Share

Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder
Diduakan Suami, Diratukan Duda Miliarder
Penulis: Lintang RatuDolar

1. Kado Ulang Tahun Pernikahan

"Selamat Bu, berdasarkan hasil pemeriksaan, Bu Chava dinyatakan mengandung. Usianya baru delapan minggu," ucap pria bersnelli itu seraya menjabat tangan Chava.

Perempuan bernama Chava itu bergeming, sungguh, berita menggembirakan ini tak pernah terlintas dalam benaknya akan dapat dia dengar setelah setahun pernikahannya. Binar di wajahnya cukup mewakili perasaannya saat ini, Chava sangat bahagia. Tak sabar rasanya segera membagi kabar menggembirakan itu pada suaminya.

"Saya sungguh hamil, Dok?" Chava yang merasa dirinya seperti sedang bermimpi pun mengajukan pertanyaan.

Dokter lelaki berkacamata itu kemudian mengangguk mantap. "Ini hasil foto USG yang baru saja kita ambil, bulatan kecil ini adalah janin Bu Chava." Menunjukkan titik hitam pada lembar hitam putih ndi tangannya.

Setitik butir bening luruh tanpa permisi, Chava sangat bahagia. Akhirnya harapannya untuk bisa memiliki anak bisa terwujud, begitu juga impian ibu mertuanya yang selama setahun ini bersabar menantikan kehadiran seorang cucu di kehidupannya yang beranjak senja.

Ah, Chava ingin gegas pulang dan memberitahukan kabar kehamilannya. Akan tetapi dokter yang baru saja memeriksanya itu seolah masih ingin menahannya.

"Ke depannya tolong dijaga lebih hati-hati lagi ya, Bu. Usia kehamilan awal biasanya masih riskan. Lebih dijaga lagi pola makan dan usahakan untuk istirahat cukup. Saya resepkan vitamin, Bu Chava bisa kembali lagi bulan depan atau jika ada keluhan."

Chava menerima secarik kertas yang disodorkan padanya kemudian menjabat tangan dokter dan mengucapkan terima kasih sebelum beranjak meninggalkan tempat itu.

Sepanjang perjalanan pulang, Chava tak hentinya membingkai senyum di wajah. Sesekali tangannya terulur mengusap perutnya yang masih rata. Belakangan ini Chava sering mengeluh mual dan muntah, rasa pusing juga kerap mendatanginya secara mendadak. Sampai kemudian ia curiga jika gejala yang dialaminya merupakan tanda awal sebuah kehamilan. Rasa haru yang membuncah dalam dada saat Chava mengetahui kepastian jika dirinya memang telah hamil. Usahanya selama ini akhirnya membuahkan hasil, buah cintanya bersama suami kini tumbuh di rahimnya.

Getaran ponsel yang bersumber dari dalam tas yang berada di pangkuan Chava berhasil menarik wanita itu dari lamunan panjangnya. Bibir merah jambu yang sedikit pucat itu melekuk indah manakala menangkap nama yang tertera di layar.

[Nanti aku pulang lebih awal, kebetulan nggak ada lembur dan ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu]

Chava baru saja memikirkan lelaki itu, dan ternyata suaminya sudah lebih dulu mengiriminya pesan. Tadinya Chava ingin memberitahukan berita kehamilannya, tapi kemudian dia urung melakukannya.

"Jangan memberitahunya lewat pesan, nanti sore saja begitu dia pulang sekalian buat kejutan," gumam Chava begitu terlintas ide di benaknya.

Chava menghapus barisan kata yang sempat diketiknya, kemudian mengubah tulisannya sebelum mengirimnya pada sang suami.

[Iya, Mas. Kebetulan ada hal penting juga yang mau aku sampaikan sama kamu. Aku akan masak makanan kesukaanmu untuk makan malam, aku menunggumu.]

Pesan dengan cepat terbaca oleh Azzam, tapi tak ada tanda-tanda adanya balasan setelah Chava menunggu sekian menit lamanya. Perempuan itu kembali menyimpan ponselnya, lalu meminta supir taksi yang membawanya untuk berhenti di salah satu toko aksesoris.

Kehamilan adalah sebuah berita bahagia yang paling dinantikan pasangan menikah pada umumnya. Chava ingin memberikan kejutan dengan cara sebaik mungkin menurut versinya, hingga kenangan indah akan tercipta dan sulit untuk dilupakan.

Aneka jenis masakan rumahan yang menjadi favorit Azzam telah tersaji di meja setelah lebih dari satu jam lamanya Chava berkutat di dapur. Chava menatap puas hasil karyanya sebelum ia memutuskan untuk pergi mandi dan bersiap menyambut kepulangan suaminya.

Rumah yang ditempatinya semenjak menikah berukuran cukup besar, suasana sepi yang mencekam seringkali Chava rasakan selama ini. Suaminya sibuk menghabiskan waktu di kantor, begitu juga ketika akhir pekan. Chava hampir tak pernah melihat suaminya memiliki waktu luang. Dunia Azzam benar-benar dihabiskan untuk pekerjaan.

Chava mematut penampilannya di depan cermin, memastikan dirinya dalam keadaan terbaik ketika menyambut suaminya letih sepulang kerja.

"Nanti setelah makan malam, kita beritahu Papa kalau kamu sudah ada di sini ya, Nak?" monolog Chava seraya mengusap perutnya.

Pandangan Chava berpindah pada kotak kado berpita yang ia simpan di laci meja rias. Satu buah alat kehamilan, lembar hasil pemeriksaan dari dokter, juga lembar monokrom hasil USG yang didapatnya dari dokter siang tadi, Chava kemas dengan begitu cantik.

Senyum sumringah terus terpatri di bibir Chava, tak bisa ia bayangkan reaksi suaminya ketika melihat kotak kado itu nanti. Hingga deru mesin mobil yang berhenti di pekarangan rumah membuat Chava buru-buru mengakhiri lamunan indahnya. Chava menyimpan kotak kado kecil itu di balik saku baju terusan yang dipakainya.

"Chava!" Azzam memanggil dengan tidak sabaran.

"Iya, Mas."

Seakan lupa dengan kondisinya yang tengah berbadan dua, Chava setengah berlari menyambut sang suami. Langsung diraihnya tas kerja lelaki itu, kemudian Chava mencium punggung tangan Azzam dengan takzim sebagai bentuk baktinya sebagai istri.

"Mau mandi dulu atau mau makan dulu, Mas? Biar aku siapkan."

"Nanti saja, ada hal penting yang harus aku omongin sama kamu." Azzam menyahut.

"Kebetulan, aku juga ada hal penting yang mau aku sampaikan, tapi nanti saja sehabis makan malam. Setelah Mas Azzam menyampaikan berita penting itu dulu. Sekarang sebaiknya ayo kita masuk, di luar gerimis."

Langkah Chava tertahan saat Azzam menepis tangannya, wanita itu diam membeku mengikuti ke mana arah mata suaminya tertuju.

"Masuk, Han!"

Selang beberapa detik kemudian, Chava melihat seorang wanita cantik dengan setelan formal. Wanita itu begitu anggun, dan seketika saja Chava membandingkan penampilannya dengan wanita itu. Sungguh sangat bertolak belakang. Seperti langit dan bumi.

"Siapa, Mas?" Chava menatap suaminya penuh tanya.

"Nanti aku jelaskan di dalam," balas Azzam, pria itu kemudian mengalihkan tatapannya pada perempuan yang ia bawa pulang. "Ayo, masuk Han!" titahnya mengulangi perintah.

Sementara wanita yang disuruh masuk hanya diam membatu.

"Mari masuk, Mbak. Jangan berdiri di luar menjelang Maghrib." Kini giliran Chava mempersilakan tamunya untuk masuk.

Meski bingung, Chava memilih untuk diam sedangkan Azzam sempat menggandeng tangan Hana yang kemudian langsung ditepis oleh wanita cantik itu. Azzam dan Hana duduk menempati sofa yang berbeda selagi Chava pamit ke dapur membuat minuman.

"Nggak usah tegang begitu, Han. Chava perempuan baik, dia nggak mungkin nyerang kamu," ucap Azzam berusaha menenangkan wanita yang tampak gelisah itu.

"Kamu gila, Zam. Aku pulang saja ya?" Hana meraih tas tangannya hendak bangkit dari sofa.

"Setelah sejauh ini? Kalau kamu terus menghindar, mau sampai kapan?"

"Justru itu, Zam! Chava perempuan baik-baik, aku bisa melihatnya. Aku nggak tega," ucap Hana tertahan. Tubuhnya sedikit bergetar menahan tangis."

"Tenang! Percaya sama aku." Azzam mendekat, menepuk bahu Hana beberapa kali.

Langkah Chava sempat tertahan, indera pendengarannya masih berfungsi dengan baik hingga dia bisa mendengar percakapan di ruang tamu dengan jelas. Berbagai macam praduga memenuhi benak wanita itu. Tangannya gemetaran saat kecemasan mendadak menyeruak dari dalam dada. Ketakutan yang Chava sendiri tak tahu alasannya.

"Biar aku panggil Chava sebentar, duduklah dengan tenang dan percayakan semuanya padaku. Semuanya akan baik-baik saja."

Sebelum Azzam memergokinya, Chava sudah lebih dulu mengayunkan langkahnya yang terasa berat. Wajahnya tampak datar meski kepalanya hampir dibuat pecah memikirkan berbagai macam pertanyaan. Chava berpura-pura tak mendengar apapun yang dibicarakan dua orang itu.

"Maaf lama, Mbak." Chava menurunkan cangkir teh beserta toples kue kering di meja.

"Aku ke belakang dulu Mas, mau menyiapkan makan malam."

"Tunggu sebentar! Duduklah, ada yang mau aku katakan!" titah Azzam.

"Sekarang?"

Chava memangku nampan usai melihat suaminya mengangguk. Ia pun mengambil posisi duduk di sofa dengan menjaga jarak dari dua orang di hadapannya.

Hening memeluk sejenak, ruangan itu tetiba terasa hampa. Melalui ekor matanya dapat Chava lihat sesekali Hana melirik suaminya. Bahasa tubuh wanita anggun itu tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.

'Ada apa ini? Ada apa sebenarnya?' Chava meremas ujung roknya.

Detik yang terus berlalu dalam kebisuan tanpa Chava berani membuka suara terlebih dulu. Sampai kemudian Azzam menyuara setelah mengumpulkan segenap kekuatannya.

"Va," panggil Azzam lirih.

"Zam, jangan!" Hana menggeleng pelan mengkode lelaki itu untuk tak melanjutkan ucapannya.

"Iya, Mas. Ada apa? Katakan saja!" Chava tak tahan dengan situasi yang terasa serba tak enak.

"Namanya Hana, Va. Dia calon istri keduaku," ucap Azzam seraya mengambil tangan Hana untuk dia genggam.

Chava membatu, apa yang baru saja didengarnya seperti sebuah hantaman yang seketika membuat dunianya menjadi gelap. Beruntung sofa berhasil menopang tubuhnya, jika tidak, mungkin sudah sejak tadi Chava jatuh tersungkur bersamaan dengan leburnya hati dan impian indah yang dirajutnya selama ini.

Setelah setahun berlalu, ternyata ini kado istimewa yang didapatkan Chava di hari ulang tahun pernikahannya yang pertama.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ridzky fadly
good sekaliii
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status