Bibir itu terkunci rapat, matanya memanas digenangi embun tipis nan rapuh yang mudah retak dalam sekali kedip. Sekuat hati Chava menahan diri, tangisnya hanya akan menunjukkan kelemahannya di hadapan dua sejoli itu. Melihat bagaimana suaminya menatap penuh cinta pada wanita lain, tatapan yang tak pernah Chava dapatkan selama setahun pernikahannya.
Ah, lagi-lagi kenyataan menamparnya. Bukan Chava tak tahu bahwa bukan dirinya yang menempati ruang istimewa di hati Azzam. Selama ini dia hanya menjalankan baktinya sebagai istri, berharap seiring berjalannya waktu lelaki yang tepat setahun lalu mengucap janji suci pernikahan itu akan memberinya cinta walaupun hanya secuil.
Namun, jangankan cinta, melihat ke arahnya sedikit pun, tidak pernah Azzam lakukan. Bagaimana Chava dan Azzam menjalani pernikahan selama ini, bagaimana benih Azzam tumbuh di rahim Chava, semua itu hanya bagian dari kewajiban suami istri. Saling memberi dan menerima, tanpa ada hati, tanpa perasaan apalagi melibatkan cinta di dalamnya.
"Va, sebenarnya ...,"
"Kapan rencana akad nikah kalian digelar?" tanya Chava memotong ucapan Hana, wanita yang tak lama lagi akan menjadi adik madunya. Dari usianya, Hana memang tiga tahun lebih tua dari Chava, membuat kekasih hati Azzam itu tak sungkan memanggil nama Chava secara langsung tanpa embel-embel.
Mau tak mau, Chava harus menerimanya. Menerima kenyataan pahit kalau suaminya sedang menyodorkan semangkuk madu beracun untuknya. Memang apa haknya memberikan pendapat, apalagi melarang jika suaminya sudah bertekad untuk menikah lagi?
"Tuh, kan? Apa kataku, Han. Chava perempuan baik, dia nggak semenakutkan seperti yang kamu bayangkan."
Perkataan juga senyum yang merekah di wajah Azzam laksana belati yang semakin dalam menggores luka di hati Chava. Seharusnya Chava sadar diri, tak sepantasnya dia menyimpan luka itu, apalah dirinya yang hanya istri tak dianggap. Statusnya, tak lebih hanyalah di atas kertas.
"Zam," lirih Hana, tatapannya terpaku pada lelaki yang duduk di sampingnya.
Iri. Satu kata itu yang timbul manakala Chava memergoki sepasang anak manusia itu saling menatap penuh cinta.
'Tuhan ....' batin Chava serasa diremas.
Tentang sejak kapan suaminya menjalin hubungan dengan wanita lain?
Apa kurangnya selama mengabdi menjadi istri Azzam?
Dan masih ada banyak pertanyaan yang berkelebatan di benak Chava, tapi tak pernah sekalipun dia mengutarakannya langsung. Untuk apa?
Biarlah Chava menyimpan semuanya sendirian. Jika suaminya sudah memutuskan untuk menikah lagi, itu artinya keputusannya pastilah sudah melalui banyak pertimbangan. Mustahil pula Azzam memutuskan menikah kembali jika memang dia tak yakin dengan perasaannya. Membayangkan sudah sejak lama suaminya menjalin kasih dengan wanita lain di belakangnya semakin membuat batin ibu hamil itu melara.
"Beneran enak, kan masakan Chava?"
Pertanyaan Azzam menarik kesadaran Chava, dilihatnya pria yang selama setahun ini menjadi teman hidupnya itu, lagi-lagi tengah menatap kekasihnya penuh cinta. Mereka bertiga tengah menikmati makan malam bersama.
Diam-diam Chava mentertawakan dirinya sendiri. Segala macam bentuk perhatian dan cinta ia curahkan selagi membuat aneka makanan itu, berharap pujian yang selama ini dia tunggu dengan segudang kesabaran akan dilontarkan suaminya. Akan tetapi rupanya dengan tidak berperasaan Azzam justru membawa wanita lain untuk menjadi bagian dari penghuni rumah itu. Apa lagi yang jauh lebih menyakitkan hati seorang istri ketimbang saat suaminya terang-terangan membawa wanita lain ke dalam istana mereka?
Hana tersenyum kikuk menanggapi pertanyaan kekasihnya, sementara Chava kembali menunduk mengaduk isi piringnya. Nafsu makannya menguap sejak pertama kali suaminya mengutarakan keinginannya untuk kembali menikah. Pun kondisinya yang tengah hamil muda, sama seperti ibu hamil pada umumnya Chava juga mengalami mual muntah.
"Tentu saja kamu tau setiap makanan yang dibuat Chava sudah pasti enak. Hampir setiap hari kita makan bekal buatannya bersama," kekeh Azzam.
Sembilu kembali ditorehkan. Satu fakta yang kembali terkuak, kebenaran selalu menemukan jalannya, meski lewat jalur ketidaksengajaan sekalipun. Chava tersenyum miris. Pantas suaminya selalu bersemangat membawa bekal makan siang buatannya, lelaki itu tak segan meminta dobel porsi. Rupanya ini jawaban atas pertanyaan Chava selama ini, karena sejauh yang Chava tahu suaminya tak makan sebanyak itu. Rupanya Azzam membagi bekalnya dengan, ah ... entah sebutan apa yang tepat Chava sematkan untuk Hana.
Azzam yang dilihat Chava hari ini adalah sisi lain yang tak pernah Chava tahu sepanjang pernikahan mereka. Ternyata lelaki pendiam yang selama ini hanya bicara jika ada perlu saja dengannya, cukup hangat dan menyenangkan diajak berbicara. Ya, pria itu hangat dan menyenangkan ketika bersama wanita tercintanya, dan itu bukan Chava.
"Zam." Hana melotot sambil berbisik lirih mengingatkan Azzam yang kemudian menyadari jika lelaki itu sudah kelepasan bicara.
Azzam tergagap menyadari kebodohannya, seketika tatapannya bertemu dengan Chava tapi tak berlangsung lama karena setelahnya Chava memilih memutus pandang. Senyum memang terus terpatri di bibirnya sejak tadi, tapi siapa yang tahu kalau senyum itu hanyalah sebuah topeng semata.
"Mbak Hana kalau mau nambah silakan, Mbak. Ayam kecapnya masih ada di belakang, sebentar aku ambilkan." Chava bangkit dari kursinya.
"Eh, nggak usah, Va! Aku sudah kenyang."
Penolakan Hana tak lantas mengurungkan niat Chava, wanita itu tetap berlalu menuju dapur untuk mengambil piring yang ia simpan dalam lemari kaca. Masakan yang ia buat penuh cinta untuk sang suami ternyata dinikmati wanita yang akan menjadi ratu di hati Azzam.
'Kuat, Va. Demi anak.' Chava menyusut lelehan bening yang melesat dari sudut matanya. Mencuci muka di wastafel untuk memastikan wajahnya tak terlihat aneh sebelum ia kembali ke meja makan.
"Silakan, Mbak. Sengaja aku masak banyak, jangan sungkan kalau mau nambah. Syukur Mbak Hana suka sama masakanku."
Hana termenung, ia menatap calon kakak madunya itu dengan perasaan bersalah. Chava begitu baik padanya, tapi balasannya pada wanita itu adalah empedu yang begitu pahit. Hana sendiri tak bisa mengendalikan hatinya untuk tak tergoda akan cinta dan perhatian yang dihujankan Azzam padanya.
Fakta bahwa Azzam pria beristri awalnya membuat Hana berniat mundur, tapi melihat kegigihan lelaki itu dalam meyakinkannya lambat laun membuat Hana tersentuh. Dia benar-benar tak bisa menolak apa yang ditawarkan Azzam untuknya. Seringnya intensitas pertemuan mereka di kantor membuat benih cinta di antara keduanya tumbuh subur, lalu membawa mereka pada hari ini. Tak peduli ada hati yang sedang terluka berdarah-darah.
"Sudah cukup, Va. Aku sudah kenyang." Calon istri kedua Azzam tersenyum pada Chava.
"Rencananya aku dan Hana sudah sepakat untuk mempercepat pernikahan kami," ujar Azzam memasang raut wajah serius.
Masing-masing dari mereka telah selesai makan. Sepasang kekasih itu lebih tepatnya karena Chava memilih untuk tak menghabiskan isi piringnya. Dia sudah seperti pelayan yang hanya menemani majikannya saja.
"Va, aku minta ma ...,"
"Kapan hari H-nya? Aku akan bantu-bantu sebisa mungkin. Aku juga akan langsung menandatangani surat ijin agar kalian bisa secepatnya menikah." Chava tak membiarkan Hana menyelesaikan pembicaraannya.
Semua yang terdengar manis belum tentu manis pula dirasa. Chava hanya sedang membentengi diri saja, tak memberikan peluang dirinya semakin tersakiti walau kenyataannya hatinya memang telah lebur.
Selepas kegiatan di meja makan itu berakhir, Azzam berpamitan untuk mengantarkan Hana pulang. Meski berkali-kali menolak, pada akhirnya Hana tak bisa melarang Azzam tetap berada di rumahnya karena pria itu memaksa.
"Apa kubilang, Han. Chava pasti mau menerimamu menjadi istri keduaku." Pria itu meraih jemari wanita yang duduk di sampingnya, mengecupnya mesra.
"Chava memang perempuan baik, Zam. Aku bisa melihatnya, tapi aku jadi tidak tega. Aku takut menyakiti perasaannya."
"Itu hanya perasaanmu saja, Yang. Kamu nggak lihat tadi gimana reaksinya? Chava biasa saja, kok. Jangan terlalu dipikirkan. Sudah cukup kita menjalin hubungan selama ini, sudah saatnya aku mengikatmu. Bukankah menjadi istriku adalah impianmu? Jangan bilang kamu berubah pikiran." Azzam tersenyum simpul melirik wanitanya sekilas.
"Rasa cinta ini bahkan tidak bisa aku matikan meski berulang kali aku berusaha untuk membunuhnya. Aku sangat mencintaimu, Zam dan tentu saja aku pernah bermimpi hidup berdampingan denganmu. Tinggal bersama dan hidup dengan anak-anak kita yang lucu, tapi di sisi lain aku merasa bersalah pada Chava," lirih Hana menundukkan kepala.
Sejak menginjakkan kaki di rumah sang kekasih, sejak Azzam mengenalkannya pada Chava sebagai calon adik madu, Hana bisa melihat betapa baiknya Chava. Sikap tenang wanita itu justru semakin membuat Hana tak enak hati. Chava terlalu baik untuk dia sakiti, tapi rasa cintanya pada Azzam juga tak bisa diabaikan begitu saja. Hana dilema.
"Pernikahan kita akan segera digelar, aku nggak mau kamu kepikiran macam-macam sampai akhirnya kamu jatuh sakit. Fokus saja pada pernikahan kita, paham?"
Hana mengangguk. Selebihnya, hanya kebisuan panjang yang mengantar kereta besi itu membelah malam. Mendung menggelayut manja bersiap menjatuhkan diri dari langit, sesekali petir terdengar ikut menyemarakkan suasana malam itu.
Saat dua sejoli yang tengah dimabuk cinta itu diliputi kebahagiaan, semesta justru murung mewakili perasaan seorang istri. Chava duduk bersandar di kaki ranjang dengan tatapan kosong. Air mata yang sejak tadi ia tahan pada akhirnya runtuh juga. Wanita muda itu mengusap perutnya.
"Maafkan Mama, Nak. Mama harus merahasiakan keberadaanmu." Chava berujar lirih dengan tubuh gemetaran.
Ia ragu berita kehamilannya akan menjadi kabar yang membahagiakan untuk Azzam di tengah rencana pernikahan keduanya dengan Hana. Chava hanyalah istri di atas kertas, jika dirinya saja tidak dianggap dalam kehidupan lelaki itu, lalu bagaimana dengan anaknya?
Perih.
Rasa itu kian menggerogoti hingga akhirnya Chava hanyut dalam buaian mimpi, berharap apa yang baru saja terjadi bukanlah kenyataan. Berharap rumah tangganya akan baik-baik saja, berharap sejumput cinta yang Chava harapkan dari Azzam akan dia dapatkan esok pagi ketika Chava membuka mata.
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka