Ya ampun, kasar sekali dia. Kalau orang yang kukenal sudah kulempar dengan tutup termos. Kurang ajar sekali.
"Di sini tidak ada yang namanya coffee shop adanya sayur sop, Pak," jawabku dengan santai.Dia menanyakan coffee shop seperti pertama kali Andre kesini. Biasanya juga Andre yang akan membeli tapi ini ... apa lelaki ini bos yang Andre katakan? Kalau dari perawakannya sepertinya iya karena terlihat sangat menyeramkan.Usianya terlihat kisaran tiga puluhan.Dia berdecak. Meneliti pada gantungan kopi, jelas tidak akan ada kopi yang dicarinya tapi kalau kopi yang sering dia minum ada di toples."Ibu!"Aku tersentak saat melihat Devan berdiri di ambang pintu warung yang memang tidak dikunci."Kenapa, Nak. Berbaring dulu di sini, sebentar ya." Aku membantunya untuk berbaring di kasur lantai, wajahnya terlihat masih pucat bahkan panasnya belum turun. Devan menolak diajak ke dokter karena takut disuntik.Aku kembali berdiri namun tertegun karena melihat lelaki itu memperhatikan Devan dengan lekat.Mungkin bapak ini bukan bosnya Andre tapi penculik. Kenapa dia melihat Devan sampai tidak berkedip begitu ah ... atau jangan-jangan lelaki ini memiliki kelainan?Pemikiranku malah semakin kesana-kemari."Pak, disini tidak ada yang Bapak cari. Pergi saja cari di tempat lain!" Aku langsung mengusirnya.Dia tidak bergeming masih memperhatikan Devan."Anakmu tampan."Bulu romaku langsung berdiri. Amit-amit, jangan sampai dia kembali lagi. Dia lebih mengerikan daripada hantu."Pergi sana! Jangan kembali lagi," usirku.Tanpa menjawab perkataanku dia beranjak, masuk ke dalam mobilnya.Setelah memastikannya pergi, aku duduk di sebelah Devan yang berbaring. Keningnya basah karena keringat dingin."Pergi ke dokter ya, Anak?""Tidak mau," jawabnya dengan suara lirih.Paling tidak bisa melihat dia sakit seperti ini, aku tidak tega."Dokter hanya akan memberikan obat tidak akan disuntik. Kalau seperti ini terus Devan kapan sembuhnya. Mau ya, Nak?" Kuusap keningnya dengan lembut.Dia menggeleng dan memejamkan mata. Jika sudah seperti ini tidak ada cara lain selain membawanya paksa ke dokter karena dibujuk pun tidak akan mempan.Menghubungi Nita untuk mencarikan mobil yang bisa disewa, kasihan kalau Devan harus pergi memakai motor apalagi kondisinya seperti ini.Saat sampai di klinik, aku bertemu dengan orang yang sama sekali tidak terduga.Mas Tito bersama dengan Mawar yang kini perutnya sudah terlihat membuncit."Apa lihat-lihat? Iri ya karena aku bisa hamil sedangkan kau tidak?" sewotnya.Aku sama sekali tidak menanggapi, memilih untuk duduk agak jauh dari tempat mereka dan mendekap Devan yang terus merengek mengeluh tubuhnya pegal semua dan pusing.Dari sudut mata bisa kulihat Mas Tito curi-curi pandang dengan raut wajah khawatir hingga nama Mawar dipanggil dan masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Kulihat juga tadi Mawar terlihat pucat mungkin sakit karena tidak mungkin periksa kandungan ke dokter umum seperti ini."Ibu, sakit ....""Sabar, Nak. Sebentar lagi diperiksa ya.""Tidak mau disuntik.""Iya, tidak akan disuntik, Devan tenang saja."Untung saja sepi jadi Devan bisa cepat diperiksa, saat Mas Tito dan Mawar keluar dari ruangan itu. Aku berdiri dan mencari keberadaan Pak Rt yang tadi mengantar, Pak Rt yang menggendong Devan tadi. Tadi di rumah Devan masih bisa berjalan tapi sekarang semakin lemas."Biar aku saja yang bawa." Mas Tito menawarkan diri."Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Aku menepis tangannya yang akan menggendong Devan."Kau tidak akan bisa, Mila."Kalau dipikir iya karena Devan sudah besar tapi aku tidak ingin menerima bantuannya. Aku berjongkok di depan kursi tempat Devan berbaring agar bisa menggendongnya di punggungku."Mas, ayo pulang. Tidak usah pedulikan mereka, lagi pula dia bukan anakmu!" Mawar menarik-narik tangan Mas Tito."Mil, jangan keras kepala!"Aku tidak memperdulikannya dan mencoba berdiri setelah Devan ada di punggungku. Berat memang tapi aku sanggup membawanya ke ruangan dokter.Baru saja akan melangkah tubuh Devan ada yang menarik dari belakang dengan cepat membuatku langsung berbalik. Tidak sempat protes karena aku kira Mas Tito yang membawa Devan ternyata bukan."Ayo, masuk!" Dia menarik tanganku begitu saja masuk ke dalam ruangan dokter.Saking cepatnya kejadian itu aku sampai baru sadar beberapa saat kemudian, melirik lelaki yang kini duduk di sebelahku sambil memperhatikan Devan yang sedang diperiksa."Apa yang anda lakukan di sini?" Aku memekik."Maaf, Bu. Tolong jangan ribut." Dokter langsung menegur.Dengan terpaksa aku mengatupkan mulut dan berniat mengusir lelaki di sebelahku ini. Jangan-jangan dia memang mengikutiku semenjak dari rumah.Kenapa ada orang mengerikan seperti ini? Keluar dari sini aku harus cepat-cepat pulang, jangan sampai orang ini menunggu aku lengah dan menculik Devan."Ibu, Bapak. Anaknya hanya demam, usahakan untuk memberikannya minum dan juga buah-buahan juga. Tidak ada kondisi yang serius, hanya saja demamnya cukup tinggi.""Dia bukan bapaknya, Dok. Dia pedofil yang incar anak saya," sangkalku cepat."Sembarangan! Aku kesini mau mengobati ini." Dia melotot karena tidak terima. Telunjuknya mengarah pada keningnya yang sedikit robek dan masih mengeluarkan darah. “Mana ada maling mau mengaku,” celetukku sambil menatap sinis lelaki itu.“Tadi mengataiku pedofil sekarang maling. Kau mau dituntut ya? Kau tidak tahu aku siapa?”“Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu juga tidak peduli!”“Bu, Pak. Tolong jangan bertengkar di sini!” Dokter kembali menegur.Aku malu jadinya karena dia, “Sana keluar!”“Aku juga ada perlu dengan dokter.” Dia menolak untuk keluar bahkan memegang kursinya dengan erat saat aku mendorong tubuhnya.Membuang waktu saja berdebat dengannya, akhirnya aku membiarkan dia duduk di sana. Setelah dokter kembali menjelaskan aku langsung bangkit menuju Devan yang masih berbaring lemah.“Biar aku saja.”Dia menarik tubuhku menjauh dari Devan, “Eh, eh. Apa-apaan ini! Jangan sentuh putraku!”“Dasar tidak tahu terima kasih, aku hanya ingin membantu.”“Tidak usah, aku bisa sendiri!” Aku menepis tangannya dengan keras.“Bu, Pak. Tolong jangan ribut, kasihan anaknya. Di luar juga masih ada pasien lain, jadi mohon untuk segera tinggalkan ruangan ini!”Sebelum aku menggendong Devan, lelaki tak dikenal itu lebih dulu membawa Devan keluar.Aku pun mengikutinya dari belakang takut jika Devan diculik.“Berhenti! Biarkan saja di sini, aku harus ambil dulu obatnya!”Tanpa diduga dia menurut, berdiri di dekat pintu keluar, menungguku yang harus mengambil obat Devan. Aku terus mengawasinya sambil menunggu obat disiapkan.“Bu, ini ada aturan makannya ya. Jangan lupa dikonsumsi secara rutin, kalau memang masih belum ada perubahan datang lagi ke sini untuk memeriksa ulang. Dan-”“Berikan padaku!”Mendengar suara itu aku langsung menoleh mendapati Mas Tito yang hendak mengambil alih Devan dari lelaki itu.“Iya, Terima kasih, Mbak.” Aku langsung menyambar obat itu dan mendekat pada mereka.“Mil, kenapa kau biarkan orang lain menggendong anak kita?”Aku tertawa mendengar dia mengatakan itu, “Anak kita? Dia anakku. Dan lelaki yang kau bilang orang lain ini adalah calon suamiku!”“Apa?” Mas Tito dan lelaki itu berkata serempak.Bersambung ....Bodoh sekali kau, Mila!Aku merutuki diri sendiri, kenapa bisa sampai berkata seperti itu. Salah Mas Tito karena dia membuat emosiku memuncak, seharusnya dia sudah pergi bersama dengan istri barunya itu kenapa malah kembali ke sini.“Ibu ... pulang.”