Share

Akhirnya

“Orang tua saya sudah tidak ada lagi, Pak. Yang saya miliki sekarang hanya Hanna. Ayah saya meninggal karena diracun, dan pelaku belum ditemukan hingga kini. Ibunda saya menjadi gila karena suami barunya merampas semua kekayaan yang dimiliki ayah saya. Jika Bapak bersedia bersabar, saya akan berusaha mengambil kembali kekayaan yang menjadi hak saya,” jelas Sagara dengan tegas, berusaha meyakinkan Krisna untuk menerima dirinya dan menikahkannya dengan Hanna, anak semata wayangnya.

Krisna menghela napas dengan kasar. “Artinya, kamu sudah tidak memiliki apa pun. Bahkan harta orang tua kamu bisa direbut oleh ayah tirimu. Bagaimana jika ada pria lain yang lebih berhasil dari kamu dan ingin menikahi anak saya?”

Sagara menelan ludahnya. Kini, ia memang tidak memiliki apa-apa. Namun, ia yakin bahwa harta itu pasti akan kembali padanya. Matanya menatap tajam Krisna.

“Saat ini memang saya tidak memiliki bukti yang bisa membuat Bapak percaya. Namun, suatu hari nanti saya akan membuktikannya. Jika saya tidak bisa mengambil kembali harta itu, setidaknya saya bisa membangun usaha sendiri,” ujarnya dengan penuh keyakinan.

Sagara berusaha meyakinkan Krisna sekali lagi. Ia tidak tahu lagi harus mencari tempat tinggal di mana. Hanna adalah satu-satunya harapan yang bisa membantunya.

“Pa! Sudahlah, janganlah terlalu membesarkan ego. Sagara sudah mengakui kesalahannya. Dia siap untuk bertanggung jawab. Biarkan mereka menikah, Pa,” pinta Sinta dengan suara yang lembut.

“Aku malu, Sinta. Aku malu! Hanna, yang menurutku wanita baik, ternyata bisa melakukan hal memalukan seperti ini.” Krisna menatap wajah Sagara dengan tajam. “Apakah kamu yang memaksa anakku untuk melakukan hubungan itu? Ngaku!” teriaknya kemudian.

“Tidak, Pa. Ini adalah kesalahan kami berdua. Aku juga yang menyerahkan diriku kepadanya,” sahut Hanna dengan suara pelan pada akhir kalimatnya.

“Kamu telah melampaui batas, Hanna! Sejak kecil, Papa selalu mendidikmu agar tidak mudah percaya pada omong kosong pria di luar sana. Jangan memberikan apa yang tidak seharusnya kamu berikan!” bentak Krisna, mengusap wajahnya dengan kasar sebelum mengembuskan napas panjang.

“Maafkan aku, Pa,” kata Hanna dengan lirih, menundukkan wajahnya.

Inilah yang paling ditakuti oleh Hanna: mendapat caci maki dan hinaan dari ayahnya. Namun, itulah yang harus dia hadapi. Dia harus siap menerima risiko dan konsekuensi jika Krisna menolaknya dan tidak lagi menganggapnya sebagai anaknya.

“Berapa usiamu, Sagara?” tanya Krisna dengan suara datar.

Sagara menatap Krisna. “Saya berusia dua puluh empat tahun, Pak.”

Krisna menggosok-gosok keningnya. “Bahkan, dia lebih muda dari kamu, Hanna. Mengapa kamu harus menjalin hubungan dengan seorang pria seperti dia?” pekiknya lagi.

Bahu Hanna bergetar, kepala menunduk. Dia menangis tanpa suara, tak mampu menjawab hinaan ayahnya.

“Pulanglah, Sagara! Aku masih bisa merawat Hanna dan calon anaknya nanti! Dengan tegas, aku menolak permintaanmu untuk menikah dan bertanggung jawab atas apa yang sudah kamu lakukan pada anakku! Pulanglah! Aku tidak membutuhkan menantu seperti kamu yang bau kencur!”

Jantung Sagara berdetak dengan sangat kencang setelah mendengar penolakan dari Krisna. Tanpa ragu, ia berlutut di hadapan pria berusia lima puluh tahun tersebut.

“Pak! Saya memang tidak memiliki apa pun, tapi saya ingin bertanggung jawab atas apa yang sudah saya lakukan. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Saya akan menjaga Hanna dengan baik, mencintainya dengan tulus dan sepenuh hati. Perasaan ini tidak akan pernah berubah, Pak,” ucapnya dengan tulus.

Hanya karena ingin menumpang hidup, Sagara rela berlutut di depan Krisna, berharap Krisna akan memaafkan kesalahan yang sama sekali bukan kesalahannya. Namun, ia melakukan itu untuk membuat Krisna yakin akan kesiapannya untuk menikahi anak yang membutuhkan bimbingan ayah.

“Tidak! Keputusan saya sudah bulat. Saya masih mampu merawat anak dan cucu saya. Lebih baik saya yang merawat mereka daripada memberikannya kepada kamu. Saya tidak percaya bahwa kamu bisa membahagiakan anak saya!” tolak Krisna kembali dengan tegas.

Namun, Sagara masih ingin berjuang. Ia tetap berlutut di depan Krisna sambil menundukkan kepala. “Seandainya bukan karena Hanna dan nasib hidupku yang sedang sulit, saya tidak akan melakukan ini, Pak Krisna. Ditambah lagi, anak itu bukan anakku,” ucapnya dalam hati.

Kemudian, Sagara menghela napas dengan pelan. “Saya sudah berjanji akan menikahi Hanna. Saya tidak bisa membiarkannya menghadapi ini sendirian. Saya harus meyakinkan Pak Krisna seyakin-yakinnya,” pikirnya sambil menatap Krisna dengan tulus.

Sinta menarik Sagara agar berdiri, melarangnya bersimpuh di hadapan Krisna. “Bangunlah, Nak. Kamu telah mengakui kesalahanmu. Kamu adalah seorang pria, jangan menundukkan kepala seperti ini. Aku sudah memberikan restuku—”

“SINTA!!” teriak Krisna, marah saat mendengar Sinta memberi restu kepada Sagara. “Saya yang berhak memberi atau menolak restu mereka!”

“Aku juga memiliki hak, Pa! Aku yang telah melahirkan Hanna. Papa seharusnya menghargai pengakuan mereka. Manusia tidak selalu berbuat baik, Pa. Jangan menyalahkan Hanna dan Sagara. Mereka juga merupakan korban godaan setan. Meskipun mereka telah melakukan kesalahan karena tergoda.”

“Tapi, itu bukan berarti Papa tidak boleh menikahkan mereka. Janganlah membuat dosa mereka semakin besar, Pa. Bahkan jika Papa melarang mereka menikah, apakah Papa bisa menjamin bahwa mereka tidak akan bertemu diam-diam dan melakukan kesalahan yang sama lagi?” lanjut Sinta.

Krisna terdiam, tidak mampu menjawab ucapan Sinta. Ia hanya menatap nanar wajah Sagara yang berdiri di samping Sinta, kemudian menghela napas berat sambil memijat keningnya.

“Kamu tidak tahu betapa kecewanya saya pada anak ini, Sinta!” pekik Krisna memarahi Sinta.

“Kecewa adalah hal yang wajar. Namun, jika Papa tidak mau merestui pernikahan mereka, itu juga salah. Biarkan mereka menikah. Mereka akan tinggal di rumah mereka sendiri, tidak perlu lagi tinggal di sini jika Papa tidak ingin melihat anak kita lagi,” ucap Sinta sambil berlinang air mata.

Antara sedih karena merasa gagal sebagai orang tua dan kecewa dengan sikap Krisna yang menolak menikahkan Hanna dengan Sagara, Hanna akhirnya mengeluarkan suaranya. “Pa, izinkanlah aku dan Sagara menikah. Anakku membutuhkan seorang ayah, Pa. Aku mohon. Kami akan tinggal di rumah kami sendiri. Kami tidak akan menumpang hidup di sini. Biarkan kami mencari kebahagiaan kami sendiri,” ucapnya dengan lirih.

‘Aku hanya merasa kasihan pada Sagara, Pa. Dia tidak memiliki apa-apa lagi. Aku adalah satu-satunya harapannya untuk melanjutkan hidup. Selain itu, aku melihat ketulusan Sagara yang siap menjadi suami yang baik bagiku. Di mana lagi aku bisa menemukan pria yang mau bertanggung jawab seperti dia, meskipun dia bukanlah pelakunya.’

Mata mereka bertemu, saling menatap, dan kemudian Sagara mengulas senyum lirih. Seolah-olah ia ingin memberi tanda bahwa semuanya akan baik-baik saja. Pasti Krisna akan menyetujui pernikahan mereka.

Sementara itu, Sagara menghela napas panjang. “Baiklah. Minggu depan, kalian akan menikah!” kata Krisna akhirnya.

Sagara dan Hanna merasa lega.

“Tidak perlu mengadakan pesta mewah atau mengundang banyak tamu. Cukup bawa keluargamu sendiri jika masih ada!” tambah Krisna kemudian.

Sagara mengangguk patuh. “Baik, Pak. Terima kasih telah memberi restu.”

Krisna berdecih lalu masuk ke dalam kamarnya. Sagara tidak peduli. Yang penting, dia telah diberi kesempatan untuk mengucapkan ijab Kabul dengan Hanna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status