Share

Bab 2

Flashback

Tolong, Mas. Jangan lakukan ini. Kumohon. Ingat anak kita masih kecil-kecil, tolong Mas! Dan Zoya kau lihat, dia anak perempuan yang kita tunggu-tunggu kehadirannya." Berkali-kali aku hampir terjungkal saat tangan kekar Mas Galih mendorong tubuhku di depan rumah. Tak ada kelembutan sama sekali yang tersisa dari laki-laki itu. Zayn dan Ziyan memegang bajuku begitu erat. Hanya tangisan tertahan satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan. Anak kembarku ketakutan melihat ayahnya berbuat sekasar itu padaku. 

Selama kurang lebih enam tahun pernikahan kami, Mas Galih tidak pernah berkata kasar sedikit pun. Apalagi main tangan seperti ini. Entah iblis apa yang merasukinya hingga sekarang dia tega berbuat sekasar itu padaku. Bahkan dia lupa fisikku masih lemah setelah berhari-hari didera mastitis hebat. Beruntung tak ada tindakan pembedahan seperti kasus mastitis yang sering kudengar. 

" Sudah kubilang, Vinda. Kita sudah tidak cocok. Aku bosan sekali berumah tangga denganmu. Orang tuaku pun sudah berkali-kali memintaku untuk menceraikanmu. Pergilah. Pulanglah ke rumah orang tuamu!" Kalimat yang baru saja keluar dari mulut Mas Galih membuatku memekik kaget. Lututku seolah tak bertenaga untuk menopang bobot tubuhku. 

Tak kusangka laki-laki   itu mengucapkan  kalimat bernada talak padaku. Aku beristighfar di antara tangisku. Tak ada belas kasihan sama sekali darinya. 

Kudekap Zoya—anak bungsuku yang baru berusia tiga bulan. Bahkan selimut yang biasa melindunginya masih tertinggal di dalam kamar. Sedangkan beberapa baju kami sudah dimasukkan ke dalam koper berukuran besar. Mas Galih seolah sudah mempersiapkan semua ini begitu rapi. 

"Istighfar, Mas. Tak adakah sedikit pun rasa kasihan pada kami, Mas? Bahkan Zoya baru berusia tiga bulan!" Lagi-lagi aku memohon dia memikirkan kembali keinginannya. Bahkan aku hampir berlutut padanya. 

" Maaf, Vinda. Kalau kamu memaksa untukku tetap bersamamu justru akan membuatmu makin sakit. Sudah tidak ada cinta untukmu." Laki-laki itu memalingkan wajahnya seolah jijik melihat rupaku. Dia lupa bahwa dialah yang dulu begitu menggilaiku, bahkan ketika orangtuanya dengan tegas menolak hubungan kami. 

"Baiklah. Jika untukku sudah tak ada rasa, maka pertimbangkan anak-anak. Mereka membutuhkan sosok ayahnya," pintaku. Aku mendekat ke arah Mas Galih dengan penuh harap. Tetapi lagi-lagi penolakan yang dia tunjukkan. Dia kembali mendorong tubuhku menjauhi tubuhnya. 

"Pergilah! Aku sudah muak melihatmu. Sudah kupesankan kalian taksi online untuk mengantar kalian. Pergilah. Surat cerai akan segera kukirimkan ke alamat rumah orang tuamu." Ucapan Mas Galih makin membuatku sakit. Keputusan laki-laki itu tak bisa digoyahkan lagi. Aku pasrah. 

Kulihat kedua mertuaku hadir di sini. Kudekati mereka. Berharap ada pertolongan untuk menantu dan cucu-cucunya. Aku yakin mereka masih punya hati dan mau menasihati putra mereka akan keputusan yang sudah diambilnya secara sepihak. 

" Pergilah, Vinda. Jangan paksa Galih untuk tetap tinggal bersamamu." Kalimat bapak mertuaku bagai menyiram air garam di atas luka. Perih sekali. Laki-laki itu dengan raut kesombongan tak mau menoleh padaku sama sekali. 

Bahkan ibu mertua masuk ke rumah hanya untuk mengambilkan selimut bayi Zoya yang tertinggal di dalam kamar. Setelah itu dia memberikannya padaku dengan gerakan kasar. 

" Pulanglah. Jangan buat Galih bimbang. Kamu tidak boleh egois. Rumah tangga macam apa yang sudah tak ada rasa sama sekali. Anakku akan tersiksa menjalaninya. Kami tak mau hal itu terjadi. Galih akan jauh lebih baik saat dia menikah dengan orang pilihan kami," ucap Ibu mertuaku tanpa ragu. 

Aku bergeming. Telingaku berdengung sesaat. Rasa pusing di kepalaku berdenyut hebat. Tak kusangka perlakuan seperti ini kudapatkan dari ketiga orang ini. Aku tahu meski kedua mertuaku tak menyukaiku sama sekali, tak kusangka mereka akan bertindak seburuk ini. Bahkan tak ada kasihan pada anakku yang beberapa kali menggeliat di dalam pelukanku. 