“Iya, kita pulang.”Tanpa memperdulikan Mas Tito, aku mendorong punggung lelaki itu agar berjalan keluar. Sebelum dia mempermalukanku di depan Mas Tito lebih baik langsung pergi saja. Bahaya kalau dia menyangkal, bisa malu tujuh turunan aku.“Mil, Mila!” Mas Tito malah mengejarku.“Apa sih, Mas? Urus saja istrimu itu, jangan pedulikan anakku!” Kutepis dengan kasar tangan Mas Tito yang mencekal tanganku.Saat berbalik, aku melihat Deva sudah masuk ke dalam mobil pria tidak dikenal itu. Buru-buru aku menyusul, jangan sampai pria itu berniat menculik Devan. Kalau saja tidak ada Mas Tito dan mulutku tadi bisa dijaga aku tidak akan sudi masuk ke dalam mobil mewah ini.“Turunkan saja di depan.”Dia menoleh padaku yang duduk di belakang sambil m
Ada-ada saja, dia pikir dia siapa. Hanya mantan juga berani mengaturku seperti ini.Jangan-jangan dia cemburu? Baguslah, jadi dia bisa merasakan apa yang aku rasakan dulu.“Bu.” Suara Davin memanggil.Aku beranjak untuk membukakan pintu.“Ibu pulang dari tadi?”“Tidak, Ibu baru saja pulang. Ayo mandi dulu, setelah itu makan.”“Devan mana, Bu?”“Tidur. Jangan ganggu, dia masih sakit.” Aku meninggalkan Davin dan menuju ke dapur untuk memasak.Tiga hari sudah Devan tidak sekolah tapi sekarang kondisinya sudah membaik, sebenarnya demamnya cepat turun tapi dia masih merasa lemas, mungkin besok baru akan sekolah. Aku juga tidak akan memaksakan.Selama tiga hari pula warung tidak kubuka, akan repot jika harus bolak-balik ke rumah jika Devan membutuhkan sesuatu.“Bu, aku mau sekolah.”“Yakin? Sudah tidak lemas lagi?” tanyaku memastikan.“Iya, Bu. Aku bosan di rumah terus.”“Ya sudah. Siap-siap, biar nanti kamu diantar pakai ojek. Davin juga sudah pergi dari tadi.”Beberapa menit lalu Davin su
Rasanya aku ingin tutup saja warung ini tapi tidak mungkin sampai melakukan itu hanya karena dua lelaki di hadapanku yang kehadirannya sukses membuat emosi.Apa salahku sampai harus terlibat bersama dengan mereka.Setelah membalutkan plester luka di jari, aku lanjut memasak mie pesanan Mas Tito agar dia segera pergi.“Ada perlu apa kesini?” Aku beralih pada lelaki yang tidak kutahu namanya itu.“Aku mau bertemu Devan.”“Devan sekolah jadi pergi saja. At-”“Aku akan tunggu sampai dia pulang.”Tanpa diminta dia langsung duduk begitu saja. Ini orang kenapa sebenarnya? Kalau saja tidak ada Mas Tito pasti aku sudah mengusirnya."Di sini bukan tempat tunggu," ujarku ketus."Kalau begitu aku akan menunggu di rumahmu.""Eh, enak saja. Duduk disitu!""Kau jangan kurang ajar ya!" Mas Tito melayangkan tatapan tajam pada lelaki itu."Kurang ajar sebelah mananya? Dia calon istriku, salah kalau aku ada di sini atau bertamu ke rumahnya?" balasnya dengan enteng.Brak!Dengan kesal aku menggebrak meja
“Mbak Mila tidak tahu kalau Pak Zayn itu pemilik pabrik ini?”Mila menggelengkan kepalanya, “Tidak tahu dan tidak ingin tahu. Kelakuannya bahkan tidak seperti pemilik pabrik yang seharusnya itu sopan ini malah sebaliknya.”“Memang banyak yang tidak tahu kalau Pak Zayn itu pemilik pabrik, Pak Zayn tidak suka dikenal orang-orang. Aku tahu juga karena tidak sengaja.”“Syukurlah,” gumam Mila sambil mengusap dadanya.“Syukur kenapa, Mbak?”“Berarti memang bukan penculik, aku kira dia penculik karena penampilannya itu sangar.”“Mbak Mila, masa lelaki setampan pak Zayn dibilang penculik, ada-ada saja.”Mila memang tidak peduli pada sesuatu yang tidak ada urusan dengannya. Ia tidak lagi menyahuti wanita yang membocorkan rahasia pabrik itu, Mila malah fokus melayani para pembelinya.Mungkin jika orang lain yang ada di posisi Mila pasti akan berpikir untuk bisa mendekati Zayn bahkan jadi simpanan pun tak apa yang penting bisa mendapat gandengan setampan dan sekaya Zayn Niskala Hartanto.***“Bo
