Share

Suami Pertama dan Terakhirku

Satu minggu kemudian, Sagara dan Hanna melangsungkan akad nikah dengan acara yang sangat sederhana. Mereka hanya mengundang keluarga besar Hanna dan keluarga dari sahabat ayah Sagara. Meski harus menanggung malu, Krisna telah memberitahu kebenaran tentang kehamilan Hanna yang terjadi sebelum menikah.

“Sagara, jaga dirimu baik-baik, ya. Kami harus kembali ke Yogyakarta,” kata Hendrik kepada Sagara.

Sagara mengangguk sambil mengulas senyumnya. “Baik, Om. Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk menjadi saksi pernikahan kami.”

Hendrik menepuk bahu Sagara. “Kita akan segera mencari bukti untuk mengambil kembali perusahaan ayahmu. Setelah kita menemukan semua dokumen asli yang disembunyikan oleh ayahmu, kita dapat melaporkan Damar ke polisi.”

Sagara mengangguk lagi. “Aku juga akan berusaha mencarinya, Om. Sayangnya, orang tua Hanna tidak merestui kami karena aku tidak memiliki apapun.”

“Iya, Om sudah tahu. Terlihat dari ekspresi mertuamu. Dia kecewa karena anaknya melibatkan diri dengan pria yang tidak memiliki apa-apa. Padahal, jika dia tahu betapa kaya kamu, mertuamu pasti akan bersikap berbeda.”

“Tapi, untuk saat ini, kamu harus bersabar. Om akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari dokumen asli itu. Setelah itu, kita akan mencari bukti bahwa Damar adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian ayahmu.”

Sagara tersenyum miris ketika mengingat kematian mendadak ayahnya. “Siapa lagi kalau bukan dia, Om. Dia menginginkan Mama, membunuh Papa, dan akhirnya merebut harta Papa.”

“Ya, sebelum ibumu menikah dengan Damar, mereka sudah sangat dekat. Ibumu adalah orang yang bodoh dalam kejadian itu, Sagara,” kata Hendrik dengan tegas.

Sagara menelan ludah dengan pelan. “Iya, Om,” ucapnya sambil menundukkan kepala.

“Om pamit pulang,” kata Hendrik kemudian.

Sagara mengangguk dan melambaikan tangannya kepada Hendrik, satu-satunya harapan yang bisa membantunya mencari bukti tentang pembunuhan ayahnya, serta mengembalikan aset yang seharusnya menjadi miliknya dan kini dikuasai oleh Damar.

Hanna mendekati Sagara dan menepuk bahunya. Sagara menoleh dan mengulas senyum.

“Aku punya sedikit tabungan. Kita bisa menyewa rumah terlebih dahulu. Setelah itu, kita akan mencari rumah yang lebih layak,” ucap Sagara dengan lembut.

Hanna tersenyum. “Papa ingin bicara denganmu, Sagara.”

Sagara mengangguk dan menggenggam tangan Hanna, mengikuti Hanna ke dalam rumah. Dia duduk di depan Krisna, yang belum sepenuhnya menganggapnya sebagai menantu. Sagara menatap tajam pada Krisna, tanpa menunjukkan ketakutan.

“Jangan pernah sakiti anak saya. Satu tetes air mata jatuh, saya yang akan menolakmu. Jika dalam satu tahun kamu masih hidup dalam kemelaratan, saya akan mengambilnya kembali. Dia dilahirkan dari orang tua yang memiliki segalanya.

“Tidak pantas bagi seseorang yang sudah berumah tangga untuk hidup dalam kemelaratan! Jadi, jika kamu berani menyakiti hati anak saya, jangan harap kamu akan bertemu lagi dengan anak dan istri kamu! Ingat itu, Sagara!”

**

Pada malam itu, Sagara membantu Hanna mempacking semua barang yang akan dibawa ke rumah baru mereka.

“Hanna, berapa harga rumah yang kamu beli? Aku masih punya tabungan, biar aku ganti uangnya,” ucap Sagara, tanpa mengetahui bahwa Hanna sudah membeli rumah untuk mereka berdua.

“Tidak mahal, Sagara. Uang itu simpan saja untuk keperluan lainnya. Ini sebagai ucapan terima kasihku karena kamu mau menjadi ayah dan suami bagi aku dan calon bayiku,” jawab Hanna dengan tulus.

Sagara tersenyum lirih mendengar ucapan tulus Hanna. “Seharusnya aku yang berterima kasih padamu karena kamu mau menampungku, yang tidak memiliki apa-apa ini. Mau berjuang bersama sampai akhirnya ayahmu mau merestui, meskipun hanya untuk dinikahkan saja. Bukan benar-benar memberikan restu pada pernikahan kita.”