" Terbuat dari apa hati kalian, Pak, Bu? Bahkan anak yang kugendong ini masih merah. Tega sekali kalian mengusirnya dari rumah ini! " Aku berteriak karena tak tahan pada mereka. Sungguh, aku tak menyangka ada manusia sejahat ini. 

" Jangan jadikan anakmu sebagai alasan untuk tetap bersama Galih. Kami tak akan menahan anak-anak. Kami berbaik hati membiarkan mereka ikut denganmu. Mulailah hidup baru tanpa Galih. Jangan usik kembali dan mengemis masuk ke dalam hidupnya lagi. Dia cukup susah menghabiskan waktu denganmu selama ini. Anakku sudah  memilih wanita lain yang lebih baik darimu! Dan yang pasti, dia sangat sesuai dengan selera kami!"jawab Bu Mirna tak kalah keras. 

" Wanita baik-baik tidak akan merebut laki-laki beristri, Bu! Wanita baik-baik akan memilih berhubungan dengan laki-laki lajang yang tak punya ikatan pernikahan dengan siapapun! Wanita baik-baik tak akan pernah memutuskan hubungan anak-anak dengan ayah mereka. Wanita baik-baik tak akan pernah merusak rumah tangga yang susah payah dibangun oleh orang lain! Jangan tutupi kebusukan kalian dengan alibi murahan semacam ini!" Aku berteriak lantang di depan mertuaku. Keduanya terlihat marah mendengar kalimatku. Mungkin mereka tak menyangka aku akan bertindak sejauh ini. 

" Beginilah wanita yang tidak berpendidikan berucap. Tak ada kesopanan sama sekali berbicara pada orang tua. Benar sekali keputusan Galih untuk menceraikanmu. Rasanya tak sabar sebentar lagi wajahku yang selama ini tertutup rasa malu akibat punya menantu tak berpendidikan akan segera terobati. Wajahku akan kembali tegak karena anakku bersanding dengan wanita terhormat yang bahkan jika kau dibandingkan dengannya tak akan sebanding dengan ujung kukunya sekalipun. Pergilah, Vinda. Taksi sudah menunggu kalian!" 

Ibu mertuaku masuk ke dalam rumah. Disusul bapak mertuaku yang menutup pintu dengan keras. Bunyi pintu yang berdebum keras beriringan dengan tubuhku yang seolah berserak hancur. Aku mengusap air mata dengan ujung kain gendong Zoya.

Memang dari awal mereka tidak menyukaiku. Alasannya klasik, mereka menginginkan wanita karir dari keluarga terhormat yang menjadi istri anaknya. Akan tetapi Mas Galih yang merupakan anak tunggal bersikeras dengan pilihannya. Dengan begitu sabar laki-laki itu meluluhkan hati orang tuanya. 

Bukan tidak pernah aku ingin menyerah karena tidak kunjung mendapat restu dari orang tua Mas Galih. Tentu sebagai wanita normal aku ingin memiliki mertua yang menyayangiku seperti orang tuaku sendiri. Aku tak ingin menghabiskan kesia-siaan hidupku dengan mengemis restu yang tak kunjung datang. Tetapi di saat aku hampir di titik menyerah, kabar baik itu datang layaknya sebuah keajaiban. Entah apa yang dilakukan suamiku, hingga suatu saat restu itu akhirnya hadir.

Pernikahan kami pun digelar dengan sederhana dan hanya dilakukan di rumahku. Aku tak bermasalah dengan hal itu. Asal sah secara agama dan pemerintah aku tak mempersoalkan hal lain. Yang sedikit membuatku bertanya-tanya adalah tamu dari keluarga suamiku. Keluarga Mas Galih yang datang hanya keluarga inti dan beberapa keluarga dekat lainnya. 

Agak heran awalnya, ketika tahu latar belakang Mas Galih yang termasuk orang terpandang hanya mengundang beberapa kerabat saja untuk hadir di pernikahan kami. Bahkan mereka langsung pulang saat akad baru saja selesai. Aku masih ingat wajah kedua orang tuaku saat itu. Tetapi demi melihatku bahagia mereka pura-pura tak bermasalah dengan kepergian satu per satu keluarga Mas Galih. 

Mungkin sebabnya karena mereka malu memiliki menantu sepertiku. Aku berusaha abai dengan kenyataan itu. Fokusku melayani suami dengan baik setelah pernikahan. Kedua orang tua Mas Galih pun sangat kuhormati. Meski tak jarang aku mendapati perlakuan buruk dari mereka. 

Sekali lagi aku berusaha abai. Tak lupa selalu kuselipkan doa untuk kedua mertuaku agar dilembutkan hatinya yang beku. Nyatanya mereka memang tak menyediakan ruang khusus di hatinya untukku dan anak-anakku. Tetaplah kebencian yang selalu bersarang di otak mereka. 

