LILIANA"Sarah, aku tahu kau punya banyak pekerjaan lain yang harus kau selesaikan. Kau tidak harus tinggal di sini dan menungguiku," kataku, mencoba terdengar setenang mungkin. Aku hanya ingin sedikit ruang untuk diriku sendiri, jauh dari tatapan menghakimi—atau penuh rasa iba.Sarah yang baru saja mengantarkanku kembali ke pondok milik Ryder, menatapku dengan heran. "Kau sudah mencoba melarikan diri," katanya tegas.Nada suaranya membuatku mengerutkan kening. Memang benar. Tapi aku tak menyangka dia akan terus mengungkitnya.Seharusnya memang Serina yang menjagaku hari ini, tapi karena aku membuat dia marah, dia pergi begitu saja dan meninggalkanku hanya dengan bibi Sarah."Aku takkan mencobanya lagi," kataku meyakinkan.Sarah mendesah. "Seharusnya kau tahu Ryder akan menemukanmu."Aku menunduk. "Kurasa aku tahu... tapi aku merasa harus mencobanya."Ada sesuatu dalam tatapan Sarah yang mengatakan bahwa dia tidak benar-benar mengerti, dan mungkin memang tak bisa. Dia hidup dalam ling
LILIANAAku melemparkan kentang yang sudah aku kupas ke dalam baskom berisi air bersih. Airnya memercik sedikit ke bajuku, tapi aku tidak peduli. Tanganku sudah mulai pegal, tapi entah kenapa, pikiranku jauh lebih lelah.“Sarah…” gumamku akhirnya. “Aku sulit menerima ceritamu tentang Ryder. Maksudku… aku jarang melihat kebaikan hatinya.”Sarah tidak langsung menjawab. Dia sibuk memotong wortel, mata tajamnya fokus ke talenan, seolah sayuran itu menyimpan jawaban hidup. Lalu, pelan-pelan dia menggumam, “Oh, itu…”Aku mengangkat alis, menunggu.“Dia hanya masih belum bisa melepaskan kematian kakek dan adik perempuannya,” lanjut Sarah. “Mereka meninggal saat konflik perebutan tanah di Hutan Merah. Saat itu... keluarga kami benar-benar di ujung tanduk.”Aku mendadak diam. Jantungku terasa melambat.“Waw,” gumamku. “Apakah sang kakek adalah panutan dalam hidupnya?”Sarah mengangguk pelan. “Ya. Ryder sangat mengidolakan kakeknya. Tapi tidak dengan ayahnya. Mereka hampir selalu bertengkar… t
LILIANA"Kami tidak punya bayi," kataku nyaris berbisik, penuh kemarahan, menatap mata Ryder Black yang menyala seperti bara api yang siap meledak. Nadaku tenang, tapi tajam, seperti belati yang menyayat pelan."Jika kau melakukannya—menyakiti anak-anak itu di panti asuhan—aku akan pastikan membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri."Kali ini aku tidak main-main. Tidak sedang melontarkan ancaman kosong. Aku sungguh-sungguh. Anak-anak di panti itu adalah bagian dari hidupku, satu-satunya cahaya kecil di tengah reruntuhan kehidupanku. Jika ada yang berani menyentuh mereka, aku akan berubah menjadi sesuatu yang bahkan aku sendiri tak kenal.Ryder mengalihkan pandangannya. Mata yang tadi berkobar itu meredup. Ada sesuatu yang mengendap di balik sorotnya—penyesalan, mungkin. Atau sekadar frustrasi."Aku tidak sehina itu," gumamnya akhirnya, dengan suara parau, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Aku hanya... mara
LILIANAPondok itu menjadi sunyi. Suara anak-anak yang bermain terdengar dari kejauhan, bercampur dengan gemericik air terjun yang terbawa angin. Sesekali terdengar bunyi palu, dan gonggongan anjing dari desa. Namun semua itu seperti dunia lain. Dunia yang jauh, terpisah dari ruang sunyi yang kini hanya berisi aku dan Ryder Black.Ketegangan di antara kami menebal seperti kabut pagi di lembah. Aku tak sanggup lagi menahan diam ini. Sejak meminta rekan-rekannya untuk pergi, Ryder hanya memintaku tetap tinggal. Tanpa penjelasan. Tanpa tujuan yang jelas. Hanya tatapan yang dingin, penuh perhitungan, dan membuatku tak tenang.“Jika tak ada yang ingin kau katakan, aku sebaiknya pergi,” kataku akhirnya, melangkah menuju pintu.Langkahku belum mencapai setengah ruangan ketika suara langkah cepat menghentikanku. Ryder. Tubuh tinggi dan tegap itu bergerak cepat, menghampiriku. Dia berdiri di hadapanku hanya dalam satu kedipan mata.&nbs
LILIANA“Aku sudah sangat lelah dengan segala dramamu untuk kabur,” sindir Ryder, lalu melemparkan bantal ke lantai di depanku. “Gunakan saja selimut yang dibawa Serina tadi.”Aku tidak menjawab. Aku hanya menatapnya tajam, lalu dengan susah payah berbaring di lantai kayu dingin itu. Punggungku sakit, tanganku pegal karena posisi yang tak nyaman. Tapi bukan itu yang membuatku sulit tidur.Yang membuatku gelisah... adalah suara itu.Gemerisik kain. Bunyi sabuk dilepaskan. Suara kaus yang diseret melewati kepala. Aku menahan napas.Apa Ryder sedang... melepas pakaiannya?Wajahku langsung panas. Aku tahu aku seharusnya tidak peduli. Aku tahu aku seharusnya tak memikirkan hal lain selain kabur dari sini. Tapi aku tetap mencuri-curi dengar.Aku ingin membuka mata. Sekilas saja. Melihat, hanya sedikit saja.Namun suara langkah kakinya mendekat membuatku langsung pura-pura tertidur. Napas kuatur sedemikian rupa. Jantungku berdegup kencang.Dia berhenti di sampingku. Aku bisa merasakan tatapa
LILIANAMalam itu terasa dingin meski api di perapian pondok masih menyala. Kabut tipis menggantung di luar, seolah-olah ikut menyembunyikan dosa-dosa yang belum sempat terbongkar.Aku mencoba mendorong dadanya. Tapi dia terlalu kuat, dan aku terlalu lemah dalam pelukannya.“Lepaskan aku, Ryder!” desisku, separuh panik, separuh muak.Tangannya menelusuri pinggangku dengan perlahan, seolah menandai wilayah kekuasaannya. Sentuhan itu membuat tubuhku tegang, tidak karena gairah, tapi karena jijik dan ketakutan. Getar tangannya terasa dingin di kulitku, menciptakan gelombang mual dalam perutku.“Aku tidak melakukannya! Aku bukan pelacur!” teriakku putus asa.Tapi memang itu kabar yang beredar. Bahkan dimuat dalam laporan berita khusus untuk istri-istri pria ternama. Nama dan wajahku terpampang jelas di layar, disandingkan dengan judul yang membuat semua orang jadi menyalahkanku atas perceraianku dengan Ethan tiga tahun lalu. Gosip yang terlalu sempurna untuk dipercaya, terlalu keji untuk