Dewi duduk di tempat persembunyiannya, di sebuah apartemen yang tersembunyi dari pandangan polisi. Dalam kegelapan ruangannya yang sepi, dia menatap layar televisi dengan tatapan kosong. Seolah-olah sedang mencoba memecahkan teka-teki yang rumit dalam labirin pikirannya, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar seakan dunia yang dulu ia kendalikan terbalik oleh sebuah pernyataan yang tidak dia harapkan sama sekali.Wawancara Lukman yang mengungkapkan niatnya untuk menikahi Andin membuatnya terdiam seketika. Seolah dia sedang dihantam oleh gelombang badai yang menggulung batinnya. Raut wajahnya yang biasanya penuh dengan kesombongan dan kecongkakkan, kini bermuram durja. Selama ini, Dewi telah menghabiskan waktu dan energinya untuk menjatuhkan Andin. Dia telah merencanakan berbagai cara licik dan jahat untuk menghancurkan reputasi wanita itu, termasuk menyebarkan rumor dan melakukan sabotase. Namun, semua usahanya telah gagal, dan sekarang Lukman malah ingin menikahi Andin. "
Setelah berkeliling sejenak, mereka akhirnya sampai di toko gaun pengantin. Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai macam gaun yang indah, dengan desain yang beragam dan warna yang memukau. Gaun-gaun tersebut tergantung dengan anggun di atas manekin, menciptakan pemandangan yang memukau bagi Andin dan Siska.Ada gaun-gaun putih murni dengan renda halus dan detail bordir yang rumit, serta gaun-gaun dengan potongan modern dan tata busana yang menawan. Setiap gaun terlihat seperti karya seni yang hidup, mencerminkan keanggunan dan kemewahan yang tak terbantahkan.Andin dan Siska berjalan di antara gaun-gaun tersebut, mata mereka berbinar dengan kegembiraan dan antusias. Mereka melihat-lihat setiap gaun dengan seksama, membayangkan bagaimana nanti Andin akan terlihat indah dan anggun dalam gaun pengantin yang sempurna."Mana yang paling kamu suka, Andin?" tanya Siska.Andin tersenyum, matanya tat kalah berbinar melihat gaun-gaun yang dipajang di depannya. "Semua gaun ini begitu indah. Aku s
Hari demi hari sudah Bingwen dan Ming lalui, keduanya masih belum sampai di tempat yang akan mereka tuju. Hutan demi hutan, berbagai rintangan telah mereka hadapi. Sebagian besar memang Bingwen lah yang menghadapi semuanya. Ming juga turut membantu walau tidak sebanyak yang dilakukan Bingwen. Sudah hampir dua minggu lamanya, perbekalan mereka juga semakin menipis. Beruntungnya Bingwen yang sudah pernah hidup di tengah hutan, delapan tahun silam. Hingga pengalamannya itu dapat dia manfaatkan sekarang, Bingwen yang berburu hewan buruan untuk menghemat bekal yang mereka bawa. Sementara Ming yang mengolah hewan hasil tangkapan Bingwen.Keduanya saling melengkapi kekurangan masing-masing, berharap semua jerih payah yang mereka rasakan dapat berbuah manis kedepannya. Malam itu cuaca cerah, sinar bulan purnama yang begitu terang membuat Bingwen dapat melihat bintang yang bertaburan di atas sana. Sinar bintang yang berkelap-kelip mengingatkan Bingwen akan Mei Lin. Gadis itu sangat suka meli
"Pokoknya Mama tidak mau tahu, ceraikan istrimu sekarang juga," ucapan ibu tiri Andin cukup membuatnya terkejut. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Seno Gunawan, memang tidak pernah mendapat restu dari Bu Sekar. "Ma, tenangkan diri Mama dulu. Aku sedang banyak urusan di kantor, tidak ada waktu luang untuk mengurus masalah perceraian," balas Seno, putera tunggal Bu Sekar. "Nah itu dia, kamu itu terlalu menyepelekan pernikahan ini. Sehingga kamu mengabaikan juga sikap istrimu yang kurang ajar sama Mama." Seno menghela nafas berat, lelaki berusia tiga puluh tahun itu mendelik ke arah Andin yang berdiri di sudut ruangan. Sepertinya sang ibu tengah menghukum istrinya lagi. "Apa lagi yang Andin perbuat kali ini?" Bu Sekar tersenyum senang saat anaknya merespon keluh kesah yang sengaja dia buat. "Istri kamu itu mempermalukan Mama di depan geng arisan Mama. Dia sengaja salah memasukan garam ke minuman yang hendak Mama suguhkan pada teman-teman Mama. Hampir saja marwah Mama hancur g
