Langkah Baru Vinda
Usahaku untuk berdamai dengan keadaan bukan tanpa halangan. Sering sekali aku merasa putus asa dan kembali menyalahkan keadaan. Berkali-kali pula kusalahkan diri sendiri yang terlalu bodoh tidak mempersiapkan kemungkinan terburuk dalam berumah tangga.
Tak jarang aku merutuki diri yang terlalu sibuk mengabdikan diri pada suami, mengurus segala keperluannya, belum lagi segala urusanku dengan anak-anak yang tidak ada habisnya. Mungkin aku terlalu sibuk dengan peranku sebagai ibu rumah tangga hingga tak bisa mencegah dari awal perselingkuhan suamiku dan Soraya.
Aku terlalu percaya padanya yang tak akan mungkin berhianat melihat dari sikapnya selama ini. Apalagi mengingat perjuangan kami hingga menikah sangat tak mudah. Aku terlalu santai dan berpikir terlalu polos suamiku selamanya akan menjadi milikku seorang.
Tetapi kini tak ada yang perlu disesali. Semuanya sudah menjadi jalan hidupku. Aku hanya menyalahkan diriku yang tak mempersiapkan finansialku dengan baik sehingga anak-anakku menjadi korban. Mereka harus merasakan keprihatinan akibat perceraian aku dan Mas Galih.
Aku sadar tak bisa selamanya terpuruk seperti ini. Aku harus segera membalikkan semua keadaan. Meski tak mudah, mengingat selama ini aku vakum menghasilkan uang sendiri. Tapi setiap kali melihat anak-anak yang membutuhkan sosok ibunya yang kuat, maka suntikan semangat itu mampu membuatku bangkit dari keterpurukan.
[ kamu nggak kerja lagi saja, Vin? Kuyakin dengan kemampuan otakmu masih banyak perusahaan yang bisa menerimamu] tulis Melda aplikasi berlogo hijau. Jujur aku memikirkan rencana kembali bekerja sebelum Melda memberiku saran demikian. Berkali-kali bahkan aku memikirkan rencana itu.
Aku masih berhubungan dengan baik rekan-rekan di kantorku yang dulu, yang sebagian besar dari mereka sudah memiliki posisi penting di perusahaan itu. Siapa tahu mereka bisa mencarikan posisi yang tepat untukku, meski harus merangkak lagi dari bawah. Aku tak peduli, yang penting aku bisa mempunyai penghasilan untuk ketiga anakku.
Hanya saja dengan meninggalkan si kembar dan Zoya yang masih usia 3 bulan segera kuurungkan niatku. Aku yakin ada jalan lain lagi selain harus bekerja yang artinya harus meninggalkan mereka dengan ibuku di rumah.
[ aku mikir anak-anak, Mel. Kasian ibu harus mengurus mereka. Aku belum punya uang untuk membayar pengasuh] jawabku jujur pada Melda. Memang rasanya berat meninggalkan anak-anak dengan ibuku. Aku tak mau di usia senja itu ibu justru harus merawat anak-anakku.
Aku sudah tak memikirkan rasa sungkan lagi untuk menceritakan ceritaku sendiri. Bukan berarti aku sedang mencari belas kasihan orang lain. Hanya saja aku memang butuh masukan dari beberapa orang untuk memulai langkah baru yang tepat.
[ astaga… Mas Galih nggak kasih nafkah? ]
Siapapun tidak akan percaya laki-laki berperawakan tinggi tegap itu melalaikan kewajibannya. Biarlah aku membuka aibnya, toh memang semua adalah kenyataan. Laki-laki itu ingkar pada putusan pengadilan untuk memberi nafkah pada anakku.
[ Nggak, Mel ]
Melda terlihat mengirimkan sebuah foto. Kuuunduh gambar darinya. Hatiku memanas melihat kiriman gambar Melda. Terlihat status yang diunggah Soraya beberapa jam yang lalu. Sebuah foto kalung yang sangat cantik dengn liontin berbentuk hati. Gambar selanjutnya adalah jam tangan merk terkenal yang kutaksir harganya belasan juta rupiah. Caption yang ditulis Soraya makin membuatku sesak. Kubayangkan anak-anak yang tak mendapatkan pelayanan semestinya. Justru istri baru ayahnya mendapat limpahan materi yang tak mungkin menghabiskan uang sedikit.
[ Terima kasih suamiku atas Kado istimewanya]
Sisi sentimentilku bergejolak. Keterlaluan sekali kedua orang itu. Mungkinkah Mas Galih memberi kado mahal itu menggunakan uang hasil penjualan rumah? Kugenggam erat ponselku. Rasanya sangat sakit mengingat susu untuk si kembar dan diapers untuk Zoya yang kupangkas demi sebuah penghematan. Sedangkan ayah mereka asyik sekali memberi kado mahal untuk istri barunya.