“Devan sudah benar-benar sembuh ‘kan?” Mila menyentuh kening Devan dengan punggung tangannya.“Sudah, Bu. Tidak panas, tidak pusing juga,” jawab Devan meyakinkan sang ibu.“Devan terus yang Ibu perhatikan,” celetuk Davin sambil mengunyah keripik kentang, matanya fokus pada layar televisi tapi ia curi-curi pandang juga ke arah ibu dan juga saudaranya.Mila terkekeh geli, “Ya ampun, anak Ibu ini cemburu?” Ia mengacak gemas rambut Davin.“Aku bukan anak kecil, Bu. Tidak usah begitu,” tolaknya.“Iya, iya.” Mila geleng-geleng kepala, “anak-anak Ibu sekarang sudah besar sekarang tapi masih seperti anak kecil, masa saling cemburu begitu. Devan sedang sakit, Ibu juga tetap perhatian pada Davin kok.”Waktu begitu cepat berlalu, bayi yang dulu ada di dalam rahim Mila kini sudah tumbuh menuju remaja. Mila membesarkan mereka penuh perjuangan bercucur keringat dan juga air mata, mengingat ia dulunya menjadi ibu tunggal dan Tito hanya hadir untuk sepuluh tahun saja mengambil peran sebagai suami Mil
Zayn menoleh, melihat Mila yang berjalan menjauh dengan sebelah sandal jepit yang dipakainya karena sebelahnya lagi sukses menghantam kepala Zayn.“Untuk wanita kalau bukan, aku akan balik melemparnya dengan granat,” gumam Zayn.Lelaki itu meraih celana yang tergeletak di ranjang dan memakainya, tadi malam Zayn merasa sangat kegerahan jadi sampai membuka semua pakaiannya kecuali segitiga pengaman. Baginya dilihat seperti itu sudah biasa jadi ia tidak merasa malu.Zayn lupa jika sekarang ia berada di kampung, bukan di kota apalagi luar negeri yang bisa bebas melakukan apapun. Di sini ada norma-norma yang harus diikuti.“Andre! Kenapa kamar mandinya seperti ini?”Andre yang sudah rapi itu buru-buru menghampiri Zayn yang kini masih berdiri di ambang pintu.“Seperti ini bagaimana?” Kening Andre berkerut.“Bagaimana carannya aku mandi? Tidak ada shower!”“Lah, ini ada ember, ada gayung. Airnya tinggal dibuka dari sini.” Andre memutar kran air agar ember menjadi penuh.Zayn meringis, “Mandi
Zayn tidak main-main dengan ucapannya. Bahkan sebelum hasil tes itu keluar, ia berencana melancarkan aksinya. Tanpa tes DNA pun , Zayn sangat yakin jika Devan dan Davin itu adalah anak kandungnya meski sampai detik ini ia gagal mengingat di mana dan bagaimana ia bisa bertemu dengan Mila dan berakhir menanam benih dalam rahim wanita itu.“Apa yang disukai Mila, Dre?”Kening Andre berkerut, “Apanya, Bos?”“Pentium berapa otakmu itu, Dre!”“Sesuatu yang disukai itu ‘kan mencakup banyak hal, seperti makanan, minuman, pak-”“Katakan semuanya tapi yang paling penting, laki-laki seperti apa yang dia sukai?” potong Zayn.Ia akan menjadi idaman Mila. Dari awal bertemu dengan wanita itu, sebenarnya Zayn bisa membaca jika Mila bukan wanita biasa, bukan wanita yang kebanyakan ditemui Zayn. Kebanyakan wanita akan mepet dan bersedia dijadikan teman tidur oleh lelaki ini, meski bukan karena uang, karena tampang pun jadi.“Pasti seperti mantan suaminya.”“Hah? Laki-laki buruk rupa itu?”“Astaga, Bos.
“Bisa diam tidak? Kalian membuat yang lain tidak nyaman!” tegur Mila karena habis kesabarannya.Tito dan Zayn serempak melihat sekeliling, meski hanya ada dua orang di sana tapi mereka yang kebetulan ada di warung menatap heran pada dua lelaki yang terlihat memperebutkan Mila itu.“Kalau begini caranya, aku tidak akan betah berjualan,” batinya.Mila ingin sekali mengamuk. Andai saja tidak ada dua orang pembelinya yang lain sudah pasti Mila akan mengusir Zayn dan juga Tito.Sebelum ada Zayn dan Tito, Mila merasa tenang meskipun sering kelelahan tapi karena dua orang itu belum juga banyak kegiatan Mila sudah merasa lelah karena meladeni dua lelaki dewasa yang kekanakan.Ia memutuskan untuk tidak banyak bicara, kalau terus meladeni bisa-bisa tenaganya habis sebelum sore datang.“Kenapa kau masih di sini? Sana pergi, majikanmu pasti mencari,” ujar Tito pada Zayn yang fokus dengan ponselnya.Zayn sudah diam dan kini Tito malah mengusiknya. Mila yang mendengar itu sama sekali tidak peduli l