Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 36 ) Wanita Bar-Bar (1)Segera kuambil uang receh yang biasa kusimpan di dalam mobil. Setelah mengambil yang kira-kira menurutku cukup, aku kembali menutup mobil dengan sekali hentakan. Aku khawatir anak-anak menungguku terlalu lama. Aku berbalik dan jantungku berdegup tak berirama mendapati seseorang yang kukenal berdiri tepat di hadapanku.Mas Galih menatapku dengan raut wajah yang sulit kuartikan. Tak ada satu kata pun yang terucap dari bibirnya. Begitu pun aku yang tak bisa berpikir jernih. Dari arah beberapa meter kulihat Pak Rafli menatap ke arahku. Aku harap dia tak mendekat dan membuat urusanku makin runyam. "Ada apa, Mas?" tanyaku akhirnya pada mantan suamiku. Postur tubuh Mas Galih yang lebih tinggi dariku membuat wajahku mendongak. "Kudengar hari ini acara market day di sekolah anak-anak, aku ingin liat mereka." Kalimat yang keluar dari mulut Mas Galih terdengar memelas. Seolah dia meminta izin dariku untuk melihat anak-anak dari d
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (37)Wanita Bar-Bar (2)Lucunya lagi, di saat semua itu terjadi, mereka baru ingat tiga anak yang kubawa berjuang panas perih menata hidup yang porak poranda akibat nafsu dan keserakahan mereka. Anak yang beberapa saat menanyakan di mana ayahnya. Bahkan si kecil Zoya tak sempat menyicip serunya naik pundak ayahnya untuk mengejar gelembung balon sabun. Maka dengan keyakinan sekuat baja tentu saja kutolak permintaan mereka mentah-mentah. "Kalau begitu, menikahkah lagi dengan wanita normal, Mas. Dengan begitu orang tuamu akan puas, mendapatkan cucu darah daging mereka sendiri." Ucapanku membuat Mas Galih berhenti berjalan. Dia menatapku tak percaya, aku bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Tatapan matanya menelisik, membuatku sedikit kehilangan nyali. "Kenapa? Ada yang salah dengan kalimatku?" Aku bertanya dengan raut wajah merasa tak berdosa. "Kamu berubah, Vinda. Sekarang kamu menjadi wanita yang sulit ditebak, bahkan kamu menjadi lebih kasa
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 38)Isyarat (1)Aku duduk di depan mesin kasir saat melihat rombongan Bu Fatma masuk ke dalam restoranku. Seperti biasa, dia langsung menyapaku dengan sangat ramah. Tak kusangka Soraya mengekor di belakang pimpinannya. Bedanya, dia langsung mengambil tempat duduk yang sudah direservasi atas nama pimpinan mereka. "Mbak Vinda … sehat?" tanyanya sembari menampakkan barisan giginya yang rapi. Sungguh, tak terpancar sedikit pun aura mencekam dari wajah kepala sekolah yang satu ini. Bahkan dia tak segan-segan menyapa dengan ramah para pegawaiku. Dia juga kulihat beberapa kali memberi uang tip cukup lumayan pada mereka. "Alhamdulillah sehat, Bu Fatma. Terima kasih sudah reservasi untuk ke sekian kali. Bawa rombongan banyak pula," ucapku tak kalah sumringah. Tak kusangka, Bu Fatma mendekat dan berbisik di telingaku. "Abaikan wajah demit betina itu, Mbak. Bawaan lahir sepertinya," bisik Bu Fatma. Aku hampir meledakkan tawa kalau tak ingat ada puluhan p
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (39)Isyarat (2)"Lho, Bu Fatma kok belum pulang?" tanyaku sekembalinya dari ruang istirahat di belakang. Kulihat Bu Fatma duduk sendirian di tempat yang tadi di pesannya. Semua rekannya sudah tak ada yang duduk di sana. Setelah menunaikan sholat ashar aku memutuskan untuk merebahkan diri sebentar. Suasana yang gerimis membuatku nyaman meluruskan pinggang di ruangan kecil itu. "Iya Mbak. Kuminta Rafli menjemputku. Tadi saya nggak bawa mobil. Sebentar lagi sampai," terangnya. Suasana yang sepi membuatku duduk di sampingnya. Tak kecanggungan karena selama ini Bu Fatma juga bersikap sangat baik padaku. "Mbak Vinda nggak ada niatan menikah lagi?" tanyanya kemudian. Aku sedikit terlonjak mendapatinya bertanya demikian. Jujur, aku belum berpikiran sampai sana. "Belum, Bu. Saya masih fokus dengan anak-anak," jawabku jujur. Memang anak-anak menjadi fokusku kali ini. "Anak-anak juga perlu sosok ayah, Mbak. Apalagi mereka masih kecil-kecil. Jangan sampa
