Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam.
"Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-temSemua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali
Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter
"Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti
"Ini uang bulanan untuk kamu! Kelola baik-baik, aku harap setelah ini tidak ada lagi yang namanya uang kurang!" Wajahku memerah menahan marah saat mendengar Mas Umar mengatakan itu. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Bisa-bisanya ia hanya memberiku uang bulanan dengan nominal seperti itu. Namaku Dila, aku hanya seorang ibu rumah tangga yang bergantung dengan suamiku. Bukan aku tidak mau bekerja atau apa. Tapi, Mas Umar, selalu saja melarang jika aku ingin bekerja seperti istri orang lain. Jatah bulanan yang diberikan Mas Umar selama ini, benar-benar membuat aku kesal. Bagaimana tidak, aku hanya dijatah lima juta untuk satu bulan. Aku akui, nominal lima juta itu tidak lah sedikit untuk era seperti ini. Tapi, tetap saja itu masih kurang banyak untukku. "Kenapa harus lima juta terus sih, Mas? Apa tidak bisa kamu naikkan lagi uang bulanannya? Gaji kamu kan delapan juta satu bulan, kenapa tidak enam atau tujuh
Hari sudah mulai petang, tapi Mas Umar masih belum terlihat batang hidungnya. Aku sengaja menunggunya di teras depan kali ini. Entah mengapa aku merasa kesal kalau harus terus-terusan begini. Baru juga menikah dua tahun, sudah banyak saja cobaannya. Lelah menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga. Lampu mobil menyorot ke arah aku yang sedang duduk. Tanpa mau ambil pusing, aku tidak menghiraukan suara klakson mobil yang dibunyikan oleh mas Umar. "Dila, buka pagarnya!" teriak mas Umar, kepalanya terlihat keluar dari balik jendela mobil. "Mas buka sendiri saja, kakiku sakit!" sahutku. Malas sekali membuka pagar untuk suami yang tidak tau menahu sama istri sendiri. Merasa aku abaikan, Mas Umar turun dari dalam mobil dengan wajah kesalnya. Mobil sudah terparkir di depan bagas. Melihat mas Umar sudah ada di rumah, aku bersiap masuk. Namun, baru beberapa langkah kakiku berjalan. Mas Umar menahanku.
Cahaya mentari mulai menerobos masuk melalui celah-celah gorden. Aku terperanjat saat menyadari hari sudah berganti pagi. Gegas aku bangun dan duduk di posisiku. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah televisi. Ya ampun, aku baru ingat, kalau tadi malam aku tidur di sini bukan di kamarku. Dari sekian pertengkaran yang terjadi selama ini dengan suamiku-- mas Umar. Baru kali ini aku bisa tidur terpisah. Bukan karena mas Umar mengusirku dari kamar, aku sendiri yang menginginkannya. Ngomong-ngomong soal mas Umar. Aku belum melihat batang hidungnya pagi ini. Ku lirik jam dinding yang terpajang di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Bisa saja mas Umar sudah pergi bekerja tanpa membangunkan aku karena masih marah Tanpa mau ambil pusing, aku memutuskan membereskan bantal, guling serta selimutku dan membawanya ke dalam kamar. Kosong? Kamarku sudah kosong, bahkan tempat tidur masih terlihat rapi. Tidak mungkin m
Aku duduk bersandar di sofa depan televisi. Tubuhku rasanya lelah sekali hari ini. Bagaimana tidak lelah, setelah mama mertuaku pulang. Mas Umar datang dan membawa satu kantong besar pakaian kotor ke rumah. "Tolong cucikan ya, Dil!" Kata 'tolong' yang aku dengar dari mas Umar, membuat keningku saling bertaut. Enak sekali dia membawa pakaian kotor sebanyak ini ke rumah. Belum lagi aku tau, siapa pemilik pakaian kotor itu. "Nggak mau Mas! Memangnya ini pakaian siapa? Banyak sekali," keluhku. "Itu pakaian mama sama Lila, masa kamu nggak mau sih? Di rumah mama, airnya tidak mengalir, jadi tidak bisa cuci pakaian," jelas mas Umar. Mulutku terbuka lebar. Pakaian mama dan Lila? Bisa-bisanya mas Umar membawa semua pakaian itu ke rumah. Kalaupun air tidak mengalir, kan masih bisa menggunakan air sumur. Di belakang rumah mama juga masih ada sumur yang banyak airnya. Kenapa tidak menggunakan itu saja? Kenapa malah mem