TING! TING! TING! Ponselku berbunyi, Mas Rangga menelponku. Aku ragu antara mengangkatnya atau tidak. Di satu sisi aku takut dengan istrinya. Di sisi lain aku merindukan kasih sayang dari pria lain sepertinya. Aku punya suami tapi seperti hidup sendiri. Tak pernah kami mengobrol dari hati ke hati seperti dulu. Dia lebih suka pergi sendiri bersama teman-temannya. Hatiku hampa, aku kesepian tak ada lelaki yang memberiku kasih sayang. Ponsel itu terus berdering meminta perhatianku. Akhirnya kugeser tombol berwarna hijau. "Halo?" ucap suara di sana yang kuyakin itu adalah suara Mas Rangga. "Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku ragu. "Kinan, kenapa baru dijawab? Dari kemarin aku telepon kamu," sahut Mas Rangga. "Aku takut, Mas. Nanti istrimu marah jika tahu kau menghubungiku." jawabku. Terdengar helaan nafas panjangnya. Aku yakin dia pun mempunyai perasaan takut yang sama denganku. Aku masih bertanya-tanya kenapa pria itu
"Iya saya sendiri. Maaf saya gak merasa memesan makanan. Mungkin Bapak salah orang atau salah alamat." jawabku. Mbak Indah yang ada di sampingku tampak berpikir."Iya, Pak. Coba dilihat lagi alamatnya." Pak Kurir menunjukkan alamat yang dia maksud padaku dan Mbak Indah, memang benar itu alamat rumahku namanya juga sama dengan namaku jadi tak mungkin sebuah kebetulan. Apa mungkin suamiku yang memesan makanan itu untukku. Apa dia menyesal dengan kejadian tadi pagi sehingga dia berinisiatif memberikan aku sesuatu. "Ini udah dibayar, Mbak. Gak apa-apa ambil aja. Mungkin ada seseorang yang sengaja mengirimkan makanan ini untuk Mbak," ucap Kurir itu. "Iya, Pak. Saya terima paketnya ya. Barangkali memang suami saya yang sudah memesannya, terima kasih," jawabku sambil tersenyum. Mbak Indah tersenyum menggodaku."Ternyata Bagas bisa romantis juga ya, Kinan. Mungkin dia mengirimkan makanan itu sebagai ucapan permintaan maafnya padamu." Aku merasa s
Sepanjang malam kuhabiskan waktuku bersama dengan Caca. Aku ingin anakku tidak merasakan kesepian seperti yang aku rasakan. Dia harus berpikiran bahwa ada Ibunya yang sangat menyayanginya. Mas Bagas bahkan tidak menghiraukan kami semenjak pulang kerja tadi. Dan aku memilih tak peduli. Dia mungkin marah, tapi aku jauh lebih sakit hati. Belum kering luka yang selama ini dibuatnya, ditambahinya lagi setiap hari hingga hati ini tak pernah sembuh dari luka. Aku melirik ponselku yang tergeletak di atas nakas. Kenapa aku jadi ingin menghubungi Mas Rangga. Kenapa tiba-tiba aku memikirkan pria itu. Ingin berbagi hatiku yang sepi dengannya meskipun aku tahu ini salah. Kuurungkan niatku karena aku takut Mbak Risa yang akan membuka pesanku. Bisa hancur aku ditangannya jika kedapatan menghubungi suaminya. KLUNTING!! Satu pesan masuk di ponselku. Kuraih dan kubuka pesan itu. Bibirku tersenyum ketika melihat nama si pengirim pesan. [Sudah tidur, Kinan] tanya Mas Rangga. [Belum, Mas] jawabk
"Dek, dari tadi kamu bantah aku terus ya. Apa susahnya sih nurutin yang aku minta!" serunya. "Aku gak bisa, Mas. Aku capek selalu menurutimu. Aku lelah ...." aku berkata dengan air mata yang tak dapat dibendung lagi. Mas Bagas menarik kursi kasar dan duduk di depan meja makan. Dia makan dengan lahap makanan yang telah aku sediakan tadi. Tak dihiraukannya aku yang menangis karena ulahnya. "Ya Allah .... berikan aku kesabaran menghadapi manusia sepertinya," batinku.**** Jam 9 kurang Mas Rangga menghubungiku. Suamiku sudah berangkat kerja dari jam 8 tadi. Caca sudah makan dan minum asi. Ibu mertuaku sudah mengambilnya dan dibawa ke rumahnya. Kuangkat teleponnya dan Mas Rangga berkata bahwa dia sudah menungguku di depan supermarket Indoapril yang ada di ujung gang. Kuganti daster lusuhku dengan celana jeans dan kaos oblong lengan panjang. Setelah itu aku memakai masker. Aku berjalan menuju supermarket itu. Perasaan ragu menghantui
Seperti biasa sore hari aku mengajak Caca bermain di depan rumah sambil menyuapinya makan. Kulihat Ibu-Ibu bergerombol membahas sesuatu yang seru. Ada Mbak Risa-istri Mas Rangga-diantara mereka. Melihatku datang bersama anakku, wajahnya mencebik. Aku tak peduli tujuanku ingin menyapa ibu-ibu yang lain, biar mereka tak menganggapku menutup diri. "Bu Siska, liat ini saya baru beli gelang emas baru. Modelnya limited edition," ucap Mbak Risa seraya menunjukkan gelang di tangannya yang berkilauan. "Wow, lagi banyak rejeki ya, Mbak Risa. Bagus sekali gelangnya, jadi pingin," sahut Bu Siska seraya memegang gelang milik Mbak Risa. "Hadiah dari Mas Rangga, Bu. Alhamdulillah dapat banyak rejeki. Buat apa ada duit kalau gak buat nyenengin istri. Mas Rangga gak bakalan ngelirik cewek lain, Bu. Dia cinta mati sama saya," ujar Mbak Risa seraya melirikku sinis. Aku tersenyum mendengar ucapan wanita itu. Apa jadinya jika dia tahu suaminya baru saja berbagi re
Mbak Risa melengos melihatku. Mas Rangga tersenyum dan menyapaku."Kinan, Bagas gak ikut?" "Enggak, Mas. Aku sama Caca saja." jawabku seraya tersenyum. Mbak Risa memutar bola matanya malas. "Ayo bareng sama kita saja. Biar aku bawakan tasmu." Mas Ranggamenawarkan bantuan. Aku menolak bantuan Mas Rangga, takut Mbak Risa semakin jengkel kepadaku. Perempuan itu menatap tajam ke arahku. "Ayo, Mas. Buruan!" seru Mbak Risa pada Mas Rangga. Mas Rangga tak mempedulikan ucapan istrinya itu. Dia malah mengambil tasku begitu saja. Raut wajah Mbak Risa semakin tak enak dipandang. "Enggak usah, Mas. Aku bareng sama Mbak Indah," sahutku seraya mengambil kembali tas milikku. Mbak Risa menyeret tangan suaminya. Dengan wajah cemberut perempuan itu mengomel pada Mas Rangga. Aku jadi merasa tak enak sendiri. Aku menghampiri Mbak Indah di rumahnya. Ternyata dia bersama Nada sedang menyiapkan bekal yang akan mereka bawa. "Eh, Kinan. Kamu
"Kinan, kamu gak turun?" tanya Mas Rangga padaku. "Enggak, Mas. Caca sedang tertidur pulas. Kasihan dia jika harus bangun lagi," ucapku. Mas Rangga kemudian berpamitan untuk keluar sebentar. Aku pikir dia merokok di luar bus. Tak lama dia kembali dengan membawa dua tas kresek besar berisi jajanan khas oleh-oleh. "Kinan, ini buatmu." ucap Mas Rangga seraya memberikan dua kantong kresek itu. "Mas, aku emang sengaja gak beli. Kamu gak usah repot-repot gini." sahutku tek enak. "Udahlah, jangan pernah menolak pemberianku. Ini juga tak seberapa,"ujarnya. Aku melihat mata pria itu. Sepertinya dia tulus padaku."Terima kasih, Mas." "Kenapa melihatku seperti itu? Baru nyadar kalau aku ganteng ya," guraunya tertawa lebar. Aku tersenyum mendengar perkataannya. Pria itu lalu menatapku serius. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya. "Kinan, besok jadi ya? Aku ingin bersamamu sebelum berangkat ke luar kota," ucapnya dengan sorot mata
Baru juga tiba di rumah, suamiku itu sudah membuatku sakit hati lagi. Apa tak bisa dia memperlakukan aku selayaknya pendamping hidup dan bukannya musuh. "Setidaknya hargai orang yang bertamu di rumah kita. Aku malu liat kelakuanmu itu," serunya lagi. "Itu karena dia Mbak Nita, mantan kamu. Makanya kamu marah sama aku. Ingat gak kamu saat Ibu dan Adikku ke sini, jangankan menegur mereka, memperlakukan mereka dengan sopan pun enggak. Kamu tak menganggap keberadaan mereka!" jelasku panjang lebar. "Akhir-akhir ini kamu selalu bantah perkataanku, Kinan. Apa kamu mau aku potong jatah uang belanjamu, hah?" Mas Bagas mengancamku. "Silakan, Mas. Paling aku gak akan masakin kamu lagi. Uang belanja tak seberapa masih juga kamu ungkit-ungkit padahal kamu juga yang memakannya." sahutku tak takut. "Baiklah, aku gak main-main dengan ucapanku," geramnya. Pria itu lantas tidur dengan memunggungiku. Aku tak peduli lagi dengan kemarahannya. Jika pun dia