Penjualan Rumah
Bohong sekali jika aku bisa langsung kuat dan tegar menghadapi perceraian ini. Kehilangan separuh jiwa tentu bukan perkara mudah. Apalagi satu-satunya kesalahanku hanya karena tak memiliki karir. Setidaknya itulah yang selama ini mereka dengung-dengungkan. Tentu saja ada alasan lain yang sengaja mereka buat demi secepatnya mendepakku dari kehidupan mereka.
Yang jelas kini aku tak punya tempat untuk berbagi rasa. Entah pada siapa aku menggantungkan hidup nantinya. Apalagi setiap melihat ketiga anakku terlelap tidur aku tak mampu membendung air mataku. Aku sangat khawatir dengan kelangsungan hidup mereka selanjutnya.
Bagaimana hidup kami berempat tanpa adanya penghasilan?Bahkan Mas Galih sengaja abai dengan kewajibannya. Belum juga kami resmi berpisah, Mas Galih sudah tak pernah memberi nafkah untuk anak-anaknya.
Bukan tidak pernah aku mengingatkan kewajibannya baik melalui pesan w******p maupun mendatangi langsung rumah tempat kami pernah menjadi keluarga bahagia. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menuntut hakku.
Nyatanya Mas Galih selalu mangkir dengan beralasan ini itu. Aku lelah. Kesal sekali dengan sikapnya yang sangat berubah. Dia bukan suami yang selama ini kukenal. Dia berubah menjadi monster yang tak lagi berhati. Raga itu memang Mas Galih, tapi jiwanya bukan.
Entah dia jujur atau tidak jika berkata tak pegang uang lagi, nyatanya kami tetap butuh nafkah darinya. Bahkan dengan sangat terpaksa kuhentikan jatah susu untuk si kembar dan diapers untuk Zoya pun hanya kupakaikan saat malam hari atau bepergian saja. Sesuatu yang tak pernah kulakukan sebelumnya.
Aku tidak tahu terbuat dari apa hati mantan suamiku. Bahkan di saat dia beralasan tidak memiliki uang untuk anak-anaknya, nyatanya Soraya memosting foto liburan di Pulau Dewata bersama Mas Galih. Wajah mantan pasangan selingkuh itu terlihat begitu bahagia melewatkan masa bulan madu mereka. Melda yang memberitahuku. Dia melihat postingan Soraya di akun sosmednya.
Jangan harap aku mengetahuinya dari akun sosmed Mas Galih. Karena sebelum perceraian pun laki-laki itu sudah memblokir seluruh akun sosmednya. Nampaknya dia benar-benar ingin menghapusku dari kehidupannya. Atau mungkin saja dia tak ingin aku mengawasi gerak-geriknya. Dia tentu tak punya alasan saat aku meminta nafkah darinya jika ketahuan berhura-hura pasca perceraian kami.
Jahatnya lagi, aku baru diberi tahu Bu Ari kalau rumah kami sudah dijual oleh Mas Galih tanpa sepengetahuanku. Aku kembali mendapati fakta yang membuat tubuhku seolah tak bernyawa. Bodoh sekali memang, bahkan aku membiarkan rumah itu atas nama Mas Galih. Bukan tak percaya, hanya saja aku terlalu naif saat itu. Siapa yang menyangka bahwa rumah tanggaku akan mengalami nasib seburuk ini.
Setelah mendengar kabar dari Bu Ari, aku langsung menghubungi Mas Galih menanyakan kebenaran info penjualan rumah itu. Aku ingin mengetahui perihal penjualan rumah itu lebih rinci.Tentu saja aku memiliki hak, karena dulu tabunganku juga ikut digunakan untuk membelinya. Selain itu karena pembelian dilakukan saat aku sudah menjadi istrinya, tentu aku harus mendapatkan hak-hakku.
Dan menurut putusan pengadilan, rumah itu pun merupakan harta gono gini. Tadinya kami sepakat rumah itu untuk anak-anak kelak.
Kenapa justru Mas Galih menjualnya? Parahnya lagi tanpa sepengetahuanku. Aku mulai curiga Sorayalah dalang dibalik semua ini. Belum lagi dukungan dari kedua mertuaku yang memang ingin menghapusku dan anak-anak dari kehidupan Mas Galih.
Berkali-kali aku menghubungi laki-laki itu. Nyatanya tidak pernah teleponku diangkat atau pesanku dibalas. Aku merasa dia sengaja menutup akses denganku karena tidak mau disalahkan atas penjualan rumah secara sepihak. Atau dia memang tidak ingin membagi uang hasil penjualan denganku. Semuanya masih abu-abu.
Entah pada siapa aku meminta penjelasan. Aku tak bisa bertanya pada siapapun karena mereka semua menutup segala aksesnya denganku.
Dengan tekad bulat kudatangi rumah mantan mertua, karena memang aku sangat membutuhkan uang saat ini. Kukesampingkan harga diriku demi anak-anak. Meskipun aku punya gambaran, perlakuan apa yang akan kuterima.
Ternyata kekecewaan yang harus kudapatkan. Kedua mantan mertua yang memang dari awal tidak menyukaiku bersikap dingin.
Kedatanganku hanya diterima di teras rumah tanpa disuruh masuk. Bahkan Zoya yang terlelap di gendongan sama sekali tak mereka hiraukan. Tak ada keinginan mereka sama sekali melihat buah cinta anaknya denganku. Mereka melihat kami seperti pengemis yang menjijikkan.
Kedua orang itu menampakkan air muka yang keruh. Bahkan tak ada rasa kasih sayang sama sekali untuk manusia mungil di pelukanku. Aku sungguh terpukul mendapati perlakuan mereka.
Mereka mungkin lupa, Zoya adalah darah dagingnya juga. Darah mereka yang mengalir di dalam tubuh anakku. Sebenci apapun mereka pada anakku, mereka tak akan pernah bisa melupakan fakta itu. Anakku adalah keturunan mereka yang sah.
"Maaf, Vinda. Jika kedatanganmu kemari akan menanyakan soal uang penjualan rumah, kamu hanya melakukan hal yang sia-sia. Seharusnya kamu tahu bahwa rumah itu atas nama Galih. Jadi saat Galih menjualnya pun itu terserah Galih. Jangan kau beralasan uangmu juga dipakai untuk membeli rumah itu.
Lagi pula apakah ada bukti kalau uangmu dulu juga ikut digunakan? Galih itu PNS. Jadi mana mungkin dia pakai uangmu untuk ikut membeli rumah itu? Jangan membebani Galih dengan rengekanmu tentang anak-anak. Kamu sendiri yang menginginkan anak-anak itu ikut bersamamu, jadi jangan pernah meminta Galih untuk memenuhi segala kebutuhan kalian.
Selama ini kami cukup bersabar melihat Galih banting tulang sendirian untuk memenuhi kebutuhan kalian. Kali ini kesabaran kami habis. Maka dari itu setelah Galih memutuskan menceraikanmu dan menikahi Soraya yang seorang wanita karir, tidak ada satu alasan pun bagi kami tidak menyetujuinya.
Galih dan Soraya akan menjadi pasangan serasi karena sama-sama punya karir. Urus hidupmu dan anak-anakmu, jangan ganggu kami lagi. Pulanglah. Orang tua Soraya akan datang berkunjung. Kami tidak ingin mereka melihatmu di sini. Jangan merusak harga diri kami dengan keberadaanmu di rumah ini. Kami tak ingin orang tua Soraya berpikir yang tidak-tidak dengan adanya kamu disini."
Ucapan mantan bapak mertuaku membuat jantungku berdegup kencang. Tak kusangka jawaban menyakitkan yang kudapatkan untuk meminta hakku.
Benar, tidak ada bukti jelas bahwa uangku ikut kugunakan untuk membeli rumah itu. Tetapi apakah mereka tak paham dengan hukum pernikahan? Harta yang didapat seseorang setelah menikah adalah milik pasangan tersebut meski terjadi perceraian di antara mereka. Aku yakin mereka tahu hal itu, hanya saja memang mereka benar-benar tak ingin membaginya denganku.
Aku menyesal dengan keputusanku membiarkan rumah itu diatasnamakan suamiku. Aku benar-benar tak memiliki pikiran bahwa akan terjadi hal mengerikan dengan pernikahanku. Lagi pula siapa yang akan memperhatikan hal semacam itu di awal pernikahan? Siapa yang tahu hal sekecil ini justru membuatku kehilangan hakku?
Saat kakiku hendak melangkah , kulihat sebuah mobil masuk. Ternyata orang tua Soraya yang keluar dari dalam mobil. Kedua mantan mertuaku menyambut mereka dengan kalimat basa basi yang sangat akrab. Bahkan mereka saling memeluk satu sama lain. Sebuah pemandangan yang membuatku makin merasa sesak.
