Share

Paket Siapa?

TING!

TING!

TING!

Ponselku berbunyi, Mas Rangga menelponku. Aku ragu antara mengangkatnya atau tidak. Di satu sisi aku takut dengan istrinya. Di sisi lain aku merindukan kasih sayang dari pria lain sepertinya.

Aku punya suami tapi seperti hidup sendiri. Tak pernah kami mengobrol dari hati ke hati seperti dulu. Dia lebih suka pergi sendiri bersama teman-temannya. Hatiku hampa, aku kesepian tak ada lelaki yang memberiku kasih sayang.

Ponsel itu terus berdering meminta perhatianku. Akhirnya kugeser tombol berwarna hijau.

"Halo?" ucap suara di sana yang kuyakin itu adalah suara Mas Rangga.

"Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku ragu.

"Kinan, kenapa baru dijawab? Dari kemarin aku telepon kamu," sahut Mas Rangga.

"Aku takut, Mas. Nanti istrimu marah jika tahu kau menghubungiku." jawabku.

Terdengar helaan nafas panjangnya. Aku yakin dia pun mempunyai perasaan takut yang sama denganku. Aku masih bertanya-tanya kenapa pria itu menghubungiku.

"Jangan takut, Kinan. Aku berada di kantor sekarang. Jadi Risa gak akan tahu jika aku menghubungimu," ucap Mas Rangga.

Bagaimana aku tak merasa takut. Aku berbicara pada seorang pria yang istrinya membenciku. Bahkan seperti ingin menelanku hidup-hidup saat melihatku.

"Istrimu terlalu galak, Mas. Bagaimana mungkin aku tak takut padanya." jawabku.

"Sudahlah, Kinan. Aku cuma ingin tahu bagaimana kabarmu hari ini? Bisakah kapan-kapan kita bertemu di luar?" tanyanya beruntun.

"A-apa?! Jangan becanda, Mas. Untuk apa aku menemuimu, aku tak ingin ada yang melihat kita lalu terjadi salah paham," sahutku.

"Aku cuma ingin mengobrol denganmu, Kinan. Aku ingin dekat dan mengenalmu lebih dalam lagi. Aku yakin kamu juga butuh seorang teman sepertiku," ucapnya penuh percaya diri.

"Aku gak tau, Mas. Aku gak mau ambil resiko." sahutku.

"Tenang saja, aku akan mengaturnya. Ya sudah, aku mau lanjutin pekerjaanku dulu. Nanti aku kabari lagi." ucapnya lalu mematikan teleponnya sebelum aku menjawab.

Sejenak aku berpikir tentang pria itu. Kenapa dia begitu gencar mendekatiku. Apa yang membuatnya tertarik padaku, sedangkan suamiku sendiri tak menghargaiku.

Tak mau berpikir tentangnya terlalu dalam. Kuputuskan untuk menyuapi Caca bubur yang tadi diberikan oleh mertuaku.

Kugendong Caca di depan rumah, sekalian mencari udara segar. Kusuapi putri kecilku itu sambil bermain. Dia makan dengan sangat lahap, mungkin dia merasa lapar.

Kulihat Mbak Indah di depan rumahnya. Melihatku bermain bersama Kinan, perempuan itu menghampiriku.

"Kinan, matamu bengkak. Kamu habis nangis ya?" tanya Mbak Indah seraya mengamati wajahku.

"Enggak, Mbak. Mungkin kebanyakan tidur jadi kayak gini." sahutku.

"Jangan bohong deh, tadi aku mendengar teriakan Bagas. Apa dia marah-marah lagi?" tanyanya.

Rumah Mbak Indah memang bersebelahan dengan rumahku. Jadi dia pasti mendengar jika Mas Bagas berbicara dengan nada tinggi apalagi berteriak seperti tadi pagi. Suasana pagi yang sepi membuat teriakannya terdengar kencang.

"Iya, Mbak. Tadi pagi kami bertengkar. Aku sudah gak bisa sabar menghadapi sikapnya yang semakin semena-mena terhadapku, Mbak. Dia bahkan berani melemparku dengan mug." Aku menjelaskan peristiwa tadi pagi dengan mata berkaca-kaca.

Hatiku masih terasa sangat sakit jika mengingatnya. Aku yang selalu mengalah dan menuruti keinginannya, dia malah semena-mena.

"Mbak, juga bingung harus bagaimana lagi memberimu solusi. Kamu sudah cukup sabar selama ini. Tapi Mbak juga gak berani menyarankan perpisahan padamu." Mbak Indah berkata prihatin.

Bagiku Mbak Indah sudah seperti kakak buatku. Dia yang selalu menolong dan memberikanku kenyamanan di sini.

"Gak apa-apa, Mbak. Mau dengerin keluh kesahku saja, aku sudah sangat bersyukur." ucapku.

"Sesekali kamu memang harus melawannya, Kinan. Karena kelembutanmu malah membuat dia semakin menjadi." saran Mbak Kinan.

"Mungkin jika batas kesabaranku telah habis, aku akan pergi meninggalkan Mas Bagas, Mbak. Meskipun aku tak tahu harus pergi ke mana setelah ini. Tak mungkin aku kembali ke rumah setelah mengecewakan orangtuaku." ucapku dengan pandangan menerawang.

Mbak Indah mengelus pundakku pelan berusaha memberikan kekuatan. Aku memang membutuhkan support dari orang terdekat.

Setelah Caca menghabiskan buburnya, aku mengajak Mbak Kinan makan nasi pecel yang tadi dibelikan oleh Santi. Porsi nasinya banyak sekali jadi aku pasti tidak akan bisa menghabiskannya sendiri. Kami sudah biasa makan berdua. Mbak Indah juga sering berbagi makanan denganku.

"Untungnya kamu mempunyai mertua dan ipar yang baik, jadi masih punya alasan untuk bertahan," ucap Mbak Indah di sela-sela makan bersama.

"Iya, Mbak. Alhamdulillah Ibu dan Bapak Mas Bagas baik sekali. Meskipun Ibu orangnya pendiam, dia sangat perhatian dan sayang sama Caca. Santi juga baik, Mbak," sahutku.

"Iya, sabar aja dulu. Doakan suamimu bisa berubah suatu hari nanti," ujar Mbak Kinan lagi.

Aku tak yakin jika suamiku itu bisa berubah. Karena aku baru tahu sikap aslinya setelah beberapa bulan menikah.

Dulu Mas Bagas sangat mencintaiku. Hari-hari kami habiskan dengan penuh cinta. Dia sangat menyayangiku dan memenuhi kebutuhanku dengan baik.

Hingga aku hamil, dan sedikit demi sedikit bentuk tubuhku tak lagi seperti dulu. Hormon kehamilan telah merubah segalanya.

Setelah aku melahirkan, dia semakin bertambah cuek. Sering marah-marah jika aku tak lekas memenuhi keinginannya.

Hampir tiap malam aku selau begadang sendirian karena Caca rewel. Dan tak jarang dia membentak Caca yang masih bayi jika ia tak berhenti menangis. Dia sering mengataiku sebagai ibu yang tak becus.

Selesai nifas aku memutuskan minum pil KB yang harganya murah sekitar 10 ribuan saja karena uang belanja yang terbatas. Aku bahkan tak pernah minum obat atau jamu pasca melahirkan karena memang tak ada budget untuk itu.

Ternyata efek pil KB sangat buruk di tubuhku. Bukan hanya jerawat bermunculan di wajah, kulitku juga jadi lebih gelap dan kusam. Badanku juga jadi kurus kering. Dia membandingkan tubuhku waktu masih gadis dulu yang memang padat berisi dan berkulit cerah.

Semakin gencar saja Mas Bagas mengatai kekuranganku. Selain dinilai sebagai ibu dan istri yang tak becus, dia juga menilaiku tak pandai merawat tubuh.

Hinaan demi hinaan kutelan mentah-mentah. Hampir tiap hari caci maki keluar dari mulutnya. Tapi tiap hari juga dia menuntutku untuk melayaninya di ranjang, ingin kumenolak tapi takut dia semakin marah.

Tok!

Tok!

Tok!

Pak kurir datang membawa paket makanan sedangkan aku merasa tak memesannya sama sekali.

"Dengan Mbak Kinan? Ini saya mau mengantar pesanan makanannya." tanya Pak Kurir padaku.

"Iya saya sendiri. Maaf saya gak merasa memesan makanan. Mungkin Bapak salah orang atau salah alamat." jawabku.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status