Share

Emosi Kinan

Sontak semua Ibu-Ibu yang ada di situ tertawa mendengar perkataan Mbak Risa. Bahkan ada Seseibu yang lain yang ikut menimpali ucapannya.

"Calon pelakor gak modal dong, Mbak. Kayak kuntilanak aja." sahut Bu Siska.

"Gak tau diri itu namanya, Bu. Mungkin di rumahnya gak ada kaca jadi sok kecakepan dia," sahut Mbak Risa melirikku lagi.

"Udah, Mbak. Pagi-pagi jangan gibahin orang. Mending mikir hari ini mau masak apa," sahut Mak Sarni mencoba menenangkan suasana.

"Mak Sarni belum pernah ada di posisi kita sih, makanya bisa ngomong kayak gitu. Calon pelakor kok dibela, Mak" sahut Mbak Risa.

Hatiku panas mendengar ucapannya. Tapi aku tak mau mempermalukan diri sendiri. Lebih baik aku cepat mengambil pesananku dan menyerahkan uangnya pada Mak Sarni.

"Mak, tolong belanjaan saya dihitung," ucapku pada perempuan di depanku.

"Total semua 18 ribu, Mbak." jawab Mak Sarni.

Kubayar belanjaanku dengan selembar uang 20 ribuan. Setelah menerima kembalian, aku berpamitan pada mereka yang ada di sana. Sepintas kulihat Mbak Risa melirik sinis kepadaku.

Setibanya di rumah, kulihat Caca menangis meringkuk di pojokan tempat tidur. Sedangkan suamiku dengan mata melotot memarahi anaknya itu.

"Dari mana saja kamu? Liat ini anakmu nangis, ganggu orang tidur saja!" bentak Mas Bagas padaku.

"Aku belanja di depan, Mas." jawabku seraya menolong Caca untuk kugendong. Bocah itu masih menangis sesenggukan takut kepada Ayahnya.

"Kalau belanja ajak dia! Tidurku jadi terganggu tau, kepalaku jadi pusing ini!" seru Mas Bagas lagi.

Aku benar-benar takut melihat Mas Bagas marah seperti itu. Suaranya menggelegar memenuhi rumah kecil ini.

Ibu Mertuaku datang, mungkin dia mampir sebelum belanja di Mak Sarni. Dia langsung menghampiriku yang sedang menenangkan Caca. Mungkin Ibu Mertuaku itu juga mendengar teriakan Mas Bagas saat lewat depan rumah tadi.

"Caca kenapa nangis? Ikut sama Nenek ya?" ujar Ibu Mertua seraya mengajak anakku yang masih terisak.

Kulihat mertuaku menghampiri Mas Bagas yang tidur kembali dengan tengkurap."Bagas, apa gak bisa kamu lebih sabar lagi terhadap anak dan istrimu? Malu didengar tetangga jika kamu sering berteriak marah-marah."

Mas Bagas membalikkan badannya dan menatap Ibunya."Aku gak akan marah kalau dia becus jadi istri, Bu."

"Kamu kan bisa bicara baik-baik sama istrimu, gak harus marah-marah seperti itu," nasehat Ibu Mertua.

"Males!! Dia itu bebal, beg*nya udah keterlaluan!" sahut Mas Bagas.

"Kamu memang keras kepala. Selalu merasa benar!" geram Ibu Martua.

"Sudahlah, Bu! Masih pagi jangan ceramah, makin pusing kepalaku," sahut Mas Bagas lagi.

Ibu Mertua menggelengkan kepala dengan kelakuan anaknya. Dia kemudian berlalu begitu saja membawa Caca bersamanya.

"Seneng kamu dibela sama Ibuku, hah!?" seru Mas Bagas padaku.

Aku meninggalkan suamiku dengan omelannya yang masih terus berlanjut. Lebih baik aku ke dapur mengolah bahan makanan yang sudah ku beli tadi.

PLETAK!!

Mas Bagas melemparku dengan mug plastik yang ada di atas meja."Denger gak sih kamu!?" seru Mas Bagas dengan wajah emosi.

"Mas, maumu apa sih? Aku diam saja bukan berarti kamu bisa semakin semena-mena terhadapku!" teriakku tak bisa lagi menahan emosi.

"Makanya kalau ada orang ngomong itu dengerin! Bukan malah ditinggal pergi!" serunya kepadaku.

KLONTANG!!

Kulempar bahan makanan yang telah kupotong-potong dengan pisau di baskom. Semua bahan makanan yang akan kumasak berhamburan di lantai. Kesabararanku habis saat dia berani melemparku dengan sesuatu, bukankah itu sudah termasuk KDRT? Meskipun selama ini dia juga sering menyakitiku secara verbal.

"Apa bisa kau bicara baik-baik padaku, hah?!" teriakku dengan menodongkan pisau ke arahnya.

Sungguh emosiku sudah diatas ubun-ubun. Semua sikap kasarnya kepadaku seakan kembali diputar di depan mata. Dan saat ini, aku cuma ingin marah tak peduli lagi apa akibatnya.

"Selama ini aku selalu bersabar dengan sikap kasarmu, Mas. Kau mencaci maki aku pun diam saja. Apa kau pikir hatiku terbuat dari batu yang tak berperasaan?!" Aku berkata dengan air mata yang mengalir deras di pipi.

Mas Bagas mematung menatapku. Mungkin dia tak menyangka jika aku memiliki keberanian untuk melawannya. Atau mungkin dia takut akan pisau yang masih kupegang ini.

Aku baru sadar jika aku mengacungkan pisau tajam itu ke arahnya. Mungkin dia takut jika aku akan berbuat nekad kepadanya.

Dia masih diam, namun tak lagi memandangku. Kulihat dia masuk kamar mandi membawa handuk dan pakaian kerjanya.

Luruh sudah air mataku. Aku menangis semakin kencang. Bahkan saat aku marah sekali pun dia tak menghiraukanku.

Aku memilih pergi ke kamar. Menumpahkan air mata dan menangis di sana. Aku bingung sungguh tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi suamiku itu.

Entah berapa lama aku ada di kamar. Yang aku tahu, suamiku telah berangkat bekerja tanpa pamit dan tanpa sarapan, bahkan tanpa secangkir kopi yang biasanya tak pernah absen setiap pagi.

Aku keluar dari kamar, kulihat dapur masih berantakan akibat ulahku tadi. Semua bahan yang aku masak sudah tak dapat diolah lagi, semut dan hewan-hewan kecil lainnya telah mengerubunginya.

"Kinan?" Ibu Mertua memanggilku.

Dia melihat dapurku yang berantakan. Diserahkannya Caca padaku dan dia juga memberikan kantong plastik yang dibawanya. Ibu dari suamiku itu juga memindai wajahku, mungkin karena mataku yang terlihat bengkak karena menangis.

"Ini nasi pecel buatmu, ada bubur juga buat Caca. Santi yang membelikannya untuk kalian." ucap Ibu Mertua dengan tatapan matanya yang yang tak lepas dari dapurku yang berantakan.

"Oh iya, Santi juga menitipkan uang jajan untuk Caca," ujar Mertuaku seraya memberikan selembar uang berwarna merah.

"Tolong sampaikan Santi ucapan terima kasihku, Bu," sahutku lirih.

Ibu Mertua mengangguk dan berlalu dari rumahku setelah sebelumnya mencium cucunya.

Santi adalah adik Mas Bagas yang baru lulus SMA. Dia baru diterima kerja di sebuah pabrik garment yang ada di kota kami. Ibu mertuaku tinggal bertiga bersama Ayah Mertua dan anak gadisnya itu.

Aku yakin Mertuaku itu tahu apa yang telah terjadi antara aku dan Mas Bagas. Namun, dia tak pernah bertanya kepadaku. Sepertinya dia tak mau ikut campur dengan rumah tanggaku. Atau memang karena dia termasuk perempuan yang tak banyak kata, entahlah ....

TING!

TING!

TING!

Ponselku berbunyi, Mas Rangga menelponku. Aku ragu antara mengangkatnya atau tidak. Di satu sisi aku takut dengan istrinya. Di sisi lain aku merindukan kasih sayang dari pria lain sepertinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status