Aku yang sudah hampir keluar pintu gerbang terdiam memandang keakraban mereka. Pelukan hangat itu belum terlepas sama sekali, seolah sengaja memamerkannya di depan mataku. Bahkan dari awal pernikahanku dan Mas Galih hingga perceraian terjadi, orang tuaku tidak pernah diperlakukan sebaik itu. Bayangan kedua orang tuaku hadir di pelupuk mata. Aku yakin mereka pun akan sakit jika melihat hal ini langsung dengan mata kepala mereka sendiri.
Orang tua Mas Galih terang-terangan mengabaikan kedua orang tuaku. Mereka yang menganggap keluarga terhormat tak akan pernah merasa sepadan dengan orang tuaku yang tak memiliki jabatan apapun. Dan demi menjaga perasaan anaknya, ayah dan ibu berusaha mengerti dan tidak mempermasalahkan keadaan itu. Mereka berusaha membuatku baik-baik saja meski ada rasa sesal diperlakukan tak selayaknya besan oleh orang tua Mas Galih.
Kulihat pelukan mereka terurai perlahan. Kini tawa mereka terdengar ke telingaku berulang-ulang, seperti pita kaset yang tak berhenti berputar. Mereka hanya melirikku sekilas dan langsung masuk ke dalam rumah. Pintu rumah bahkan ditutup dengan sangat keras menyiratkan penghuninya tidak ingin aku masih berada di sekitaran rumah itu.
Mereka mengusirku dengan anakku terang-terangan!
"Mbak… Mbak Vinda. Tunggu!" panggil seseorang yang tak asing. Kutengokkan kepalaku ke belakang. Aku melihat Bik Lasmi berlari mendekatiku yang sedang berdiri menunggu taksi online di depan rumah.Wanita itu terlihat mencuri pandang ke arah pintu rumah majikannya. Aku tahu apa alasannya dia melakukan hal tersebut.
Bik Lasmi adalah rewang di rumah orang tua Mas Galih. Kudengar puluhan tahun dia mengabdi pada keluarga itu. Anak Bik Lasmi pernah kecelakaan hebat, dan orang tua Mas Galihlah yang membiayai operasi hingga anak yang baru remaja itu dapat hidup normal. Itulah alasannya mengapa Bik Lasmi merasa hutang budi dengan keluarga itu. Setiap kedatanganku kesana, hanya dia yang menyambut dan memperlakukanku dengan baik. Setidaknya aku tak merasa terasingkan meski di kamarnyalah bahkan aku harus menidurkan anak-anakku.
"Tunggu sebentar, Mbak,"ulanganya. Minuman serta makanan dengan terampil dia siapkan untukku. Aku tak tahu apakah perlakuannya terhadapku menimbulkan masalah untuknya atau tidak.
Kali ini dia menyerahkan dua lembar uang ratusan ke tanganku dengan buru-buru. Bahkan dia tak memandang ke arah tanganku saat menyerahkannya. Sebotol besar air minum kemasan dan beberapa kudapan juga dia berikan.
"Mbak, buat sangu. Yang sabar, Gusti Allah ngeliat semuanya. Jangan putus asa. Bibik do'akan Mbak Vinda sehat dan sukses hingga mereka yang jahat malu dan sadar dengan perbuatan mereka sekarang. Harus kuat demi anak-anak. Jangan lemah, Mbak. Bibik masuk ya." Ucapan Bik Lasmi yang cepat membuatku tak sempat mengucapkan terima kasih. Aku tersentuh dengan sikapnya.
Dia langsung masuk ke dalam rumah seolah tidak ingin ada orang yang melihatnya berbuat demikian. Aku berusaha memaklumi tingkahnya itu. Dia pasti takut majikannya melihat sikapnya padaku.
Ya… ucapan Bik Lasmi membuatku tersadar. Sudahi berlarut -larut dalam kesedihan. Aku harus kuat demi anak-anak. Jika ayah mereka dan keluarganya tak menerima anak-anakku, maka ada aku yang setiap saat akan menyambut mereka dengan pelukan hangat.
Kehidupan harus tetap berlanjut. Waktu perlahan akan mulai menghapus luka-lukaku akibat perbuatan mereka. Aku harus yakin pada diriku sendiri. Kubulatkan tekad untuk membuat bahuku lebih kuat dari biasanya. Aku tak boleh lemah seperti yang sudah-sudah.
Aku harus menuntaskan rasa sedih di hatiku agar fokusku membesarkan anak-anak tanpa bantuan ayahnya dapat terlaksana dengan baik.
Biarlah … ada yang melihat semua perbuatan hina itu padaku. Tidak akan ada perbuatan jahat yang lolos tanpa perhitungan.
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe