Share

Bab 3

Surat dari Pengadilan 

Empat bulan pasca kepulanganku ke rumah kedua orang tuaku aku menerima sebuah surat dari pengadilan. Bisa ditebak, isinya adalah surat cerai yang menjadi keinginan Mas Galih dan keluarganya. 

Kuremas surat bersampul coklat itu. Hatiku mendidih membayangkan betapa puasnya mantan suamiku beserta kedua orang tuanya. Rasa sakit menjalar hatiku saat kubayangkan manusia-manusia itu pasti tengah bersorak merayakan kemenangan mereka. 

Belum sah putusan dari pengadilan saja sudah membuat laki-laki itu abai dengan kewajibannya. Bahkan selama empat bulan ini Mas Galih tidak memberi uang sepeser pun untuk biaya hidup kami. Padahal dia sangat tahu kebutuhan apa yang rutin dikeluarkan untuk anak-anak kami. Selalu saja ada alasan saat aku terang-terangan meminta uang susu dan diapers untuk anaknya. 

Beruntung ayah dan ibuku mengetahui kesulitanku hingga mereka dengan senang hati membiayai seluruh kebutuhan kami berempat. Jangan tanya dimana rasa malu kusembunyikan. Aku benar-benar terpaksa menerima bantuan dan menggantungkan hidupku pada mereka. 

Meskipun orang tuaku bukan berasal dari kalangan berada, namun kami masih bisa hidup cukup. Ayah memiliki sebuah toko kecil di pasar tak jauh dari rumah kami. Toko itulah sebagai satu-satunya sumber penghasilan ayah. Tak menjanjikan limpahan materi, hanya saja kami tak takut merasa kekurangan. Sedangkan ibu sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga biasa. Adikku Tania, dia langsung bekerja setelah lulus kuliah. 

Praktis, ayah dan ibu sudah tidak memiliki tanggungan yang besar lagi. Mereka tak mempermasalahkan mencukupi kebutuhanku dan anak-anak sama sekali. Tetapi bukan berarti aku nyaman menggantungkan hidupku pada mereka. Aku sudah harus memutar otakku agar aku memiliki penghasilan. Aku tak ingin menambah beban pada orang tuakublagi. Seharusnya mereka tinggal menikmati masa tua mereka. 

Sebenarnya, setelah lulus kuliah aku dulu sempat bekerja selama setahun di perusahaan asing. Aku pernah menikmati gaji belasan juta rupiah per bulan dan sangat cukup menghidupi diriku sendiri. Beruntung aku tak terbawa arus, gajiku yang cukup lumayan itu membuatku mampu membeli sepetak tanah tidak jauh dari rumahku. 

Sayangnya, setelah aku menikah Mas Galih tidak mengijinkan aku bekerja. Dia beralasan masih mampu menafkahiku dengan sangat layak. Dia ingin aku fokus menjaga anak-anak. Tapi kini semuanya berakhir seperti ini. Aku terbuang setelah permintaannya kuturuti. 

Mas Galih justru menceraikanku dengan alasan aku tidak berkarir sehingga tidak mampu menunjang kemapanan finansial keluarga kami.

Sebenarnya kupikir itu hanya alasannya saja. Dia sudah memiliki selingkuhan yang memiliki karir sebagai seorang guru. Dia tengah bahagia melewati kehidupannya saat ini. Dia lupa bahwa anak-anaknya masih sangat membutuhkan sosoknya. Bahkan sekadar nafkah pun tidak dia berikan. Entah dia tengah euforia karena hubungannya dengan Soraya yang nyaris tanpa penghalang atau memang benar-benar abai dengan kewajibannya. Jujur aku tak menyangka laki-laki itu bersikap seperti ini. Dia seperti orang lain yang tidak kukenali. 

 Soraya, yang mungkin sebentar lagi menjadi istri Mas Galih adalah seorang guru. Entah bagaimana jika kelakuan salah satu pendidik itu kulaporkan pada dinas terkait. Tentu saja tingkah amoralnya akan memberi dampak buruk bagi nama baik sekolahnya. Aku yakin sangsi yang diberikan tidak main-main. Bahkan semula aku juga ingin melaporkan Mas Galih yang juga seorang PNS karena tindakan tidak terpujinya.

Namun kuurungkan niat untuk melaporkan mereka berdua karena aku masih ingat ancaman dari pihak Mas Galih dan keluarganya yang akan mengambil paksa anak-anakku jika aku berbuat nekad. Aku teramat takut kehilangan mereka. 

Dan lagi…aku masih ingin menjaga perasaan anak-anakku. Bagaimana jika kelak berita tentang keburukan ayahnya justru menjadi beban mental mereka sendiri. Aku tak ingin anakku menjadi korban akibat perceraian ini. Biarlah aku menanggung semuanya, asal tak kehilangan satu pun anakku. Aku tak akan pernah ikhlas jika mereka memisahkanku dengan mereka. 

Anak-anak adalah sumber kekuatanku. Meskipun kini, aku sendiri kesulitan bahkan untuk membeli diapers anak bungsuku. Terpaksa aku tidak memakaikan diapers Zoya setelah berkali-kali meminta Mas Galih memberi uang untuk membelinya. Sekali lagi aku beruntung karena Zoya pun sangat mudah beradaptasi dengan kebiasaan barunya tanpa diapers. 

***

[ Vin, ini beneran mempelai prianya suami kamu? ] Melda, teman kuliahku mengirimi pesan w******p saat aku tengah memberi ASI Zoya. Kubaca lekat-lekat tulisan pada foto undangan yang dikirimkan Melda. Aku menarik napas perlahan dan menghembuskannya.

Benar, Galih Praditya. Mas Galih bahkan menikah setelah dua hari putusan pengadilan turun. Ada rasa sesak yang sulit kulukiskan. Kupandangi wajah anak-anakku satu persatu. Wajah yang tak pernah gagal membuatku tersenyum dan kembali kuat. Bagaimna hidup mereka ke depan setelah semua ini terjadi. Jika kemarin saja ayahnya lupa dengan mereka, apalagi sekarang? 

Aku takut sekali dengan psikologis mereka yang harus kehilangan ayah mereka semenjak dini. Aku takut mereka tumbuh menjadi anak introvert tanpa dukungan dari Mas Galih. Bukankah masa kanak-kanak sangat membutuhkan perhatian dari sosok ayah dalam kehidupan mereka? 

[ iya, mantan suami. Dua hari yang lalu surat putusan pengadilan sudah kuterima ] Kukirimkan pesan balasan untuk Melda. Aku dan Melda cukup dekat, jadi aku tak perlu takut menceritakan masalah pribadiku dengannya. Kulihat dia mengetik balasan lanjutan untukku lagi. 

[ Sabar ya, Vin. Nggak nyangka ternyata Soraya nikah sama Mas Galih. Soraya tetanggaku Vin] tulis Melda kembali. 

[ Do'akan kami kuat] balasku. Belum saatnya bercerita panjang lebar dengan sahabatku itu. 

[ Pasti. Sabar Vin. Kamu harus kuat demi anak-anak ] Kubalas dengan emotikon jempol untuknya. 

Aku tak bisa lagi menahan air mataku agar tidak keluar. Rasa sakit yang bertubi-tubi ini membuatku sangat tersiksa. Jika kemarin-kemarin aku masih mengharap keajaiban Mas Galih akan mengubah pikirannya, kini tak lagi.

Mas Galih bahkan melewatkan kewajiban pada anak-anaknya. Sungguh Mas Galih yang kukenal sebelumnya sangat berbeda dengan Mas Galih yang sekarang. Dia kehilangan nuraninya hanya untuk menikahi gadis bernama Soraya itu. 

 Undangan yang sudah disebar itu tentu saja menjadi bukti bahwa rencana laki-laki itu tak main-main. Dia dan Soraya pasti sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Dia benar-benar menggantikan posisi yang selama ini kutempati dengan Soraya. 

Gadis itu memang memiliki paras yang rupawan. Hampir semua definisi kecantikan terdapat pada sosoknya. Oleh karenanya aku tadinya heran, mengapa laki-laki beristri dan memiliki putra tiga yang menjadi pilihannya. Apakah tak ada laki-laki lain yang berhasil membuatnya jatuh hati? 

Mengapa harus suamiku? 

Mengapa harus ayah dari ketiga anakku? 

***

"Kami berdua saling mencintai. Orangtua Mas Galih juga merestui. Bukankah mereka menginginkan wanita karir untuk bersanding dengan anak laki-laki mereka satu-satunya? Akulah yang selama ini mereka cari. Mbak nggak boleh egois. Mundurlah, Mas Galih dan keluarganya tidak menginginkan kalian lagi," ucap Soraya saat aku menemuinya. 

Dengan tanpa beban kalimat bernada hinaan itu mengalir lancar dari bibirnya. Kecantikan yang paripurna itu seolah luruh dengan kebusukan hati yang dimiliki gadis itu. Tak ada harga diri yang tersisa, hanya ada rasa jijik pada sosoknya yang terlihat sangat bangga dengan pencapaiannya merebut suami orang. 

'"Tidakkah kasihan melihat anak-anakku yang masih butuh sosok ayahnya? Paling tidak pertimbangkan hal itu. Saya yakin kamu masih punya nurani," ujarku agak pesemis. Dia memutar bola matanya dengan malas. Sungguh aku harus bersabar menghadapinya. 

"Hentikan omong kosong ini. Perihal hati tidak bisa dipaksakan. Jangan egois. Pulanglah. Percuma sekali kau datang mengemis padaku. Karena keputusan kami sudah bulat, Mbak. Kami akan segera menikah setelah kalian resmi bercerai. Orang tua Mas Galih tidak pernah suka terhadapmu. Kurasa kamu paham alasannya, Mbak. Tolong mengalahlah. Jangan jadi benalu untuk kehidupan Mas Galih! Apakah harus kusodorkan kaca padamu agar kamu tahu betapa memalukannya dirimu ini?"

