Share

Kepalsuan

Author: Merpati_Manis
last update Last Updated: 2024-11-15 12:01:32

Wanita muda yang baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki itu terus saja mengeluarkan air mata. Larasati merutuki perbuatan Abimana beserta sang istri yang tega bersekongkol dan memanfaatkan keluguannya. Begitu pula dengan kedua orang tua Abimana yang senantiasa bersikap baik dan penuh kasih terhadapnya. 

"Aku yang bodoh atau mereka yang terlalu pandai menyembunyikan semuanya?" gumam Larasati bertanya pada diri sendiri, di sela isak tangis yang tidak kunjung berhenti. 

Wanita yang kini pipinya terlihat sembab itu, ingat betul dengan kebahagiaan semua orang di hari pernikahannya. Pernikahan yang dilangsungkan sangat mendadak karena persiapannya hanya sehari saja. Pernikahan tersebut mendapatkan restu bukan hanya dari kedua orang tua, tetapi juga seluruh keluarga besar Abimana. 

Keluarga kakaknya yang berada di luar kota juga hadir di sana. Pun dengan keluarga kecil adik perempuan Abimana yang tinggal di luar Jawa, mereka juga hadir di pernikahannya. Hal itu membuat Larasati benar-benar tidak percaya bahwa mereka bisa bekerjasama untuk membodohinya. 

"Aku juga tidak menyangka, Mama Hilda yang terlihat tulus menyayangiku dan menganggap aku seperti putrinya sendiri, ternyata kasih sayangnya semu!" Kedua tangan Larasati mengepal dengan sempurna. 

Ya, selama Larasati mengandung, Mama Hilda hampir setiap bulan pasti datang berkunjung ke rumah dan menginap di sana. Wanita paruh baya itu senantiasa menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya. Jika Abimana tidak dapat mengantarkan Larasati periksa ke dokter kandungan, maka sang mama mertualah yang menemaninya.

"Nak, vitaminnya jangan lupa diminum. Setelah itu, kamu istirahatlah biar Mama yang menunggu Bima pulang," titah Mama Hilda, setelah memijat kaki Larasati yang sedikit membengkak efek kehamilan yang semakin membesar. 

"Biar Lara ikut nunggu Mas Bima, Ma. Lagian, ini juga belum ada jam sembilan," tolak Larasati dengan halus. "Lara suka tidak bisa tidur kalau tidak dielus sama Mas Bima, Ma," lanjutnya malu-malu, seraya mengusap lembut perutnya yang semakin membuncit. 

Mama Hilda tersenyum, mengerti. "Ya, sudah. Terserah kamu saja, Ra. Tapi kamu minum vitamin dulu, ya, biar tidak kelupaan." Mama Hilda segera menyiapkan vitamin untuk ibu hamil dan segelas air putih hangat untuk sang menantu. 

"Selamat siang, Bu Larasati." Suara merdu seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruang perawatan dan berhasil membuyarkan lamunan panjang wanita muda itu. Di belakangnya mengekor seorang perawat sambil mendekap map yang berisi data pasien. 

"Siang, Dok," balas Larasati seraya mengusap kasar sisa air matanya. 

"Saya periksa dulu ya, Bu, untuk menentukan apakah Ibu sudah bisa pulang atau belum?" Dokter wanita tersebut tersenyum ramah dan kemudian mendekat ke ranjang pasien. 

Wanita yang masih merasakan lunglai di sekujur tubuhnya karena persalinan yang memakan waktu cukup panjang bakda shubuh tadi, hanya dapat mengangguk lemah. Larasati menurut saja ketika dokter spesialis itu melakukan tugasnya. Ya, persalinannya di pagi buta tadi memakan waktu yang cukup lama karena ternyata posisi sang janin sungsang dan itu baru diketahui setelah pembukaan hampir sempurna. 

Masih terbayang jelas dalam ingatan, bagaimana rasa sakitnya ketika mengejan, tetapi sang janin tidak kunjung lahir ke dunia. Hingga dokter lalu mengambil tindakan episiotomi dan membuat sayatan cukup panjang di perineum, yaitu antara anus dan vagi*nanya. Sayatan yang harus dijahit dan berhasil membuat Larasati merasakan kembali kesakitan tiada tara. 

Belum hilang rasa sakit di area inti pasca melahirkan, sang suami yang menghilang setelah dia melahirkan tiba-tiba datang dengan membawa kabar yang melukai hati dan perasaannya. Abimana menceraikan Larasati dan mengambil hak asuh sang putra. Pria itu datang bersama seorang wanita yang diakui sebagai istri dan wanita tersebut sama sekali tidak mengijinkan Larasati untuk melihat apalagi menyentuh putra yang baru saja dia lahirkan dengan bertaruh nyawa. 

"Semuanya baik, Bu. Hanya tekanan darah Bu Lara cukup tinggi, tapi Ibu jangan khawatir karena Bu Lara bisa segera menyusui bayi Ibu. Dengan menyusui, dapat membantu menurunkan tekanan darah," terang dokter tersebut sambil membetulkan letak kacamatanya. 

Mendengar keterangan dokter barusan, hati Larasati menjerit. Bagaimana mungkin dia dapat menyusui sang buah hati, jika mereka berdua telah dipisahkan bahkan oleh orang terdekatnya sendiri? "Apa saya sudah boleh pulang, Dok?" tanya Larasati dengan suara bergetar, menahan tangis. 

"Boleh-boleh, Bu Lara sudah boleh pulang sekarang agar bisa segera menyusui bayi Ibu. Oh, ya, Bu Lara. Bayi Bu Lara sepertinya sudah dibawa pulang duluan ya, sama ayahnya? Wah, pasti keluarga sudah tidak sabar ingin menimang bayi Ibu yang menggemaskan tadi. Badannya montok dan parasnya tampan, menggemaskan pokoknya. Andai saya masih muda, saya juga mau mengadopsinya jika Bu Lara berkenan," lanjut dokter seraya tersenyum dan suster yang bersamanya menganggukkan kepala, tanda setuju dengan perkataan sang dokter. 

Sementara Larasati terdiam. Apa yang dikatakan dokter kandungan itu barusan, sudah tidak dapat ditangkap dengan baik oleh Larasati karena ingatannya langsung tertuju pada Abimana dan wanita yang menggendong bayinya. 'Mereka benar-benar jahat! Tidak punya hati!'

Larasati masih terdiam di tempatnya. Netra wanita muda itu berkaca-kaca. Sepertinya, dia masih sibuk memikirkan apa yang baru saja terjadi, hingga dia tidak menyadari ketika dokter serta suster yang baru saja memeriksanya telah pamit dan meninggalkan ruangan tempat dia dirawat.

Keheningan kembali tercipta di ruang rawat Larasati. Hanya ada dirinya yang merasakan luka seorang sendiri. Luka fisik dan juga luka hati. Wanita muda itu kembali menangis, meratapi apa tang telah terjadi. 

"Apa salahku? Apa dosaku? Hingga Engkau menghukumku sedemikian berat, Tuhan? Aku tidak pernah merebut suami orang! Aku sama sekali tidak tahu kalau dia sudah memiliki istri! Lalu, kenapa aku yang harus menanggung semua ini?" Pilu, Larasati mengungkapkan semua isi hati, di sela isak tangis. 

Lelah menangis, Larasati kemudian beringsut dan perlahan turun dari ranjang. Tidak, dia tidak boleh terus meratapi nasibnya. Dia tidak mau terlihat terpuruk dan merana. Sementara orang yang telah berbuat jahat padanya, tersenyum bahagia di sana. 

'Aku harus bangkit dan aku pasti bisa! Akan kurebut kembali anakku!' janji Larasati dalam hati. 

Setelah membersihkan tubuh dan berkemas dengan susah payah sembari menahan rasa sakit yang teramat sangat, Larasati segera meninggalkan rumah sakit tempat dia melahirkan. Dia berjalan tertatih menuju pinggir jalan untuk mencari angkutan. Kebetulan ada taksi melintas dan Larasati segera menghadang. 

"Perumahan Permata, Pak." Larasati memberitahukan tujuannya, setelah dia duduk di bangku penumpang dan sopir taksi berwarna biru tersebut mengangguk. 

Taksi dengan logo gambar burung tersebut terus melaju, membelah jalanan beraspal yang panas karena matahari tepat berada di atas kepala. Di bangku penumpang, wanita muda yang duduk dengan menahan rasa sakit di area inti, diam seribu bahasa. Larasati yang biasanya ramah dan selalu menyapa duluan pada setiap orang yang dijumpai, kini tidak berminat untuk mengajak sopir taksi berbicara. Pikiran mantan istri Abimana itu masih tertuju pada sang putra yang belum sempat dilihatnya. 

'Dokter bilang, kamu tampan dan menggemaskan, Nak. Bunda ingin melihatmu, Sayang. Bunda ingin memelukmu.' Air mata wanita muda itu kembali menetes. 

"Bu kita sudah sampai. Apa rumah bercat biru itu yang Ibu maksud?" Sopir taksi menunjuk rumah di sisi kiri Larasati dan wanita muda itu mengangguk. 

Setelah membayar ongkos taksi, Larasati segera turun. Dia tertegun menatap daun pintu rumahnya yang tertutup rapat. Di sana tertulis dengan sangat jelas bahwa rumah tersebut dijual. Tulisan dengan tinta hitam dan dengan huruf yang besar. 

"Kini, aku semakin tahu siapa kamu, Mas? Tanpa kamu mengusirku dengan cara seperti ini, aku memang sudah bertekad untuk meninggalkan rumah yang penuh dengan kepalsuanmu! Cinta dan kasih sayangmu palsu, Mas! Perhatian dan kebaikan kamu juga palsu! Semuanya palsu hingga sulit bagiku membedakan bahwa yang kamu berikan adalah kepalsuan!" Air mata kembali luruh membasahi pipi Larasati. 

bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Istriku Ternyata Nakal

    Keesokan harinya, baik Larasati maupun Bara telah bersiap di kamar màsing-masing. Sementara di ruang tamu yang luas, Bu Dini nampak bersemangat menyambut tamu undangan yang jumlahnya terbatas. Ya, Bu Dini hanya mengundang kerabat terdekat dan beberapa rekan bisnis sang putra yang sudah sangat lama menjalin hubungan kerja dengan Bara.Fredy dan pengacara pribadi Bara pun, terlihat ikut sibuk membantu Bu Dini. Mereka harus memastikan bahwa pernikahan dadakan Bara dan Larasati, dapat berjalan dengan lancar. Pengacara Bara juga tetap menyiapkan tim pengamanan karena tidak ingin hal buruk kembali menimpa klien dan keluarganya.Tepat pukul sepuluh pagi, penghulu datang dengan diiringi oleh Jali yang diminta Bu Dini untuk menjemput. Melihat kehadiran penghulu, Bu Dini lalu meminta Fredy untuk memanggil sang putra di ruang kerjanya. Ya, Bara lebih memilih menunggu di ruang kerjanya karena pagi ini, kamar utama sedang didekorasi oleh orang suruhan sang mama.&

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Sabar, Bara

    Setelah kedua tamunya pulang, Bara meminta pada sang mama untuk berbicara empat mata. Bu Dini lalu mengambil alih kursi roda sang putra dari tangan Larasati karena kebetulan Bram rewel dan mencari ibu susunya. Di sinilah mereka berdua saat ini berada, duduk berhadapan di ruang kerja Bara."Ada apa, Bara? Apa kamu mau request hotel untuk malam pengantin kalian besok? Akan mama siapkan," tanya Bu Dini seraya tersenyum menggoda sang putra.Bara hanya membalas dengan decakan. Pria tampan itu masih diam dan belum ingin membuka suara."Mau barapa hari kalian menginap di hotel, hem?"lanjut Bu Dini seraya menelisik wajah putranya."Ma! Kenapa mama ngomongnya udah jauh banget, sampai bahas menginap di hotel segala, sih? Bara 'kan, belum setuju jika pernikahan kami dipercepat seperti keinginan mama tadi!""Kamu pasti setuju, Son, mama tahu itu." Bu Dini masih saja mengulas senyuman menggoda pada sang putra.Bara men

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Menjadi Saudara yang Baik

    Mendengar perkataan istri dari mantan suami yang sepertinya benar-benar menyesali perbuatan di masa lalu, hati Larasati mulai sedikit luluh. Wanita berhijab itu sebenarnya tidak tega juga, melihat Abimana mengalami stress berat yang kini baru dia ketahui bahwa semua terjadi akibat tekanan dari sang istri. Larasati lalu menoleh ke arah Bu Dini untuk meminta pertimbangan."Bu. Apa kita bisa bicara sebentar," pintanya kemudian dan Bu Dini mengangguk, menyetujui."Maaf Pak Kusuma, Nak Lastri. Kami mau bicara sebentar," pamit Bu Dini seraya beranjak.Larasati lalu mendorong kursi roda Bara, mengekor langkah Bu Dini menuju ruang keluarga."Kalau memang Nak Rara keberatan jika Bara mencabut tuntutannya, biarlah proses hukum untuk Abimana tetap dilanjutkan. Ya, meskipun mama tidak yakin, kalau Pak Kusuma akan diam saja dan membiarkan menantunya itu mendekam di tahanan." Bu Dini mengawali pembicaraan, setelah beliau dan Larasati duduk di so

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Penyesalan Istri Abimana

    Siang ini, istri pertama Abimana benar-benar datang ke rumah Bara untuk menemui mantan atasan suaminya. Kedatangan Lastri, tidak berselang lama setelah kepulangan Bara. Dia disambut dengan baik oleh Bu Dini dan sang putra. Sementara Larasati yang merasa tidak berkepentingan, enggan untuk ikut menemui wanita yang pernah menorehkan luka di hatinya.Lastri datang ke kediaman Bara tidak sendirian. Dia datang bersama sang ayah yang merupakan seorang pengusaha terkenal. Tentu saja kedatangan mereka berdua membuat Bara semakin penasaran."Katakan saja langsung, ada perlu apa Mbak Lastri datang menemui saya lagi?" tanya Bara bahkan sebelum sang tamu dipersilakan untuk duduk."Bara. Biarkan tamunya masuk dulu." Lembut Bu Dini mengusap lengan sang putra, meminta kesabaran putranya itu.Bara menghela napas panjang. Dia tidak ingin berbasa-basi dengan orang-orang yang tidak memiliki hati seperti wanita di hadapan. Sementara Lastri dan sang pap

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Niat Tidak Baik

    Waktu terus berlalu. Kini, kondisi Bara sudah dinyatakan membaik dan sudah diperbolehkan pulang, setelah dirawat selama seminggu. Larasati yang setiap hari dengan setia menunggui Bara bersama Bu Dini, menyiapkan semua meski Bara masih saja mengabaikan wanita muda itu."Mbak Rara, ini obat yang harus diminum Pak Bara, ya. Jangan lupa, setiap pagi ajak Pak Bara berjemur untuk mempercepat pemulihan kesehatan beliau," terang suster sambil menyerahkan obat untuk pasiennya itu."Baik, Sus. Akan saya perhatikan," balas Larasati, seraya melirik Bara. Namun, pria yang dilirik memasang tampang dingin dan sama sekali tidak tertarik mendengar perkataan ibu susu sang putra.Larasati hanya bisa menghela napas panjang kemudian. Nampaknya, wanita muda itu harus menambah stok sabarnya. Telah seminggu Larasati mencoba untuk mendekati Bara, tetapi duda satu anak tersebut masih saja bersikap dingin padanya.Sementara Bu Dini yang menyaksikan semua, kemudian

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Maafkan Rara, Mas

    Setelah mengalami kejang-kejang akibat reaksi obat pasca operasi kakinya yang patah, keadaan Bara kembali membaik. Duda satu anak itu juga sudah siuman dan pagi ini telah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan VVIP yang luas dengan fasilitas terbaik di rumah sakit tersebut.Semalam, Bu Dini, ditemani Fredy dan Dhani dengan setia menunggui Bara. Mereka bertiga menunggu di ruang tunggu yang berada di samping ruang observasi. Sementara Jali disuruh langsung pulang agar jika Larasati butuh sesuatu, sopir pribadi Bara itu siap menemani.Benar saja, pagi-pagi sekali Larasati sudah menyiapkan Bram dan minta diantarkan ke rumah sakit. "Ayo, Mas Jali!" ajak Larasati dengan tidak sabar, membuat Bi Mimin yang ikut mengantarkan sampai teras tersenyum."Hati-hati, Mas Jali," pesan Bi Mimin dan sopir setia Bara itu mengangguk, patuh."Bi. Kami berangkat dulu," pamit Larasati, seraya melambaikan tangan.Sepanjang perjalanan menuju rumah s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status