 Aku berbalik dan menuntun anak-anak masuk ke dalam taksi. Kulihat Bu Ari mendekat. Selama ini dia adalah tetangga yang baik. Sudah kuanggap beliau seperti ibuku sendiri. Dia sangat mengerti bagaimana perlakuan kedua mertuaku selama ini. Tetapi pengusiran yang mereka lakukan nampak membuatnya ikut merasakan terluka. Apalagi dengan anak-anak yang masih sangat kecil ini. Aku yakin jiwa keibuannya ikut terkoyak. Matanya menatapku cukup lama sebelum akhirnya bibirnya mampu berucap. 

"Ya Allah Vinda… yang sabar. Ibu tahu kamu kuat. Kamu tak boleh lemah. Ada anak-anak yang membutuhkanmu. Jahat sekali suami dan kedua mertuamu. Semoga mereka terkena karma yang lebih pedih, " ucap Bu Ari sambil memelukku. Dia menyelipkan beberapa lembar uang berwarna merah  dan beberapa bungkus roti untukku. 

"Terimalah. Kamu pasti akan membutuhkannya. Anggap itu hutang, kamu akan membayarnya saat kamu sudah sukses dan punya banyak uang," lanjutnya lagi. Setelah itu bergantian dia menciumi kepala anak-anakku. 

 Dia mengatakan hal itu karena paham sekali dengan sikapku yang tidak suka sekali merepotkan orang lain. 

" Tolong… kabari Ibu kalau kalian sudah sampai di tempat mbahnya anak-anak." Aku mengangguk di sela-sela tangisanku. Bu Ari membantuku memasukkan anak-anak ke mobil. Aku memeluknya cukup lama. Tangisan kami selayaknya dia orang yang tidak akan bertemu lagi. 

***

Taksi online yang Mas Galih pesankan membawaku ke rumah orang tuaku. Jarak yang ditempuh hanya kurang dari satu jam. Hanya sebentar. Biasanya aku datang mengunjungi mereka dengan perasaan senang luar biasa. 

Apalagi anak-anak. Mereka sangat antusias dengan perjalanan mereka ke rumah mbah mereka. Tetapi kenyataannya kali ini kami datang kesana tanpa Mas Galih. Dengan keadaan yang begitu menyedihkan pula. 

Entah bagaimana tanggapan kedua orang tuaku nanti. Aku takut sekali mereka akan bersedih memikirkan nasibku. Tetapi menyembunyikannya pun bukan pilihan bijak. Aku pun butuh tempat perlindungan setelah pengusiranku dari rumah. 

"Terima kasih, Pak. " Aku mengucap terima kasih pada sopir taksi online yang membawa kami. Dengan cekatan laki-laki yang kutaksir seumuran dengan ayahku membawakan barang-barang kami ke teras rumah. Dari raut mukanya aku bisa melihat keprihatinan yang dia rasakan saat melihatku. Aku yakin keributan yang tadi disaksikannya cukup membuat emosinya ikut teraduk. 

Lampu rumah orang tuaku terlihat sudah padam. Kulirik jam di tangan kiriku. Pukul sebelas malam. Pantas saja suasana sudah sepi sekali. Ada ragu saat aku melangkahkan kaki ke arah pintu. Bayangan wajah kedua malaikatku akan sangat terpukul melihatku dan cucu-cucunya sekarang. 

" Bun… kita pulang ke mbah uti dan mbah kung?" tanya Zayn. Kusunggingkan senyum yang kupaksakan terbentuk bibirku. Kuusap kepala anak itu dengan lembut. 

" Iya. Kita liburan lama di rumahnya Uti dan Kakung," jawabku berbohong. Sebutir kristal bening lolos keluar dari mataku. Entah berapa banyak kebohongan yang akan tercipta ke depannya. 

" Liburan kok nangis. Lagian kalau liburan harusnya ayah ikut. Tadi ayah malah marah-marah." Celotehan  Ziyan membuat dadaku makin sesak. Aku menahan air mata agar tak keluar. Aku tak boleh rapuh di depan anak-anak. 

"Kalian harus pintar. Anak laki-laki Bunda harus kuat. Jaga Bunda dan Adik Zoya, ya?" Kedua anak itu mengangguk bersamaan. 

Sesaat sebelum kuketuk rumah bercat kuning gading itu, kudengar ponselku berbunyi tanda pesan w******p masuk. Gegas aku membukanya, berharap ada keajaiban dari laki-laki itu.

[Bajumu dan anak-anak yang tertinggal akan kupaketkan ke alamat orang tuamu. Tidak perlu beralasan kemari untuk mengambil pakaian dan barang-barang] Mas Galih mengirimkan pesan itu untukku. Aku mengusap dadaku yang kembali nyeri. 

Sebegitu hinakah aku di matamu, Mas? 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
wanita selalu gampang diceraikan .dgn alasan ngga jelas
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
BIADAB sekali Keluarga sprti itu....hukum Allah yg akan kalian dapat.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status