Tanganku refleks menampar pipi Soraya. Kulihat matanya melotot karena tak menyangka dia mendapatkan perlakuan kasar dariku. Kulihat pipi kanannya memerah setelah mendapat serangan dariku. Beberapa pengunjung melihat perbuatanku. Aku sudah tak peduli. 

Aku sudah lelah menghadapinya. Seolah kalimatku yang berderet-deret itu sama sekali tak menyentuh hatinya. Kemana larinya perasaan yang dimilikinya? Bukankah dia sama-sama perempuan? Seharusnya dia tahu bagaimana rasanya jika berada di posisiku. 

"Lancang kamu, Mbak. Kulaporkan kamu ke polisi biar membusuk sekalian bersama bayimu itu di penjara!" teriaknya sambil memegangi pipinya yang bercorak merah bekas tamparanku. Matanya merah menahan tangis. Bukan karena sakit, aku yakin harga dirinya terkoyak akibat perbuatanku. Apalagi hampir puluhan pasang mata melihat kami bersitegang seperti ini. 

"Silahkan. Aku tak takut. Berani melaporkanku, aku akan melakukan hal yang jauh lebih kejam. Aku menyimpan bukti-bukti kebusukan kalian. Jangan kalian anggap diamku karena tak bergerak, aku punya bukti perselingkuhan kalian yang bisa menyeret kalian ke balik jeruji besi. Aku pun bisa melaporkan kalian ke instansi kalian bekerja. Tidak hanya nama baik, bahkan karir kalian kupastikan hancur," ancamku. Kupasang wajah serius agar dia tahu aku tidak main-main dengan ucapanku. 

Soraya mendelik kaget. Dia mungkin tak menyangka aku punya keberanian menggertaknya. Dia diam sambil menggigit bibir bawahnya. Aku mendecih sinis melihat ekspreainya. 

"Jangan bermain-main denganku!" ucapnya dengan suara tertahan. 

"Apakah mataku kelihatan tengah bermain-main?" Tak ada balasan apapun darinya. Dia berlalu dari hadapanku dengan langkah cepat sambil menjinjing tasnya. 

Kutengok wajah Zoya yang masih terlelap di pelukanku. Rasa iba menyelimutiku mengingat dia harus ikut kubawa berjuang untuk mempertahankan keutuhan keluarga kami. Terpaksa sekali kubawa dia bertemu dengan calon istri ayahnya itu. 

Tadinya aku harap dengan melihat seorang bayi yang nasibnya terkatung-katung karena perseteruan orang tuanya membuat Soraya luluh. Membuat kebekuan hatinya meleleh melihat wajah tanpa dosa anakku yang akan menjadi korban keegoisannya dengan suamiku. 

Nyatanya wanita itu tetap pada pendiriannya. Dia tidak ingin bergeser dari tempatnya sebagai seorang pelakor. Padahal harusnya dengan wajah yang rupawan serta karir cemerlang dia bisa mendapatkan laki-laki lajang di luar sana. Laki-laki yang tak bermasalah dengan siapapun hingga dia bebas melenggang hidup bahagia tanpa perlu mengukir rasa sakit pada hati perempuan lain. 

Entah apa yang dikagumi dari Mas Galih, hingga dia rela menggadaikan rasa malu dan rasa kasihan pada kami. 

Memang paras Mas Galih yang rupawan kuyakin banyak wanita yang menyukainya. Akan tetapi tak kusangka bahwa ada yang sampai senekat Soraya ini. Apakah dia tak takut akan diperlakukan sama sepertiku ini? Bukankah seperti itu karma yang sering dialami oleh para pelakor? 

Kubayar tagihan di kasir restoran . Kulihat tadi Soraya langsung keluar dari tempat ini tanpa membayar minumannya terlebih dahulu.

Aku memesan taksi online untuk membawaku pulang. Tak mungkin jika harus menaiki ojek online dengan membawa bayi seperti ini. Beruntung aku masih punya sedikit pegangan hanya sekedar untuk pergi keluar seperti ini. 

Bersamaan dengan langkahku keluar tempat itu ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Mas Galih terpampang di sana. 

[ Apa yang kamu lakukan, Vinda? Tindakanmu membuatku makin jijik dan ingin segera mempercepat proses perceraian. Jangan coba-coba nekat menemui Soraya bahkan untuk mengancamnya! Kau tak akan mendapatkan apa-apa kecuali kehilangan salah satu dari anakmu!] 

Ternyata Soraya langsung mengadukan insiden penamparanku terhadapnya pada suamiku. Air mataku lolos. Kemana lagi aku harus mencari perlindungan, jika suamiku sendiri sudah tak peduli lagi dengan kami? 

Bahkan dia lebih mementingkan perasaan selingkuhannya dibandingkan denganku, ibu dari ketiga anaknya. Kudekap anakku kuat-kuat. Disanalah aku berharap kekuatan sekadar bertahan untuk melewati semua yang masih terasa mimpi. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
ceraikan iistrii..nafkah utk anak pun tdk dipenuuhi
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Biadab kau Galih !
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status