Waktu telah menjelang lima sore, dan suasana kantor pun telah sepi. Staff dan karyawan telah meninggalkan tempat kerja, termasuk office boy yang biasanya menjadi salah satu yang terakhir meninggalkan kantor. Namun, ada satu orang yang masih terlihat sibuk di kantor itu, yaitu Sagara. Dalam sekejap, ia mengunci meja kerjanya dan bergegas meninggalkan kantor menuju rumahnya.
Sagara melangkah keluar dari gedung kantor dengan langkah cepat. Matahari sudah mulai menurun di ufuk barat, memberikan sentuhan oranye ke langit yang mulai gelap. Namun, Soraya tidak terlalu memperhatikan itu. Pikirannya sedang dipenuhi oleh mobil sport mahal yang dia bawa. Ia bisa merasakan pandangan heran dari beberapa orang yang melihatnya pergi dengan mobil tersebut.
"Salah juga, kalau aku bawa mobil ini ke kantor. Atau … aku jual aja, dan uangnya ditabung buat biaya lahiran Hanna. Ganti dengan yang biasa aja," gumam Sagara sambil menggaruk kepalanya, berusaha memikirkan solusi atas situasinya.
Sesampainya di rumah, Sagara disambut oleh istrinya, Hanna. Wajah Hanna tampak penuh keheranan saat melihat seragam office boy yang dikenakan oleh suaminya.
“Sagara …,” panggil Hanna dengan suara yang bergetar, matanya sudah berkaca-kaca.
Sagara menelan ludah dengan perlahan. “Aku nggak mau menceraikan kamu hanya karena uang dua puluh miliar, Hanna.”
“Tapi, Papa udah merendahkan kamu, Sagara. Kamu … benar-benar baik-baik aja, diperlakukan seperti ini?” tanya Hanna dengan suara penuh penyesalan.
Sagara mengangkat bahunya dengan lemas. “Sudah pilihanku. Memangnya kamu mau … aku mengambil opsi pertama? Pergi jauh dari hidup kamu, dan hidup foya-foya dengan uang yang diberikan oleh papa kamu?”
Hanna terdiam. Ia tidak ingin menjadi janda dalam keadaan hamil. Baru menikah, dan harus bercerai. Pikirannya melayang pada masa depan yang tidak ia inginkan, tetapi di sisi lain, ia juga tidak ingin merusak pernikahannya.
Hanna terdiam, merasakan setiap kata yang keluar dari mulut Sagara menusuk ke dalam hatinya. Sakitnya tidak terasa seperti luka fisik, tetapi lebih seperti luka batin yang menusuk relung hatinya. Matanya memandang ke arah Sagara, mencari kejelasan dalam pandangan suaminya yang kini menggenggam kedua lengannya dengan erat.
“Kamu juga nggak mau kan, aku pilih opsi pertama? Apalagi aku. Aku akan menikmati peranku ini, Hanna. Sebagai office boy di kantor mertuaku sendiri. Kamu … tidak perlu menganggapku sebagai suami kamu jika sedang berkunjung ke sana. Karena aku udah bilang ke papa kamu, kalau aku tidak akan mengaku-ngaku sebagai menantunya,” ucap Sagara dengan suara yang terdengar berat.
Hanna merasakan perih di hatinya semakin dalam. Perasaannya terluka, melebihi saat melihat Raffael menikahi perempuan lain. Dia berusaha menahan air matanya yang ingin meleleh, mencoba memahami situasi yang mereka hadapi.
Sagara memandang Hanna dengan penuh kelembutan. “Sudah pilihan hidupku seperti ini, Hanna. Aku gak yakin, papa kamu akan mencarikan jodoh yang lebih baik dari aku. Jika ada yang lebih dari aku pun aku gak rela, Hanna.”
Wajah Hanna terlihat bingung. “Kenapa begitu, Sagara?”
“Karena kamu istri aku,” jawab Sagara tegas.
Hanna tersenyum lirih, merasakan kehangatan dari kata-kata suaminya. “Kamu … rela direndahkan seperti ini hanya karena aku istri kamu?”
Sagara mengangguk perlahan. “Hina atau nggaknya aku di mata papa kamu, yang penting bisa dihormati oleh istri aku. Jangan membenciku hanya karena jabatan aku yang rendah ini, yaa.”
Hanna menggelengkan kepalanya dengan lembut. “Nggak, Sagara. Aku hanya nggak enak hati karena demi aku, kamu rela kerja seperti ini.”
“Bukan demi kamu, kok. Demi rumah tangga kita. Yang di dalamnya ada sebuah kesepakatan yang sudah aku tanda tangani. Aku gak mau mengingkari janji itu,” ucap Sagara dengan mantap.
Hanna merasa begitu bersyukur memiliki seorang suami seperti Sagara. Dia merenung sejenak, menyadari bahwa jika Raffael tidak menikah dengan perempuan lain, belum tentu sikapnya akan sama dengan Sagara. Kini, dia merasa beruntung memiliki suami yang begitu teguh dan setia.
Hanna melirik Sagara dengan penuh penghargaan. "Aku gak tahu bagaimana nasibku kalau nggak ketemu sama kamu, Sagara," ucapnya lirih, suaranya penuh dengan rasa syukur.
Sagara memegang kedua tangan Hanna dengan lembut. "Bisakah kamu mengabulkan satu permintaan aku, Hanna?" tanyanya dengan penuh harap.
"Apa yang kamu inginkan, Sagara?" Hanna menjawab dengan penuh perhatian.
Sagara menatap Hanna dengan intensitas yang menyentuh. "Aku hanya ingin … kamu jangan pernah menganggap aku sebagai ayah pengganti anak yang sedang kamu kandung itu. Biarkan dia mengenal aku sebagai ayah kandungnya. Bisa?"
Sagara menunggu dengan tegang, memohon dalam hati agar Hanna menerima permintaannya.
Hanna menghela napasnya, lalu tersenyum dengan tulus. "Karena kamu adalah suami aku, Sagara. Bahkan, seharusnya aku yang meminta itu ke kamu, bukan kamu."
Sagara merasa lega. "Biarkan aku yang meminta, karena aku yang meminta kamu juga untuk menikah denganmu."
Hanna, sebagai seorang ibu hamil, tersentuh dengan kata-kata suaminya. Air matanya menetes pelan. "Kenapa pria baik seperti kamu harus bertemu dengan wanita tidak baik seperti aku?" gumamnya lirih.
Sagara menepuk lembut pipi Hanna. "Hei! Kalau kamu bukan perempuan baik-baik, mana mungkin kamu mendapatkan pria baik sepertiku? Bukankah jodoh adalah cerminan diri kita?" ujarnya dengan penuh keyakinan.
Namun, Hanna terhenti. "Tapi, aku udah memberikan—"
Sagara menempelkan jari telunjuknya di bibir Hanna. "I don’t care. Itu masa lalu kamu. Dan aku nggak perlu tahu soal itu. Jangan bahas itu lagi. Buang dan lupakan. Kalau masih cinta pada Raffael, buang juga," pintanya tegas.
Hanna terdiam, melihat ke dalam mata Sagara yang penuh keyakinan. Tapi rasa cintanya pada Raffael masih membeku dalam hatinya.
“Sagara … aku dan Raffael bahkan belum ada kata pisah,” ucapnya pelan.
Sagara mengangguk dengan penuh pengertian. "Nggak apa-apa. Yang lebih kuat sekarang adalah aku. Karena aku suami kamu. Atau … mau ketemu, dan akhiri hubungan itu?" tawarnya dengan tegas.
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa