"Ah, nikmat sekali rasanya," gumamku, merentangkan kedua tanganku ke atas dengan posisi terlentang di atas tempat tidur kamar.
Hari ini jalanan lumayan macet sekali, membuat aku tiba dari rumah saat masuk waktu ashar. Aku memilih berbaring sebentar merenggangkan otot-otot yang terasa kaku saat diperjalanan. "Eh, kamu sudah pulang Dil? Kapan? Kenapa Mama tidak tau? Bagaimana hasil interview tadi?" Mama memberondong aku dengan banyak sekali pertanyaan. Aku gegas bangun, lalu melirik ke arah pintu kamar yang terbuka. Pantas saja mama bisa masuk, ternyata aku lupa menutup pintu saat masuk tadi. "Ma, tanyanya satu-satu dong! Kalau banyak seperti itu, aku malah bingung harus jawab yang mana," sahut, pura-pura merajuk. Mama terkekeh melihat ekspresiku. "Iya maaf, Mama hanya penasaran saja. Apa ijasah kamu itu masih berfungsi?" goda mama. "Tentu saja masih dong Ma. Usiaku juga masih dua puluhan, pKini aku duduk di ruang kerjaku. Setelah menerima berbagai arahan dan informasi dari teman-teman satu divisi, aku mulai mengerjakan tugasku. Tidak ada kesulitan sejauh ini, semuanya berjalan lancar karena ini memang bidangku. Akhirnya ilmu yang selama ini aku pelajari selama duduk di bangku kuliah bermanfaat juga. Tidak sia-sia mama menguliahkan aku sampai lulus sarjana. Tekadku sudah bulat. Karena keretakan rumah tangga yang aku alami, kini tujuan hidupku hanya ingin membahagiakan mama dan membalas budi pada mama, walau bagaimanapun budi anak ke orang tua tidak pernah cukup untuk membalasnya. Setidaknya aku berusaha membahagiakan wanita yang sudah berjuang melahirkanku dua puluh lima tahun silam. "Bagaimana Dil? Apa ada kesulitan?" tanya Firman, tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku. Aku menoleh ke arah Firman, seraya tersenyum. "Tidak, semuanya aman," jawabku, mengacungkan jempol. Firman terkekeh melihat tingkahku.
Aku duduk menunggu Firman sambil menundukkan kepala seraya memainkan ponsel. Semoga saja dengan aku seperti ini, mas Umar tidak melihat aku. Bukannya aku takut atau tidak mau bertemu dengan keluarga mas Umar. Aku hanya malas saja. Ibu mas Umar pasti akan menghina aku, atau memaki aku di sini. Aku tau benar bagaimana sifatnya, maka dari itu aku mencoba menghindar saja. Sudah capek-capek menunduk, Firman malah berjalan ke arahku, seraya memanggil namaku. "Dila!" Firman melambaikan tangan dengan mengulas senyum. Mendengar namaku dipanggil, mama mas Umar langsung mengalihkan pandangannya. Matanya menyipit memperhatikan aku dengan seksama. "Dila?" pekiknya, kemudian berjalan menghampiriku. Kali ini aku tidak bisa mengelak lagi. Dengan senyum yang dipaksakan aku tersenyum ke arah mama mertuaku. "Sedang apa kamu di sini Dila?" tanya mama mas Umar, sengit. "Siapa Dil?"
"Kamu tau Dil, setelah Umar menikah dengan si Liana itu. Kerjanya selalu saja tidak beres. Pak Direktur bahkan berkali-kali memanggilnya ke ruangan. Semua yang dia kerjakan selalu salah. Apalagi kemarin, Umar diturunkan posisinya. Ya, otomatis gaji dan bonus bulanannya juga turun. Banyak sekali teman-teman yang menyayangkan kinerja Umar sekarang," Cerita Maryam, antusias. Ada rasa kasihan juga mendengar cerita Maryam. Tapi mau bagaimana lagi? Biarpun aku mengasihaninya, tetap saja dia bukan siapa-siapaku lagi. Apapun masalahnya, juga bukan masalahku lagi."Memangnya Umar kenapa? Apa ada masalah atau apa, jadi semua kerjanya salah?" tanyaku. "Tidak ada masalah sih. Kalau di kantor sih biasa saja. Mungkin karena Liana selalu mengganggu Umar kerja, jadi Umar tidak konsentrasi. Setiap Liana keluar dari ruangan Umar, kancing kemejanya pasti terbuka bagian atas. Belum lagi pakaian dan rambut Liana yang berantakan. Mungkin saja mereka lagi ena-ena di dalam rua
Dua minggu sudah aku bekerja di perusahaan Saswara. Semuanya berjalan lancar dan aman. Aku tidak pernah lagi bertemu mas Umar ataupun keluarganya. Perlahan aku mulai melupakan masa lalu. Bayang-bayang mas Umar juga sudah sirna serta memori yang mulai terkikis. Di sinilah aku berada. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, yang berada di lingkungan perkampungan. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor, aku sengaja mencari rumah terdekat. Satu minggu setelah aku bekerja, mama memberiku uang untuk biaya hidup di sini. "Eh, mbak Dila, mau kerja Mbak?" tanya salah seorang tetanggaku. Aku tersenyum lalu mengangguk. "Iya Bu, ini lagi siap-siap," sahutku, bicara seramah mungkin. Bu Delia namanya, rumahnya tepat di samping rumahku, sekaligus pemilik rumah yang aku sewa. Bu Delia mendekatiku, kemudian mengamati sekitarnya. "Mbak, sini sebentar!" Panggil bu Delia setengah berbisik. "Ada apa ya, Bu?" tanyaku mendekat. "Begi
Awalnya aku menganggap, apa yang dilakukan mama mas Umar itu hanyalah hal biasa karena beliau tidak menyukaiku. Aku mencoba menyikapinya dengan santai dan hanya meminta bu Delia untuk tidak peduli. Tapi, semakin ke sini semakin keterlaluan. Mama Mas Umar secara terang-terangan menabuh genderang perang dengan memfitnahku di lingkungan tempat tinggalku yang baru. 'Iya, itu yang ngontrak rumah punya bu Delia. Mbak Dila namanya. Katanya sih dia janda yang ditalak suaminya karena mengeluh diberi jatah bulanan lima juta satu bulan,' 'Masa sih? Tapi dari penampilan dan cara bicaranya, sepertinya baik kok,' 'Alah, itu cuma sampulnya aja Bu. Belum tentu sampulnya bagus, tapi dalamnya juga bagus. Bisa aja kan beda,' 'Bener tuh. Sampul tidak menjamin isi dalamnya,' 'Berarti mbak Dila itu istri yang tidak bersyukur. Lima juta itu besar loh, kalau saya sudah pasti bisa nabung dan beli emas setiap bulannya,' 'Iya, benar juga.
Di jalan pulang dari rumah mama mas Umar, aku memilih memutar arah mencari makanan untuk aku santap malam ini. Karena tadi terburu-buru, aku sampai melupakan makan malam dan tidak memasak di rumah. Sebuah kedai pinggir jalan jadi pilihanku. Aku sengaja memilih makanan pinggir jalan. Selain rasanya enak dan banyak pilihannya, tentu saja karena harganya yang juga pas dengan kantong. Sembari menunggu makananku dihidangkan, tiba-tiba saja aku tersenyum sendiri. Pikiran aneh mulai terbesit di otakku, untung dengan cepat aku enyahkan. Aku berpikir, kenapa tadi tidak aku bawa bom saja ke rumah itu. Toh semuanya lagi berkumpul dalam satu rumah. Kalau bom itu berhasil ku lempar dan meledak, tentu mereka mati semua. Tapi sayangnya aku tidak sejahat itu. Mana mungkin juga aku melakukannya, bom saja tidak bisa melihat bentuknya, di mana juga mencari benda itu. Tujuanku saat ini membuktikan pada mereka yang sudah meremehkan aku. Keluarga merana itu tujuan
Hari ini aku terbangun tepat pukul sembilan pagi. Tidak biasanya aku bangun lamban seperti ini. Jika hari ini hari kerja, sudah pasti aku akan terkena masalah di kantor karena sudah terlambat. Beruntung ini adalah hari minggu. Hari libur untuk semua pegawai kantor. Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang hanya ada satu minggu sekali ini. Ini hari libur pertamaku di rumah ini. Karena hanya hidup sendiri di rumah ini, aku tidak menyetok banyak makanan. Alhasil, pagi ini aku terpaksa harus keluar membeli bahan-bahan makanan untuk satu minggu ke depan. "Sudah siap, saatnya berangkat!" gumamku, mematut diriku di depan kaca besar. Tujuanku hari ini adalah pasar tradisional demi menghemat pengeluaran ku selama belum mendapatkan gaji utama. Ya, walaupun mama mengirim uang dalam jumlah yang lumayan banyak melebihi uang gaji kerjaku. Tetap saja aku tidak boleh membuang-buangnya percuma. Saat ini aku bukan anak gadis lagi, yang biasanya hanya membeli
"Bagaimana Ma? Apa Mama masih menyangkalnya?" tanyaku, tersenyum sinis. Merasa ada bantuan yang datang, mama mas Umar yang tadinya gugup sekaligus takut. Seketika menatapku garang. Beliau bahkan beberapa kali mendesah kesal. "Ini ada apa sebenarnya Ma? kenapa Dila bisa ada di sini?" tanya mas Umar, terlalu penasaran dengan apa yang terjadi. "Mana Mama tau. Tanyakan saja sama janda ini! Datang ke rumah orang pagi-pagi buta, lalu marah-marah tidak jelas. Apa setelah dicerai Umar, otak kamu sedikit bergeser dari tempatnya?" cibir mama mas Umar. Memang hebat sekali mama mas Umar ini. Aku akui, dia memang hebat memainkan peran. Andai saja dia seorang artis, mungkin dia akan bisa menipu banyak orang dengan citranya. Atau malah jadi pemain sinteron yang terkenal, karena terlalu hebat memainkan peran. "Aku tidak seperti itu Ma! Bahkan aku bahagia sekali dan sangat bertambah waras setelah bercerai dengan putra Mama. Aku ke sini karena Mama