[ Betul sekali kata orang tua, setiap istri membawa rizkinya sendiri-sendiri ]
Kulihat hasil tangkapan layar status milik Soraya yang dikirimkan Melda selanjutnya. Amarahku kembali menggelegak. Wanita itu benar-benar tak berperasaan sedikit pun. Atau bisa juga kusebut tak punya pikiran. Bahkan Soraya cukup percaya diri menulis status tersebut. Mengingat bagaimana pandangan orang terhadap wanita perebut suami orang, apalagi statusnya yang seorang guru. Tidak malukah?
Kuyakin banyak yang tahu mengenai dirinya yang mendapatkan suami dengan cara merebut suami orang itu. Zaman sekarang informasi apa yang tak mudah didapatkan? Apalagi Mas Galih cukup aktif di media sosialnya sebelum perceraian kami terjadi. Bahkan Mas Galih seringkali membagikan momen kebersamaan kami sebelum Zoya lahir.
Dia amat bahagia dengan kehadiran Zayn dan Ziyan dalam kehidupan kami. Tak jarang dia ikut serta membantuku saat aku kerepotan dengan dua anak kembarku. Mas Galih adalah tipe penyayang keluarga sebelum wanita bernama Soraya itu masuk dalam kehidupan kami.
Aku masih ingat di awal kehamilanku, pertama kali aku mendapati suamiku berhubungan dengan wanita itu. Entah bagaimana perasaanku saat itu, Mas Galih menyebut nama Soraya saat kami tengah beribadah suami istri. Aku hancur, meski saat itu aku masih berpikir positif dia tak akan sejauh berhianat sejauh itu.
Ternyata dugaanku salah. Laki-laki itu sudah teramat jauh lepas dari kontrolnya. Berkali-kali aku mendapati chat mesra dari wanita itu. Bahkan foto-foto nakal yang dikirimkan Soraya hampir memenuhi galeri di ponselnya.
Aku tak bodoh, segera kuambil tindakan barangkali sewaktu-waktu hal itu dibutuhkan. Bayangkan, di sela-sela kehamilanku yang memang banyak sekali gangguan yang kurasa, aku juga harus mendapati suamiku yang selingkuh.
Mas Galih seakan tak peduli dengan semua yang kurasakan. Bahkan aku yang hampir lemas di kamar mandi karena seluruh isi perutku keluar itu tak memantik rasa kepeduliannya. Dia tetap sibuk di sudut rumahku yang sudah kutata sedemikian cantik hingga menjadi taman mungil dengan beberapa koleksi bungaku. Tak kusangka tempat itu pula yang digunakan suamiku memadu kasih dengan Soraya. Berjam-jam dia bisa menghabiskan waktu di sana.
Tak jarang aku hampir bertengkar mempermasalahkan sikapnya. Tetapi lagi-lagi tubuh yang terlalu lemas dan kesehatan mental anak-anakku membuatku lebih sering meredam emosiku sendiri. Aku menutupi bangkai Mas Galih dari siapapun karena masih berpikiran dia hanya sedang khilaf dan akan kembali seperti sedia kala.
Ternyata dia makin menjadi-jadi dengan bukti-bukti yang kian hari kian menumpuk. Struk hotel, chat mesra, rambut panjang di seragam kerjanya. Belum lagi aroma parfum yang makin membuatku mual di saat kehamilanku ini.
Mas Galih bahkan tak pernah sekalipun mengantarku periksa kehamilan. Dia benar-benar mengabaikan Zoya dari anak itu masih di dalam kandungan. Padahal sebelum mengenal Soraya, laki-laki itu sering mengungkapkan keinginannya memiliki seorang putri sebagai pelengkap keluarga kami. Sayang sekali seolah dia lupa dengan keinginannya yang satu itu. Dia melupakan Zoya dari anak itu masih di dalam kandungan.
Ponsel yang kupegang kembali berkedip. Melda mengirimkan balasan pesannya padaku.
[ Semangat. Aku di pihakmu, Vin. Kamu kuat. Buktikan kamu bisa tanpa Mas Galih. Vinda yang kukenal tangguh seperti karang ] Melda memberi semangat untukku. Ya… Aku adalah Si Tangguh yang tak akan pernah menyerah dengan keadaan.
Aku diciptakan bukan untuk kalah dan menyerah pada keadaan, tetapi aku adalah si penyerang yang tak akan pulang sebelum menang. Aku akan ribuan kali lebih kuat apalagi ada tiga makhluk kecil yang tak akan pernah gagal menyuntikkan amunisi perang untuk bundanya.
***
Aku mengelap dahiku yang berkeringat karena sibuk dengan pekerjaanku di dapur. Zoya kutitipkan pada ibuku. Kudengar anak itu tertawa riang bersama neneknya. Sisi positif aku pulang ke rumah ini adalah kembalinya tawa riang di rumah ini. Suasana sepi kembali ramai karena kehadiranku dan anak-anak. Belum lagi Zayn dan Ziyan yang begitu manja dengan Mbah Kakungnya. Ada saja permintaan aneh mereka pada ayahku.
