SAH!"
Setelah ijab kabul selesai dilakukan, suasana haru menyelimuti ruang tamu sederhana yang dihiasi bunga-bunga segar. Akad nikah diadakan di rumah mempelai wanita dengan nuansa sederhana penuh kepedihan. Hanya dihadiri keluarga dekat, dan beberapa teman Nadine. Senyum terpaksa menghiasi wajah-wajah yang hadir, sementara hati mereka mengasihani Nadine dalam diam, mengiringi doa-doa penuh harap yang diselimuti kesedihan mendalam. "Selamat, Nad. Jangan menangis, aku yakin bahagia sedang menunggumu," bisik Tia yang datang menyaksikan pernikahan sang sahabat. Gadis itu sempat melihat suami Nadine, memang dekil. Meski pakaiannya tampak rapi. "Cincinnya yang kemarin," bisik Rafael. Nadine mendengus geram, segera mengambil cincin dari kamarnya. Dari pada dia sendiri malu, karena tak ada cincin pernikahan. Lebih baik ada meski palsu. Toh tidak ada yang tahu. Acara sangat sederhana, hanya jamuan makan seadanya. Padahal Nadine punya gaji jika ingin sekedar pesta yang lebih layak, tapi sang ibu mengatakan tak usah bermewah-mewah toh mereka MBA, married by accident, alias sudah DP duluan. Malu sama tetangga, hati Nadine tercubit dengan ucapan sang ibu. Begitu burukkah dirinya sekarang. Rafael menunduk santun saat di depan Hermawan. Pria itu sangat ramah, menerima dirinya dengan tangan terbuka, padahal dia berandalan tengik yang sudah menghancurkan putri cantiknya. "Sebaiknya kamu tinggal saja di sini. Lumayanlah, dari pada maaf, kontrakan kamu. Kalau sudah bisa sewa yang lebih baik, mau pindah saya juga tidak masalah." Rafael mengiyakan saja. Memang benar, kontrakannya tidak layak untuk perempuan sebening Nadine. Eman-eman kalau diajak nyungsep ke kontrakan kumuhnya. Mereka tidak tahu saja isi kontrakan kumuh Rafael. Orang pasti jantungan kalau tahu. "Nad, aduh!" Baru juga masuk kamar sudah dikeplak sama sang istri. Tas usang Rafael terjatuh begitu saja di lantai. "Apaan?" Rafael sudah mulai biasa memanggil nama pada sang istri sejak mereka dikejar penjahat hari itu. "Kok gak bisa dilepas?" Nadine menunjukkan cincinnya. Rafael menyeringai sekilas, lantas mengedikkan bahu. "Kamu sengaja ya mau ngerjain aku?" cecar Nadine kesal. "Lagian kenapa sih mau dilepas. Mau nutupin status kamu? Aku tahu aku jahat sama kamu, tapi aku beneran tulus mau tanggung jawab. Aku brengsek tapi gak bejat." Nadine tertegun. Baru kali ini Rafael bicara panjang lebar padanya. Biasanya hanya satu, dua, tiga patah kata. Perhatian wanita itu lantas terarah pada dada Rafael yang sekilas tampak mulus tanpa cela, beda dengan wajahnya yang dekil dan kusam. "Panas, Nad," keluh Rafael tanpa sadar. "Alah biasa pakai kipas tukang sate aja sok-sokan kepanasan." Cep! Rafael bungkam seketika, baru sadar keceplosan. "Mandi sana! Itu kamar mandinya." Nadine duduk di meja rias, membersihkan make up yang gadis itu aplikasikan sendiri dibantu Tia. Ya, hanya Tia yang sejak kemarin setia menemaninya hunting kebaya untuk pernikahannya. "Hadiah untukmu." Rafael mengulurkan sebuah benda terbuat dari kristal berwarna ungu. Berbentuk seperti lipstik, bulat panjang. "Apaan?" "Aku bilang hadiah. Simpan, jangan dibuang. Ini benda paling berharga mililku, aku serahkan padamu." Nadine tertegun ketika Rafael mengatakan kalimat tadi. Nadanya datar, tapi terkesan seperti sebuah perintah. "Kenapa diberikan padaku. Kalau katamu paling berharga," cetus Nadine heran. "Karena kamu, sama berharganya dengan benda itu. Aku akan menjaga kalian dengan nyawaku." Deg! Semahal itukah dirinya, sampai Rafael rela mempertaruhkan nyawa untuk dirinya. "Jangan baper, jangan baper, please." Bola mata Nadine melotot ketika Rafael tiba-tiba menciumnya. Biar pun dekil, tapi bibir lelaki itu terasa lembut dan kenyal, persis bibir perempuan yang selalu dapat perawatan. "Maaf, jika aku melibatkanmu dalam urusanku mulai saat ini. Karena begitu kita terhubung, mereka akan turut mengincarmu. Jadi