati Yuda itu gak pernah ada kamu, selalu ada Moja! Dia nikahin kamu cuma karna marah atas kepergian Moja ke Jepang. Kamu itu hanya pengantin pengganti, karna sebenernya Yuda udah berencana nikahin Moja waktu mereka wisuda, tapi Moja malah pergi ke Jepang. Jadi dia cap-cip-cup pilih kamu buat jadi istri pengganti! Paham, bodoh?”
Napas Aina tercekat. Ia sama sekali tak ingin percaya hal ini. “Gak mungkin.”
“Cih, kamu cuma istri pengganti. Hanya pelengkap seseorang yang sempat gak ada. Sekarang orang itu udah kembali, jadi kamu udah gak dibutuhin. Makanya kamu cerai aja dari anakku! Aku pun sedari dulu gak sudi punya menantu sepertimu, cih."
Tangan Aina terkepal. Jantungnya berdetak begitu cepat. Aina masih mencoba tenang dan percaya jika Yuda tak akan mengkhianatinya. “Aku akan pergi jika memang Mas Yuda yang memintaku pergi, Buk.”
“Cih, kamu kira anakku akan menahanmu? Dia sedari awal memang sudah berniat menceraikanmu kalau Moja kembali. Lihat, dia sekarang sedang bersenang-senang sama Moja—cinta pertamanya. Kamu itu cuma pengganti, ingat sekali lagi, cuma pengganti! Jadi tau diri ‘lah! Cepat saja cerai dan pergi dari sini!”
“Ibuk gak berhak mutusin ini, karena ini rumah tangga kami, Buk.”
“Kita emang harus bercerai, Aina." Tiba-tiba Yuda datang bersama Moja yang tengah memeluk lengan kanannya.
Aina mematung, ia menatap Yuda dengan pandangan tak percaya. Aina melirik tangan Moja yang memeluk erat lengan sang suami, bahkan Moja tengah tersenyum miring ke arahnya. “Mas, apa maksud kamu? Kamu lagi bercanda ‘kan? Lagi nge-prank aku ‘kan?”
“Aina, cepet ke sana. Nanti kalo dia semakin marah, bisa bahaya. Kamu bisa dipecat, ke sana minta maaf,” bisik salah satu pelayan rumah makan itu.Aina mengembuskan napas pelan. “Padahal aku gak lakuin apa-apa, kenapa malah dia bilang aku gak sopan? Aku udah nganter pesanan mereka dengan baik-baik, lalu pamit pergi dengan baik-baik juga.”“Udah ‘lah, kayaknya mereka ini pelanggan yang sombong. Mending kamu minta maaf aja, berhadapan dengan mereka, pasti kita bakal dipersulit. Aku takutnya kamu nanti dipecat kalo sampe manager datang.”Aina kembali mengembuskan napas. “Dia cuma pengen mempersulitku, atau bahkan dia emang sengaja mau aku dipecat,” gumamnya.“Apa, Ai?”Aina menggeleng sembari tersenyum. “Aku akan ke sana, biar aku yang urus.”“Kamu gak usah balik berdebat, ya. Minta maaf aja, asal dia gak memintamu buat bersujud atau bertingkah keterlaluan, lebih baik mengalah dulu.”Aina tersenyum sembari mengangguk. “Iya, aku akan coba minta maaf dulu. Kamu di sini aja, ntar malah ikut
“Jaman sekarang emang susah nyari kerjaan, Nak. Meski udah sarjana pun, ya begitu ‘lah. Karna kamu belum dapat kerjaan, kamu mau coba kerja di rumah makan, gak? Ya, emang kerjanya gak di tempat yang elit, jadi pelayan gitu. Kebetulan itu punya-nya temen Ibuk, kalo mau coba, entar Ibuk bilang, dia lagi nyari satu karyawan lagi itu sekarang.”Mata Aina berbinar. “Yang bener, Buk? Aku mau, Buk. Gak penting elit atau enggaknya, yang penting halal, Buk. Sekalian nunggu panggilan wawancara kalo dapat rejeki keterima di salah satu perusahaan.”Tiyem tersenyum melihat tanggapan Aina. “Kalo emang kamu mau, nanti Ibuk kasih tau temen Ibuk. Kebetulan lokasi rumah makannya gak jauh dari sini, kok. Nanti Ibuk tunjukin, malem siap magrib kita ke sana, ya. Kamu istirahat aja dulu bentar, pasti capek tiap hari nyari kerjaan.”Aina tersenyum sambil mengangguk-angguk senang. “Makasih banyak, Buk. Aku seneng bisa dapet kerjaan.” Aina mencium telapak tangan Tiyem dengan tulus.Tiyem terkekeh. Ia menepuk
Aina menatap kos-kosan di depannya. Kondisi di sana terbilang begitu ramai, bahkan sangat sempit.Setelah berhasil menggadaikan kalung peninggalan ibunya, Aina langsung berusaha mencari kos-an murah. Hingga kini kondisi menjelang magrib, hari sudah mulai gelap, akhirnya Aina mendapatkan kos-an murah.Harga sewa kos-an sesuai dengan kondisi kos-an tersebut. Kamar yang kecil, dan kamar mandi di ujung, setiap harinya tentu harus berebut atau antri.Meski begitu, Aina sudah tenang dan senang, karena malam ini ia tak harus tidur di jalanan karena diusir mendadak dari rumah mantan suaminya. Meski secara hukum negara Aina dan Yuda masih suami istri, tetapi dalam agama mereka sudah resmi bercerai, sebab Yuda sudah menalaknya dalam keadaan sadar.“Haah, akhirnya usahaku dari tadi siang membuahkan hasil juga.” Aina menarik napas lega.“Nak Aina, ini tikarnya.”Aina menoleh, ia tersenyum melihat ibu pemilik kos itu kembali sembari membawa tikar kecil. “Makasih banget, Buk. Maaf malah ngerepotin.
“Padahal dia udah rebut Yuda dari kamu. Masih aja kamu kasian sama dia. Udah, biarin aja, dari awal dia ini emang gembel yang dipungut Yuda dan dibawa pulang ke rumah ini. Jadi gak ada hak dia buat bawa apa pun dari rumah ini.”Aina menatap Yuda yang tampak tak merasa bersalah setelah mempermainkannya selama ini. “Padahal aku merelakan masa bagusku untuk membentuk karir, demi menikah bersama kamu. Tapi ternyata ini balasannya. Aku yang membantumu naik jabatan sampai akan menjadi manager, sekarang kamu buang aku karna cinta pertamamu kembali? Aku tidak sangka, ternyata selama ini aku mencintai binatang.”“Jaga ucapanmu, Aina!” bentak Yuda. Ia menarik napas dalam, lalu menatap Aina nyalang. “Kamu juga harusnya sadar diri. Berkaca ‘lah, tiap hari kamu gak pernah berdandan, selalu jelek! Laki-laki mana yang bisa betah bersamamu?”Aina tertawa tak percaya mendengar itu. “Berdandan? Kamu menuntutku untuk menjadi cantik di saat aku yang mengerjakan semua kerjaan rumah, mencuci baju, cuci pir
Rastanti tertawa sinis. “Prank? Masih aja gak sadar diri! Udah dikasih tau, gak percaya. Kamu kira, kalau bukan karna kasian sama kamu, siapa yang bakal suka sama kamu? Kalau bukan Yuda, gak ada lagi pria yang mau menikahi perempuan kayak kamu gini. Tapi Yuda berhak dapat wanita yang jauh lebih baik, bukan beban dan parasit sepertimu.”“Udah ‘lah, Buk.” Yuda mengembuskan napas pelan, lalu menatap Aina. “Aku sudah mengurus semua surat-surat untuk perceraian kita. Aku akan kasih kamu 1 juta, kamu bisa cari kontrakan atau kost murah buat pindah dari sini.”“Apa-apaan kamu, Yuda? Gak ada, kenapa juga kamu harus kasih dia 1 juta? Kalau dia gak punya uang, itu urusannya sendiri. Derita dia sendiri, keluar dari sini gak punya duit, biar dia jadi gelandangan, bukan urusan kita lagi!” celoteh Rastanti.“Anggap saja sebagai nafkah terakhir dariku, atau sebagai uang perpisahan. Aku tahu kamu tidak punya tabungan, jadi setidaknya 1 juta ini bisa kamu gunakan untuk mencari tempat tinggal murah dan
Aina pun terkejut, ia menatap Yuda dengan sorot tak percaya. “Mas, kamu kasih aku uang 300 ribu tiap bulan. Apa itu yang kamu maksud gede? Itu semua cuma buat bahan-bahan masak di dapur aja, Mas, bahkan itu kurang. Kita ada 3 orang dewasa di sini, 300 ribu dibagi 30 hari 10 ribu. 10 ribu dibagi buat 3 orang, berarti berhari satu orang 3 ribuan. Nasi dan lauk apa yang dapet 3 ribuan jaman sekarang, Mas? Sekarang apa-apa mahal, beras mahal, buat lauk mahal, bahkan seiket sayur aja mahal. Dari situ aku minta lagi, kalo emang udah beneran abis. Kalo enggak, aku juga gak bakal pernah minta lagi. Aku bahkan gak minta jatah buat belanja aku, entah sekedar beli baju daster murah karna baju daster aku pada lusuh-lusuh kayak gini. Aku ngertiin kamu karna katanya kamu lagi nabung buat buka usaha kecil-kecilan biar gak terus kerja di tempat orang ‘kan?”“Bener-bener ya, kamu! Apa maksud kamu bilang begitu, hah?! Kamu ngeluh? Istri macam apa kamu ngatain suami kayak gitu, hah? Bener-bener gak bera