Andin mundur beberapa langkah saat Seno mendekatinya, ada perasaan takut saat dia menatap mata suaminya yang dipenuhi emosi. Selama pernikahan mereka memang Seno bukan tipe suami yang menunjukkan cintanya berlebihan, meski terkadang Seno sering memaki dan memarahinya. Namun, setidaknya Seno tidak pernah main tangan. "M---maafkan aku, Mas. Aku janji akan berubah, aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama." Seno meludah tepat di depan Andin, hari ini suasana hatinya sedang buruk. Proposal bisnisnya ditolak oleh pihak investor, setelah pulang malah dia harus mendengar ocehan ibunya. "Kamu itu bisa tidak sih jadi istri yang berguna sedikit, apa kontribusi kamu dalam hidupku selain memberiku sakit kepala? Apa susahnya mengikuti arahan Mama? Kamu menyepelekan Mama sama saja dengan menyepelekan aku. Tahu tidak?" Andin tidak sanggup berucap, feelingnya mengatakan jika dia melawan satu kata ucapan suaminya maka fatal akibatnya. "Kalau ada orang yang ngomong tuh jawab! Kamu pikir aku s
Terik mentari sudah tinggi, tapi Andin tidak juga mau membuka matanya. Tubuhnya terasa sakit semua, terutama di bagian yang ditendang oleh suaminya. Semalam Andin tidak bisa tidur sama sekali, tubuhnya menggigil hebat. Dingin namun terasa panas, Andin tidak tahu apakah karena luka yang dia terima atau dia yang terlalu banyak pikiran sehingga kesehatannya menurun drastis. Bu Sekar yang memang bukan tipe morning person, sangat murka saat dia pergi ke meja makan dan tidak ada makanan sama sekali. Dengan langkahnya yang berat, Bu Sekar masuk ke kamar sempit Andin. Kamar yang sejak usia pernikahan Andin yang kedua tahun telah dia tempati. Iya, Andin tidak diperbolehkan untuk masuk dan tidur di kamar utama dengan Seno. Apa bila Seno menginginkan tubuhnya, maka Seno yang akan menemui atau memanggilnya. Sekedar untuk memenuhi hasrat seksualnya. Tidak jauh beda dengan mereka yang bekerja sebagai wanita malam atau wanita panggilan bukan? Dicari ketika butuh, setelah Seno puas lalu Andin dib
Dari dalam kamarnya yang terletak tidak jauh dari meja makan, terdengar suara Bu Sekar beramah tamah dengan tamu wanita yang dibawanya. Sungguh miris, Bu Sekar tentu tahu Andin yang sedang sakit. Namun, Bu Sekar jangankan membawa Andin ke dokter. Orang yang menjadi mertuanya itu malah menyuruhnya memasak dan membiarkan Andin merintih kesakitan seorang diri. Bulir air mata Andin tak dapat lagi dibendung, wanita malang itu meratapi nasibnya yang selalu tidak mujur. Terbesit di hati Andin menyesali keputusannya menikah dengan Seno, andai saja dia bisa mengetahui seperti apa masa depan yang akan dia lalui dengan Seno tentu Andin akan menolak lamaran lelaki itu. "Apa yang bisa ku lakukan, nasi sudah jadi bubur. Aku hanya bisa menerima takdir yang Tuhan gariskan untukku, aku juga bodoh sebab terlalu mudah menaruh hati," keluh Andin. Selimut yang basah akibat siraman air ibu mertuanya terpaksa dia gunakan untuk menyelimuti tubuhnya yang kini mulai panas, Andin tidak punya pilihan lain. D
Andin tidak menyangka Bu Sekar memperbolehkan orang lain untuk memanggilnya Mama, sedangkan saat Andin memanggilnya demikian, Bu Sekar sangat marah padanya. Bu Sekar mengizinkan setelah usia pernikahan Seno dan Andin menginjak dua tahun. Betapa sakit hati Andin melihat kedekatan Bu Sekar dengan Dewi, selayang pandang saja Andin dapat mengetahui bahwa orang yang diharapkan menjadi menantu di keluarga ini adalah Dewi. Bukan dirinya, yang tidak punya apa-apa. "Mulai sekarang Dewi akan sering datang ke rumah, jadi pastikan kamu melayani Dewi dengan baik. Jangan berlaku kurang ajar, awas saja kalau kamu berani seperti itu," ancam Bu Sekar. Andin hanya bisa mengangguk, ya apa lagi yang dia bisa. Perintah mertuanya adalah suatu kemutlakan yang harus dilaksanakan."Mama, maaf loh aku ngerepotin gini jadinya. Aku nggak enak sama si Mbak dan Mas Seno," ucap Dewi dengan nada manja manjalita. "Tentu saja tidak, Sayang. Oh iya, nggak usah panggil dia, Mbak. Panggil nama saja, atau kamu boleh p