Hari ini menu ayam bakar permintaan si kembar sudah siap di meja makan. Kupanggil mereka yang sedang asyik bermain di halaman rumah orangtuaku.
Dengan langkah berlari mereka mendekati wastafel untuk mencuci tangan. Hal itu adalah kebiasaan mereka yang sudah tak perlu kuingatkan lagi. Beruntung sekali mereka sudah paham dengan aturan yang kubuat. Bahkan mereka tak berebut dan saling menunggu di depan wastafel dapur ini. Aku tersenyum melihat mereka yang tampak antusias dengan masakan yang tersaji di meja makan.
" Bu… nggak mau disuapin. Kakak udah bisa makan sendiri," ucap Zayn dengan wajah meyakinkan. Ziyan pun mengikuti langkah saudara kembarnya tak mau disuapi. Wajah mereka berdua terlihat puas memakan hasil masakanku.
Senyum yang mereka berikan membuatku lupa bahwa uang seratusan ribu yang terakhir sudah habis untuk membeli dua kilogram ayam dan bumbunya. Entah esok akan seperti apa.
" Ibu nggak makan?" tanya Ziyan dengan mulut masih mengunyah. Kuusap kepalanya dengan lembut seraya menggeleng pelan.
"Ibu masih kenyang."
"Bu… kapan Ayah kemari?" Pertanyaan Zayn membuatku berhenti tersenyum. Entah bagaimana wajahku saat ini. Tentu saja aku tak bisa terus menerus membohongi mereka. Apalagi mereka yang kian hari tumbuh besar, tak mungkin lagi percaya dengan caraku menutupi kondisi orang tuanya lagi. Tetapi jujur saja aku belum siap melihat mereka kembali terluka.
Bagaimana kujawab pertanyaan anakku? Ayah mereka benar-benar tak peduli lagi dengan anak-anaknya. Dia sibuk dengan kehidupan barunya. Bahkan sekedar menghubungi lewat w******p saja tidak bisa. Apalagi jika menemui mereka? Aku yakin hal itu tak akan mungkin terjadi.
Mungkin aku harus mulai jujur dengan mereka yang sudah mulai mengerti keadaan yang sebenarnya. Apalagi Zayn dan Ziyan tergolong anak yang cerdas. Aku yakin mereka akan sangat mampu memahami kondisi ini.
"Do'akan ayah sehat… biar cepet kemari, ketemu kakak dan adek ya," ucapku sambil berusaha tersenyum. Kulihat mereka mulai terbiasa dengan jawaban seperti itu jika menanyakan Mas Galih. Kedua anak itu mengangguk hampir bersamaan. Kuusap punggung mereka bergantian.
"Ayam bakar Ibu juarraaa… kakak jadi pengin nambah terus…" Zayn menunjukkan ekspresi lucunya. Dia memang lebih kuat makan daripada Ziyan. Apalagi jika makanan kesukaannya itu terhidang di atas meja. Aku jadi ingat dengan serial dari negeri tetangga tentang anak kembar yang gemar dengan ayam goreng. Mereka hampir sama, hanya saja mereka lebih suka ayam bakar.
"Zayn mau makan ayam bakar setiap hari ya, Bu." Glek. Aku tak mampu menjawab apapun. Aku tak berani menjanjikan hal itu pada mereka. Hatiku mendadak gerimis. Apa yang harus kujawab. Sedangkan uang yang kupunya hanya tinggal berapa ribu saja. Aku tak punya muka lagi untuk meminta pada orang tuaku. Tentu saja akan mereka beri, hanya saja aku yang segan.
" Kenapa Ibu nggak jualan ayam bakar? Biar kita bisa makan ayam bakar setiap hari," celoteh Ziyan. Kalimat yang dia ucapkan membuatku termenung. Meski terkesan spontan, tetapi apa yang dia katakan membuatku tertarik. Benar juga. Aku yang sedang kesulitan keuangan bisa mencoba cara ini. Tentu saja dengan bantuan sosmed yang kupunya bisa berguna sebagai wadah promosi nantinya.
Aku tersenyum membayangkan ide yang berkelebat di benakku. Tak mungkin aku tak punya jalan keluar untuk permasalahanku. Kali ini jalan keluar itu dikirimkan Tuhan melalui perantara anak-anakku.
Kutatap kedua anak kembarku bergantian. Mereka yang lahap makan membuatku makin semangat memulai langkah ini. Akan ku diskusikan rencanaku dengan ibu. Mudah-mudahan beliau merestuinya.
Tentu saja aku butuh modal untuk awal usahaku ini. Aku akan meminjam modal itu dari ibu. Kuharap langkahku akan berjalan dengan lancar. Keinginanku untuk bekerja tanpa meninggalkan anak-anak pun semoga terealisasi. Aku tak tega meninggalkan Zoya dengan neneknya.
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe