Sontak saja Sandrina terperanjat kaget mendengar ucapan lelaki di hadapannya. Awalnya Sandrina bersikap lemah lembut dan merendah karena merasa bersalah. Namun saat melihat sikap lelaki itu yang tampak angkuh, tiba-tiba saja Sandrina merasa kesal dan emosi. Sudah benar dia bicara sopan dengan gaya elegan ingin bertanggung jawab, tapi lelaki itu malah ingin membawanya ke kantor polisi.
"Eh-eh, tunggu dulu. Jangan seperti ini. Saya akan bertanggung jawab!" teriak Sandrina yang kini sudah diseret paksa oleh dua orang pria yang sepertinya adalah bodyguard si lelaki misterius itu.
Hurraim Arkhaziyad, si lelaki bertubuh tinggi itu tidak menggubris. Dia kini masuk ke dalam mobil yang sama dengan Sandrina. Kacamata hitam itu masih menyembunyikan sorot mata kala menatap pada wanita di sampingnya.
Sandrina menatap sebal. Ini memang kesalahannya, tapi kenapa orang itu harus membawanya ke kantor polisi. Padahal dia akan bertanggung jawab. Bagaimana pun caranya, Sandrina tidak mau sampai dipenjara. Dia baru saja akan memulai karirnya, tapi seseorang kini sedang berpotensi menghambat tujuannya.
"Tuan, saya tahu mobil Anda rusak. Tapi saya akan bertanggung jawab. Jangan libatkan polisi dalam hal ini," mohon Sandrina dengan ekspresi tegang.
"Kelalaian berkendara yang menyebabkan kerusakan, masuk ke dalam pasal 229 ayat 2," ucap Hurraim dengan suara datar dan tanpa ekspresi.
Sontak saja Sandrina terperanjat kaget. Lelaki di sampingnya itu bisa dengan lugas bicara soal hukum. Saat itu juga, Sandrina menelaah pada sekujur tubuh Hurraim. Dia merasa jika lelaki itu bukan orang biasa. Bisa jadi dia adalah pengacara besar atau abdi negara. Entahlah.
"T–tapi saya akan bertanggung jawab, Tuan. Tolong jangan penjarakan saya," pinta Sandrina dengan ekspresi memohon.
Hurraim hanya diam dengan tatapan fokus ke depan. Kendaraan miliknya itu kini sudah memecah jalanan menuju kantor polisi terdekat. Hal ini benar-benar membuat Sandrina semakin kesal dan agak panik. Semua yang membencinya pasti akan tertawa bahagia melihat dia dipenjara. Sandrina kini membayangkan ekspresi jahat dan nyinyir dari Lorenza, Eleanor dan juga Clara saat melihat dia dipenjara. Ini gawat, Sandrina bahkan seperti akan kehilangan harapannya untuk membangun masa depan yang lebih indah.
Di depan polisi, Sandrina meremas jari jemarinya. Dia bukan takut karena kelalaiannya, tapi dia takut dipenjara. Hurraim yang merasa dirugikan, melaporkan apa yang terjadi pada mobilnya.
"Atas kelalaian ini, Anda terkena pasal 229 ayat 2. Sebagai sanksinya, Anda dikenakan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak 1 juta," ungkap polisi berbadan tegap.
Kedua mata Sandrina melebar. Rahangnya terjatuh dan mulutnya menganga. Dia benar-benar terkejut mendengar penjelasan itu.
"Saya tidak mau dipenjara! Lebih baik saya ganti rugi saja!" sergah Sandrina dengan suara lantang.
"Bagaimana, Pak? Apakah Anda bersedia dengan keinginan Mbak ini?" tanya Pak Polisi itu pada Hurraim.
Hurraim yang sejak tadi melipat tangan di dadanya, kini membuang napasnya pelan lalu mengangguk singkat. "Tidak masalah."
"Jadi, kasus ini sudah selesai sampai di sini saja. Korban sudah setuju untuk digantikan kerugiannya oleh tersangka. Mbak, Anda bebas dan tidak dipidana penjara," ucap polisi itu pada Sandrina.
Sandrina membuang napasnya lega. Seketika itu juga dia menatap sedikit aneh pada lelaki di sampingnya. Kalau begini caranya, kenapa tidak dari tadi saja dia katakan untuk diganti kerugiannya. Sandrina benar-benar sebal.
Sekarang, Sandrina berjalan cepat di belakang Hurraim. Lelaki itu sejak keluar dari ruangan, tidak bicara sepatah kata pun pada Sandrina. Langkah kaki Hurraim begitu cepat dan membuat Sandrina kesulitan mengimbanginya.
"Tuan, berikan nomor rekening Anda," ucap Sandrina.
Hurraim tidak menoleh sedikitpun. Namun, sempat berbicara. "Saya tidak punya banyak waktu. Lain kali kalau berkendara, jangan lalai."
Sandrina kebingungan. Apa sebenarnya yang lelaki itu inginkan? Tadi bersikeras membawanya ke kantor polisi, tapi sekarang seolah enggan diganti kerugiannya oleh Sandrina. Bahkan, Hurraim kini sudah bergerak masuk ke dalam mobilnya tanpa bicara apa-apa lagi pada Sandrina.
"Tuan, bagaimana dengan saya?" teriak Sandrina saat mobil yang ditumpangi Hurraim berjalan meninggalkannya.
Ini benar-benar membuat Sandrina semakin kesal sekaligus bingung. Dia sudah terlampau jauh dari mobilnya yang ia tinggalkan di sana. Lelaki menyebalkan itu bahkan tidak mengantarnya kembali ke mobilnya.
"Kenapa dia aneh sekali? Padahal tidak perlu ke kantor polisi kalau ujung-ujungnya dia pilih cara damai. Sekarang, dia tiba-tiba pergi tanpa memberi tahu nomor rekeningnya. Ck, benar-benar menyebalkan!" Sandrina berdecak kesal.
Sementara itu, Hurraim kini melepas kacamata hitamnya. Pria berusia 35 tahun itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Dia adalah seorang CEO perusahaan di bidang industri. Hari ini, Hurraim akan menghadiri acara pembukaan perusahaan baru miliknya di Jakarta. Akibat kejadian tadi, dia sedikit telat dan kini terburu-buru. Sejak tadi, sang ayah meneleponnya berkali-kali. Hal ini membuatnya semakin kesal.
"Lebih cepat lagi! Telat sedikit saja aku bisa dimaki habis-habisan oleh ayah dan kakek," perintah Hurraim pada sopirnya.
Sopir mengangguk singkat dan dia menaikkan kecepatan mobil yang dikendarainya. Dalam situasi ini, Hurraim sangat tidak tenang dan merasa gelisah. Kemarahan ayahnya sudah dapat dia rasakan dari sekarang jika benar-benar terlambat datang.
"Jangan biarkan wanita itu lolos. Ini semua gara-gara dia," ucap Hurraim pada asisten pribadinya yang duduk di depan samping kemudi. Tiba-tiba saja dia teringat pada Sandrina yang telah menabrak mobilnya.
Waktu terus berjalan. Hurraim kini membuang napasnya kasar. Dia adalah putra tunggal keluarga kaya raya. Lelaki berdarah Turkiye–Indonesia itu baru saja tiba dari Dubai. Awalnya, Hurraim memimpin perusahaan yang ada di Dubai. Namun, tahun ini dia disuruh oleh sang kakek untuk mengurus perusahaan barunya di Jakarta.
Hurraim adalah lelaki tampan yang selalu menjaga jarak dari wanita. Tampangnya yang galak dan sikapnya yang dingin, membuat semua orang ketakutan dan segan setiap berhadapan dengannya. Sampai saat ini, Hurraim belum memiliki kekasih. Meskipun kakek dan kedua orang tuanya sudah sering menyinggung soal pernikahan, tapi Hurraim masih betah melajang.
Sementara itu, Sandrina kini terpaksa memesan ojek online untuk mengantarkannya ke tempat mobilnya berada. Rencana belanja keperluan rumah makan barunya, terpaksa harus dia batalkan. Berbagai macam kejadian hari ini seakan tidak mengizinkan Sandrina untuk membuka jalan menuju kesuksesan.
"Ya ampun, penyok begini mobilku," keluh Sandrina sembari menatap kesal pada bagian depan mobilnya.
Sandrina tidak berniat untuk pergi ke bengkel. Dia memilih pulang karena pikiran dan badannya lumayan lelah. Saat tiba di rumah, Sandrina menatap kaget dan saat itu juga kekesalannya semakin bertambah. Michael, lelaki itu ternyata sudah menunggunya di teras rumah. Keadaan rumah sangat sepi, karena kedua orang tua Sandrina sedang pergi.
Begitu melihat Sandrina keluar dari mobil, Michael bangkit dari duduknya. Dia kini terlihat tidak sabar ingin bertemu dengan mantan istrinya. Ada rasa kesal dan dendam atas keputusan Sandrina yang bercerai dengannya. Michael masih terus memikirkan Sandrina dan menyesal karena telah mengkhianatinya.
"Sandrina, aku ingin bicara," ucap Michael dengan suara tegas.
Sandrina tidak mau menatap wajah Michael yang menjijikan baginya. Dia sangat membenci mantan suaminya itu. "Tidak ada yang harus dibicarakan. Semuanya sudah jelas, kita sudah berpisah."
"Sandrina, tolong beri aku kesempatan sekali lagi," pinta Michael berusaha meluluhkan hati Sandrina.
Kedua mata Sandrina melotot tajam. "Tidak tahu malu! Kamu sudah menodai pernikahan yang suci. Dan sekarang meminta aku untuk memberi kesempatan? Itu tidak akan terjadi. Lagipula, aku sudah bukan istrimu lagi. Sebaiknya jalani hidup masing-masing." Setelah bicara demikian, Sandrina melengos pergi. Buru-buru dia membuka pintu lalu masuk tanpa menoleh ke arah Michael yang tengah berjalan mengikutinya.
Michael mengepalkan kedua tangannya. Semakin Sandrina menjauhinya, dia semakin merasa terhina. Michael seolah tidak sadar atas perlakuan kejinya pada Sandrina. Dia hanya mengira jika Sandrina jijik dan ilfil atas kemandulan yang dia alami.
"Aku merindukanmu, Sandrina," ucap Michael sembari menarik tangan Sandrina lalu membawa ke dalam pelukannya.
Bersambung...Kabar kehamilan Sandrina sudah sampai ke telinga kedua orang tuanya. Mendengar kabar itu, mereka berdua sangat bahagia dan bersyukur. Sejak putri mereka menikah dengan Michael, sejujurnya keduanya sangat menantikan sosok seorang cucu, tapi mereka tidak berani mendesak atau memaksa putri mereka untuk segera memberikan cucu pada mereka. Sekarang, tanpa diminta pun Sandrina sudah dipercayai oleh Tuhan untuk mengandung anaknya. "Alhamdulillah, anak kita benar-benar sehat dan subur, Yah. Berarti memang rezeki dia bersama Hurraim. Tuhan memang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya," ucap Marlinda penuh syukur. Sang suami mengangguk pelan diiringi senyuman kemenangan. Mereka juga sudah tahu kalau nanti malam di kediaman Pristilla akan mengadakan acara syukuran atas kehamilan Sandrina. Jadi, keduanya akan hadir untuk ikut mendoakan, serta memberikan ucapan selamat dan support terhadap Sandrina juga Hurraim. "Semoga Tuhan selalu menjaga mereka. Menjaga Sandrina dari hal buruk. Menjaga calon
Hurraim berlari ke loteng. Mendengar hal yang mengkhawatirkan tentang istrinya, dia langsung menemui Sandrina di sana. Jantungnya berdetak kencang. Hurraim takut Sandrina kenapa-kenapa. Saat ini, Sandrina tengah duduk sembari memegangi perutnya. Ekspresinya membuat Hurraim semakin panik. Tentu saja Sandrina mulai berakting. Perempuan cantik itu seolah sedang merasakan sakit di bagian perutnya. "Arrgggh!!" pekik Sandrina."Sayang, apa yang terjadi padamu?" tanya Hurraim dengan kekhawatiran yang semakin mendalam. Ditangkapnya tubuh sang istri. Kemudian dia mengelus perut rata Sandrina yang tanpa disadari tengah mengandung sang buah hati. Sandrina meringis seperti kesakitan. Pristilla dan Fery hanya menonton saja. Begitu juga dengan Eleanor. Mereka diam-diam sedang menunggu waktu untuk memberikan surprise pada Hurraim."Perutku, sayang...." Sandrina mengeluh. "Ayo kita ke rumah sakit! Ini tidak bisa dibiarkan," ucap Hurraim tampak panik. Hampir saja dia menggendong tubuh Sandrina, ta
