Share

Bab 15

Airnya terasa sangat dingin. Saat ini, Lillia bersandar di tepi bak mandi. Di antara dinginnya air dan kegerahan yang dirasakan, dia malah tertidur entah bagaimana caranya. Wanita itu merendam dirinya dalam air dingin sepanjang malam.

Keesokan harinya, Lillia tampak agak linglung. Sebelum pergi, dia sengaja memberi tahu Jeni, "Kemarin malam, Claude langsung pergi dan nggak pulang semalaman. Entah apa yang dia lakukan. Aku nggak akan menunggunya, jadi berangkat ke kantor dulu."

Lillia sama sekali tidak peduli dengan apa yang dilakukan suaminya. Dia hanya ingin membiarkan Jeni memberi tahu Priya bahwa mereka tidak tidur bersama semalam. Sementara itu, orang yang kabur bukanlah dirinya.

Entah bagaimana cara Lillia meninggalkan rumah Keluarga Hutomo. Saat berdiri di depan pintu studio, Moonela sangat terkejut ketika melihat wajahnya yang pucat. Wanita itu segera bertanya, "Apa yang kamu lakukan semalam? Kenapa bisa begitu pucat?"

Moonela bergegas memapah Lillia yang linglung, tetapi malah menyadari bahwa tubuh sahabatnya sangat panas sekarang. Dia segera bertanya, "Kamu lagi demam, kenapa masih datang? Aku akan membawamu ke rumah sakit."

Sementara itu, Lillia melambaikan tangan dengan lemah sambil berkata, "Nggak usah. Aku ingin pulang dan tidur sebentar. Tolong antar aku."

Sembari berkata demikian, Lillia tanpa sadar meraih perutnya. Itu adalah bagian di mana dia sering disuntik dengan hormon untuk merangsang ovulasi. Terakhir kali, Lillia baru saja pergi ke sana. Itu sebabnya, dia merasa mual ketika mendengar kata rumah sakit sekarang.

Mereka sudah menjadi sahabat selama bertahun-tahun. Saat ini, Moonela segera memahami maksud sahabatnya sehingga berkata, "Oke, kita nggak ke sana. Aku akan mengantarmu pulang."

Moonela menyentuh dahi Lillia dengan penuh kasih sayang. Dia segera meninggalkan pekerjaannya di studio dan langsung membawa Lillia kembali ke apartemennya. Setelah menuangkan air untuk Lillia, dia mencari obat penurun demam sambil bertanya, "Apakah Claude yang menindasmu? Kalau nggak, gimana kamu bisa demam setelah pergi ke sana?"

Lillia tidak ingin membuat sahabatnya khawatir sehingga tidak menceritakan apa pun. Dia hanya berkata, "Nggak. Mungkin aku yang nggak berselimut dengan baik semalam, jadinya masuk angin. Kamu pulang saja. Aku bakal baikan setelah minum obat."

Usai berkata demikian, Lillia membuka matanya dengan susah payah sambil melanjutkan, "Aku mendapatkan kembali pesanan-pesanan itu dengan susah payah. Aku nggak tenang kalau kamu nggak ada di sana. Cepatlah kembali."

Lillia telah berendam di air dingin semalaman demi uang 40 miliar. Dia tidak boleh kehilangan uang itu. Mendengar ini, Moonela tampak membuka mulutnya karena merasa tidak tega. Lillia adalah orang yang jarang menginginkan sesuatu. Entah sahabatnya telah dipaksa sampai seperti apa sehingga begitu mementingkan uang sekarang.

Pada akhirnya, Moonela pun mengeluarkan ponselnya, lalu berkata seraya menggertakkan gigi, "Jangan khawatir. Aku akan pulang sekarang. Kamu beristirahatlah dengan baik. Aku sudah bilang ke kakakku, dia sedang menuju kemari."

....

Lillia terbangun oleh suara ketukan pintu. Dia mengingat bahwa Moonela menyuruh kakaknya, Franco, untuk merawatnya. Pria itu seharusnya sudah tiba. Meski tidak ingin bergerak, Lillia tetap berusaha duduk di ranjang, lalu pergi membuka pintu.

Momen ketika membuka pintu, Lillia mendapati sepasang mata yang familier. Orang di depannya juga terkejut dan menatap Lillia dengan tidak percaya. Sorot matanya yang semula penuh harapan, kini hanya terlihat kebingungan.

"Kak ... Kak Lillia? Kenapa kamu ada di sini? Eh, bukan, kenapa kamu?" tanya Cedron yang terkejut. Tak lama kemudian, dia baru menutup kembali mulutnya yang ternganga. Cedron menarik kembali kakinya yang hendak melangkah ke dalam rumah dengan percaya diri.

"Ini rumahku sendiri. Kenapa aku nggak boleh ada di sini? Oh, iya, kenapa kamu datang?" tanya Lillia.

Udara dingin yang berembus dari luar membuat Lillia kedinginan. Dia segera menyamping untuk memberi jalan kepada Cedron. Dia tidak ingin terus berdiri di sana, juga tidak mungkin membiarkan Cedron kedinginan di sana.

Segera setelah itu, Cedron berkata, "Nggak disangka, kamu dan Kak Claude sudah menikah begitu lama, tapi masih bermain dengan trik seperti ini."

Melihat wajah Lillia yang lemas dan pucat, Cedron tidak lagi ragu-ragu. Dia memiringkan tubuh untuk berjalan masuk sambil tersenyum canggung. Ketika melihat sekeliling ruangan yang tidak begitu besar, dia sontak mengernyit. Ekspresinya yang semula penuh penantian dan bersemangat, kini tanpa sadar mereda dan berubah menjadi rasa hormat.

"Uhm, apa hubunganmu dengan Franco?" tanya Cedron yang penasaran.

"Dia itu kakaknya saha ... bosku, Moonela," jawab Lillia yang hampir saja keceplosan. Kemudian, dia segera mengalihkan topik dengan bertanya, "Uhm ... apa mobilmu sudah diperbaiki?

Lantaran terbangun secara tiba-tiba, Lillia masih merasa sedikit pusing. Dia bersandar ke belakang dan memaksa dirinya untuk memandang Cedron yang ada di depan.

Setelah memahami hubungan di antara mereka, Cedron merasa lega dan lanjut bertanya, "Itu hanya masalah kecil. Di mana Kak Claude? Kenapa dia nggak datang untuk merawatmu?"

Awalnya, situasinya masih baik-baik saja. Begitu nama Claude diungkit, Lillia langsung teringat dengan adegan mesra mereka semalam. Dia mengingat suaminya yang bergegas pergi setelah menerima telepon. Claude memang pria berengsek.

Lillia pun menjawab dengan ekspresi dingin, "Mana aku tahu? Aku akan menuangkan air untukmu. Setelah duduk sebentar, kamu pulanglah. Aku baik-baik saja. Maaf karena sudah merepotkanmu kemari."

Lillia merasa tubuhnya makin tidak nyaman. Dia benar-benar tidak sanggup menjamu tamu sekarang. Wanita itu mengambil gelas kaca di atas meja, lalu berjalan menuju dapur. Tak lama kemudian, terdengar suara kaca pecah yang nyaring dari dapur.

Cedron segera melemparkan ponselnya dan berlari ke dapur. Setelah itu, dia mendapati Lillia yang tak sadarkan diri di lantai. Lengan ramping wanita itu tergores oleh pecahan kaca. Tetesan darah mengalir dari lukanya dan menodai lantai.

"Buset ... Kak Lillia!" seru Cedron. Dia tidak peduli lagi dengan norma tidak boleh menyentuh istri teman. Cedron melangkah maju dan menggoyangkan lengan Lillia, tetapi segera menarik kembali tangannya karena sangat panas.

Situasi ini gawat! Cedron bergegas menggendong Lillia yang tak sadarkan diri di lantai dan keluar rumah. Setelah meletakkan wanita itu di kursi penumpang, dia langsung menyetir mobilnya. Cedron sama sekali tidak menyadari bahwa ada sosok yang akrab di kejauhan.

Begitu melihat mobil Ferrari merah Cedron yang menjauh, sosok di kegelapan akhirnya bergerak.

"Pak ... Pak Claude, itu sepertinya Pak Cedron." Usai berkata demikian, Nelson yang berdiri di belakang mendapati ekspresi suram Claude. Kemudian, dia bertanya dengan bingung, "Apa ... apa kita harus ikut?"

Claude mendongak dan melihat mobil Cedron yang menjauh dengan dingin. Tubuhnya bahkan memancarkan aura dingin. Setelah sekian lama, dia baru berkata, "Pulang saja."

Mendengar ini, asistennya langsung menuruti perintah. Nelson mulai menyetir dan meninggalkan kompleks apartemen.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status