Hanna mengulas senyumnya. “Keyakinan dan keteguhan hatimu, yang pada akhirnya membuat ayahku mau menikahkan kita. Cepat atau lambat, ayahku pasti akan luluh, Sagara. Apalagi ketika anak ini sudah lahir. Banyak orang tua yang akhirnya merestui ketika melihat mata cucunya sendiri.”

Sagara mengusap lembut pipi Hanna dan menatapnya dengan tulus. “Aku berjanji, aku akan menjadi suami yang baik bagimu. Setelah ini, aku akan mencari pekerjaan dan berhenti kuliah. Tugasku sekarang adalah menjadi suami, bukan mahasiswa lagi.”

Mata mereka saling bertatap. Hanna melihat ketulusan yang begitu nyata dalam mata Sagara. Sampai-sampai membuatnya bingung sendiri, seolah-olah Sagara yang telah membuatnya hamil.

“Mengapa dia begitu tulus menjadi suamiku? Bukankah pernikahan ini hanya bentuk simbiosis mutualisme? Mengapa dia terlihat sungguh-sungguh bertanggung jawab, bahkan ingin mencari pekerjaan demi menghidupiku? Terdengar aneh jika dia mencintaiku. Tidak! Tidak karena itu. Aku yakin!” pikir Hanna dalam hatinya.

Hanna terus bergelut dengan perasaannya dan rasa anehnya terhadap sikap Sagara yang begitu misterius. Baru mengenal satu minggu, tidaklah cukup bagi Hanna untuk benar-benar mengenal pria yang kini menjadi suaminya itu. Walau Sagara sudah menjadi suaminya, bukan berarti dia bisa sepenuhnya percaya pada pria yang belum ia kenal sepenuhnya itu.

“Sudah malam, Hanna. Tidurlah. Besok kita akan pergi ke rumah baru itu,” kata Sagara, mencoba menenangkan Hanna.

Kemudian, pria itu mengambil buku tabungan dan kartu ATM dari Hanna. “Peganglah! Hanya sisa lima puluh juta lagi. Gunakan untuk biaya persalinanmu nanti. Aku khawatir aku belum bisa mendapatkan pekerjaan, sedangkan enam bulan lagi kamu akan melahirkan. Waktu enam bulan bukanlah waktu yang lama.”

Hanna menatap buku tabungan dan Sagara bergantian. “Tapi, Sagara….”

Sagara menarik lembut tangan Hanna dan menyimpan buku tabungan itu di atas telapak tangannya. “Simpanlah. Uangku sudah menjadi milikmu. Aku adalah suamimu, bukan orang asing yang hanya menolongmu di jembatan seminggu yang lalu.”

Sagara menghela napas panjang. “Ini sebagai jaminan jika aku berani meninggalkanmu. Tapi, itu semua tidak akan terjadi. Walau pernikahan ini sangat mendadak dan tidak pernah ada dalam daftar hidupku, harus menikahi ibu hamil yang bukan hasil perbuatanku. Tapi, kamu sudah bersedia menjadikanku suamimu.

“Aku hanya ingin menikah sekali dalam hidupku, Hanna. Semoga Tuhan mendengar doaku. Biarkan kita saling mengisi satu sama lain. Bukan berarti aku memaksa kamu untuk patuh padaku. Terserah apa yang ingin kamu lakukan. Tapi, aku hanya berharap kamu juga punya prinsip yang sama denganku. Aku hanya ingin sekali saja.”

Sagara tertawa sendiri atas ucapannya. Tertawa karena merasa seolah-olah berperan sebagai suami dari Hanna Marwasari Andira. Padahal, perempuan itu hanya menginginkan seseorang yang bisa menerimanya dan anak yang sedang dikandungnya.

Hanna mengulas senyumnya dan memegang kedua sisinya wajah suaminya. Dia menatapnya dengan sangat erat. “Kamu adalah suami pertama dan terakhirku, Sagara. Aku juga punya prinsip yang sama denganmu. Aku ingin menikah hanya sekali.”

Sagara menelan ludah dengan pelan sambil tersenyum haru. “Terima kasih, Hanna. Sekarang, tidurlah. Besok, kita tidak perlu pergi ke boutique dulu. Kita masih menjadi pengantin baru.”

Hanna terkekeh pelan dan mengangguk. “Selamat tidur, Sagara.”

Sagara mengusap pucuk rambut Hanna dan tersenyum. Setelah itu, pasangan suami-istri itu menutup mata karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status