solusinya adalah membuatmu berada dalam jangkauanku dua puluh empat jam penuh.” Malam merayap datang, Nadine rupanya belum bisa tidur, dia sejak tadi tak menyadari kalau Rafael belum kembali dari dapur. Ambil air putih katanya. "Masak iya ke dapur aja tersesat," gumam Nadine. Langkah wanita itu terhenti melihat satu sosok berdiri di temaram lampu dapur. "Aku sudah menikah. Aku ingin kamu mengurusnya." Itu suara Rafael kan? Dia sedang bicara dengan siapa? Curiga seketika memenuhi kepala Nadine. Wanita itu mendekat ke arah Rafael. "Kamu lagi ngapain?" Rafael menoleh cepat, cukup terkejut mendapati Nadine berada di belakangnya. "Gak ada," balas Rafael singkat. Rafael meninggalkan Nadine begitu saja, sembari mendekap botol besar tempat air. "Dia ini kenapa sih. Sok misterius banget.""Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Seminggu sejak kasus Dewi masuk ke ranah pengadilan, persoalan itu justru merembet ke pihak berwajib. Ternyata si Jojo ini spesialias menikahi wanita untuk dikuras hartanya.Modusnya sama, pria itu akan menjerat janda yang dia nilai kaya, lalu istrinya akan menuntut si perempuan karena sudah mengganggu rumah tangganya. Jelas-jelas di sini Jonathan adalah seorang penipu, tapi para korbannya tidak mau melaporkan kejadian ini pada aparat keamanan. Dengan alasan malu. Mereka lebih suka menyerahkan harta bendanya, menanggung rugi dari pada aibnya tersebar luas.Sepertinya petualangan Jonathan bakal berakhir ketika dia berusaha menjerat Dewi. Bukannya untung, dia malah buntung. Jangan sangka jika Rafael akan diam saja, melihat tantenya ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang tampang saja tak lebih baik dari satpam dirumahnya."Aku heran deh, dia pakai pelet apa waktu menipu, Tante."Itu komen Rafael yang masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Dewi terjerat lelaki macam Jonathan."Tante pikir
"Siapa Jonathan?""Rivalnya Om," timpal Rafael cepat atas pertanyaan sang paman.Rionald lekas berdiri untuk mengintip sosok pria yang disebut Rafael sebagai saingannya. Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian yang lumayan mahal, melongok dari luar gerbang. Terlihat kepo sekali dengan kediaman Rafael."B aja. Ganas siapa antara aku sama dia?" Selidik Rionald yang seketika membuat Dewi merona. Kenapa juga mantan suaminya malah menyinggung urusan ranjang. Dewi akui, Jonathan tak selihai Rionald, maklumlah, Rionald mantan player, pengalamannya menyenangkan wanita jangan ditanya lagi. Namun ketika membahasnya langsung dihadapan banyak orang, tentu saja Dewi malu setengah mati."Om, itu kan privasi. Tanyanya waktu di kamarlah, jangan di forum terbuka begini. Bikin malu aja," tandas Rafael seolah tahu apa yang Dewi pikirkan."Oke deh, nanti aku tanya kalau kita sudah sekamar lagi. Jadi, apa ni rencana kita?""Kita samperinlah, kita cari tahu apa maunya si Jojo ini."Tak berapa lama, Rafae
Ha? Suami baru? Kapan Dewi menikah lagi? Mereka tidak ada yang tahu. Dan kini mendadak wanita ayu yang masih diuber Rionald ini muncul di pintu kediaman Rafael. Minta bantuan untuk disembunyikan dari suami barunya. Kenapa?"Emang Tante kapan nikahnya?" Ceplos Nadine sambil menyuapi Rafael."Emm, dua bulan lalu," balas Dewi malu-malu."Terus kenapa kamu lari ke sini? Maaf, bukannya kami tidak menerimamu. Tapi akan jadi runyam urusannya kalau kamu sudah punya suami." Atma berujar pelan, penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan perempuan yang bagaimanapun adalah ibu dari cucunya. Bahkan Rionald masih tergila-gila pada Dewi sampai detik ini. Rionald tidak mau menerima perempuan lain selain mama David."Maaf, Yah. Tapi aku sudah bingung harus cari perlindungan ke mana." Dewi mulai menangis dengan Paramita lekas mendekat untuk menenangkan."Jangan menangis, cerita dulu. Nanti kita lihat kami bisa bantu atau tidak."Paramita membimbing Dewi duduk di sebuah sofa, Arya mengulurkan