"Awas, hati-hati. Jangan sampai jatuh," ucap Pristilla dengan sangat antusias. Begitu tahu bahwa menantunya sedang mengandung, Pristilla sangat menjaga ketat Sandrina. Tentu saja dia takut Sandrina dan juga calon bayi dalam perutnya kenapa-kenapa. Sandrina digandeng oleh dua asisten rumah tangga. Ini terlalu berlebihan, tapi Sandrina tidak bisa menolak. Sebenarnya dia juga bisa berjalan sendiri sampai kamarnya. Namun, kekhawatiran sang mertua telah membuatnya seperti seorang ratu. "Kita akan mempunyai cucu!" seru Pristilla pada Fery. Sontak hal itu membuat Fery melebarkan kedua mata dan menatap setengah tidak percaya. "Hah, yang benar? Maksudnya Sandrina hamil?" Fery bertanya dengan raut wajah kaget serta penasaran. Pristilla mengangguk cepat. "Iya! Kita harus merayakan ini. Secepatnya kita atur acara perayaan kehamilan Sandrina.""Bun, itu terlalu berlebihan," protes Sandrina sedikit tidak setuju. "Apanya yang berlebihan? Kita akan mengadakan syukuran atas kehamilan kamu, Sandri
Hari demi hari terus berlalu. Sandrina dan Hurraim sudah menjalani rumah tangga selama satu bulan. Hari demi hari mereka lalui dengan penuh kebahagiaan. Tidak ada satu pun orang yang berani mengganggu kebahagiaan mereka. Dalam satu bulan ini, Sandrina masih tinggal bersama mertuanya. Hal itu dikarenakan keinginan Pristilla yang merasa masih belum siap berpisah jauh dengan Hurraim. Hurraim sendiri sudah ingin pindah rumah. Bahkan sebelum menikah pun, Hurraim sudah membeli rumah untuk dihuni dengan istrinya. Namun, saat ini dia belum bisa meninggalkan rumah orang tuanya itu. Padahal Hurraim sudah membujuk Pristilla berulang kali. Namun, Pristilla tetap kekeuh belum siap dan tidak mengizinkan Hurraim untuk pindah rumah. Pagi ini, Sandrina terbangun dalam keadaan lemas. Dia yang sudah tidak menjadi sekretaris Hurraim, hanya melakukan tugasnya sebagai seorang istri sekaligus owner San Kitchen. Selain itu, Sandrina juga mulai menekuni bisnis perhiasan media online. Hal ini sengaja dia lak
Hurraim mengelus lembut perut rata Sandrina. Perasaannya senang tak menentu. Telah terpikirkan olehnya bagaimana jika di dalam perut rata itu ada janin sang buah hati mereka. Tentu saja Hurraim sangat tidak sabar. Dia menikah, tujuan menikah memang tidak melulu tentang anak. Akan tetapi, memiliki anak setelah menikah adalah suatu kebahagiaan. Hurraim sendiri tidak pernah berniat untuk menunda-nunda punya anak. Jika Tuhan berkehendak, maka dia berharap Sandrina segera diberi momongan. "Semoga secepatnya kamu mengandung anak kita, sayang," ucap Hurraim dengan suara lembut. Sandrina tersenyum tipis. Waktu itu dia dengan Michael pun mengharapkan hal yang sama. Setiap saat menanti kehadiran sang buah hati mereka. Namun, takdir tidak sampai membuat mereka memiliki anak. Bahkan Sandrina sempat dituding wanita mandul oleh mertuanya sendiri. Semoga saja kali ini tidak. Sandrina sebenarnya sedikit trauma jika seandainya Tuhan sedikit lama memberikan anak padanya. Khawatir mertuanya mengira di
Selesai pesta pernikahan, Hurraim membawa kabur Sandrina ke sebuah hotel mewah yang sudah dipesannya. Segenap keluarga melepas dengan penuh kebahagiaan. Senyuman mengembang di sudut bibir kedua mempelai pengantin pria dan wanita. Taburan bunga mengiringi kepergian mereka. Sorak sorai keceriaan menambah kesan bahagia di sana. "Kamu milikku sayang!" ucap Hurraim. Pria tampan itu membopong tubuh ramping Sandrina dari luar hingga ke dalam hotel. Nuansa honeymoon terasa kental di sana. Taburan bunga dan gemerlapan lampu menyambut mereka. Belum lagi aroma harum dari berbagai sudut pun tercium menyengat indera penciuman mereka. "Malam ini aku tidak akan menahan diri lagi," ucap Hurraim lagi. Pria tampan itu nampak perkasa. Dia bahkan tergesa-gesa dan tidak sabaran. Maklum, Hurraim adalah sosok pria dewasa yang tidak pernah melakukan hubungan intim dengan wanita mana pun. Maka saat dia telah menikahi wanita pujaan hatinya, jangan heran jika Hurraim begitu semangat dan tidak sabar. Sekaran