Nadine, terpaksa menerima nasib buruk terjadi dalam hidupnya. Satu kejadian panas, membuat dunianya berubah. Sang tunangan memutuskannya begitu saja tanpa mendengar penjelasan Nadine. Lebih tragis lagi dia harus menikah dengan pria yang terlibat one night stand dengannya. Pria dekil dengan label pengangguran melekat pada diri lelaki tersebut. Rafael, pria yang mau menikahi Nadine, tampilan pria itu memang akan membuat tiap orang mencibir dan menghina padanya. Tak ada yang tahu, kalau Rafael punya identitas lain, yang akan membuat orang lain tercengang, termasuk Nadine. "Siapa kamu sebenarnya?" "Aku? Aku hanya orang biasa. Bukan siapa-siapa." Bagaimana keduanya menjalani biduk rumah tangga di tengah konflik yang datang silih berganti? Ditambah ancaman datang banyak sisi, termasuk mantan tunangan Nadine.
Lihat lebih banyak"Nadine! Kenapa kamu bisa melakukan hal memalukan itu!"
Suara penuh kekecewaan itu membuat sosok bernama Nadine membeku. "Aku tidak melakukan apapun, Bu! Sungguh!" Heni, ibu Nadine, menatap nanar putrinya, "Tapi Dave sendiri yang memergoki yang kalian lakukan berdua di kamar itu!" Sebelumnya, Nadine tertangkap basah tengah tidur dengan pria tak dikenal, yang saat ini ada di sampingnya, menatapnya tanpa ekspresi. Saat itu, ketika Nadine terbangun, hal yang pertama kali ia lihat adalah ekspresi kekecewaan Dave yang melihatnya dengan pria asing, tanpa sehelai benang pun. "Bu, dengarkan aku dulu. Aku datang ke sana setelah mendapatkan pesan kalau Dave katanya pingsan di kamar hotel.” Nadine menarik nafas lalu melanjutkan, "dan saat aku sampai di sana, tiba-tiba seseorang memukulku sampai aku tak sadarkan diri.” "Cukup bualanmu, Nadine. Aku tak menyangka kamu bisa melakukan hal menjijikkan seperti ini dan masih membela dirimu!" Nadine tersentak dan menatap calon tunangannya itu tak percaya. "Dave! Kamu harus percaya padaku!" Namun, Dave hanya menghembuskan nafas dengan kasar. "Pak, Bu...." Nadine masih mencari dukungan orang-orang terdekatnya. Namun, Hermawan dan Heni, orang tua Nadine, tak kuasa menatap putri sulung mereka. "Kita batalkan pernikahan kita. Maaf, tapi aku tidak bisa menerima perempuan yang ... murahan!" Dave berujar enteng. Tak ada beban sama sekali. Nadine menangis tertahan. Rasanya sakit mendengar kalimat itu terucap dari pria yang sudah dua tahun merajut tali kasih dengannya. Tinggal selangkah lagi, hubungan mereka akan sampai di pelaminan. Tapi apa daya, kejadian tragis semalam membuat hidup Nadine jungkir balik. Hancur berantakan dalam sesaat. "Dave, aku mohon. Jangan begini." "Lalu aku harus bagaimana? Papa dan mama tidak akan mau menerimamu jika mereka tahu yang sudah terjadi." Rafael, pria misterius yang dari tadi menatap pertengkaran itu, hanya diam dan menatap nanar pasangan yang baru saja dia hancurkan hubungannya. Dia sendiri tak ingin lari dari tanggung jawab, meski semua terasa janggal untuknya. "Dave! Dave tunggu!" Teriak Nadine berusaha mengejar mobil sang tunangan. Sakit dan sedih juga marah memenuhi dada Nadine. "Gara-gara kamu, semua mimpiku hancur! Gara-gara kamu!" Raung Nadine sambil memukuli dada Rafael yang tertunduk penuh rasa bersalah. "Maaf." "Maafmu tidak cukup untuk memperbaiki keadaan!” Nadine berteriak dengan wajah merah padam menahan amarah. "Saya akan bertanggung jawab. Saya akan menikahi kamu, Mbak." Mendengar ucapan tersebut, Nadine menggeleng. Tidak percaya dengan apa yang kemarin terjadi. Lalu, tanpa mengindahkan orang-orang yang ada di sana, Nadine langsung masuk ke kamarnya dengan kesal. "Ibu tidak setuju! Lihat dia. Kerja apa dia? Emang bisa menghidupi anak kita." Wanita di sebelah ayah Nadine berujar ketus. Rafael terdiam, dia memang hanya kurir pengganti, kadang kerja, kadang tidak. Akan lebih cocok jika disebut pengangguran. "Bu, jangan begitu,” kata Hermawan, mencoba mendinginkan suasana. "Jangan begitu bagaimana? Nanti kalau mereka susah, kita juga yang kena. Bapak jangan asal kasih izin mereka menikah!" "Terus Ibu maunya bagaimana? Nasi sudah menjadi bubur. Dia mau bertanggung jawab. Apa yang kurang. Masalah biaya hidup, bapak yakin kalau pria ini akan memenuhinya, bukankah begitu?" Rafael mengangguk, "Saya akan menafkahi Nadine dengan layak." "Dapat duit dari mana kamu? Kerja gak jelas begitu? Mau jadi kriminal kamu? Gak! Gak! Jangan bawa Nadine hidup susah bareng kamu. Dia punya kerjaan bagus. Tidak pantas sama kamu. Sudah dekil, pengangguran!" Makian dan hinaan panjang lebar ibu Nadine berikan. "Cukup Bu! Jangan menghina orang. Apalagi ini calon suami Nadine," potong Hermawan, sorot mata penuh peringatan lelaki itu berikan. Ibu Nadine berdecih kesal. "Ibu gak sudi punya mantu dia. Padahal Dave itu sudah kaya dan tampan. Kenapa anak kita harus dengan pria sampah ini!" Makin dalam rasa bersalah Rafael. Dalam hati dia berjanji akan melakukan apapun untuk kebahagiaan Nadine. Termasuk jika dia harus mendapatkan apa yang seharusnya jadi miliknya. Baru saja wanita itu akan menghina Rafael kembali, Hermawan langsung menarik lengan istrinya untuk masuk kembali ke rumah. "Cukup kamu menghina dia. Kita tidak tahu dia sebenarnya siapa. Siapa tahu dia bisa menghidupi Nadine dengan layak. Sifatnya sudah bagus, mau bertanggung jawab juga jujur." "Tapi, Pak. Dia itu ...." Hermawan menghentikan ocehan sang istri yang tambah tidak karuan. "Nak Rafael, duduk dulu. Saya akan bicara dengan ibunya dan memanggil Nadine." Rafael mengangguk santun, melihat Hermawan membawa Heni masuk ke satu kamar. Lelaki itu lantas duduk di sofa, sesaat memindai ruang tamu keluarga Nadine. Hingga tak lama ponselnya berbunyi. Rafael keluar menuju teras untuk menjawab panggilan. Bersamaan dengan itu, Nadine keluar kamar sembari menggerutu. Apa lagi selain menggumamkan kebenciannya pada Rafael. "Gara-gara dia impianku hancur." Hanya kalimat itu yang sedari tadi kerap Nadine ucapkan, seolah itu mantra ajaib yang bisa mengubah keadaan. Nadine sebenarnya malas untuk bertemu Rafael, jangankan bertemu, melihat saja sebetulnya Nadine enggan. Namun karena desakan sang ayah, dia bisa apa. Terlebih mengingat yang sudah terjadi. Nadine tak kuasa menolak Sampai di ruang tamu, Nadine tidak mendapati Rafael ada di sana. Namun dari tirai jendela yang terbuka, dia bisa melihat Rafael sedang bicara dengan seseorang. "Kamu urus saja aset dan bisnis itu. Siapa tahu menguntungkan." Sepenggal percakapan Rafael membuat Nadine mengerutkan dahi. Aset? Bisnis? Nadine tidak salah dengar kan? Seorang pengangguran macam Rafael membicarakan aset dan bisnis. "Siapa dia sebenarnya?”"Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen