Share

Menjadi Ibu Susu

Penulis: Merpati_Manis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-15 12:03:15

Wanita muda berhijab merah maroon itu berjalan pelan mendekati pintu lalu mengambil sebuah map yang diletakkan di atas koper berukuran sedang. Larasati meyakini bahwa yang ada di dalam koper tersebut, pastilah barang-barang pribadi miliknya. Rupanya, Abimana memang telah merencanakan semua dengan matang dan bodohnya, Larasati tidak pernah menaruh curiga. 

Tangan Larasati kembali bergetar membuka map tersebut. Map yang berisi data salinan surat yang telah dia tanda tangani tadi. Surat gugatan cerai Abimana dan pengalihan hak asuh sang putra pada mantan suami. 

Air mata kembali luruh. Sesungguhnya dia sudah lelah menangis dan tidak ingin lagi mengeluarkan air mata. Namun, Larasati tidak sanggup mencegah air mata yang menyeruak dan memaksa keluar ketika mengingat semuanya. 

"Aku tidak butuh uangmu, Mas! Aku hanya butuh anakku!" jerit Larasati ketika tatapannya tertuju pada selembar cek yang di dalamnya tertera deretan tujuh angka. Lima juta rupiah. Ya, hanya seharga itulah luka hati Larasati di mata Abimana. 

Wanita muda itu meremas cek tersebut hingga kusut tidak berbentuk lagi. Dia lalu membuangnya dengan asal seraya merutuk, "aku bersumpah, Mas! Kamu akan merasakan kepedihan yang lebih dahsyat dari yang aku rasakan!"

Puas memaki sang mantan suami yang pastinya tidak dapat mendengar caci makinya, Larasati mencoba menenangkan diri. Dia mengambil napas panjang dan menghirup udara bebas sebanyak-banyaknya untuk mengisi penuh paru-paru, lantas menghembuskan perlahan. Setelah merasa cukup tenang, Larasati menyapu wajah dengan ujung jilbab dan kemudian segera meninggalkan rumah yang penuh kenangan mesra, tetapi ternyata penuh kepalsuan. 

Tertatih, Larasati menyusuri gang perumahan yang nampak lengang. Udara yang panas dan memang ini adalah jam istirahat siang, membuat warga di komplek perumahan tempat Larasati selama hampir setahun ini tinggal, malas untuk keluar. Mereka pasti lebih memilih untuk berada di dalam rumah dan menghabiskan waktu dengan beristirahat. 

"Aku baru sadar sekarang, kenapa Mas Bima tidak mengizinkan aku membeli barang-barang keperluan untuk anak kami," gumam Larasati sambil terus berjalan, seraya menyeret koper yang berisi pakaian miliknya yang tidak seberapa banyak. Suaminya hanya mengizinkan dirinya membeli pakaian bayi, itu pun seperlunya saja.

Kejanggalan lain yang baru disadari oleh wanita muda itu adalah, suaminya juga tidak setuju jika Larasati ingin membeli barang-barang lain untuk melengkapi atau mempercantik tampilan rumah sederhananya. Seperti, membeli perlengkapan dapur atau sekadar mengoleksi barang rumah tangga lain seperti kebanyakan para wanita. Sehingga di dapur minimalisnya hanya terdapat almari pendingin berukuran kecil, satu kompor dengan satu tungku, penggorengan kecil dan panci untuk memasak sayur yang juga berukuran kecil. Semua yang ada, serba sederhana dan kecil. 

"Enggak perlu membeli peralatan masak macam-macam, Sayang. Kalau pengin sesuatu, kita beli saja. Aku tidak mau kamu kelelahan nantinya jika harus memasak," larang Abimana, beralasan. Alasan yang mampu membuat hati Larasati melayang karena merasa disayang dan diratukan. 

Begitu selalu yang dikatakan sang suami jika Larasati ingin membeli barang. Sehingga di umah sederhana dengan tipe tiga enam yang dibelikan oleh Abimana dan sudah diatasnamakan Larasati tersebut, tidak banyak terdapat barang-barang di dalamnya. Hanya ada satu set sofa minimalis di ruang tamu. Satu kasur lantai di ruang keluarga yang biasa digunakan ketika sedang menonton televisi yang berukuran 21 inci. Sementara di dua kamar yang ada di rumah itu, masing-masing hanya ada satu tempat tidur berukuran sedang dan satu almari pakaian yang juga tidak seberapa besar. 

Lamunan Larasati buyar ketika sebuah motor membunyikan klaksok dengan nyaring, tepat di sampingnya. Pengendara motor itu lalu berhenti. Dia membuka kaca helm dan tersenyum manis pada Larasati. 

"Mbak Lara mau kemana?" tanyanya, sopan. 

"Eh, Mas Galuh. Ini, saya mau ke depan, Mas."

"Butuh tumpangan?" tawar pria muda bernama Galuh yang merupakan tetangga Larasati dan selama ini sering mencuri-curi pandang pada wanita muda itu. 

"Lho, Mbak Lara sudah melahirkan? Kapan? Kok enggak ada kabar apa-apa?" Galuh mengerutkan dahi setelah menyadari bahwa perut wanita di sampingnya, kembali rata. 

"Mas, maaf, ya. Saya buru-buru harus segera sampai di rumah ibu," elak Larasati yang sengaja menghindar dari cercaan pertanyaan pria muda, yang sepertinya menaruh hati padanya. 

Setelah mengangguk seraya tersenyum, Larasati segera berlalu menuju ke ujung jalan yang sudah terlihat di depan. Tepat di saat yang sama, sebuah angkutan melintas dan wanita muda itu melambaikan tangan. Buru-buru, dia naik ke dalam angkutan karena tidak ingin Galuh mengejar. 

Setelah berada di dalam angkutan umum, Larasati kembali merenung. Wanita berhijab maroon itu nampak bingung. Dia belum menentukan, kemana tempat yang harus dia tuju untuk bernaung? 

'Apa aku harus balik ke resto? Siapa tahu masih ada lowongan pekerjaan untukku di sana? Tapi, dengan kondisiku yang masih seperti ini, apa bisa aku langsung bekerja?'

Larasati meringis, menahan ngilu di area inti tubuh. Dia sudah banyak bergerak sedari tadi dan berjalan terlalu jauh. Rasa perih serta panas di bagian bawah tubuhnya sana, mungkin saja karena ada jahitan yang terbuka. 

'Tidak-tidak. Aku belum sanggup jika harus langsung bekerja. Apalagi pekerjaan di sana, butuh kecekatan dan kesigapan dalam melayani pelanggan. Kalau keaadaanku seperti ini, yang ada bos akan marah-marah. Sebaiknya, aku mencari tempat untuk memulihkan kondisi tubuhku dulu,' monolog Larasati dalam diam. 

Wanita itu lalu memutuskan kemana tujuannya. Dia berganti angkot setelah sampai di terminal angkutan kota. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, sampailah dia di tempat tujuan. 

Larasati tertegun ketika baru saja turun dari angkutan kota. Tatapannya terpaku pada bangunan gedung bertingkat yang menjulang ke atas cakrawala. Bangunan dengan banyak jendela itu memang belum jadi sempurna, tapi Larasati sudah dapat memperkirakan kemewahannya. 

"Apartemen Mutiara?" gumam Larasati, membaca papan nama pembangunan apartemen tersebut. 

"Lalu, kemana panti asuhan dipindahkan? Kemana ibu panti dan adik-adik?" Air mata mulai menggenang di pelupuk mata wanita muda yang wajahnya terlihat kuyu tersebut. 

Larasati berdiri dengan kaki gemetaran. Kondisinya belum pulih benar pasca persalinan tadi, ditambah rasa sakit yang dia rasakan. Bukan hanya di area inti, kini dia juga merasakan sakit di kedua gunung kembar miliknya yang semakin membesar. 

Larasati mera*ba dadanya yang mulai basah. "Apa kamu haus, Nak?" Air mata semakin meleleh ketika ingatan wanita muda itu tertuju pada bayinya. Harusnya, saat ini dia sudah menyusui putranya. Namun, sang mantan suami dengan tega memisahkan mereka berdua. 

Wanita berhijab itu memindai keadaan sekeliling bangunan bertingkat. Di ujung area parkir gedung, dia melihat sebuah warung kecil yang cukup ramai. Langkahnya tergerak menuju ke sana sekadar untuk mencari minuman sebagai pelepas dahaga dan numpang berteduh untuk melepaskan penat.

"Bu, teh hangat manis satu," pintanya pada pemilik warung. Larasati kemudian duduk setelah dipersilakan dengan ramah oleh wanita paruh baya, pemilik warung tersebut. 

Wanita muda itu memilih duduk di bagian belakang karena semua pengunjung warung adalah kaum pria yang merupakan pekerja proyek bangunan. Larasati duduk terdiam, sambil menyeruput teh hangat pesanannya yang baru saja datang. Dia tidak menghiraukan kelakar para pekerja proyek yang mulai menggodanya dengan kata-kata yang kurang sedap didengar. 

"Kopi hitam satu, Mbok!" pinta seseorang dengan wajah murung yang baru saja masuk ke dalam warung. 

"Kusut benar wajahmu, Jal?" tanya pemilik warung tanpa menjawab pesanan pria berusia sekitar tiga puluh tahun tersebut. 

"Gimana enggak kusut, Mbok? Dari kemarin sore, anak bos rewel enggak mau minum susu. Aku sampai bolak-balik ke super market untuk membeli susu aneka merek dan rasa, tapi tetap saja Den Bram enggak mau nyusu. Dia hanya mau minum air putih, kasihan sekali 'kan? Dan sekarang Den Bram demam, Mbok," keluh Jali, sopir pribadi bos kontraktor yang membangun apartemen Mutiara. 

"Kasihan sekali, ya, putra Pak Bara. Masih bayi, tapi sudah ditinggal pergi mamanya," kata Mbok Nah, pemilik warung tersebut, bersimpati. 

"Ndoro putri sampai memintaku untuk mencari ibu susu buat cucunya, lho, Mbok. Lah, aku 'kan jadi semakin bingung. Nyari di mana ibu susu seperti itu?" lanjut Jali, membuat Larasati langsung berdiri dan menatap pria yang baru pertama kali dilihatnya itu. 

"Ibu susu? Jika diperbolehkan, sa-saya bersedia menjadi ibu susu putra majikan Anda, Mas." 

bersambung ... 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Istriku Ternyata Nakal

    Keesokan harinya, baik Larasati maupun Bara telah bersiap di kamar màsing-masing. Sementara di ruang tamu yang luas, Bu Dini nampak bersemangat menyambut tamu undangan yang jumlahnya terbatas. Ya, Bu Dini hanya mengundang kerabat terdekat dan beberapa rekan bisnis sang putra yang sudah sangat lama menjalin hubungan kerja dengan Bara.Fredy dan pengacara pribadi Bara pun, terlihat ikut sibuk membantu Bu Dini. Mereka harus memastikan bahwa pernikahan dadakan Bara dan Larasati, dapat berjalan dengan lancar. Pengacara Bara juga tetap menyiapkan tim pengamanan karena tidak ingin hal buruk kembali menimpa klien dan keluarganya.Tepat pukul sepuluh pagi, penghulu datang dengan diiringi oleh Jali yang diminta Bu Dini untuk menjemput. Melihat kehadiran penghulu, Bu Dini lalu meminta Fredy untuk memanggil sang putra di ruang kerjanya. Ya, Bara lebih memilih menunggu di ruang kerjanya karena pagi ini, kamar utama sedang didekorasi oleh orang suruhan sang mama.&

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Sabar, Bara

    Setelah kedua tamunya pulang, Bara meminta pada sang mama untuk berbicara empat mata. Bu Dini lalu mengambil alih kursi roda sang putra dari tangan Larasati karena kebetulan Bram rewel dan mencari ibu susunya. Di sinilah mereka berdua saat ini berada, duduk berhadapan di ruang kerja Bara."Ada apa, Bara? Apa kamu mau request hotel untuk malam pengantin kalian besok? Akan mama siapkan," tanya Bu Dini seraya tersenyum menggoda sang putra.Bara hanya membalas dengan decakan. Pria tampan itu masih diam dan belum ingin membuka suara."Mau barapa hari kalian menginap di hotel, hem?"lanjut Bu Dini seraya menelisik wajah putranya."Ma! Kenapa mama ngomongnya udah jauh banget, sampai bahas menginap di hotel segala, sih? Bara 'kan, belum setuju jika pernikahan kami dipercepat seperti keinginan mama tadi!""Kamu pasti setuju, Son, mama tahu itu." Bu Dini masih saja mengulas senyuman menggoda pada sang putra.Bara men

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Menjadi Saudara yang Baik

    Mendengar perkataan istri dari mantan suami yang sepertinya benar-benar menyesali perbuatan di masa lalu, hati Larasati mulai sedikit luluh. Wanita berhijab itu sebenarnya tidak tega juga, melihat Abimana mengalami stress berat yang kini baru dia ketahui bahwa semua terjadi akibat tekanan dari sang istri. Larasati lalu menoleh ke arah Bu Dini untuk meminta pertimbangan."Bu. Apa kita bisa bicara sebentar," pintanya kemudian dan Bu Dini mengangguk, menyetujui."Maaf Pak Kusuma, Nak Lastri. Kami mau bicara sebentar," pamit Bu Dini seraya beranjak.Larasati lalu mendorong kursi roda Bara, mengekor langkah Bu Dini menuju ruang keluarga."Kalau memang Nak Rara keberatan jika Bara mencabut tuntutannya, biarlah proses hukum untuk Abimana tetap dilanjutkan. Ya, meskipun mama tidak yakin, kalau Pak Kusuma akan diam saja dan membiarkan menantunya itu mendekam di tahanan." Bu Dini mengawali pembicaraan, setelah beliau dan Larasati duduk di so

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Penyesalan Istri Abimana

    Siang ini, istri pertama Abimana benar-benar datang ke rumah Bara untuk menemui mantan atasan suaminya. Kedatangan Lastri, tidak berselang lama setelah kepulangan Bara. Dia disambut dengan baik oleh Bu Dini dan sang putra. Sementara Larasati yang merasa tidak berkepentingan, enggan untuk ikut menemui wanita yang pernah menorehkan luka di hatinya.Lastri datang ke kediaman Bara tidak sendirian. Dia datang bersama sang ayah yang merupakan seorang pengusaha terkenal. Tentu saja kedatangan mereka berdua membuat Bara semakin penasaran."Katakan saja langsung, ada perlu apa Mbak Lastri datang menemui saya lagi?" tanya Bara bahkan sebelum sang tamu dipersilakan untuk duduk."Bara. Biarkan tamunya masuk dulu." Lembut Bu Dini mengusap lengan sang putra, meminta kesabaran putranya itu.Bara menghela napas panjang. Dia tidak ingin berbasa-basi dengan orang-orang yang tidak memiliki hati seperti wanita di hadapan. Sementara Lastri dan sang pap

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Niat Tidak Baik

    Waktu terus berlalu. Kini, kondisi Bara sudah dinyatakan membaik dan sudah diperbolehkan pulang, setelah dirawat selama seminggu. Larasati yang setiap hari dengan setia menunggui Bara bersama Bu Dini, menyiapkan semua meski Bara masih saja mengabaikan wanita muda itu."Mbak Rara, ini obat yang harus diminum Pak Bara, ya. Jangan lupa, setiap pagi ajak Pak Bara berjemur untuk mempercepat pemulihan kesehatan beliau," terang suster sambil menyerahkan obat untuk pasiennya itu."Baik, Sus. Akan saya perhatikan," balas Larasati, seraya melirik Bara. Namun, pria yang dilirik memasang tampang dingin dan sama sekali tidak tertarik mendengar perkataan ibu susu sang putra.Larasati hanya bisa menghela napas panjang kemudian. Nampaknya, wanita muda itu harus menambah stok sabarnya. Telah seminggu Larasati mencoba untuk mendekati Bara, tetapi duda satu anak tersebut masih saja bersikap dingin padanya.Sementara Bu Dini yang menyaksikan semua, kemudian

  • Dijandakan Setelah Melahirkan    Maafkan Rara, Mas

    Setelah mengalami kejang-kejang akibat reaksi obat pasca operasi kakinya yang patah, keadaan Bara kembali membaik. Duda satu anak itu juga sudah siuman dan pagi ini telah dipindahkan ke ruang perawatan. Ruangan VVIP yang luas dengan fasilitas terbaik di rumah sakit tersebut.Semalam, Bu Dini, ditemani Fredy dan Dhani dengan setia menunggui Bara. Mereka bertiga menunggu di ruang tunggu yang berada di samping ruang observasi. Sementara Jali disuruh langsung pulang agar jika Larasati butuh sesuatu, sopir pribadi Bara itu siap menemani.Benar saja, pagi-pagi sekali Larasati sudah menyiapkan Bram dan minta diantarkan ke rumah sakit. "Ayo, Mas Jali!" ajak Larasati dengan tidak sabar, membuat Bi Mimin yang ikut mengantarkan sampai teras tersenyum."Hati-hati, Mas Jali," pesan Bi Mimin dan sopir setia Bara itu mengangguk, patuh."Bi. Kami berangkat dulu," pamit Larasati, seraya melambaikan tangan.Sepanjang perjalanan menuju rumah s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status