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 40 ) Status Pak Rafli (1)"Wah… anaknya lucu sekali, Pak. Siapa namanya?" tanyaku pada laki-laki berkemeja salur itu. Pak Rafli hanya tersenyum kecil mendengarnya. Entah mengapa pertanyaanku membuat Bu Fatma menatapku cukup lama. Dahinya pun berkerut. "Anak?" tanyanya dengan nada bingung. Lagi-lagi Pak Rafli tak menjawab, dia hanya mengulum senyumnya. Bu Fatma justru makin terlihat bingung. Tiba-tiba aku menyadari ada sesuatu yang aneh dari respon mereka. "Lho, anaknya Pak Rafli, 'kan? Namanya siapa?" Kini terdengar suara tawa yang meledak dari Bu Fatma. Aku tertegun. Tak lama, seorang wanita cantik yang ternyata satu mobil dengan Pak Rafli menyusul ke meja kami. Dia heran dengan suara tawa yang dikeluarkan Bu Fatma. "Rame sekali, Mbak. Ada apa ini?" tanya wanita yang menggenakan terusan polos warna mustard dilengkapi longcardy warna hitam. Terlihat serasi sekali untuk kulitnya yang putih. Wanita yang kuyakini istri Pak Rafli kemudian duduk t
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (41)Status Pak Rafli (2)Tak berpikir lama, aku segera mendekati Putri yang berdiri tepat di pantry. "Put. Nitip resto ya, Zoya muntah-muntah. Kalau sempat aku balik ke mari lagi, kalau tidak tolong rekapan seperti biasa," ucapku pada gadis yang sudah sangat kupercaya. Putri mengangguk dan berpesan agar aku hati-hati. Segera aku berjalan menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil. Pikiranku kalut, khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada anakku. Biasanya ibu tak sampai menyuruhku pulang jika ada masalah dengan Zoya. Jika sekarang aku disuruh pulang, pasti sesuatu yang gawat sudah terjadi. Aku ingat saat Zoya masih berusia sembilan bulan, anakku itu pernah panas dan kejang. Aku yang tak punya uang saat itu, dengan nekad membawa anakku ke klinik tak jauh dari rumah. Dengan sangat bodohnya aku pernah meminta Mas Galih membantuku menebus obat-obatan Zoya. Tahu apa jawaban pesannya? Dia berkata tak punya uang, karena kartu ATM-nya sekarang dipegang
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 42 ) Keluarga Tak Tahu Malu (1)Anakku sudah mulai tenang, meski masih kulihat gurat-gurat tangis memenuhi pipi mungilnya. Wajahnya nampak pucat dengan bibir yang sedikit kebiruan. Terdengar suara merintih Zoya. Aku mendekat. Kuciumi wajah cantik anakku. Kuabaikan butiran-butiran air mataku yang jatuh di pipinya. "Zoya sayang… Zoya kenapa?" tanyaku sedikit terisak. Sungguh, hatiku nyeri mendapati belahan jiwaku terbaring lemah di sana. Zoya hanya mengerjapkan mata sesekali. Suara rintihannya sudah mulai jarang terdengar. Dokter menjelaskan kondisi Zoya pada ayah dan ibu. Sayup-sayup aku mendengar dokter membawa sampel makanan yang keluar dari perut Zoya ke laboratorium. Dokter memberi harapan besok hasil sampel bisa keluar sehingga dapat dipastikan penyebab Zoya mengalami keadaan seperti ini. "Vin… ," panggil ibuku lirih. Kulihat gurat penyesalan terhambar jelas di wajah tuanya. "Maaf, Vin. Ibu lalai menjaga Zoya. Mbak Mi hari ini libur, dia
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (43)Keluarga Tak Tahu Malu (2)Setelah visitasi dokter, sore ini Zoya diperbolehkan pulang. Kondisi Zoya yang berangsur membaik membuat kami amat bahagia. Putri bungsuku sudah sudah kembali normal. Sungguh, sebagai ibu hal yang amat membahagiakan adalah melihat anak-anak sehat dan tumbuh dengan baik. Dari penjelasan dokter, Zoya keracunan es jagung yang dibelikan oleh ibuku. Jika anak-anak lain tidak mengalami reaksi berlebihan, tidak dengan Zoya. Kondisinya yang lebih sensitif membuat Zoya sangat rentan dengan bakteri yang masuk ke dalam tubuhnya. Beruntung anakku belum sampai dehidrasi akibat terlalu banyak memuntahkan makanan dan minuman dari perutnya. Ayah dan ibu sangat sigap membawanya segera ke klinik. Tentu ini menjadi perhatian kami agar lebih berhati-hati. Kuparkir mobil ke dalam garasi rumah. Ibu membopong Zoya dengan dibantu Mbak Mi membawa barang-barang yang kemarin dibawa ke rumah sakit. Zayn dan Ziyan menciumi kepala adiknya den